Kembali ke konten utama
Kamaro’an Tinggallah Di sini! Kerajinan Anyaman Rumput Payung Terlahir Kembali
2019-08-26

Kolaborasi kerajinan tangan dan seni desain membuat lampu hias Riyar Light populer di dunia internasional.

Kolaborasi kerajinan tangan dan seni desain membuat lampu hias Riyar Light populer di dunia internasional.

 

Ini adalah sebuah cerita tentang simpul anyaman, berawal dari restorasi sawah terasering dan tanaman rumput payung yang dilakukan oleh pegiat seni Sumi Dongi, dia dipertemukan dengan Tipus Hafay, seorang konsultan industri di kawasan Hualien-Taitung, lalu membentuk tim desain bersama perancang Shane Liu dan Chang Yun-fann, semua mata rantai ini terjalin menyatu menjadi cahaya penerang “Riyar Light” yang sederhana namun modern, bercerita tentang riwayat merek Kamaro’an.

 

Kolaborasi karya seni dan desain dari Riyar Light telah mendapatkan pengakuan internasional, karya dengan desain berelemen kearifan lokal yang mereka produksi berhasil meraih penghargaan “Raising Asian Talents” pada pameran Desain Interior Perancis Maison et Objet tahun 2017. Dalam pameran di Eropa, para pengunjung bisa mendengar kata-kata seperti elegan, puitis, skulptural dan otentik digunakan oleh para pengamat seni untuk menggambarkan desain Kamaro'an. Produk Riyar Light juga menjadi buah tangan yang dibawa oleh Presiden Tsai Ing-wen saat melakukan kunjungan diplomatik, sehingga keindahan kerajinan tangan Taiwan bisa dikenal oleh masyarakat dunia internasional.

Di taman kreatif Taipei’s Huashan 1914 area W6 terdapat gerai “The Winds of the Pacific”, di dalamnya ada dua orang gadis penduduk asli suku Amis yaitu Ngodo dan Nacu sedang berkonsentrasi dengan mata terfokus pada pekerjaan menganyam. Ngodo menggunakan teknik anyaman dari suku Amis metode “Seutas benang sampai selesai” membuat pegangan berbahan rotan untuk tas jinjing berbentuk segitiga. Sementara Nacu duduk di depan bangku anyam berukuran 150 cm x 12 cm, di atas bangku ada cekungan selebar 1 cm difungsikan untuk mengunci bandul pemberat agar stabil, sekaligus mencegah agar anyaman tidak miring. Dua sisi tali anyaman masing-masing diikat pada satu bandul pemberat, ada seikat rumput payung yang telah dikeringkan di atas paha Nacu, Nacu mengambil 2 bilah rumput payung, diikat di atas bangku anyam, kemudian dengan tali kertas membuat simpul silang menghimpit potongan rumput, bandul pemberat dimanfaatkan untuk menekan anyaman rumput.

Sambil menganyam, Nacu berkata, “Ini adalah metode anyaman tikar jerami, semasa kecil setiap keluarga memiliki bangku anyam ini, kami semua pernah melihat nenek menganyam tikar jerami…. Kemudian kami belajar membuat lampu Riyar Light, walaupun mempunyai bahan rumput payung, tetapi tidak memiliki bangku anyam, akhirnya saya meminjam bangku dengan tante Sumi.”

Ide Sumi Dongi mengatasi masalah rumput payung yang lembab dan mudah berjamur adalah dengan cara menguliti batang rumput payung, kemudian dijemur di bawah matahari. (Sumber foto: Kamaro’an)

Ide Sumi Dongi mengatasi masalah rumput payung yang lembab dan mudah berjamur adalah dengan cara menguliti batang rumput payung, kemudian dijemur di bawah matahari. (Sumber foto: Kamaro’an)

 

Mencari yang Hilang

Yang terlupakan bukan hanya bangku untuk menganyam tikar jerami saja, tetapi seiring dengan perubahan gaya hidup di tengah perkampungan Makotaay desa Fengbin kabupaten Hualien, banyak keindahan panorama yang berangsur-angsur menghilang dan mulai tergantikan, seperti terputusnya sumber air petak sawah hingga menjadi semak belukar atau hilangnya pemandangan wanita-wanita di perkampungan menganyam tikar jerami di saat waktu santai .

Selama bertahun-tahun Sumi bersama penduduk asli aktif merestorasi kearifan lokal, akan tetapi selalu ada dilema dalam benak pikirannya, ketika terjadi perang suku orang-orang saling merebut lahan garapan, lahan yang tersedia untuk bercocok tanam malah tidak dimanfaatkan dan disia-siakan. Sumi memutuskan untuk merestorasi sawah terasering, dan menghidupkan kembali tanaman air rumput payung (Cyperus Alternifolius) dan swamp leaf (Limnophila Rugosa), yang menghiasi panorama jalan tol lintas propinsi nomor 11 bagaikan lautan sawah kuning keemasan dan masih ada kerajinan tangan suku Amis anyaman tikar jerami yang menghidupkan kembali pemandangan perkampungan Makotaay.

Rumput payung terkenal karena bentuknya menyerupai kerangka payung, batang rumput ini lurus tanpa ruas, tinggi rumput bisa mencapai 3 meter, suku Amis menggunakan rumput payung sebagai bahan baku membuat anyaman tikar jerami. Sumi mengenang kembali, musim panas di bulan Juni dan Juli, setiap rumah penduduk pada satu sisi menjemur milet, di sisi lainnya menjemur rumput payung atau sambil menganyam tikar jerami. pada musim panas masyarakat tidak tidur dalam rumah, namun menggelar tikar di luar dan tidur berselimut langit. Dahulu, di tepi sawah masih ada Daruan (pondok kecil tempat beristirahat), bagi warga perkampungan pengantin baru akan membawa tikar jerami ke Daruan dan bermesraan di sana. Sumi mengatakan, “Rumput payung menjadi bagian estetika kehidupan komunitas perkampungan dan tidak terpisahkan dalam kehidupan.”

Setelah memulihkan kembali tanaman air rumput payung, Sumi menghabiskan banyak waktu berpikir secara mendalam fungsi dan manfaat lain dari tanaman ini, kemudian membangun industri lokal untuk membawa kesempatan kerja yang stabil di perkampungan. Proses pengerjaan anyaman tikar jerami sangat sederhana akan tetapi sebelum diolah perlu dikeringkan dengan proses penjemuran di bawah terik matahari selama 3 bulan, memastikan kondisi kering secara menyeluruh, bilah rumput baru bisa dipakai dan dianyam. Karena suhu Taiwan basah dan lembab maka harus dijemur hingga kering seluruhnya untuk menghindari rumput payung ditumbuhi jamur.

Setelah melalui berbagai upaya, Sumi terinspirasi dengan teknik pengambilan kulit rotan yang dilakukan suku Amis, bahan yang dipakai adalah kulit batang, menguliti dan mengangkat pembuluh pengangkut air, kemudian bilah rumput payung dijemur di bawah terik matahari, cara pengolahan demikian baru dapat memaksimalkan bahan baku. Sumi juga mencoba mempelajari teknik menganyam tradisional suku Amis, mengumpulkan wanita-wanita komunitas perkampungan untuk bergabung dalam kelompok pengrajin anyaman dan mewariskan teknik menganyam ala suku Amis.

Sumi Dongi merestorasi kerajinan rumput payung, dan menemukan kembali seni kerajinan tangan tradisional milik suku Amis

Sumi Dongi merestorasi kerajinan rumput payung, dan menemukan kembali seni kerajinan tangan tradisional milik suku Amis

 

Perjumpaan Dengan Desain Kontemporer

Pada awalnya Chang Yun-fann dan Shane Liu mengikuti Tung Fang-wu, dosen pengajar National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) menjelajahi perkampungan ini. Selama beberapa tahun mereka mendapatkan subsidi untuk menggalakkan program keterampilan seni, dan berkat upaya dari kalangan akademis, pegiat sastra dan sejarah serta penduduk asli, kebudayaan dan kesenian perkampungan setempat terangkat kembali, akan tetapi kerap kali di saat hasil mulai berbuah, kemudian masa program berakhir sehingga sumber daya tidak lagi berkelanjutan. “Banyak temuan baru tentang budaya dan cerita, tetapi masalah selanjutnya adalah bagaimana cara mengkomersialisasikan”, ujar Chang Yun-fann sambil menjelaskan kesulitan yang sedang dihadapi oleh tim kerjanya.

Lin Yi-rung alias Tipus Hafay berasal dari suku Amis dan lahir di perkampungan Nataoran, ia menikah dan menjadi menantu di perkampungan Makotaay. Setelah lulus dari National Taiwan University Graduate Institute of Building and Planning, ia bekerja di Taipei selama lebih dari 5 tahun, hingga akhirnya ia berkesempatan bekerja di kampung halaman, dan berkontribusi sebagai mentor bisnis industri tradisional di kawasan Hualien-Taitung.

Berdasarkan rujukan yang disampaikan Tipus, awalnya tim riset pengembangan dari National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) memasuki perkampungan Makotaay, pada tahun pertama memilih bekerja sama dengan pelaku industri kayu terapung, selama 1 tahun berjalan baru disadari karya seni tidak dapat dibandingkan dengan produk komersial, seniman berorientasi pada karya seni bukan menghasilkan produk. Pada tahun kedua mereka mengubah menjadi metode kerjasama kerajinan tangan, “Karya condong sebagai produk beratribut desain seni, produk yang menjadi kebutuhan masyarakat, banyak orang bisa menganyam, ketrampilan seni ini tidak memiliki standar yang tinggi,” tutur Chang Yun-fann sambil menjelaskan. Sumi dengan seksama menelaah bilah rumput payung dengan kearifan lokal Taiwan dan membentuk satu tim kerja. Sumi mengutarakan, “Rumput payung tidak tahan basah, lampu hiasan dapat memancarkan panas, dikreasikan menjadi lampu hiasan adalah cara terbaik mencegah bilah rumput lembab dan berjamur.”

Tim perencanaan mempelajari dari tahap awal, bahkan menetap lama di perkampungan, hidup bersama penduduk asli, mengobrol, bercocok tanam, menangkap ikan ataupun hal lainnya yang tidak terbantukan, akan tetapi mitra kerja tim selalu bersikap optimis mempelajari dan memahami gaya hidup nyata dari komunitas perkampungan. Mereka dengan mata kepala sendiri menyaksikan metode pengolahan bilah rumput payung kering dan anyaman yang dilakukan oleh Sumi, memerlukan waktu untuk memahami teknik anyaman serta masih banyak hal yang dapat dikembangkan.

Kamaro’an menggunakan metode “Redesain”, untuk mengangkat kisah budaya yang terimplisit dalam produk seni, agar keindahan kerajinan tangan perkampungan dapat memukau dunia internasional.

Kamaro’an menggunakan metode “Redesain”, untuk mengangkat kisah budaya yang terimplisit dalam produk seni, agar keindahan kerajinan tangan perkampungan dapat memukau dunia internasional.

Shane Liu mengatakan, “Tinggal di perkampungan, kami setiap hari menyaksikan gunung, laut, tanpa terasa membuat sesuatu yang berbentuk ombak (Riyar Light) setiap sudut tidak sama, menyerupai gelombang ombak yang berkesan penuh irama.” Mengadopsi satu pola berbentuk belah ketupat ditambah dengan dua pola setengah lingkaran, desain lampu hiasan Riyar Light sederhana dan modis, setelah bilah rumput payung menyerap sinar matahari Hualien-Taitung, disusun berpilin-pilin menyerupai bentuk ombak, desain demikian mengandung makna keasrian alam Hualien-Taitung, akan tetapi perancang secara khusus menutupi agar tidak berkesan gaya suku aborigin, yang dapat dipasang di setiap ruangan yang berkarakter. Aneka produk kreatif seperti lampu hiasan berputar, tempat kartu nama, rak kecil selalu mengadopsi desain sederhana yang dapat digunakan untuk mendekorasi meja.

“Pada dasarnya produk kami bukan barang sensasional, dengan pola desain yang sedikit namun sempurna. Untuk mencapai sasaran ini, sebenarnya memakan banyak waktu”, tutur Shane Liu. Untuk menjaga keseimbangan antara tampilan seni anyaman dan kuantitas permintaan di masa mendatang, dengan kemahiran perancang membuat desain di bagian produk yang paling menyolok, sementara bagian lainnya hanya disesuaikan dengan mode spesifikasi demi menghemat biaya.

Karya lampu hias Riyar Light dari bentuk embrio hingga prototipe mengalami perkembangan kedewasaan secara bertahap, kami juga beranggapan untuk mencoba memasarkan serangkaian produk berbahan rumput payung, dipromosikan melalui website urun dana atau crowdfunding “Zeczec” dengan merek Kamaro’an. Tipus mengatakan, “Pada masa itu hal yang menjadi pikiran kami sangat sederhana, yakni dengan penggalangan dana jika ada yang membeli maka menandakan produk ini berpeluang untuk dipasarkan, namun jika tidak terjual juga tidak apa-apa, menunggu hingga masa penggalangan dana di website zeczec berakhir.”

Pada masa tersebut mereka menetapkan sasaran penggalangan dana sebesar NT$ 200.000, tanpa diduga sasaran sudah tercapai hanya dalam waktu 12 hari.

Shane Liu (kiri) dan Chang Yun-fann (kanan) bereksperimen mengadopsi desain untuk melahirkan kembali keterampilan tradisional.

Shane Liu (kiri) dan Chang Yun-fann (kanan) bereksperimen mengadopsi desain untuk melahirkan kembali keterampilan tradisional.

 

Kamaro’an Tinggallah Di Sini!!

Kamaro’an, sapaan yang diucapkan penduduk asli suku Amis yang berarti “Silakan duduk!”, makna kehidupan yang sangat mengesankan. Lebih lanjut Chang Yun-fann menjelaskan, arti lain dari kata Kamaro’an adalah “Tinggallah di sini!”, “Jika merek ini menggapai kesuksesan, diharapkan mampu menciptakan kesempatan kerja agar generasi muda pulang kampung dan berkarya.” Inilah harapan besar di balik merek ini.

Kesuksesan Kamara’on untuk penggalangan dana melalui website zeczec pada tahun 2015, setelah mendapat pesanan, malah sekarang dihadapkan dengan permasalahan kuantitas produksi serangkaian produk rumput payung. Semenjak awal Sumi sudah mempersiapkan program penggalangan dana dan menghimpun rumput payung, menyimpan persediaan bahan baku, akan tetapi bilah rumput payung perlu dikeringkan dengan penjemuran di bawah terik matahari selama musim panas, maka waktu produksi sangat terbatas dan tidak dapat diproduksi dalam jumlah banyak. Ide dari mitra generasi muda untuk mengatasi dan menghemat waktu adalah menggunakan mesin pengering, akan tetapi mesin pengering hanya dapat mengontrol tingkat kelembaban pada batang rumput dan tidak dapat dikeringkan secara optimal. Ada kejadian sebagian lampu Riyar Light lembab dan berjamur karena proses pengeringan tidak maksimal, apa boleh buat terpaksa barang tersebut dimusnahkan dengan dibakar. Saat itulah Sumi baru menyadari pengolahan bilah rumput payung kering harus menyerap sinar matahari, waktu penjemuran dua kali lipat lebih lama daripada diolah dengan mesin pengering serta baru dapat dipastikan bilah rumput kering secara menyeluruh.

Menghadapi liku-liku perjalanan dalam proses pembuatan produk dengan bahan dasar rumput kering hingga tahun 2016 baru mulai berjalan dengan lancar, mulai membangun metode kerjasama dengan komunitas perkampungan, mengupayakan pemasukan untuk warga perkampungan, membangun lini produksi yang dipegang oleh warga perkampungan. 40% profit penjualan setiap buah lampu hias Riyar Light akan disisihkan untuk pendanaan inovasi lokal, diharapkan adanya adopsi budaya, di masa depan masih dapat dimanfaatkan untuk membangun industri lokal perkampungan, memberikan kesempatan kerja yang stabil serta budaya terwariskan.

Kamaro’an mencoba berpartisipasi dalam pameran di luar negeri, selama lebih dari dua tahun beberapa negara yang dikunjungi seperti Perancis, Jepang, Bangkok, Hongkong, Milan, Frankfurt dan tempat-tempat lainnya, promosi internasional berhasil mendapat pemesanan dari Perancis, Italia, Spanyol; Melalui ajang pameran internasional, Kamaro’an mendapat undangan dari Museum of Modern Art di New York untuk memasarkan tas anyaman segitiga, hal ini membuktikan kemahiran desain dan kerajinan tangan Taiwan telah diakui oleh dunia internasional.

Di dalam gerai produk “The Winds of the Pacific” Anda bisa menyaksikan karya seni anyaman, lampu hias Riyar Light buatan tangan-tangan generasi muda suku Amis

Di dalam gerai produk “The Winds of the Pacific” Anda bisa menyaksikan karya seni anyaman, lampu hias Riyar Light buatan tangan-tangan generasi muda suku Amis

 

Toko Produk Pilihan MIT Hualian-Taitung “The Winds of the Pacific”

Pada tahun 2017 Kamaro’an membuka gerai “The Winds of the Pacific” di taman kreatif Taipei’s Huashan 1914 dan menjual produk gaya hidup pilihan. Mitra Kamaro’an secara pribadi mengunjungi studio kerja yang terselubung di lorong jalan dan gang di kecamatan dan desa Hualien-Taitung untuk mencari produk berbahan alami tanpa proses pengolahan berlebihan, melalui kriteria standar pemilihan produk yang ketat dan kombinasi kontekstual yang dikembangkan para desainer maka terciptalah produk gaya hidup yang dicari Kamaro’an.

Hasrat Kamaro’an adalah memiliki toko agar dapat berinteraksi dengan para konsumen secara langsung serta mengamati apa yang disukai mereka. Lagipula banyak yang belum memahami tentang rumput payung, setiba di toko maka calon pembeli dapat melihat dan merasakan secara nyata anyaman bilah rumput payung. Shane Liu menjelaskan, beberapa tahun terakhir ini semakin banyak toko menjual produk gaya hidup pilihan, namun gerai “The Winds of the Pacific” yang hanya menyediakan produk buatan Taiwan masih sangat langka, taman kreatif Taipei’s Huashan 1914 banyak dikunjungi pelancong asing yang mencari produk buatan Taiwan (Made in Taiwan) dan Kamaro’an menjadi pilihan kesukaan mereka.

“The Winds of the Pacific” juga menyisihkan sepetak ruang kosong yang difungsikan sebagai area display produk kerajinan tangan Hualien-Taitung, tidak hanya produk dagangan yang diperlihatkan di dalam gerai, tetapi ada makna terimplisit dalam ruangan yang mampu memberikan nuansa segar bagi konsumen, agar merekakala akan berkunjung kembali. Melihat produk yang disukai, mengeluarkan uang dari dompet, berbelanja produk yang disukai, inilah bagian dalam kehidupan.

Ada pandangan konsumen yang menyukai gaya penataan toko menyebutkan “Sangat orisinal”, “Semua adalah produk kebutuhan yang dibuat tanpa berlebihan”. Mendengar penuturan demikian membuat Shane Liu merasa senang sekali, ia menyadari cara demikian berjalan dengan benar dan akan terus dilanjutkan. Tanpa menonjolkan simbol totem dari penduduk asli, bukan cenderamata wisata, Kamaro’an menonjolkan cerita budaya yang terselubung dalam produknya, layanan santai diberikan kepada konsumen agar mereka dapat mengeksplorasi dan merasakannya.

Ide awal Kamaro’an adalah sebuah harapan kekuatan artisitik yang muncul dalam beberapa tahun terakhir ini dapat bertransformasi menjadi industri budaya lokal, membuka kesempatan bagi generasi muda berkarya di kampung halaman. Di masa mendatang, Tipus mengharapkan melalui produk bermerek semakin banyak generasi muda terjun belajar membuat keragaman karya seni, “Kurangnya masa berinteraksi dengan komunitas perkampungan maka merek produk ini akan labil,” ujar Tipus. Jika generasi muda mempelajari teknik tradisional dari para pemimpin suku, dan melestarikannya, maka mereka akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan teknik tersebut di masa yang akan datang. Sedangkan desain mungkin dapat menjadi sebuah orientasi dan alat untuk membuat hasil karya seni menjadi budaya yang hidup.