Kembali ke konten utama
Taiwan, Kota Vegan Dunia Tren Hidup Ramah Lingkungan
2019-05-20

Chang Yu-chuan dalam Konferensi COP21 Paris, selaku koordinator “Senin tanpa daging, Taiwan” menyampaikan pendapatnya. (Foto: Chang Yu-chuan)

Chang Yu-chuan dalam Konferensi COP21 Paris, selaku koordinator “Senin tanpa daging, Taiwan” menyampaikan pendapatnya. (Foto: Chang Yu-chuan)

 

Dalam laporan yang dirilis pada April 2017 oleh media televisi Amerika, CNN, Taiwan kembali ditempatkan sebagai salah satu dari 10 kota vegan terpopuler di dunia. Ini bukan lagi sanjungan pertama dari media internasional bagi dunia vegan Taiwan. Taiwan telah dikenal oleh dunia dalam bidang baseball, xiaolong bao dan pasar malam, maka pengaruhnya dalam dunia vegan juga tidak bisa disepelekan.

 

Koordinator “Senin tanpa daging, Taiwan” Chang Yu-shuan (Kiri) dan Kepala Wilderness Foundation Formosa Hsu Jen-shiu (Kanan).Koordinator “Senin tanpa daging, Taiwan” Chang Yu-shuan (Kiri) dan Kepala Wilderness Foundation Formosa Hsu Jen-shiu (Kanan).

Selain menghindari konsumsi makanan yang diambil dari hewan, seperti telur, susu, keju dan madu, veganisme juga telah meluas penerapannya hingga ke lingkungan, pendidikan dan gaya hidup. Sehingga makanan yang tidak mengandung daging dikategorikan vegan, namun juga mencakup lingkungan, kehidupan satwa dan gaya hidup manusia yang ramah lingkungan.

Menyuarakan Vegan Taiwan ke Dunia

Desember 2015, Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) yang digelar di Paris, diikuti oleh 18 organisasi yang berprinsip “Senin tanpa daging” dari 13 negara (Termasuk Amerika, Kanada, Brasil, Itali, Jamaika, Israel, Korea dan lain sebagainya). Koordinator “Senin tanpa daging, Taiwan”, Chang Yu-chuan dalam pidatonya menyampaikan konsumsi manusia akan daging terus mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga telah memberikan dampak penghancuran terhadap hutan, laut dan daratan. Hewan ternak sendiri telah menghabiskan sepertiga pakan dunia. Selain itu dirinya juga memaparkan kesuksesan program “Senin tanpa daging” yang diusung di 2.328 sekolah pada tahun 2012, dengan diikuti lebih dari 7 juta orang. Selain di sekolah, aksi tersebut juga diikuti oleh beberapa instansi pemerintah pusat dan daerah. “Usai konferensi, ada sahabat dari Swiss, Norwegia yang bertanya mengenai kunci sukses Taiwan, dan memberikan apresiasi tinggi terhadap pelaksanaan veganisme di Taiwan”, ujar Chang Yu-chuan.

Selama masa konferensi, banyak selebritis yang peduli akan isu pelestarian lingkungan turut hadir di Paris, termasuk Arnold Schwarzenegger. Usai pemaparan “Senin tanpa daging, New York”, Arnold kembali pulang ke Amerika dan mengimbau publik untuk dapat mengurangi konsumsi daging, serta membuat video promosi terkait. Penggagas untuk Israel adalah seorang presenter TV, Miki Haimovich, usai memberikan penjelasan kepada Presiden Israel, segera mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Sementara di Kota Gent di Belgia, pemerintah setempat segera memberlakukan hari Kamis sebagai hari tanpa daging, termasuk untuk Kawasan instansi pemerintah dan sekolah. Organisasi Senin tanpa daging New York bekerja sama dengan The Johns Hopkins University, mengusung pengurangan konsumsi daging dengan sudut pandang ilmu medis. Itali dan Perancis menggunakan menu hidangan vegetarian dalam restoran sebagai promotor utama. Mantan kelompok The Beatles, Paul McCartney bertindak selaku pengusung utama di Inggris, dan mendapat dukungan penuh dari para fans.

Andrew menyajikan Cheese Pie tanpa susu dan telur.Andrew menyajikan Cheese Pie tanpa susu dan telur.

Chang Yu-chuan menjelaskan sekitar 40 negara dan Kawasan yang ikut dalam aksi “Senin tanpa daging”. Meskipun veganisme dilakukan oleh masing-masing organisasi NGO dari berbagai negara, namun dengan berprinsip kepada isu pelestarian lingkungan, maka semuanya memiliki target yang sama.

Vegan Dunia Melihat Taiwan

Andrew Nicholls, Elbert Gu dan Michel Cason, masing-masing berasal dari Australia, Amerika dan Afrika Selatan, dengan latar belakang yang berbeda, namun karena berprinsip vegan yang sama maka bertemu di Taiwan. Andrew yang telah tinggal di Taiwan selama 9 tahun, lulusan S2 jurusan Ilmu dan Pendidikan Olahraga Australia, adalah seorang instruktur pilates internasional. Tahun 1988, usai membaca buku “Diet for a New America”, menemukan aksi kejam terhadap hewan ternak, yang serupa dengan apa yang sempat diamatinya saat masih kanak-kanak dan hidup di keluarga peternak. Ditambah lagi dengan program gaya hidup sehat yang dikembangkan di Singapura, kembali membuktikan jika gaya hidup vegan mampu memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Dirinya yang sudah menjadi seorang vegan selama 25 tahun, merasakan perkembangan veganisme di Taiwan yang sangat pesat dalam kurun waktu 8 tahun terakhir  Meskipun sejak awal telah ada vegan, namun masih kurang memperhatikan nutrisi dan kenikmatan hidangan, hingga munculnya restoran vegetarian baru setiap 1-2 bulan, membuat Andrew menemukan Taiwan adalah rumah keduanya setelah Australia.

Elbert yang kerap mengajar menggambar dan pengalaman menggelar pameran, berbagi informasi berkenaan dengan kemudahan mendapatkan makanan sayur mayur di Taiwan.Elbert yang kerap mengajar menggambar dan pengalaman menggelar pameran, berbagi informasi berkenaan dengan kemudahan mendapatkan makanan sayur mayur di Taiwan.

Michel, vegan yang turut mendorong perkembangan restoran vegetarian di Taiwan, awalnya juga menerima pengaruh dari masyarakat Taiwan. Ia pertama kali datang ke Taiwan untuk berwisata, lalu menemukan komunitas vegan di Taiwan dan perhatian besar yang diberikan oleh masyarakat Taiwan terhadap vegan adalah hal yang tidak dapat dibandingkan di dunia. Setelah mendalami makanan vegetarian yang memberikan dampak positif bagi kesehatan dan juga ramah terhadap hewan satwa, maka ia memutuskan untuk menjadi vegan. Michel telah tinggal di Taiwan selama 7 tahun, ia adalah seorang koki, yang memahami beragam jenis bahan vegetarian. Sayur dan buah selalu tersedia di sepanjang musim, bahkan ada yang berlimpah ruah di musim tertentu. Kondisi seperti demikian adalah sebuah keberuntungan bagi pulau Formosa ini.

Elbert yang telah tinggal di Taiwan selama 4 tahun, adalah seorang pakar dari Nanjing University of The Arts, yang kerap mengajar dan menggelar pameran lukisan di berbagai belahan dunia, ia melihat menjadi vegan bukanlah hal yang mudah. Namun di Taiwan, cukup berbelok jalan saja, dapat dengan mudah menemukan restoran hidangan vegetarian. Ia berpendapat, Taiwan telah melewati berbagai bentuk pertukaran kebudayaan pada masa yang berbeda, sehingga hidangan vegetarian juga dapat dinikmati dalam sajian yang beragam. Belakangan ini, ia tengah melakukan penciptaan artistik berkenaan dengan makanan vegetarian, dari bentuk luar paket produk daging yang terlihat menarik, sebenarnya tersembunyi tragedi memilukan sang hewan.

Dengan mengandalkan memori masa kecil, Michel meracik bumbu Itali dengan bahan makanan yang ada di Taiwan, berhasil menghidangkan makanan pasta vegetarian.Dengan mengandalkan memori masa kecil, Michel meracik bumbu Itali dengan bahan makanan yang ada di Taiwan, berhasil menghidangkan makanan pasta vegetarian.

Menggalakkan Revolusi Hijau

Merujuk kepada hasil penilitian Livestock in a Changing Landscape yang diluncurkan oleh UNESCO pada tahun 2008, sebanyak 30% lahan tanah tanpa es di bumi digunakan untuk ternak, hanya 8% yang digunakan sebagai lahan tanam oleh manusia. Hasil produk daging dari lahan ternak ini juga turut memengaruhi kualitas udara, selain menimbulkan hujan asam, juga menciptakan 9% gas CO2, 37% Metana, 65% NO2, yang merusak lingkungan hidup. Hal ini belum lagi ditambah dengan masalah resiko pencemaran virus hewan terhadap manusia yang terus berkembang.

“Setiap satwa memainkan peran penting dalam ekosistem alam”, kata Hsu Jen-shiu, Kepala Wilderness Foundation Formosa yang bergerak dalam bidang perlindungan hutan belantara selama puluhan tahun, ia menyerukan revolusi hijau untuk bumi. Karena kerakusan manusia yang tiada hentinya, bahkan melebihi kebutuhan keberadaan manusianya sendiri, demi keuntungan membabat habis hutan dan membangun mega proyek. Ada negara, demi menurunkan biaya peternakan, mencampur tepung tulang MBM dalam pakan untuk sapi, sehingga menimbulkan penyakit sapi gila. Namun dengan adanya konsep veganisme di Taiwan, mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan dan lingkungan. Hsu Jen-shiu memaparkan ada sekelompok relawan yang bercocok tanam secara alami 
di Taitung, dengan tujuan untuk mengurangi bahaya akibat proses makanan terhadap lingkungan hidup.

Guna mendorong terbentuknya badan pendidikan ekologi dalam lingkungan Tionghoa perantauan, Hsu Jen-shiu mereplikasi metode yang digunakan oleh The Society of Wilderness, bertandang ke Nikaragua, Australia, Malaysia, Sabah, Amerika Tengah dan lainnya. “Di Sarawak Malaysia, ada tempat yang bernama Uru Air, dimana awalnya hutan yang ada direncanakan untuk lokasi lahan tanam kelapa sawit. Kami masuk ke dalamnya dan meminta kepala adat setempat untuk mempertimbangkan kembali, bahkan juga menemui gubernur setempat”, ujar Hsu yang bersama dengan para relawan terus melakukan musyawarah, dan pada akhirnya mereka menyadari nilai penting sebuah hutan yang patut dilestarikan sumber daya alamnya.

Mata berbinar saat membahas topik memasak, sehingga meninggalkan kesan mendalam bagi pendengarnya.Mata berbinar saat membahas topik memasak, sehingga meninggalkan kesan mendalam bagi pendengarnya.

Kampanye Mengakar ke Generasi Muda

Di Taiwan, sekelompok anak muda dengan kekuatan yang ada, mencoba menjawab tren vegan dunia. Meja yang dipenuhi oleh hidangan vegetarian, adalah buah karya koki Feng Pei-ge, yang setelah lulus S2 jurusan Ilmu Makanan di National Ping­tung University of Science and Technology, sempat bekerja beberapa tahun di restoran vegetarian. Dengan mengandalkan kemampuannya sendiri, walau sempat gagal, namun perlahan ia mampu memadukan apa yang dipelajarinya di sekolah dengan bahan makanan yang sesungguhnya.

Kini, Feng Pei-ge selain menjadi guru bidang ilmu vegetarian, juga kerap muncul di layar TV untuk menunjukkan hasil karyanya. “Koki asing sangat pandai dalam hal penggunaan rasa pahit, sepat dan asam. Setelah dipelajari, ia menemukan bahwa rasa pahit dapat digunakan untuk mengeluarkan rasa sesungguhnya dan konvergensi bahan makanan. Rasa sepat digunakan untuk memuaskan dan memperkaya rasa makanan, sehingga terbentuk cita rasa makanan yang berbeda”, ujar Feng dengan mata berbinar saat membahas topik memasak, sehingga meninggalkan kesan mendalam bagi pendengarnya. Ini juga merupakan salah satu sikapnya menjawab tren vegan yang ada.

Di setiap sudut jalan di Taiwan, terdapat sekelompok anak muda yang mempromosikan makanan vegetarian dan hak asasi binatang.Di setiap sudut jalan di Taiwan, terdapat sekelompok anak muda yang mempromosikan makanan vegetarian dan hak asasi binatang.

Selain itu, ada sekelompok anak muda yang menyusuri hingga masuk ke setiap sudut lorong untuk mempromosikan konsep veganisme dan hak asasi binatang. Misalnya koordinator “Vegan 30 hari”, Wu Zhi-hui, menggunakan waktu senggangnya, mengeluarkan uang dan tenaga, mengumpulkan rekan yang sepaham dan melakukan promosi di jalanan, mulai dari utara hingga selatan Taiwan. Penasehat komunitas Animal Rights Club di National Taiwan University, Jessi Chang, bersama dengan Dai Yu-sheng yang baru lulus dari National Taiwan Normal University, menggelar diskusi di sekolah-sekolah, membuka gerai dan kegiatan berbagi makanan vegetarian dengan yang lain.

Pengorbanan yang dilakukan oleh anak-anak muda ini, adalah demi sebuah idealisme yang konsisten, untuk bisa merasakan energi generasi muda. Seiring dengan tren vegan yang mendunia, sekalipun dalam sebuah restoran bistik di Berlin Jerman, tetap tersedia menu vegetarian. Belakangan ini restoran vegetarian banyak bermunculan di Afrika Selatan. Negara tetangga, Korea Selatan, selain semakin banyak restoran vegetarian, juga dapat menemukan kegiatan vegan setiap bulannya di Seoul. Taiwan juga tidak ketinggalan ikut dalam tren ini, dan diharapkan mampu menjadi pendobrak revolusi hijau di kawasan Asia.