Kembali ke konten utama
Pertemuan, Awal dari Pemahaman Temukan Budaya Tani Indonesia di Taoyuan Agriculture Expo
2018-08-06

MOFA mengundang tamu asing untuk berkunjung ke TAE, dan melihat langsung teknologi baru yang dimiliki oleh Taiwan dalam bidang pertanian.

MOFA mengundang tamu asing untuk berkunjung ke TAE, dan melihat langsung teknologi baru yang dimiliki oleh Taiwan dalam bidang pertanian.

 

Memasuki Taoyuan Agriculture Expo, dari kejauhan terlihat pemandangan sawah terasering yang khusus dibuat menyerupai keadaan di Vietnam, Indonesia, Filipina dan Thailand. Dari 25 paviliun yang ada dalam Taoyuan Agriculture Expo, paviliun ìBudaya 4 Negaraîadalah yang paling diminati oleh pengunjung.

 

Pertemuan, Awal dari Pemahaman Temukan Budaya Tani Indonesia di Taoyuan Agriculture Expo

Jumlah pekerja migran di Taoyuan menduduki peringkat teratas, jika ditambah dengan imigran baru, jumlahnya mencapai angka sebanyak 130 ribu orang. Untuk memberikan kesan bagai di kampung halaman bagi pendatang asal Asia Tenggara, maka dibuatlah sawah terasering yang menampilkan keindahan panorama Asia Tenggara.

“Apa kabar!”, sapa hangat dari pemandu expo asal Indonesia yang berbaju batik, memperkenalkan kebudayaan dari 4 negara kepada para tamu. Selain pemandu berbaju batik, ada juga yang mengenakan pakaian tradisional Vietnam, Thailand dan Filipina, menambah kentalnya nuansa khas Asia Tenggara yang tengah bergembira menyambut datangnya musim panen .

Pertemuan, Awal dari Pemahaman Temukan Budaya Tani Indonesia di Taoyuan Agriculture Expo

Pertukaran Budaya Tani Asia Tenggara

Bandara Taoyuan adalah titik awal perkenalan masyarakat Asing dengan Taiwan, dan Taoyuan Agriculture Expo (TAE) selain memperkenalkan Taiwan untuk warga asing, juga sekaligus memperkenalkan ragam keunikan dunia bagi masyarakat Taiwan.

Pavilion 4 negara di dalam TAE secara khusus memperkenalkan perkembangan industri pertanian, adat istiadat serta budaya dari Vietnam, Indonesia, Filipina dan Thailand. Taoyuan merupakan wilayah yang memiliki jumlah pekerja migran terbanyak, mencapai hampir 110 ribu jiwa, selain itu masih ada lebih dari 19 ribu imigran baru yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara yang menikah dan pindah ke Taiwan, mereka mayoritas berasal dari Vietnam, Indonesia, Filipina dan Thailand.

Mayoritas pekerja migran bekerja dalam sektor informal atau formal di bagian manufaktur dan produksi. Hal ini membuat masyarakat Taiwan sering berhubungan secara langsung dengan warga dari 4 negara tersebut, namun jarang ada yang berhubungan dengan budaya bertani setempat. Oleh sebab itu TAE difungsikan untuk memperkenalkan negara asal pekerja migran bagi warga Taiwan, sekaligus menjadi pelepas rindu akan kampung halaman bagi para pekerja migran yang ada di Taiwan.

“Mereka ingin mengenal kita, dan kita ingin mengenal lebih banyak tentang mereka”, kata Kepala Departemen Ketenagakerjaan Pemkot Taoyuan, Wang An-bang, sambil memaparkan program rencana pembangunan pavilion 4 negara tersebut. Ia menyisipkan Taiwan ke dalamnya, sehingga menjadi kawasan 5 negara. 5 negara agraris memiliki persamaan dalam produk tani berupa varietas padi, beras putih, beras kuning, beras hitam hingga beras berwarna merah muda. Setiap wilayah memiliki cara bercocok tanam yang berbeda dan menghasilkan produk panen yang serupa walau tak sama. Dimulai dari pertanian tradisional, saat panen tiba masyarakat berkumpul bersama dan merayakan musim panen, kemudian berkembang hingga ke bidang musik, keterampilan tangan dan pertunjukkan wayang.

Wayang kulit Indonesia memiliki sejarah lebih dari 300 tahun, dapat terlihat dari ukiran halus pada bagian wayang.Wayang kulit Indonesia memiliki sejarah lebih dari 300 tahun, dapat terlihat dari ukiran halus pada bagian wayang.

“Kita memindahkan kebudayaan Asia Tenggara ke lokasi pameran”, jelas desainer pameran, Chen Bao-xi. Produk beras, rempah-rempah hingga wayang yang dipamerkan, semuanya berasal dari Asia Tenggara. Ia sempat menemukan salah satu pekerja migran yang meneteskan air mata takkala menyaksikan pertunjukkan wayang. “Mungkin ada rasa rindu yang teramat dalam, atau mungkin karena kita menjunjung tinggi budaya mereka, sehingga mereka terharu. Entah apa alasannya, yang pasti kita mendesain rasa keberhasilan yang dicapai oleh manusia.”

Temukan Kembali Sawah Terasering

Di awal perencanaan, Chen Bao-xi mengerahkan seluruh daya pikirnya untuk menemukan kesamaan di antara ke 5 negara tersebut. Tanpa disengaja, ia mendapati kesamaan sawah terasering baik di Vietnam, Indonesia, Filipina dan Thailand, dimana sempat menjadi topik utama majalah Travel+Leisure yang diterbitkan di Amerika Serikat, bahkan berpredikat 7 sawah terasering terindah di dunia. Untuk sawah terasering Filipina dan Indonesia bahkan dinobatkan sebagai salah satu peninggalan bersejarah kelas dunia dari PBB untuk bidang pendidikan. Sementara di Taoyuan sendiri terdapat sawah terasering di desa Fushing, keindahan yang bertingkat terpadu dengan bangunan khas setempat, segera bersemanyam di dalam benaknya.

Mengambil tajuk “Sawah terasering”, membentuk sebuah pemandangan paduan taman dan bangunan berarsitektur budaya asal 4 negara.Mengambil tajuk “Sawah terasering”, membentuk sebuah pemandangan paduan taman dan bangunan berarsitektur budaya asal 4 negara.

Mencari persamaan di dalam perbedaan juga terjadi pada bahan material yang dipergunakan. Chen Bao-xi banyak menggunakan bahan bambu. “Bambu kerap digunakan dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara, demikian juga dengan Taiwan. Hal ini yang membuat saya berhasil menemukan padanan asri antara Taiwan dengan ke 4 negara tersebut”, katanya sembari menjelaskan material utama bangunan pavilion menggunakan bambu dari kawasan Nantou, kemudian memadukannya dengan anyaman bambu dan daun kelapa sawit dari Indonesia sebagai atap penutup bangunan. Paviliun yang dibangun sarat akan nuansa Asia Tenggara, dengan sirkulasi udara yang alami dan menyejukkan setiap pengunjung yang masuk bertandang.

Pemandu expo adalah para imigran baru dari ke 4 negara. “Kami para pemandu, memberikan pelayanan panduan dengan mengenakan busana tradisional setempat”. Chen Bao-xi menyebutkan jika ide mengenakan pakaian tradisional tersebut justru berasal dari para pemandu sendiri, bagaikan peragaan busana, karena setiap hari mereka tampil dengan gaya busana yang berbeda. Apakah tidak merepotkan? Salah satu pemandu asal Thailand menjawab, “Ini untuk mempromosikan kebudayaan negara kami, saya tentu akan berupaya semaksimal mungkin.” Dengan tatanan khusus, selain mampu memberikan nuansa khas Asia Tenggara, juga terdapat kehangatan manusianya, sehingga benar-benar memberi kesan seperti pulang ke rumah sendiri.

Pemandu asal Indonesia dengan baju batiknya memperkenalkan produk pameran kepada para pelajar.Pemandu asal Indonesia dengan baju batiknya memperkenalkan produk pameran kepada para pelajar.

Indonesia Miliki Kisah 
Wayang Kulit Berusia 300 Tahun

Yang dibawa dari 4 negara asal oleh Chen Bao-xi adalah wayang kulit. Setiap masa panen tiba pasti ada perayaan, misalnya Festival Pahiyas di Filipina, Perayaan Gio To Hung Vuong di Vietnam, Festival Ploughing di Thailand dan Festival Panen Nusantara di Indonesia. Penggunaan nama yang berbeda, tentu memiliki ritual yang berbeda pula. Walau demikian, inti dari pelaksanaan perayaan menjelang panen adalah untuk menyatakan rasa terima kasih kepada alam semesta atas hasil panen yang berlimpah. Wayang kulit asal Yogyakarta, Indonesia sangat menarik minat para pengunjung.

Budaya Jawa boleh dikatakan berawal dari Yogyakarta, demikian halnya dengan pertunjukkan wayang kulit yang bermula dari Keraton Yogya, kemudian tersebar dalam kehidupan masyarakat setempat, dimana banyak mengambil mitos asal India sebagai tema dalam pertunjukkan wayang. Kurang lebih pada tahun 1945, Indonesia perlahan berubah menjadi negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Untuk menyelaraskan pengajaran Islam yang melarang penyembahan terhadap patung, maka kisah mitos India banyak yang dirubah menjadi bentuk kartun, sehingga dengan demikian dapat memisahkan unsur penyembahan patung dan menjadikan wayang kulit dapat terus dilestarikan hingga saat ini.

Sebenarnya perkembangan wayang kulit di Indonesia masih selaras dengan perkembangan wayang Potehi di Taiwan, dimana pada jaman dahulu setiap ada perayaan, dipastikan akan ada pertunjukkan wayang potehi di depan kuil atau kelenteng. Namun seiring dengan perubahan jaman, kini lebih sulit untuk dapat menemukan pertunjukkan wayang kulit di Indonesia. Chen Bao-xi mengikuti jejak rekam sejarah perkembangan wayang kulit di Indonesia yang nyaris mencapai 300 tahun lamanya. “Bagi kami yang juga berusaha dalam bidang desain dan budaya, melihat dari sudut pandang kami, saya benar-benar merasakan jika pelestarian yang dilakukan oleh mereka adalah sebuah hal yang luar biasa, sebuah keajaiban. Sikap rela untuk berbagi materi, saya benar-benar mengucapkan banyak terima kasih kepada masyarakat Indonesia.”

Presiden Tsai Ing-wen dan Walikota Taoyuan Cheng Wen-tsan saat bertandang ke paviliun 4 negara. (Foto: Departemen Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Taoyuan)Presiden Tsai Ing-wen dan Walikota Taoyuan Cheng Wen-tsan saat bertandang ke paviliun 4 negara. (Foto: Departemen Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Taoyuan)

Expo Tampilkan Pertanian  Mandiri

Melihat sekilas Taoyuan Agriculture Expo, sulit membayangkan jika sebelumnya tempat ini adalah sebuah lahan yang kering kerontang. Namun berkat dukungan dan kolaborasi antara Dewan Pertanian, Pemkot Taoyuan dan Departemen Irigasi, lahan kering ini dapat dirubah menjadi tempat pameran pertanian berskala besar. “Listrik yang dibutuhkan selama masa pameran, juga telah mampu kita hasilkan sendiri”, kata Kepala Kantor TAE, Chiu Pin-fang.

Perusahaan lokal yang turut serta mengambil bagian dalam TAE, misalnya kedai teh modern yang merupakan hasil kerjasama antara TAE dengan perusahaan Tatung, menampilkan teknologi terbarukan bidang kondensasi. Melalui penyerapan udara dan 3 tahapan penyaringan, mampu menciptakan air yang siap diminum. Sistem ini membutuhkan tingkat kelembaban yang cukup, maka setiap hari mampu memproduksi kebutuhan air minum untuk 1.200 orang.

Pengunjung TAE datang dari berbagai wilayah. Untuk “Hari Duta Internasional”, pihak MOFA juga mengundang tamu asing untuk datang berkunjung ke TAE, agar dapat lebih mengenal keunggulan Taiwan. Para pengunjung menyatakan kekaguman akan “Rumah Kaca Cerdas”, tambak ikan vertikal yang dapat membantu kelangsungan ekosistem, mengupas nanas dalam waktu 4 detik dan penggunaan daun ubi sebagai alat dapur.

Pekerja migran asal Indonesia menunjukkan peta lokasi kepada majikan. (Foto: Chen Bao-xi)Pekerja migran asal Indonesia menunjukkan peta lokasi kepada majikan. (Foto: Chen Bao-xi)

Paviliun 4 Negara Dilanjutkan

Meskipun pameran 2018 telah berakhir, namun kawasan TAE masih terpelihara dengan baik, salah satunya adalah paviliun 4 negara.

“Taiwan tidak saja merupakan tempat yang nyaman untuk bekerja”, tutur Wang An-bang sembari mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dari ke empat negara tersebut, yang telah memberikan banyak kontribusi bagi Taiwan. Selain itu Wang juga mengundang para pekerja migran untuk datang berkunjung mengenal Taiwan, dan membuat masyarakat Taoyuan lebih mengenal kebudayaan empat negara.

Pada hari biasa, paviliun 4 negara terbuka untuk umum, pengunjung kemudian bisa berkunjung ke pelabuhan Yongan di Xinwu untuk melihat kuil Dewi Langit, serta kawasan bisnis Asia Tenggara yang ada di belakang Stasiun Kereta Taoyuan.