Kembali ke konten utama
Semangkuk Berdua
2018-03-12

Pameran Upacara Pernikahan 4 Negara (VIPT) oleh Dinas Ketenagakerjaan Taoyuan. Li Aizhen (tengah) mengenakan pakaian tradisional Indonesia. (Foto : Li Aizhen)

Pameran Upacara Pernikahan 4 Negara (VIPT) oleh Dinas Ketenagakerjaan Taoyuan. Li Aizhen (tengah) mengenakan pakaian tradisional Indonesia. (Foto : Li Aizhen)

 

Seperti kebanyakan imigran baru lainnya yang tinggal dan menetap di Taiwan, Sun Liían dari Thailand dan Li Aizhen dari Indonesia, juga telah melewati berbagai jenis kepahitan hidup. Dari diskriminasi terhadap pengantin asing, hingga perlahan-lahan mendapat persamaan status sebagai bagian dari penduduk Taiwan yaitu, ìImigran baruî. Daerah yang asing, sekarang menjadi kampung halamannya mereka. Rasa masakan yang awalnya dibenci, sekarang menjadi hidangan terbaik, bahkan mendapat pujian keluarganya. Hidangan pencuci mulut Asia Tenggara yang disukai oleh setiap anggota keluarga, sekarang telah menjadi catatan dari perjuangan keras hidup mereka.

 

Cobek yang dibawa Li Aizhen ke Taiwan 17 tahun lalu. Sekarang menjadi asisten dalam membuat masakan Indonesia. (Foto : Li Aizhen)Cobek yang dibawa Li Aizhen ke Taiwan 17 tahun lalu. Sekarang menjadi asisten dalam membuat masakan Indonesia. (Foto : Li Aizhen)

Di suatu sore akhir pekan penghujung musim panas, salah satu kelas di SD Tong An, Taoyuan dipadati oleh sekitar 40 lebih anak-anak keturunan imigran baru untuk mengikuti kelas bahasa dan budaya Thailand. Sun Li’an yang berusia 47 tahun bersama dengan teman-teman Thailand dan Taiwannya tengah mempersiapkan labu dan puding tapioka ala Thailand yang disukai anak-anak. Sun Li’an mengatakan, puding tapioka sebenarnya adalah burburchacha, sebuah hidangan pencuci mulut yang mudah dibuat, “Anak-anak pasti suka!”

Dahulu didiskriminasi, sekarang kami yang mengajar anda memasak

Dengan latar belakang lulusan Sekolah Kejuruan, Sun Li’an yang berasal dari Thailand, datang ke Taiwan dan tinggal bersama saudaranya saat berusia 24 tahun. Awalnya dia ingin melanjutkan studi di Taiwan. “Saya masih bawa kamus Bahasa Inggris yang tebal!”, berpikir bahasa Inggris dapat memperbaiki keadaan, ternyata jauh dari yang dibayangkan. Sun yang tidak mengerti bahasa Mandarin satu katapun mulai sambil bekerja sambil belajar di sekolah bahasa. Ketika ditanya bagaimana mengenal suami yang dinikahi ini? Sambil berguyon dia mengatakan, “Karena dia adalah penguntit!”. Sambil tersenyum dia mengatakan, mereka dikenalkan oleh teman dan setelah 1 tahun, dia berpikir, “Ya sudah, toh dia begitu cinta padaku”, oleh karena itu ia bersedia menikah dengannya,  sekarang mereka sudah memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan.

Kehidupan berkeluarga yang indah ini, pada awalnya sulit dilalui. Sun Li’an mengatakan, ibu mertuanya selalu menyalahkannya, mertuanya sering berkata, “Aku hanya melahirkan anakku, tidak termasuk  menantu”, sang mertua juga sering berprasangka kalau Sun mencuri uang atau kabur dari rumah. Namun dengan optimis dia berkata, “Aku tidak tahu orang lain dapat terluka berapa lama, namun ketika saya sakit hati, dengan menangis semuanya langsung lepas! Aku hanya berharap hari esok dapat lebih baik”, seiring berjalannya waktu, kesabaran Sun pasti akan mendapat imbalan. Dia teringat ketika ibu mertuanya sakit dan harus tinggal di rumah sakit, waktu itu dia menitipkan buku tabungan dan meminta tolong pada Sun agar disimpan baik-baik. Pada saat itulah ia menyadari bahwa ibu mertunya telah menerima Sun.

Cendol adalah makanan pencuci mulut yang sering dijumpai di Indonesia. Terbuat dari daun pandan dan tepung kacang hijau.Cendol adalah makanan pencuci mulut yang sering dijumpai di Indonesia. Terbuat dari daun pandan dan tepung kacang hijau.

Namun pada 1 dekade pertama di Taiwan, Sun seperti terisolasi, ia menuruti kata-kata keluarganya, jika bukan di rumah mengurus keluarga, pasti ada di pabrik bekerja sambilan. Hidupnya hanya di dua tempat ini tanpa ada ruang pribadi dan hanya mempunyai beberapa teman saja. Hingga pada 9 tahun lalu dia mulai kenal dengan Zhao Pei-yu, seorang guru Asosiasi Pengembangan kawasan Lixin Zhongli, Taoyuan, yang melayani perkumpulan wanita imigran baru bernama “Hui Zhi Lan Xin”. Sun  mulai ikut dalam kegiatan dan mulai berinteraksi dengan orang-orang bahkan berhasil meraih juara 2 pidato bahasa Mandarin, membuat Sun semakin percaya diri. Dia mengatakan, Zhao mengajarkannya banyak hal, “Hidup ku  tidak boleh hanya  di rumah saja dan lupa akan jati diri.”

Sun menyadari, saat menjaga keluarganya ia masih bisa melakukan hal yang disukai, ia pun mulai mengikuti berbagai kelas. Ia yang sangat tertarik dengan kosmetik mengatakan, “Titik balik hidupnya dimulai pada usia 40 tahun!” Tanpa memikirkan pandangan keluarganya, dia mulai bekerja di perushaan kosmetik dengan sepenuh hati. “Kantor akan mendidik orang baru, saya mendapat banyak penghargaan dan pendapatan yang lumayan, pada saat itulah keluarga saya baru mulai memandang saya”, tutur Sun. Ia menambahkan, “Saya pernah meraih penjualan terbaik nomor 1 se-Taiwan, bisnis dengan  teman-teman Thailand saja sudah membuatku sangat sibuk.”

Hubungan bahagia Sun Li’an bersama putranya Sun Yongan dan putrinya Sun Yongshan. Pada akhir pekan, mereka membantu ibunya ke kelas pelajaran bahasa dan budaya Thailand.Hubungan bahagia Sun Li’an bersama putranya Sun Yongan dan putrinya Sun Yongshan. Pada akhir pekan, mereka membantu ibunya ke kelas pelajaran bahasa dan budaya Thailand.

Setelah mempunyai kemampuan ekonomi, Sun pun berhak untuk memberi pendapat atas pendidikan anak-anaknya. Sun mengatakan, bahasa ibu saat kecil tidak penting bagi mereka. Namun sikapnya berubah beberapa tahun belakangan ini. Karena pemerintah mulai mempromosikan bahasa ibu di sekolah-sekolah, dan  anak-anak mulai menyadari,  bahwa menguasai  sebuah bahasa asing  adalah   suatu kelebihan. Putranya yang paling besar, kuliah  di jurusan pariwisata, dimana bahasa ibu sangat penting. Sambil tertawa, Sun mengatakan anaknya sekarang sangat terbuka, “Putraku sekarang berani mengatakan kalau dia blasteran!” dan kedua anaknya sekarang semangat ingin belajar bahasa Thailand,  bahkan berinisiatif untuk menggunakan bahasa Thailand dengan Sun.  Dan pada kelas bimbingan di SD ini, kedua anak Sun juga hadir.

Ketika hidup ini mengecewakan, dia pernah berpikir, “Tidak datang ke Taiwan, mungkin hidupnya akan lebih baik!” Sekarang keluarga Sun lebih bahagia, anak-anak pun telah menjadi telah menjadi dewasa, Sun juga masih berkesempatan melakukan hal yang disukai, ia tak menyangka bisa merasakan kebahagiaan seperti ini . Sun mengatakan, perjalanannya sampai hari ini, mulai dari diskriminasi, terpaksa menerima, hingga  dihormati dan dapat mengaku bahwa dirinya telah menjadi  bagian dari Taiwan, semua  hal ini membuatnya merasa sangat puas.

Di rumah, Sun memasak  masakan Thailand. Sambil tersenyum dia mengatakan keluarganya sangat suka Pad ka-prao, kari hijau dan hidangan penutup, puding tapioka. Dengan tertawa dia mengatakan, “Mereka sangat suka”. Karena kemahiran masaknya, berat badan suaminya yang pada awalnya hanya 80 kg, sekarang menjadi 100 kg. Jika kembali melihat masa lalu, Sun mengatakan, “Saya rasa sekarang sudah tidak ada perbedaan antara kita. Saat saya katakan saya adalah orang Thailand, orang Taiwan bersedia menerima kami, malah terkadang diminta untuk mengajarkan mereka cara memasak. Ini sangat jauh berbeda dengan masa lalu!”

Anak-anak di kelas bahasa dan budaya Thailand. Melalui permainan, makanan dan lagu, mereka merasakan budaya Thailand.Anak-anak di kelas bahasa dan budaya Thailand. Melalui permainan, makanan dan lagu, mereka merasakan budaya Thailand.

Rempah dan Cobek menjadi pemeran utama

Seorang wanita berusia 42 tahun asal Indonesia, Li Aizhen, juga adalah salah satu anggota Hui Zhi Lan Xin. Dengan latar belakang agama Katolik dan suaminya menganut kepercayaan Yiguandao, 17 tahun lalu mereka menikah dan datang ke Taiwan. Sebagai seorang  penyewa kamar di Jakarta, melalui temannya, Li dikenalkan pada suaminya yang saat itu adalah seorang penyebar agama. Suaminya datang ke Indonesia 2-3 kali dalam satu tahun. Pada suatu hari, dia membawa keluarganya datang ke Indonesia dan calon ibu mertunya sangat ingin mengenal kedua orang tua Li. Saat itu Li merasa terlalu cepat, sehingga mengajukan 3 permintaan agar merasa dipersulit dan  menyerah.

Ketiga persyaratan itu adalah, pertama tidak pindah agama. Kedua, anaknya nanti dapat memperoleh pendidikan agama  Katolik. Ketiga, sebagai seorang calon suami, diharap ikut bimbingan di Gereja selama 3 bulan. Yang terpenting adalah, “Setelah menikah tidak boleh cerai, kalau pihak pria dapat menerima persyaratan ini dia baru bersedia”. Ternyata pihak laki-laki menerima semua persyaratan tersebut, giliran Li yang menjadi sangat khawatir, tidur tidak tenang dan berpikir bagaimana menolaknya?

Cendol adalah makanan pencuci mulut yang sering dijumpai di Indonesia. Terbuat dari daun pandan dan tepung kacang hijau.Cendol adalah makanan pencuci mulut yang sering dijumpai di Indonesia. Terbuat dari daun pandan dan tepung kacang hijau.

Karena tawaran telah dibuat dan pihak pria sudah menerima sehingga tidak mungkin mundur, mereka bersama-sama naik perahu menempuh perjalanan selama 8 jam ke kampung halaman Li Aizhen di pulau Bangka. Saat itu Li adalah seorang guru pembimbing di sebuah SMP. Dia berpikir, “Saya adalah lulusan S1 dan punya  pekerjaan tetap, mengapa harus menikah  ke Taiwan?” Pada saat itu kerusuhan Mei 1998 masih sangat kental terasa. Meski air mata ibunya  memperlihatkan  tidak rela, namun ayah Li menganggap ini sebagai sebuah kesempatan dan meminta ibu mertua untuk menjaga Li baik-baik. Begitulah kisahnya sampai hari ini ia berada di Taiwan.

Indonesia adalah negara kaya akan rempah-rempah, banyak masakan yang menggunakan rempah-rempah. Li Aizhen sangat suka memasak, saat berangkat ke Taiwan, tasnya penuh dengan rempah-rempah seperti serai, kunyit, lada dan lainya. Dia masih membawa cobek yang berat ke Taiwan untuk menumbuk rempah atau bumbu-bumbu lainnya. Masakan Indonesia yang Li siapkan, ternyata kurang diminati keluarga. “Masakan Taiwan sangat mudah. Sebuah talenan, dicincang, sudah jadi”, tuturnya. Oleh karenanya, Li ikut membaur, bersama keluarga membungkus pangsit, membuat bakcang vegetarian Hakka, moci dan lainnya. Dengan tertawa dia mengatakan, “Akhirnya masakannya sama seperti orang Taiwan”. Aroma kampung halaman dilupakan untuk sementara.

Meskipun dia adalah keturunan Tionghua, namun hanya dapat berbicara bahasa Hakka, tidak dapat berbicara bahasa Mandarin.

Meskipun dia adalah keturunan Tionghua, namun hanya dapat berbicara bahasa Hakka, tidak dapat berbicara bahasa Mandarin. Datang ke Taiwan baru belajar di sekolah bahasa. Sambil tersenyum dia mengatakan, “Belajar Bo Po Mo bersama  ibu-ibu lainnya.” Setelah bertahun-tahun, selain kehidupan di rumah sendiri,  ia juga membantu di rumah mertuanya, ia harus menjaga dari yang tua hingga muda. Dengan tersenyum dia berkata, hanya kenal orang tua saja, setiap hari ia menyapu dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. “Saya ingin bekerja, ingin melihat kehidupan di luar sana seperti apa”, tutur Li. Meski suaminya tidak mendukung, namun juga tidak melarang. Li telah bertekad naik motor ke daerah industri untuk mencari pekerjaan, dan akhirnya mendapat pekerjaan di pabrik ASE. Namun hal manis bukan datang setiap hari. Mungkin karena letih selama beberapa waktu, setelah bekerja 4 tahun, punggungnya cidera hingga tidak dapat berjalan. Dengan rehabilitasi hampir 2 tahun, baru dapat kembali berjalan dengan normal.

Karena ikut kegiatan asosiasi Hui Zhi Lan Xin, makanan Indonesia yang jadi keahliannya juga mendapat kesempatan untuk tampil!

Setelah sembuh, dia mulai kenal dengan Asosiasi Hui Zhi Lan Xin. Penanggung jawabnya, Zhao Peiyu bertanya, “Ingin belajar Mandarin?” sejak saat itu Li ikut dalam berbagai kegiatan asosisasi, termasuk menjadi sukarelawan mengajar bahasa ibu di SD. “Saya ajari mereka bahasa Indonesia, mereka menjadi guru bahasa Mandarin saya”, tutur Li. Kembali ke sekolah membuat kepercayaan dirinya bangkit kembali. Li mulai mengajarkan bahasa ibu dimana-mana, dan saat ini di Community College Zhongli ia mengajar bahasa Indonesia. Anaknya yang sudah lama tidak berbicara bahasa Indonesia, sekarang ikut menggunakan bahasa Indonesia untuk  berbicara dengan Li.

Puding tapioka memiliki beragam rasa di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand labu adalah salah satu bahannya.Puding tapioka memiliki beragam rasa di kawasan Asia Tenggara. Di Thailand labu adalah salah satu bahannya.

Karena ikut kegiatan asosiasi Hui Zhi Lan Xin, makanan Indonesia yang jadi keahliannya juga mendapat kesempatan untuk tampil! Dalam kegiatan pertukaran, Li  menunjukkan seni memasak. Cobek yang lama tersimpan, mulai  dipergunakan keahliannya. Keluarganya juga perlahan-lahan menerima aroma kampung halaman Li. Mereka sangat suka nasi daging rendang, kari dan lainnya. Dengan bahagia dia mengatakan, “Dulu 1 panci makan sendirian, saya sangat kesepian. Sekarang sangat aneh, semua orang berebutan! Suami saya bilang perutnya seperti tong sampah, apa saja dimakan.”

Sajian pencuci mulut yang sangat disukai keluarga saat musim panas, Cendol adalah makanan yang sangat terkenal di Indonesia, sangat mudah untuk membuatnya. Di Taiwan dia juga bisa buat cendol. Sambil tertawa dia mengatakan, “Anak-anak sangat suka makan ini!”