Kembali ke konten utama
Taiwan Deklarasikan Perang Melawan Penangkapan Ikan Ilegal Kolaborasi Pemerintah dan Swasta demi Perikanan Berkesinambungan
2019-10-28

Sejak mulai mengembangkan perikanan laut lepas pada tahun 1970-an, Taiwan telah berkembang menjadi salah satu negara besar dalam hal tangkapan ikan di perairan internasional.

Sejak mulai mengembangkan perikanan laut lepas pada tahun 1970-an, Taiwan telah berkembang menjadi salah satu negara besar dalam hal tangkapan ikan di perairan internasional.
 

Taiwan adalah negara perikanan terbesar ke enam di dunia dalam hal penangkapan ikan di perairan internasional. Dengan hasil penangkapan melampaui 700.000 metrik ton, di mana lebih dari 80% dari tangkapan tersebut diekspor, industri perikanan menghasilkan pendapatan devisa sebanyak NT$ 30 miliar per tahun.

Sebagai pengakuan terhadap upaya pengelolaan perikanan di Taiwan, Komisi Eropa mencabut kartu kuning tanda peringatan untuk Taiwan pada Juni 2019. Sebulan kemudian, Taiwan bergabung dengan Perjanjian Perikanan Samudra Hindia Selatan (Southern Indian Ocean Fisheries Agreement/SIOFA). Semua ini menampilkan tekad Taiwan untuk terus berupaya demi kesinambungan sumber daya perikanan laut lepas Samudra Hindia.

Menangani terus berkurangnya sumber daya laut, pemerintah Taiwan bertindak tegas dalam mengimplementasikan tiga undang-undang perikanan laut lepas dengan standar yang sama ketatnya dengan regulasi Uni Eropa (EU), meneruskan pemberantasan penangkapan ikan ilegal, dan melaksanakan kewajiban melindungi laut dengan kapasitasnya sebagai negara perikanan besar di dunia.

 

Di suatu fajar, saat pergantian musim semi dan panas, cuaca terasa sejuk di dermaga barat Pelabuhan Perikanan Qianzhen di Kaohsiung. Pukul 8:00 pagi, sebuah kapal reefer yang mengangkut hasil tangkapan 24 kapal penangkap ikan Taiwan dari Mauritius di Samudra Hindia, mulai membongkar muatannya.

Ikan tuna mata besar (Bigeye) dan Madidihang atau tuna sirip kuning (Yellowfin) dikeluarkan dari lemari es bersuhu -50°C. Kabut putih mengepul dari lapisan embun beku di tubuh ikan di suhu ruangan 20°C. Pekerja bongkar muat dengan terampil memindahkan tuna bigeye seberat puluhan kilogram ke kontener berpendingin. Setelah ditimbang, ikan-ikan ini akan dikirim ke Jepang.
 

Menurut statistik FA, Taiwan adalah negara perikanan 20 besar di dunia. Foto ini memperlihatkan Su'ao, sebagai salah satu pelabuhan besar bagi penangkapan ikan laut lepas.

Menurut statistik FA, Taiwan adalah negara perikanan 20 besar di dunia. Foto ini memperlihatkan Su’ao, sebagai salah satu pelabuhan besar bagi penangkapan ikan laut lepas.
 

Berantas Penangkapan Ikan Ilegal

Selain pembeli, sekelompok petugas Direktorat Jenderal Perikanan (Fisheries Agency/FA) juga dengan cermat mengawasi ikan-ikan ini. Pemimpin kelompok enam inspektur ini adalah Yi Zhi-jian, yang telah bekerja sekitar enam hingga tujuh tahun di FA. Mereka tiba di lokasi sebelum pembongkaran dimulai dengan dua set kamera untuk mendokumentasikan seluruh proses. “Kami mengerahkan begitu banyak orang karena kapal reefer ini memindahkan hasil tangkapan dari begitu banyak kapal nelayan ke Taiwan,” jelas Yi. “Dalam proses pembongkaran, ikan-ikan ini dibagi dan dimasukkan ke dalam kontener berpendingin yang berlainan. Kita perlu memastikan bahwa angkutan ini telah ditimbang dengan benar, dan bahwa jumlah spesies – baik itu tuna mata besar dari Samudra Pasifik atau tuna sirip kuning dari Samudra Hindia – tidak melampaui kuota.”

Para inspektur pertama-tama memeriksa apakah nomor urut internasional dan nama Mandarin serta Inggris kapal sesuai dengan dokumen aplikasi, untuk memastikan tidak ada ‘penipuan identitas’. Sementara itu, sekelompok inspektur lain memeriksa kunci kontener, kemudian membukanya dan mengecek apakah ada spesies terlarang seperti hiu koboi dan hiu sutra.

Setahun lalu, Yi masih bekerja sebagai pengamat di FA, bertugas melaut dengan kapal penangkap ikan laut lepas Taiwan, biasanya sepanjang enam bulan hingga satu tahun sekali berlayar. Begitu kapal mulai menebar jala, pengamat mulai mencatat tentang spesies, panjang dan berat ikan yang ditangkap. Selain menyediakan data untuk akademisi dan industri yang dapat digunakan untuk melacak perubahan dalam stok perikanan global, mereka mengamati apakah burung laut, penyu laut atau spesies tak ditargetkan lainnya berakhir di jaring kapal. Mereka juga memantau penangkapan ikan yang berlebihan dan transfer ilegal antar kapal yang juga dikenal sebagai “Pencucian ikan.”

Saat menaiki kapal untuk melakukan inspeksi, Yi menceritakan pengalamannya di laut sebagai pengamat, “Setiap pengamat akan lebih kurus 10 kg pada enam bulan pertama di laut. Kami sering bercanda bahwa ini adalah ‘diet laut’, karena tidak terbiasa dengan kehidupan di atas laut. Saat berada di atas kapal, kami makan makanan kaleng dan ikan goreng yang pedas sekali. Semakin banyak dimakan, semakin kurus saja. Kami juga makan sashimi dalam jumlah besar, biasanya dari ikan yang sebagian dimakan oleh hiu. Di tengah laut penuh dengan risiko tak diketahui, memantau penangkapan ikan dan berdiri di posisi berlawanan dengan kapten kapal, bukanlah hal yang mudah”, tambah Yi.

Inspektur mengawasai pembongkaran tangkapan ikan dan mengecek apakah beratnya telah melewati kuota. Dalam foto adalah tuna sirip kuning yang baru saja dibongkar dari kontener di atas kapal.

Inspektur mengawasai pembongkaran tangkapan ikan dan mengecek apakah beratnya telah melewati kuota. Dalam foto adalah tuna sirip kuning yang baru saja dibongkar dari kontener di atas kapal.
 

Krisis Sumber Daya Perikanan

Inspektur dan pengamat berada di barisan paling depan dalam upaya penegakan hukum FA. Pekerjaan mereka merupakan langkah konkret untuk mendukung upaya organisasi perikanan internasional dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU) pada saat krisis berkurangnya sumber daya perikanan semakin serius di seluruh dunia.

Dengan kemajuan teknologi seperti sistem navigasi GPS dan pencari ikan elektronik, dan dengan peralatan serta metode penangkapan ikan yang terus meningkat, ikan laut dengan berbagai ukuran, spesies dan perilaku, terutama ikan bermigrasi epipelagik dan mesopelagik, dengan cepat menghilang. Pakar memperkirakan bahwa kapasitas kapal penangkapan ikan global adalah empat kali lipat dari kebutuhan. Metode penangkapan ikan berteknologi tinggi adalah penyebab utama terus menurunnya stok ikan laut.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), 30% atau US$ 13,8 miliar dari tangkapan ikan global dalam beberapa tahun terakhir adalah hasil dari penangkapan ilegal. Penangkapan ikan berlebihan secara serius mengancam keanekaragaman dan keberlanjutan sumber daya global. Memberantas penangkapan ikan ilegal adalah target utama upaya internasional untuk melestarikan sumber daya perikanan.
 

Dalam waktu pembongkaran yang sangat pendek, inspektur harus menjaga berat serta kuota tangkapan ikan, dan memastikan tidak ada spesies terlarang.

Dalam waktu pembongkaran yang sangat pendek, inspektur harus menjaga berat serta kuota tangkapan ikan, dan memastikan tidak ada spesies terlarang.
 

Kewajiban Negara Perikanan Besar

Taiwan adalah negara perikanan 20 besar di dunia dan terbesar keenam dalam hasil tangkapan ikan di perairan internasional. Sauri pasifik dari Pasifik utara dan tuna albakora dari Samudra Hindia dan Atlantik Selatan hasil tangkapan Taiwan adalah yang terbanyak sedunia.

Direktur Jenderal FA Huang Hong-yen, yang telah menangani masalah perikanan laut lepas selama lebih dari 30 tahun, menunjukkan bahwa organisasi perikanan internasional mengontrol penangkapan ikan berdasarkan jumlah stok ikan migrasi lokal. Taiwan bukan anggota PBB dan selalu ditekan oleh Tiongkok, tapi karena hasil penangkapan besar Taiwan dan peran regionalnya yang penting, organisasi perikanan internasional dan regional seperti Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) dan Komisi Internasional untuk Konservasi Tuna Atlantik (ICCAT), telah mengundang Taiwan untuk berpartisipasi.
 

Inspektur adalah petugas barisan pertama dalam upaya FA memberantas penangkapan ikan ilegal

Inspektur adalah petugas barisan pertama dalam upaya FA memberantas penangkapan ikan ilegal
 

Tiga Kebijakan Memberantas IUU

Huang Hong-yen mengutarakan, peringatan kartu kuning yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa pada 2015, adalah suatu pelajaran bagi Taiwan. Selain memperkuat komunikasi dengan UE, Taiwan merevisi peraturan penangkapan ikan di laut lepas pada 2017, menetapkan Undang-Undang Perikanan Perairan Jauh, dan mengamandemen Undang-Undang Perikanan serta Undang-Undang Pengaturan Investasi dalam Operasi Kapal Penangkap Ikan Berbendera Asing. Kapal penangkap ikan diwajibkan membuat laporan setiap hari di catatan elektronik (e-logbook). Untuk mencegah tindak pidana pencucian ikan dan penggelembungan kuota, mereka hanya dapat menurunkan atau memindahkan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan domestik dan internasional yang telah ditentukan. Sementara itu, FA telah menggandakan jumlah pengamatnya dan membentuk sistem pengumpulan data yang terintegrasi, untuk lebih mampu memenuhi tugasnya sebagai penata layanan perikanan global yang bertanggung jawab.

FA menetapkan kapal penangkap ikan laut lepas untuk mentransmisikan lokasi GPS setiap jam dan menjalani pelacakan 24 jam per hari oleh Pusat Pemantauan Perikanan (Fisheries Monitoring Center / FMC), lembaga yang memetakan pergerakan 1.200 kapal, termasuk kapal penangkap ikan asing yang terdaftar di Taiwan. Pemantauan ketat ini memungkinkan FA untuk menentukan apakah kapal telah menyimpang ke daerah-daerah di mana penangkapan ikan dilarang atau secara ilegal memasuki zona ekonomi eksklusif negara lain. Pada saat berkunjung ke Taiwan Maret 2019, petugas UE sangat terkesan dengan pengontrolan kapal penangkap ikan yang mengadopsi teknologi canggih ini.

Sebelumnya, denda tertinggi yang dikenakan di bawah Undang-Undang Perikanan adalah NT$ 300.000, tetapi sekarang denda maksimum dinaikkan menjadi NT$ 4,5 juta. Dalam penegakan undang-undang di tiga bulan pertama tahun 2017, pemilik kapal penangkap ikan Taiwan didenda sebesar NT$ 58,75 juta atas 71 pelanggaran, termasuk pengajuan laporan catatat elektronik palsu tentang penangkapan tuna mata besar, pembongkaran di pelabuhan tanpa izin, dan cetakan nama yang tidak jelas di lambung kapal. Semua upaya pemberantasan IUU di Taiwan dalam tiga setengah tahun terakhir telah mendapatkan pengakuan dari UE dan peringatan kartu kuning bagi Taiwan telah dicabut.
 

Dirjen FA Huang Hong-yen berpendapat, Taiwan adalah negara perikanan besar yang berkewajiban untuk melestarikan sumber daya laut internasional

Dirjen FA Huang Hong-yen berpendapat, Taiwan adalah negara perikanan besar yang berkewajiban untuk melestarikan sumber daya laut internasional
 

Nelayan Sadar Tekad FA Taati Peraturan

Banyak nelayan sangat tidak terbiasa saat permintaan dalam peraturan baru mulai diberlakukan bagi kapal penangkap ikan laut lepas, yakni untuk memasang alat e-logbook dan membuat laporan setiap hari. Chen Jin-yi, kapten kapal penangkap ikan Shin Sheng Ching berusia 60 tahun yang telah bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 40 tahun mengeluh, “Saya hanya tamat sekolah dasar, maka harus bekerja sebagai nelayan. Saya tidak tahu apa pun tentang komputer, tapi karena peraturan baru saya harus belajar. Kadang setelah capai seharian, saya masih harus melaporkan hasil tangkapan. Mata saya kurang bagus. Sungguh khawatir saya bisa keliru mengetik hiu koboi menjadi hiu sutra yang tergolong ikan yang dilindungi. Nanti setelah pulang ke Taiwan akan didenda berat. Habislah sudah uang yang didapatkan dengan susah payah dalam satu tahun!”

Andaikata ditemukan volume pembongkaran tidak sesuai dengan laporan, berdasarkan berat kapal akan dikenakan denda NT$ 400 ribu hingga NT$ 2 juta, dan gagal melapor melalui e-logbook setiap hari akan didenda NT$ 100 ribu hingga NT$ 2 juta. Kaum nelayan kini sadar bahwa FA sangat tegas dalam melaksanakan peraturan. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Rawai Tuna Pingtung He Shi-jie, perikanan laut lepas adalah keunggulan Taiwan, terutama rawai tuna yang termasuk industri padat karya, membutuhkan pengendalian kapital dan pemasokan. Ini berbeda dari industri perikanan di Eropa dan Amerika, yang kebanyakan dikelola oleh kelompok finansial dengan menggunakan kapal penangkap ikan metode penangkapan pukat berukuran besar. Perbedaan ini justru menjadi peluang bagi nelayan Taiwan untuk menjadi penyumbang devisa negara.

Tak peduli bagaimana, peraturan perikanan laut lepas yang berlaku di Taiwan saat ini sudah lebih ketat dari UE. He Shi-jie menerangkan lebih lanjut, “Hukuman yang dijatuhkan menurut regulasi UE adalah mencatat ‘poin penalti,’ bukan seperti kita yang segera didenda NT$ 2 juta atau beberapa puluh juta. Saat ini, di seluruh dunia hanya UE dan Taiwan diharuskan melaporkan lokasi GPS setiap jam dan e-logbook setiap hari. Tiongkok dan Jepang tidak memberlakukannya. Taiwan sekarang adalah negara dengan sistem pengawasan perikanan yang bahkan lebih ketat dari UE.”
 

Kemajuan teknologi penangkapan ikan dan maraknya penangkapan ilegal secara global, menyebabkan krisis berkurangnya sumber daya perikanan dan melambungnya harga ikan di pasar.

Kemajuan teknologi penangkapan ikan dan maraknya penangkapan ilegal secara global, menyebabkan krisis berkurangnya sumber daya perikanan dan melambungnya harga ikan di pasar.
 

Keseimbangan Kemajuan Ekonomi dan Pelestarian Laut

“Saya tahu bahwa para nelayan sangat marah, tetapi hukum internasional harus dihormati. Tidak ada jalan lain untuk itu. Reformasi akan menimbulkan kesakitan saat dipromosikan, tapi harus dilakukan karena adalah konsensus global guna melindungi sumber daya kelautan yang berkelanjutan,” jelas Dirjen FA Huang Hong-yen, yang juga menegaskan bahwa suatu tim gabungan Taiwan-UE untuk memberantas IUU sedang direncanakan oleh Dewan Pertanian (COA) selaku lembaga atasan FA.

WCPFC menetapkan kuota penangkapan rawai tuna bigeye Taiwan untuk 2018 pada 10.481 metrik ton, 806 ton lebih banyak dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya rajin selama bertahun-tahun dan pengorbanan untuk menghidupkan kembali sumber daya perikanan, telah membuahkan hasil yang membawa manfaat bagi warga dunia. Seperti yang dikatakan wartawan Inggris Charles Clover dalam film dokumenter 2009 The End of the Line: “Ikan di dalam laut adalah milik setiap orang, bukan milik nelayan.”