Kembali ke konten utama
“Tradisi Makan Malam” di Bukit Katak
2018-03-19

Sejarah Hidup di Meja Makan

 

Melintasi kawasan hiruk pikuk keramaian Gongguan, berbelok memasuki gang 119 jalan Roosevelt section 4, di mana suara kebisingan kota  langsung mereda dan hawa panaspun berkurang 1-2℃, permukiman bukit Katak  terletak di dekat tepi Selatan kota Taipei, rumah kuno satu lantai, terlihat rapat memenuhi permukiman yang terbentang di sepanjang lereng gunung. Di musim panas terdengar sahutan suara serangga,  burung, dan kerlap kerlip sinar kunang-kunang. Pada musim semi, tampak komunitas orang tua duduk santai sambil berbincang-bincang di sebuah bangku panjang, dari dapur terdengar suara orang sedang memasak dan tercium aroma sedap masakan, di belakang gunung tampak lahan hijau kebun mentimun dan sayur mayur, sebuah pemandangan yang berbeda di tengah jantung kota Taipei.

 

Tidak peduli Waishengren, Hokien, Hakka, Penduduk Asli, semua berada di sebuah meja panjang, berbaur bersama melalui makanan dan minuman.Tidak peduli Waishengren, Hokien, Hakka, Penduduk Asli, semua berada di sebuah meja panjang, berbaur bersama melalui makanan dan minuman.

Petang di musim panas ini, warga setempat sepakat setiap keluarga menyajikan satu masakan.  Satu persatu masakan dikeluarkan dari dapur, bagaikan menyelenggarakan upacara ritual. Masing-masing menyajikan sayur lezat resep dapur keluarga. Di tangga yang sempit terlihat warga sibuk mondar mandir, akhirnya mereka berkumpul di meja panjang  yang terletak hingga ke rumah tinggal keluarga Wang,  dalam  sekejap mata meja panjang tersebut sudah dipenuhi dengan beraneka ragam masakan lezat.

Pemandangan seperti ini rasanya pernah terlihat. Keluarga Wang  sudah tinggal di bukit Katak selama lebih dari 60 tahun, Baoge generasi kedua keluarga ini kembali mengenang, “Semasa kecil, petang musim panas sangat panas, semua memindahkan meja makan dan masakannya di luar. Ayah ke rumah tetangga untuk ngobrol sambil minum arak. Ibu membawa anaknya keluar rumah, kami makan mantou dan bubur kacang hijau, sambil makan sambil menelusuri jalan.” Ingatan ini terus melekat kuat, tidak pernah berubah.

Sejarah Hidup di Meja Makan

Hari ini masakan yang disajikan keluarga Wang adalah  daging sapi rebus, bubur kacang hijau dan ikan bandeng goreng. Daging sapi rebus merupakan resep ayah saat mengelola toko mie sapi setelah pensiun dari tentara. Hanya saja setelah ayah memasuki usia lanjut, giginya sudah tidak sebagus dulu sehingga Baoge memilih tendon sapi lunak dan merebusnya sampai empuk agar  cita rasa milik keluarganya  dapat terus terwariskan. Kakak Ah-Mei  menyiapkan bubur kacang hijau yang memiliki citra rasa Waishengren (Sebutan warga dari Daratan Tiongkok yang tiba di Taiwan setelah tahun 1945). Bubur kacang hijau dapat menurunkan panas dalam, saat musim panas lebih banyak disajikan  dalam keadaan dingin, untuk menambah rasa bisa juga dicampur sup daging sapi. Kebanyakan anak-anak lebih suka  bubur kacang hijau manis dengan menambahkan beberapa sendok gula. Masakan lainnya adalah ikan bandeng goreng Ibu Wang dari Tainan yang bersikeras kalau makanan belum lengkap tanpa ikan.

“ Tradisi Makan Malam” di Bukit Katak“ Tradisi Makan Malam” di Bukit Katak

Makanan mencerminkan sejarah kehidupan, dalam keluarga Wang ada beberapa makanan yang wajib dihidangkan. Pasangan dari etnis yang berbeda, ayah seorang Waishengren sedangkan ibu adalah orang Taiwan, merupakan fenomena dari kebanyakan keluarga yang tinggal di pemukiman bukit katak ini. Seperti nyonya Tung berasal dari Shoufeng, Hualien merupakan penduduk asli suku Amis, menikah dengan suaminya berasal dari timur laut Heilongjiang, Daratan Tiongkok. Begitu pula dengan nyonya Yeh yang berasal dari etnis Hakka di kota Beipu-Hsincu menikah dengan seorang yang berasal dari   Jiangsu-Daratan Tiongkok, sehingga ia mahir membuat mie ala Waishengren dan kue beras Hakka.

Pada era peperangan masa lalu pernikahan antar etnis tidaklah mudah, dua orang dengan perbedaan latar belakang, apakah kebiasaan makan mereka menimbulkan konflik? Nyonya Yeh sambil tersenyum mengatakan, “Dulu kita semua sangat miskin, tidak ada makanan yang bisa dimakan, ada apa, ya makan apa!”

Masakan Lezat untuk Tetangga

Masakan Lezat untuk Tetangga

Che Lin pendiri Studio Katak yang sudah 10 tahun menetap di kawasan bukit katak mengatakan, “Kami seperti desa di dalam kota.” Pernyataan ini tidaklah salah, suara orang di meja panjang saling mengambilkan sayur, menuangkan arak, berbincang penuh dengan keramahan dan suasana yang hangat, membuat orang terpesona.

Che Lin memperlihatkan foto tua yang diambil pada tahun 1928. Pada saat itu pemerintah kolonial Jepang telah mendirikan Stasiun Riset Pertanian, Perbaikan Serikultural Pertanian dan instansi pertanian lainnya di sekitar kawasan ini. Di kaki gunung bersebelahan dengan jalan Fanglan dibangun asrama pegawai stasiun percobaan pertanian yang merupakan awal terbentuknya pemukiman. Setelah perang,  tentara militer membangun desa baru Huanmin untuk 39 keluarga tentara ditambah lagi pada era tahun 1960 – 1970an imigran dari kota dan desa lain berdatangan  dan membangun rumahnya di sini.  Setingkat demi setingkat akhirnya berkembang menjadi permukiman, dengan penuh toleransi menerima orang-orang dari berbagai penjuru, tanpa peduli perbedaan latar belakang, mereka memiliki harapan yang sama yaitu kehidupan yang baik, ditambah dengan bangunan yang sederhana, rukun dan akrab antara satu keluarga dengan tetangga keluarga lain, menciptakan suasana harmonis yang sulit terlihat di kota besar. 

Pelajar India dan Herbologi

Kue bawang keahlian nyonya Yeh  diajarkan oleh Paman Chen, ia mengatakan, “Apalagi anak ke tiga kami, setiap hari tidak di rumah, makan roti mantou dari tetangga rumah Chen”. Paman Wang, dan nyonya Wang sekeluarga berasal dari Jiangsu, Daratan Tiongkok, sempat mengelola rumah makan di Shanghai. Xiao Hua yang mewarisi keahlian dari ayahnya dengan bangga mengatakan, setiap Tahun Baru Imlek  keluarga Wang selalu merayakannya dengan megah, rata-rata ada 30 orang yang datang bersantap bersama dari 3 hari sebelum sampai hari ke 9 tahun baru imlek, nyonya Wang  juga menyiapkan sayur tahun baru imlek untuk diberikan pada tetangga.

Pelajar India dan Herbologi

Di pemukiman yang memiliki toleransi tinggi bertetangga dengan Universitas Sains dan Teknologi Taiwan (NTUST), bermula dari sekelompok mahasiswa politeknik dari India Selatan yang sekitar 10 tahun lalu datang dan tinggal di sini, kemudian tersebar dari mulut ke mulut sehingga sekarang ada sekitar 30 orang dari 6 keluarga yang menetap, membentuk sebuah pemukiman yang unik

Kota Bukit Abadi

Seorang peneliti  bernama Prasannan  dari Tami Nadu, menemukan daerah bermukim yang mirip dengan desa asalnya pada  lokasi yang berjarak 4000 km dari bukit katak kota Taipei . Pemukiman bukit Katak adalah kota tersembunyi, Prasannan mengatakan, di kampungnya ia juga harus menempuh perjalanan 2 km untuk sampai ke kota tetangga. India Selatan  memiliki peradaban tradisional yang panjang  tidak seperti India Utara yang modern, Prasannan dan teman-teman dari India Selatan seperti penduduk asli atau nenek moyang masyarakat Taiwan  memiliki beragam pengetahuan tentang tumbuhan obat-obatan, mereka tahu bagaimana mendengarkan suara tubuh dan mengobati dengan ramuan yang tepat dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan dalam masakan mereka.

Di atas daun pisang Jepang (Musa basjoo) ada lauk kari, roti prata panggang dan nasi.Di atas daun pisang Jepang (Musa basjoo) ada lauk kari, roti prata panggang dan nasi.

Di kawasan bukit Katak ini Prasannan menemukan 30 lebih jenis tanaman obat yang juga tumbuh di sekitar rumahnya di India, di puncak gunung Prasannan bersama temannya menanam pohon saeh (Broussonetia papyrifera), pohon pisang, Kelor (Moringa leifera), daun kari, serai dan lainnya. Prasannan mengatakan, “Di kampung saya hampir setiap rumah menanam pohon saeh, daun kari, pohon pisang.” Dari bunga, daun, ranting sampai ke buah semua bisa dijadikan obat, dan perawatan kecantikan,  dari sebuah tanaman bisa dihubungkan menjadi sebuah jaringan kebudayaan. Dua kali seminggu Prasannan dan temannya memasak dan makan bersama, dengan menggunakan daun pisang sebagai wadah untuk menyajikan kari yang merupakan campuran dari berbagai bumbu, iringan musik dan tarian India  menghadirkan suasana seperti di kampung halaman, merefleksikan kehidupan yang telah berakar di sini.

Kota Bukit Abadi

Setiap rumah di India harus ada kotak rempah-rempah “Anjara Box”, Beberapa rasa klasik terbuat dari beberapa bumbu dasar ini. Merah : Lada hitam Putih : Adas Ungu : Jintan putih Biru : Biji Mustar & Kacang hitam India Hijau : Klabet Kuning : Kunyit Tengah : Kapulaga dan jaheSetiap rumah di India harus ada kotak rempah-rempah “Anjara Box”, Beberapa rasa klasik terbuat dari beberapa bumbu dasar ini. Merah : Lada hitam Putih : Adas Ungu : Jintan putih Biru : Biji Mustar & Kacang hitam India Hijau : Klabet Kuning : Kunyit Tengah : Kapulaga dan jahe

Sering kali tanpa terasa makanan sehari-hari telah menjadi kebiasaan hidup. Sampai akhir tahun 2015 saat berpartisipasi dalam program “Festival Seni Wen Luo Ting” barulah muncul kesempatan untuk mengangkat kembali resep masakan keluarga, memperkenalkan keragaman makanan di sini  kepada publik. Feng tien, seorang penulis yang pernah tinggal selama 5 tahun di bukit Katak sempat belajar masak dengan penduduk setempat dan merekamnya. Seniman Tseng Yun-shieh mengaplikasikan pengetahuannya tentang teknik pencelupan tanaman, mengumpulkan  daun almond India dan daun murbei yang sarinya dimasak sebagai bahan membuat gambar ilustrasi makanan, perpaduan gambar dan tulisan ini dijadikan kalender untuk diberikan pada penduduk setempat. Dari subsidi yang didapatkan, masyarakat menggunakannya untuk membeli sebuah mobil penjaja makanan untuk berbagi kehidupan di sini kepada lebih banyak orang lagi, Prasannan yang belum lama menikah juga menggunakan mobil makanan ini untuk menyelenggarakan pesta pernikahan ala India yang meriah.

Tseng Yun-chieh mengatakan, “Struktur keluarga terdiri dari Waishengren dan penduduk asli, Hakka layaknya seperti miniatur Taipei .” Feng tien mengungkapkan, “Bagi saya bukit Katak adalah sebuah hadiah yang sangat berarti. Sulit untuk mendapatkan tempat seperti ini di tengah kota, tempat yang masih menyimpan jejak kehidupan 30-40 tahun silam.” Dalam kecepatan perubahan dan tuntutan efisien kehidupan kota, bukit Katak yang separuh pemukiman dan separuh perkotaan bagaikan pelabuhan terakhir yang memberikan ruang khusus agar orang dengan latar belakang dan kisah hidup yang berbeda  dapat saling berdekatan, memberi makan, saling memelihara dan melanjutkan hidup dengan damai.