Kembali ke konten utama
Integritas Pameran Seni Hidupkan Budayawan Teladan Masa Lalu
2018-04-09

Karya seni patung“Light of Spring”pertama kali tampil pada Japan Fine Art Exhibition pada tahun 1958.

Karya seni patung“Light of Spring”pertama kali tampil pada Japan Fine Art Exhibition pada tahun 1958.

 

Di studio kerja berplafon setinggi 7,5 meter, Pu Tian-sheng dalam kondisi sakit menuntaskan karya seni patung yang dibuat untuk mengenang guru Anita Lin Jin-chuan. Musisi Li Lin-chiu menyelesaikan lirik lagu pop klasik berjudul "Wang Chun Feng" (Pining for the Spring Breeze) di rumah tradisional ala etnis Minnan, ditemani oleh minuman arak shaojiu dan aroma wangi bunga sedap malam. Lantai sanggar tari berbahan kayu menjadi tempat dimana koreografer Tsai Jui-yueh membawakan komposisi tariannya, satu persatu gerakan mempresentasikan seni tari khas Taiwan. Pondok kediaman masa lalu menyimpan tapak tilas perjuangan para seniman yang ditinggalkan menjadi hasrat dan nostalgia untuk generasi berikutnya.

 

Pu Tian-sheng dan patung“Sports Series” (Sumber T.S.P Sculpture Memorial Museum).Pu Tian-sheng dan patung“Sports Series” (Sumber T.S.P Sculpture Memorial Museum).

T.S.P Sculpture Memorial Museum

Mengenang Taiwan dengan seni patung

Ketika berbelok memasuki gang 9 jalan Linsen North di kota Taipei, mata tertuju pada patung berkuda Wu Feng, pejabat masa dinasti Qing, yang berdiri megah dengan ketinggian lebih dari 1 meter dibandingkan, adalah merupakan bekas kediaman seniman patung kontemporer Taiwan, Pu Tian-sheng (1912-1996), kini menjadi bangunan monumental T.S.P Sculpture Memorial Museum. Pu Tian-sheng berguru pada pematung kontemporer Jepang Fumio Asakura, kemudian kembali ke Taiwan di tahun 1914. Berkat rekomendasi dari ayah mertua Chen Cheng-po, ia mendapat tawaran membuat patung tembaga Sun Yat-sen, yang menjadi karya seni kebanggaan pertamanya.

Patung “Female Rider” karya Pu Hao-ming.Patung “Female Rider” karya Pu Hao-ming.

Dalam kondisi politik kritis kala itu, Pu Tian-sheng tiada pernah mengurangi kesetiaannya terhadap seni, dirinya tidak gentar terhadap segala ancaman, bahkan menolak permintaan tambahan atribut topi tentara untuk patung tembaga Chiang Kai-sek. Ayah mertua, Chen Cheng-po tewas dalam insiden 28 Februari, sebagai keluarga korban melewati masa-masa dengan situasi banyak hal yang tidak terkendali maupun ditutup-tutupi, ia bertekad untuk berjuang melalui sisi positif seni untuk mematahkan distorsi dan kesalahpahaman dunia. Namun sebagai seniman juga harusb menghadapi kegetiran kehidupan nyata, dimana dirinya mengandalkan pekerjaan mengecor patung logam setengah badan untuk kalangan elit politik dan pebisnis sebagai mata pencaharian untuk menghidupi 6 orang anak-anaknya yang masih kecil.

Anak ketiga Pu Tian-sheng bernama Pu Hao-chih, setelah pensiun mengambil alih museum T.S.P Sculpture Memorial Museum. Dulu ia pernah mencuri stempel ayahnya untuk merubah daftar seleksi masuk perguruan tinggi. Ia dipaksa oleh ayahnya untuk mengambil fakultas sains dan teknologi, setelah lulus kemudian bekerja di CTCI corporation selama 31 tahun, "Mungkin telah ditakdirkan bagi saya menjadi desainer selama 15 tahun, menjalankan profesi bisnis ini selama 16 tahun, yang membuat diri saya lebih berkompeten untuk menjalani tugas sebagai kurator dibandingkan saudara lainnya," ujar Pu Hao-chih.

Pu Yi-chun mengkreasikan karya seni patung “Little Dancer Series”.Pu Yi-chun mengkreasikan karya seni patung “Little Dancer Series”.

Pu Hao-chih menghabiskan waktu 5 bulan lamanya untuk menata semua koleksi karya seni ayahanda dan merubah bekas kediaman tua ini menjadi museum patung monumental terbuka untuk umum, memamerkan karya seni serta barang kesukaan ayahanda seperti kursi goyang dan minuman Taiwan Beer yang selalu menemaninya setiap hari. Pu Hao-chih menggelar kegiatan ketrampilan mengukir, khusus untuk tuna netra. Ia juga bekerja sama dengan Universitas Nasional Taipei, dengan membuka program belajar mata kuliah kredit agar para siswa memiliki ketrampilan dasar dalam seni ukir. Pu Hao-chih berhasil menyakinkan Chimei Museum untuk menerima koleksi patung ayahanda bertajuk "Serangkaian Gerak Raga (Sports Series)". Karya seni kedua dari Pu Tian-sheng bertajuk "Sastrawan (The Poet)" dengan satu torehan pisau mengukir patung berbentuk bagian kepala sastrawan dan posisi tangan menopang dagu yang mempresentasikan keseimbangan fantastis. Karya ini diteruskan menjadi karya baru lainnya, diperbesar menjadi patung setinggi 2 meter yang diberi nama "Bagian dari Sastrawan (Part of a Poet)", karya ini menjadi seni publik yang terpampang di dalam kampus Guangfu Universitas Nasional Cheng Kung (NCKU).

Setelah T.S.P Sculpture Memorial Museum berjalan dan terbuka untuk umum selama 4 tahun, upaya Pu Hao-chih mulai membuahkan sedikit hasil di atas peta MRT Taipei stasiun Shandao Temple tertera 5 karakter Han bertuliskan「蒲添生故居」(Baca: Pu Tian-sheng Gu Wu, artinya bekas kediaman Pu Tian-sheng), yang diangkat menjadi ikon dalam peta stasiun MRT membuatnya merasa senang berkepanjangan. Impian besar Keluarga Pu yang dinantikan oleh masyarakat kini masih dalam tahap perencanaan untuk pendirian galeri dan taman patung.

Lee Lin-chiu menjual rumah bagian lantai 1 untuk bayar hutang karena gagal investasi pembuatan film, tersisa hanya ada pintu kecil dan tangga sempit bagi tamu pengunjung untuk memasuki rumahnya di lantai atas.Lee Lin-chiu menjual rumah bagian lantai 1 untuk bayar hutang karena gagal investasi pembuatan film, tersisa hanya ada pintu kecil dan tangga sempit bagi tamu pengunjung untuk memasuki rumahnya di lantai atas.

Pondok Kediaman Musisi Lee Lin-chiu

Arak Shaojiu temani malam dan ciptakan lagu "Wang Chun Feng"

"Menyendiri di sunyi malam di bawah terang lampu, angin musim semi bertiup dari seberang, sekelompok gadis berusia 17-18 tahun masih belum menikah tersipu-sipu melirik seorang pemuda....", lirik lagu ini dikarang oleh penggubah lagu terkenal Taiwan, Lee Lin-chiu (1909-1979). Lirik lagu yang mendeskripsikan hasrat seorang gadis belia pemalu dalam bercinta. Lagu ini masih terus dinyanyikan melalui lintas generasi, abadi sepanjang masa.

Pondok kediaman Lee Lin-chiu terletak pada jalan Xining North, dirawat oleh putra keenam Lee Xiu-jian dengan mempertahankan nuansa aslinya. Saat menaiki tangga kayu yang sempit, masih terdengar deritan suara kayu tua. Terlihat juga lumut di dinding bagaikan hasil karya alam, dengan beragam koleksi benda keperluan sehari-hari yang menjadi bukti nyata bagi pengunjung untuk mengenal kehidupan masa lalu.

Duduk mengelilingi meja tempat Lee Lin-chiu menciptakan lagu "Wang Chun Feng" (Bahasa Hokkien: Bang Chun-hong), Lee Xiu-jian mengungkapkan ritual tata kerja rutin ayahnya. Ketika ibu berangkat ke pasar untuk membeli arak dan bunga sedap malam, anak-anak sudah mengetahui bahwa nanti malam ayah akan menulis lagu, maka mereka harus mandi dan tidur lebih awal. Dengan  mengenggam pensil usang sembari menyeruput arak Hunglu (Arak beras merah Angkak) kesukaannya, sang ayah mulai merangkum pengalaman hidup sehari-hari yang tertuang dalam kata-kata.

Kumpulan foto kehidupan Lee Lin-chiu dan sertifikat ijazah.Kumpulan foto kehidupan Lee Lin-chiu dan sertifikat ijazah.

Lee Lin-chiu berkembang di keramaian Dadaocheng pada era tahun 1930-an, dinamika generasi muda dipengaruh kuat oleh gejolak intelektual yang mendambakan kebebasan, demokrasi dan kesetaraan. Tahun 1933, Lee Lin-chiu menulis lirik untuk lagu "Wang Chun Feng" saat berusia 25 tahun, lagu yang mendeskripsikan komunitas tradisional, tanpa kesetaraan gender, tidak bebas memilih pasangan hidupnya, menceritakan hasrat cinta para wanita. Pada tahun 1947, lirik lagu bahasa Hokkien lainnya karya Lee Lin-chiu berjudul "Po Phoa Bang" (Atau Mending a Broken Net), pada masa tersebut masyarakat Taiwan terpecah belah karena terjadi insiden 28 Februari 1947, dalam lirik lagu secara samar-samar mengisyaratkan sejarah yang dialami masyarakat Taiwan.

Dengan gaya penulisan lirik lagu "30% puitis dan 70% umum", Lee Lin-chiu sebagai anggota dari keluarga yang mengeyam pendidikan tinggi menguasai bahasa Mandarin dan menggubah lirik lagu untuk masyarakat umum sebagai bentuk keperdulian terhadap peradaban manusia. Pada tahun 2009, dalam rangka merayakan ulang tahun Lee Lin-chiu ke 100 tahun, Lee Xiu-jian menaruh patung Lee Lin-chiu di bangku panjang di tepi sungai Danshui dengan latar konteks lagu "Wang Chun Feng", mengilustrasikan Lee Lin-chiu menggubah lagu sembari menikmati pemandangan senja. Lee Xiu-jian sengaja membuat tinggi patung yang mudah dijangkau masyarakat umum, anak-anak bermain dan memanjat pundak patung Lee Lin-chiu, pemandangan yang sangat melekat di hati seperti lagu hasil karyanya.

Di tengah taman Dadaocheng, Lee Xiu-jian bersama patung ayahnya duduk berhadapan.Di tengah taman Dadaocheng, Lee Xiu-jian bersama patung ayahnya duduk berhadapan.

Rumah Peninggalan Koreografer Tsai Jui-yueh

Hidup untuk menari

Lorong gang di jalan Zhongshan North Section 2 terdapat sepasang rumah tradisional Jepang bersebelahan beratap keramik hitam merupakan bekas kediaman Tsai Jui-yueh perintis seni tari kontemporer Taiwan (1921-2005), di tempat inilah menjadi lokasi tumbuh kembang, menari, berkarya dan membuka lembaran tarian kontemporer masyarakat Taiwan.

Di kala Tsai Jui-yueh berusia 16 tahun berangkat ke Jepang untuk belajar seni tari kontemporer, mendalami esensi tarian bertaraf internasional. Setelah PD II berakhir, di tengah perjalanan dengan kapal laut kembali ke Taiwan, ia meluangkan waktu menata dan menampilkan tarian bertajuk "Song of India" dan "We Love Our Taiwan", kedua tarian hasil karyanya merupakan seni tari kontemporer yang pertama dikenal oleh masyarakat Taiwan.

Tsai Jui-yueh (kanan) bertemu guru Shi Jing-lu di Taiwan pada tahun 1998 (Sumber Taiwan Panorama).Tsai Jui-yueh (kanan) bertemu guru Shi Jing-lu di Taiwan pada tahun 1998 (Sumber Taiwan Panorama).

Setiba di Taiwan menghadapi situasi sosial tidak stabil, suami tercinta Lei Shi-yu dideportasi ke Daratan Tiongkok karena masalah politik, Tsai Jui-yueh juga ditahan. Setelah keluar dari penjara, Tsai Jui-yueh tidak melupakan seni tari kecintaanya, ia kembali mengajar seni tarian demi kelangsungan hidup, saat bersamaan terus berkarya dalam komposisi tarian, menuangkan pengalaman hidup yang dialami ke dalam setiap gerakan tariannya. Pihak pemerintah terus mengawasi gerak-geriknya, pada akhirnya ia bersama putranya Lei Da-peng berimigrasi ke Australia.

Kisah cerita belum berakhir. Pada tahun 1994, pemerintah kota Taipei mengintruksikan agar sanggar tari Tsai Jui-yueh dibongkar, pihak kalangan pecinta budaya melakukan aksi protes dan meminta pemerintah tetap mempertahankan peninggalan ini yang memiliki ruang sejarah yang sangat berarti. 1 malam sebelum diumumkan sebagai peninggalan bersejarah, bangunan tersebut mengalami kebakaran aksi disengaja. Melihat sanggar tari hangus terbakar, Tsai Jui-yueh meratapi dan berkata,"bagaikan kehilangan seorang putrinya yang telah tiada".

Sanggar tari Tsai Jui-yeh merupakan tempat buaian bagi seni tari Taiwan”Sanggar tari Tsai Jui-yeh merupakan tempat buaian bagi seni tari Taiwan”

Di tengah puing-puing kehancuran sanggar tari, Tsai Jui-yueh terus memandu murid-muridnya berlatih menari "Song of India". Salah seorang penarinya yaitu Chan Tien-chen mengenang kembali saat Tsai Jui-yueh berulang tahun ke-80, pada hari itu Tsai tiba-tiba ingin menari, ia berputar-putar menari di jalanan, semangat ''Hidup untuk Menari'' itu telah sangat menyentuh hati Chan Tien-chen yang saat itu masih muda.

Tsai Jui-yueh tutup usia pada tahun 2005, sanggar tarinya pun juga tidak dapat dibangun kembali dalam masa sisa hidupnya. Pada tahun 2007, para penerusnya mengadopsi salah satu karya tarian klasik yang bertajuk "The Prison and the Rose", tarian ini memiliki dasar kecocokan dan keberanian yang tinggi, sehingga kediaman ini dijuluki sebagai "Rose Historic Site". Peresmian kembali bangunan ini pada tahun pertama, Tsai Jui-yueh Dance Foundation telah mempersiapkan dengan isi acara "Festival Tarian Internasional Tsai Jui-yueh" dan "Forum Budaya Tsai Jui-yueh" membahas isu-isu terkait pada reformasi peradilan, keadilan sosial, hak kebebasan serta menggalakkan seni tari sebagai obat penyembuh luka dari malapetaka.