Kembali ke konten utama
Peradaban Konfusianisme Perayaan Seabad Professor Kung Teh-cheng
2019-06-17

“The Ultimate Confucian, Professor Kung Teh-cheng: A Centennial Celebration” dipamer megah di Bo-ai Gallery, National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall.

“The Ultimate Confucian, Professor Kung Teh-cheng: A Centennial Celebration” dipamer megah di Bo-ai Gallery, National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall.

 

Kung Teh-cheng adalah keturunan generasi ke-77 Konfusius dalam garis keturunan utama. Ia adalah orang terakhir yang dilantik menjadi Adipati Yansheng dan Pimpinan Sakrifisial Konghucu pertama, ia telah melewati berbagai tantangan masa dan mempertahankan ajaran kehidupan, menulis legenda sejarah.

 

The Ultimate Confucian, Professor Kung Teh-cheng: A Centennial Celebration, peringatan sekaligus pameran 100 tahun Kung Teh-cheng digelar megah pada 19 Januari 2019 di Convention Hall Gedung CPC dan Bo-ai Gallery di National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall.

Buku yang dirilis untuk ajang ini, The collected works of professor Kung Teh-cheng, adalah materi sejarah literatur yang terdiri dari koleksi tulisan, catatan harian dan kaligrafi. Proses pembuatan buku memakan waktu 3,5 tahun, dengan dana jutaan dolar Taiwan, fotografer terkemuka secara khusus diutus ke berbagai daerah di Daratan Tiongkok untuk membuat film dokumentasi “Legenda Kung Teh-cheng: Segelas arak dalam badai”, yang menjadi rujukan penting dalam penelitian tekstual.

Skripsi yang ditulis dengan tangan, karya Kung Teh-cheng di Chungching tahun 1940an, pertama kalinya dipamerkan untuk umum.Skripsi yang ditulis dengan tangan, karya Kung Teh-cheng di Chungching tahun 1940an, pertama kalinya dipamerkan untuk umum.

“Wan Ren Gon Qiang” Sambut Yang Agung

Matahari hangat di musim dingin, menyinari jalan Songren di Taipei. Terlihat Convention Hall Gedung CPC dipenuhi dengan tamu warga kelas atas dan tokoh masyarakat untuk mengenang jasa Kung Teh-cheng, di antaranya mantan Presiden Ma Ing-jeou, Wakil Walikota Taipei Teng Chia-chi, Kepala Departemen Urusan Sipil Kementrian Dalam Negeri Lin Ching-chi, Kepala Departemen Urusan Sipil Pemerintah Kota Taipei Lan Shih-chung serta perwakilan organisasi Konfusianisme (Ru Tao) dari Jepang dan Korea, yang terjalin dalam klan besar Konfusius.

Di Bo-ai Gallery di National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall, juga diadakan pameran khusus peringatan, antara lain kaligrafi Kaisar Kangxi yang dihadiahkan oleh Kung Family Mansion kepada National Palace Museum, pelbagai manuskrip berharga, serta dokumen atau catatan harian penting lainnya saat relokasi Chongqing. Selain itu, juga dipamerkan surat sertifikasi, cap pejabat, medali penghargaan, foto kenangan dan buku-buku bidang hukum. Gaun jubah bersulam '5 cakar naga' yang dipamerkan pertama kalinya untuk publik, adalah benda warisan Kung Family Mansion, yang diperkirakan dibuat pada masa dinasti Qing Kaisar Guangxu. Dipadukan dengan tasbih, giok, aksesoris saat menghadiri pertemuan berbahan turmalin dan berbagai perlengkapan pejabat. Semua ini menunjukkan strata tinggi Kung Family dan adipati K'ung Ling-I, ayah dari Kung Teh-cheng.

Film dokumentasi “Legenda Kung Teh-cheng” juga diputar di dalam kegiatan peringatan, dan di lokasi pameran. Film tersebut menceritakan kondisi di tahun 1990, kalender imlek tanggal 1 bulan 1. Penjagaan ketat dilakuan baik di dalam maupun di luar Kung Family Mansion yang terletak di Qufu, Shandong. Hingga muncul artefak nasional yang sangat berharga, mewarisi peninggalan sang agung berusia lebih dari 2.500 tahun, walau kerap berulang kali terdapat kendala, namun pada akhirnya mampu dipertahankan.

Cucu sulung generasi ke-79, Kung Tsui-chang melanjutkan posisi Pimpinan Sakrifisial Konghucu. Saat upacara pembukaan, ia tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap pihak yang telah ikut serta membantu, dan bersama mengemban tugas warisan mengembangkan ajaran Konfusianisme.Cucu sulung generasi ke-79, Kung Tsui-chang melanjutkan posisi Pimpinan Sakrifisial Konghucu. Saat upacara pembukaan, ia tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap pihak yang telah ikut serta membantu, dan bersama mengemban tugas warisan mengembangkan ajaran Konfusianisme.

Ini adalah kali pertama dimunculkan di publik, presiden Hsu Shi-chang yang memimpin di zaman pemerintahan Beiyang, menyematkan gelar Adipati Yansheng kepada Kung Teh-cheng. Gelar tersebut disematkan di saat ia masih kanak-kanak, dilahirkan dengan gelar Adipati, maka ia mengemban tugas dan tanggung jawab besar dalam melanjutkan ajaran Konfusius.

Tidak Bimbang di Tengah Desingan Peluru

Salah satu benda bersejarah yang juga sangat penting adalah sertifikat khusus yang dikeluarkan oleh pemerintahan nasional, di tahun 1935, Kung Teh-cheng menjadi generasi pertama Pimpinan Sakrifisial Konghucu, kala itu ia berusia 15 tahun dan mengambil sumpahnya di Nanjing.

Selembar surat nikah yang terjaga rapi, menjadi saksi pernikahan Kung Teh-cheng yang akhirnya menemukan tambatan hati setelah hidup dalam kesendirian sekian lama. 1 Januari 1938, Kung Teh-cheng mendapatkan instruksi untuk segera berangkat menuju selatan, sementara sang istri Sun Chi-fang yang tengah hamil tua, membuat dirinya serba salah. Namun untuk memutuskan semua kekhawatiran akan sebutan boneka politik, kondisi yang kalut tiada kesempatan untuk bimbang, Kung Teh-cheng segera berangkat meskipun malam telah tiba. Satu jam berlalu, pasukan Jepang telah mengepung wilayah Qusu. Keputusan yang diambil dalam sekejap ini, akan menentukan arah baru dalam catatan sejarah era tersebut.

Kung Teh-cheng, istri dan guru tua Lu Jin-shan, sekretaris Lee Bing-nan, semuanya berjumlah 8 orang, mempercepat perjalanan dalam kondisi penuh kekhawatiran. 3 hari kemudian tibalah mereka di Hangkou, selang 5 hari berikutnya, lahirlah putri pertama Kung Wei-e.

Setelah pindah ke Chungching, rumah mereka sempat dua kali dibom, hingga akhirnya hijrah ke gunung Geyue, barulah berhasil mendapatkan ketenangan di tengah kekacauan situasi yang ada. Tahun 1939, lahirlah putra pertama mereka, Kung Wei-yi

Lukisan “Villa Yulan”karya Wang Xiao-tang, diperkaya dengan puisi karya Tai Jing-nong, Zhang Jing, Dai Jun-ren, Qu Wan-li, Li Bing-nan dan Zhao An-nan, memikat perhatian manusia sekaligus mengembalikan memori lama.Lukisan “Villa Yulan”karya Wang Xiao-tang, diperkaya dengan puisi karya Tai Jing-nong, Zhang Jing, Dai Jun-ren, Qu Wan-li, Li Bing-nan dan Zhao An-nan, memikat perhatian manusia sekaligus mengembalikan memori lama.

Kehidupan Mengembara

Kung Teh-cheng yang belajar sendiri tanpa sempat menginjakkan kaki di sekolah, saat tiba di Taiwan, berhasil mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Sungkyunkwan University, Reitaku University dan National Taiwan University. Di bawah bimbingan para guru tersohor, seperti Wang Yu-hwa, Chuang Gai-lan,Wu Bo-xiao, dan Zhan Cheng-qiu, serta Lu Qing-shan dan Ding Wei-fen setelah pindah ke Gunung Geyue, Kung membangun fondasi pendidikan yang kokoh di bidang literatur Tionghoa klasik, seni sastra, puisi, artifak kuno, seni kaligrafi, bahasa Inggris dan alat musik guqin. Tahun 1948 ia melanjutkan pendidikan ke Amerika, di mana ia mulai mendapat pengaruh pendidikan kebudayaan barat, dan mulai mengapresiasi nilai-nilai demokrasi sipil. Selama masa pendidikannya, Kung juga menerima bimbingan dari Fu Ssu-nien, seorang guru pro Mongolia, yang dijunjungnya dalam hal pengajaran etika manusia.

Selama menggeluti bidang pendidikan, Kung Teh-cheng membiayai pembuatan film hitam putih bertema “Upacara dan Etika”, yang merepresentasikan sebuah terobosan personal. Mereka yang sempat ikut bermain dalam film tersebut, juga turut hadir dalam kegiatan pameran untuk mengenang jasa almarhum.

Kung Teh-cheng sangat mahir dalam menulis kaligrafi, hasil karyanya juga sudah tidak dapat terhitung jumlahnya, sehingga menjadi bagian yang sangat penting dalam pameran kali ini. Sebagai generasi penerus dari sang guru besar, sejak kecil Kung Teh-cheng bersikap telaten, menjalankan semua hal dengan lurus, bersungguh-sungguh dan berlatih diri. Dalam pameran ada kaligrafi 「忠信篤敬」yang berarti loyal dan hormat, mendeskripsikan semangat generasi penerus ke depannya.

Di tengah perputaran arus zaman, Kung Teh-cheng, menjadi sosok panutan pendidikan, sekalipun sempat diminta untuk menjadi kepala Yuan Penguji, pejabat Istana Kepresidenan, pejabat urusan luar negeri, Ia masih tetap mempertahankan tradisi yang dimilikinya.

Saat awal ketibaannya di Taiwan, Kung Teh-cheng sempat melakukan perjalanan beberapa kali ke Jepang, Korea, Eropa, Amerika, untuk memimpin upacara Seokjeonje. Tahun 1984 ia melakukan dialog dengan Paus Yohanes Paulus II dari Vatikan, yang menjadi sebuah pertemuan penting religius timur dan barat.

Tahun 1949, seiring dengan hijrahnya pemerintah ke Taiwan, maka benda yang tersimpan dalam National Palace Museum, Perpustakaan Pusat di Nanjing dan Museum Pusat di Nanjing, ikut dipindahkan ke Taiwan. Tahun 1955, dibangunlah gudang penyimpanan artefak di Beigou Wufeng, yang diisi dengan berbagai benda peninggalan yang ada di Kung Family Mansion dari Qufu. Yang kemudian diubah menjadi Badan Gabungan National Palace Museum, dimana selanjutnya Kung Teh-cheng menjadi Kepala Badan tersebut.

Dalam menjalankan tugasnya, semua artefak diinventarisasi dan diklasifikasikan sesuai dengan masa dan proses pembuatannya. Pada masa tersebut, Kung Teh-cheng sempat menggelar pameran lintas negara di Amerika, yang sempat mencengangkan dunia, dan turut mendorong upaya penggalangan dana bantuan pembangunan National Palace Museum di Waishuanghsi Shihlin, Taipei.

Seumur hidupnya, Kung Teh-cheng tak pernah berhenti menulis, disiplin dan selalu belajar. (Foto: Li Pei-hui)Seumur hidupnya, Kung Teh-cheng tak pernah berhenti menulis, disiplin dan selalu belajar. (Foto: Li Pei-hui)

Konfusianisme Tumbuh Bersemi

Mulai dari pagelaran pameran bersama di Chinese Association of Confucius, Departemen Urusan Sipil Pemkot Taipei, Kuil Konfusius Taipei dan National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall, semuanya menyuguhkan kehidupan Kung Teh-cheng.

Kung Teh-cheng sempat mengajar mata pelajaran “3 norma”, “Inskripsi perunggu” dan “Instrumen perunggu Yin Zhou” di National Taiwan University, National Taiwan Normal University, National Chung Hsing University, Fu Jen University dan Soochow University. Bagi anak didik seperti Tseng Yong-yih, Chang Ching-ming, Huang Chi-fang dan Yeh Kuo-liang, Kung Teh-cheng adalah guru yang disiplin dan seorang ayah yang bijak.

Kung Teh-cheng sangat ramah terhadap orang lain, namun sangat disiplin terhadap diri sendiri. Ia kerap mengundang anak didiknya yang kurang mampu untuk makan bersama setelah pulang sekolah, agar mereka dapat mengonsumsi makanan yang baik dan kenyang. Namun ia sendiri sangat irit dan sederhana, menurut Kung Teh-cheng sebutir bakpao mantou sudah cukup.

Tahun 1984, Kung Teh-cheng bertandang ke 8 negara di Eropa, berdiskusi dengan Ioannes Paulus PP. II dari Vatikan, dimana pertemuan dua sosok besar dari timur dan barat, menjadi cerita monumental. (Foto: Chinese Association of Confucius)Tahun 1984, Kung Teh-cheng bertandang ke 8 negara di Eropa, berdiskusi dengan Ioannes Paulus PP. II dari Vatikan, dimana pertemuan dua sosok besar dari timur dan barat, menjadi cerita monumental. (Foto: Chinese Association of Confucius)

Segelas Arak Dalam Badai

Saat Kung Teh-cheng berusia 69 tahun, putra sulungnya meninggal dunia, menjadikan yang tua menghantar kepergian yang muda, meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat di dalam hati. Air mata yang jatuh berlinang menggambarkan, hatinya yang terkoyak  di depan sanak saudaranya.

Dalam pameran ada sebuah sketsa bekas goretan tulisan, penuh dengan catatan harian yang mendeskripsikan kisah pilu akan kepergian kakak sulung perempuannya. Sepasang tulisan kaligrafi yang bertema “Segelas arak dalam badai, kerinduan kampung halaman nun jauh”, dipersembahkan kepada kakak perempuan keduanya yang terpisah 42 tahun lamanya. Ini juga menunjukkan kepasrahan hati dan kehidupan Kung Teh-cheng yang penuh dengan gejolak.

Kung Teh-cheng yang merupakan penulis Tiga Buku tentang Norma, menggunakan masa hidupnya untuk mengukir sejarah. Diam-diam ia bersiteguh dalam perjalanan hidupnya: Seorang cendekiawan harus mencari pemahaman tentang Langit, dan memberikan prinsip-prinsip yang diperolehnya kepada masyarakat, untuk digunakan sebagai acuan dalam pemerintahan. 3 tahun setelah Kung Teh-cheng meninggal, posisi Pimpinan Sakrifisial Konghucu dilanjutkan oleh cucu sulung generasi ke-79, Kung Tsui-chang, sekaligus melanjutkan impian yang diwariskan sang kakek.Ia berangkat untuk menapaki jalan sepanjang 1.300 meter di Kuil Konfusius Qufu, sebuah jalan yang pernah dijalani 60 tahun silam oleh Kung Te-cheng, untuk menggambarkan filosofi konfusius, tradisi pendidikan, serta nilai-nilai yang tidak lenyap ditelan zaman, dan masih terus bergema di masa modern.