Kembali ke konten utama
Koki Taiwan Raih Penghargaan Kuliner Tertinggi di Selandia Baru
2019-09-11

Tahun lalu hanya ada empat buah restoran di seluruh Selandia Baru yang berhasil mendapatkan tiga topi chef, dan salah satunya adalah restoran “Clooney” di mana seorang koki asal Taiwan, Li Hsin-nan, bekerja sebagai kelapa koki. Li Hsin-nan adalah orang Taiwan pertama yang menerima kehormatan tertinggi dunia kuliner Selandia Baru tersebut.

Tahun lalu hanya ada empat buah restoran di seluruh Selandia Baru yang berhasil mendapatkan tiga topi chef, dan salah satunya adalah restoran “Clooney” di mana seorang koki asal Taiwan, Li Hsin-nan, bekerja sebagai kelapa koki. Li Hsin-nan adalah orang Taiwan pertama yang menerima kehormatan tertinggi dunia kuliner Selandia Baru tersebut. (Foto oleh CNA)

 

Pemeringkatan kuliner “Good Food Awards” di Selandia Baru yang diselenggarakan oleh majalah “Cuisine”, sering disebut sebagai Michelin-nya belahan bumi selatan. Metode evaluasi yang mereka lakukan agak mirip dengan Michelin, hanya saja dalam memberikan peringkat mereka tidak menggunakan simbol “bintang”, tetapi simbol “topi Chef” (hats). Level terendah dimulai dari satu topi chef, dan level tertinggi tiga topi chef. Mendapatkan tiga topi chef adalah bentuk penghargaan kuliner tertinggi di Selandia baru, yang bisa disetarakan dengan peraihan tiga bintang Michelin.  
 
Tahun lalu hanya ada empat buah restoran di seluruh Selandia Baru yang berhasil mendapatkan tiga topi chef, dan salah satunya adalah restoran “Clooney” di mana seorang koki asal Taiwan, Li Hsin-nan, bekerja sebagai kelapa koki. Li Hsin-nan adalah orang Taiwan pertama yang menerima kehormatan tertinggi dunia kuliner Selandia Baru tersebut.  
 
Beberapa waktu yang lalu, Li Hsin-nan kembali ke Taiwan dan bekerja sebagai koki tamu di hotel Regent Taipei, dan ketika menjadi narasumber di Regent Academy, ia mengatakan ia mengawali karirnya di dunia kuliner sebagai petugas cuci piring. 
 
Setelah lulus dari sekolah dasar, Li Hsin-nan melanjutkan pendidikan ke Singapura. Namun demikian, ia bukanlah tipe orang yang suka belajar, sehingga ia ditempatkan di kelas peserta didik yang memiliki kemampuan akademis rendah dan mulai membolos, hingga akhirnya berhenti sekolah. Saat itu, wali kelas Li Hsin-nan bahkan mengatakan bahwa dirinya tidak akan mempunyai masa depan.
 
Setelah berhenti sekolah, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Selandia Baru. Pada mulanya, sama seperti siswa SMA pada umumnya, ia berencana untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas, tetapi satu semester sebelum lulus, sang ayah meninggal dunia dan hal tersebut merubah hidupnya secara drastis.
 
Li Hsin-nan kemudian memutuskan untuk mengejar impiannya, yaitu dengan menjadi seorang koki. Mendengar hal tersebut, sang ibu menangis dan mempertanyakan mengapa menyekolahkan Li Hsin-nan ke luar negeri malah membuatnya ingin menjadi koki.
 
Li Hsin-nan mulai mencari pekerjaan sebagai koki di Selandia Baru, tetapi karena tidak memiliki pengalaman dan latar pendidikan kuliner, tidak satu pun restoran mau menerimanya. Hingga akhirnya koki kepala dari sebuah restoran terkenal mengatakan kepadanya untuk memulai dari bawah, yaitu sebagai petugas cuci piring.  
 
Pada tahun 2001, Li Hsin-nan secara resmi memulai karirnya dalam dunia kuliner. Pada suatu hari restoran tempatnya bekerja sangat kewalahan karena kekurangan tenaga, dan Li Hsin-nan diminta untuk membantu sebagai petugas memotong sayur. Saat itulah, ia mulai berkesempatan untuk mempelajari teknik-teknik memasak.
 
Kemudian ia kembali ke Taiwan, lalu ke Jepang, Perancis, dan Australia untuk memperdalam kemampuannya di bidang kuliner. Ia bahkan sempat berguru kepada koki terkenal Perancis, Joel Robuchon, dan koki terkenal Australia, Mark Best.
 
Saat ini, Li Hsin-nan dikenal sebagai koki yang gemar mengombinasikan seni kuliner dan masakan Taiwan ke dalam hasil karyanya. Ia mengatakan teknik tersebut baru dikembangkannya sekitar 1-2 tahun yang lalu. Li Hsin-nan menjelaskan ketika ia masih muda, ia ingin lari dan meninggalkan lingkungan tempat ia beranjak dewasa. Oleh karena itu, ia menimba ilmu ke luar negeri, tetapi beberapa tahun terakhir, ia mulai berkeinginan untuk memasukkan unsur-unsur budaya dari lingkungan tempat ia beranjak dewasa ke dalam makanan hasil karyanya.
 
Li Hsin-nan mengatakan, “Taiwan memiliki kebudayaan tradisional tersendiri, yang merupakan jati diri Taiwan. Misalnya, banyak tempat jajanan dan restoran di Taiwan yang menyediakan berbagai macam masakan Tionghoa. Selain itu, masih ditambah dengan seni dan keahlian kuliner yang dibawa oleh generasi muda ke Taiwan setelah menimba ilmu di luar negeri. Semuanya ini telah turut memperkaya dunia kuliner Taiwan. Di masa yang akan datang, budaya kuliner Taiwan pasti akan semakin dikenal luas oleh dunia internasional, dan saya sangat menantikan datangnya hari itu.”