Kembali ke konten utama
Malapetaka Sampah Laut Krisis Ekologi Lingkungan yang Sangat Mendesak
2019-11-25

Saat menyelam dan membersihkan lautan, Jeng Ming-shio mengeluarkan kantong plastik dari anus penyu hijau. (Foto: Jeng Ming-shio)

Saat menyelam dan membersihkan lautan, Jeng Ming-shio mengeluarkan kantong plastik dari anus penyu hijau. (Foto: Jeng Ming-shio)
 

Burung albatros harus meregang nyawa karena tidak sengaja mengonsumsi sampah-sampah plastik yang mengambang di laut. Perut anjing laut yang mati terdampar, ditemukan dipenuhi oleh kantong plastik. Penyu yang seharusnya berenang bebas di tengah samudra, harus mati terjerat di dalam jaring ikan. Fakta sekaratnya ekosistem laut telah memberikan kenyataan pahit yang harus dibayar oleh ekologi lingkungan, hanya demi menghadirkan kenyamanan dan kepraktisan bagi umat manusia.

 

Penemuan dan penggunaan produk plastik telah populer selama 60 tahun terakhir. Dalam kurun waktu yang singkat tersebut, manusia telah menyalahgunakan dan menghempaskannya dengan sewenang-wenang, dan berakibat malapetaka bagi alam semesta. Akademisi mempelajari bahwa setiap tahunnya terdapat lebih dari 8 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan volume sampah plastik tersebut akan melebihi jumlah ikan di tahun 2050 mendatang.

Taiwan merupakan bagian dari komunitas global, yang perannya tidak dapat tergantikan. Pembatasan penggunaan plastik dan mekanisme daur ulang yang diberlakukan Taiwan, telah melampaui negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Perencanaan target dari kebijakan pemerintah untuk mengontrol ketat penggunaan produk plastik, akan dilakukan hingga tahun 2030 mendatang. Selain menetapkan peraturan yang relevan, masyarakat juga memiliki inisiatif dan kemauan yang tinggi untuk menciptakan lingkungan pantai yang bersih. Semua pihak berupaya keras mewujudkan lingkungan yang lestari dan berkelanjutan.
 

Berawal dari bersih-bersih pantai, Tang Tsai-ling mulai mencoba mengubah sampah laut menjadi produk seni dan menarik perhatian warga akan isu limbah laut.

Berawal dari bersih-bersih pantai, Tang Tsai-ling mulai mencoba mengubah sampah laut menjadi produk seni dan menarik perhatian warga akan isu limbah laut.
 

Kekayaan yang Beraneka Ragam

Letak geografis yang dikelilingi lautan, membuat Taiwan dapat menikmati tangkapan ikan-ikan yang tengah bermigrasi. Selain itu, Taiwan diberkati dengan iklim yang dipengaruhi oleh arus lautan. Di sisi lain, dikarenakan letaknya yang strategis, Taiwan sering kali menerima 'hadiah' yang dikirim dari seluruh belahan dunia, yakni sampah laut. 

Dalam rangka mewartakan topik ini, kami pun terbang ke salah satu garis terdepan, yang menjadi kawasan untuk memerangi sampah laut, yakni Pulau Penghu.  Kami mendatangi Laboratorium O2, yang mengubah puing-puing sampah tersebut menjadi produk seni. Kami juga mengikuti kegiatan bersih-bersih pantai yang telah menjadi rutinitas dari tim pekerja seni O2. Impian memandang biru nan jernihnya air laut, kini telah menjadi kenyataan. Namun sayang, pantai yang mengelilinginya harus dikotori botol-botol, serpihan plastik, styrofoam dan jaring ikan yang dibuang begitu saja. Dalam jarak yang hanya berkisar 10 meter, kami berhasil mengumpulkan sekarung sampah plastik dengan berat 50 kg. Sampah-sampah tersebut terdiri dari sikat gigi, jarum suntik, sedotan, sandal jepit, botol kaca, pelampung, bohlam, mainan, lampu peringatan di atas kapal, dan masih banyak lagi. Sembari membersihkan pantai, rekan sesama tim mulai berbagi pengalaman akan benda-benda yang pernah mereka temukan; misalnya sex toy, ampul yang masih terisi obat, papan nama dewa untuk persembahyangan dan bidak mahyong. Sampah laut ini tidak memiliki identitas nasional, yang merupakan limbah kehidupan manusia.

Awalnya, pantai-pantai di Taiwan tidak seperti ini. Jeng Ming-shiou, yang merupakan seorang peneliti di Divisi Keanekaragaman Hayati Academia Sinica memaparkan, bahwa kampung halamannya yakni Pulau Penghu, memiliki panorama yang memukau. Peneliti yang telah memiliki pengalaman menyelam dan melangsungkan observasi ekologi laut selama 40 tahun ini mengisahkan, ketika kecil ia bermukim di Pulau Penghu yang dipenuhi dengan hamparan pasir nan putih. Ekologi yang kaya dan beragam, memenuhi kawasan ini. Namun sayang, seiring dengan pembangunan kota, ekosistem lautan harus menanggung akibatnya. Habitat di dasar laut pun terpaksa punah. Karena alasan itulah, Jeng Ming-shiou mengingatkan masyarakat luas akan dampak serius dari polusi ekologi laut. Pada tahun 2018, ia bersama tim menghabiskan waktu 5 tahun untuk menggelar penelitian di Pulau Dongsha yang terletak di perairan barat daya Taiwan. Di saat yang sama, Jeng Ming-shiou juga mempublikasikan makalah terkait simulasi sampah yang mengambang di permukaan laut. Ini adalah makalah akademis pertama asal Taiwan yang resmi diwartakan di jurnal internasional, yakni Environmental Research Letters. Di dalam penelitiannya, Jeng Ming-shiou memaparkan dasar ilmiah yang penting, perihal manajemen penggunaan plastik dan ekosistem laut yang berkelanjutan.

Melalui studi empiris yang dilakukan oleh para ilmuwan, dapat memberikan bukti akan bahaya sampah laut bagi lingkungan. Namun faktanya, dengan berkunjung ke salah satu pantai terdekat, maka Anda akan mudah menemukan banyak sampah yang berserakan. Permasalahannya adalah apakah Anda mengakui fenomena yang ada?
 

Tim seni Laboratorium O2 berhasil mengumpulkan mitra yang peduli terhadap lingkungan. Bersama-sama membersihkan pantai, mengolah limbah laut dan berkontribusi bagi Pulau Penghu tercinta.

Tim seni Laboratorium O2 berhasil mengumpulkan mitra yang peduli terhadap lingkungan. Bersama-sama membersihkan pantai, mengolah limbah laut dan berkontribusi bagi Pulau Penghu tercinta.
 

Laboratorium O2: Inovasi Puing Sampah Menjadi Produk Seni

Pada awal tahun 2019, Laboratorium O2 telah bermigrasi dan menetap di Dusun Longmen Desa Huxi. Kepala laboratorium adalah seorang fotografer asal Taoyuan, Tang Tsai-ling. Ia mendapati, selain memiliki pemandangan yang tidak terkalahkan, Pulau Penghu selalu dihiasi oleh deburan ombak tanpa henti, namun sayangnya ombak tersebut juga membawa sampah-sampah laut.

Tang Tsai-ling pun mulai membersihkan kawasan pantai. Melalui akun facebook-nya, ia membagikan jadwal bersih-bersih pantai, dengan harapan masyarakat luas dapat turut serta dalam kegiatan ini. Pada masa-masa awal, ia harus berjuang sendiri membersihkan rongsokan sampah yang tidak terhitung jumlahnya. Hari demi hari  ia lewati. Sampai suatu ketika, ia melihat 3 sosok yang datang dari kejauhan. 3 sosok tersebut adalah wisatawan yang baru saja mendarat dan bergegas menemui Tang Tsai-ling. Dengan harapan, kedatangan mereka dapat memberikan sedikit semangat dan dukungan bagi Tang Tsai-ling. “Hadirnya mereka membuat saya merasa, bahwa walau saya berjuang sendiri dengan tenaga terbatas, tapi tetap bisa membawa pengaruh kepada orang lain”. Apalagi masyarakat Taiwan selalu merasa gentar, dan beranggapan bahwa membersihkan pantai seorang diri adalah tindakan aneh. “Tidak apa-apa, saya akan menjadi pelopor pertama yang menemani Anda membersihkan pantai”, tutur Tang Tsai-ling.

Selain membersihkan pantai, Tang Tsai-ling mulai mengolah sampah-sampah laut, “Saya mencoba mengubah sampah laut menjadi sesuatu yang indah. Yang kemudian, menarik perhatian warga yang semula tidak peduli akan isu limbah laut”. Bersama dengan tim seni, Tang Tsai-ling mulai memikirkan ide kreasi nan inovatif. Mengubah alat apung menjadi tabung kecil atau merombak jaring ikan yang tidak terpakai menjadi tas jinjing. Ia juga pernah membuat seni instalasi berupa semeja penuh sajian makanan laut yang terbuat dari sampah laut, dan juga mendekorasi pohon natal dengan ornamen dari sampah laut.

Bersama dengan timnya, Tang Tsai-ling telah mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Tanpa kenal lelah mereka terus membersihkan, mengumpulkan, mencuci, memilah dan mengeringkan, serta membuat sampah plastik dapat kembali dimanfaatkan; misal mengkreasikan serpihan plastik menjadi produk kesenian. Atau menggunakan limbah plastik sebagai sumber daya baru yang dapat menggantikan bahan pembelajaran dalam kurikulum seni di sekolah-sekolah. Hingga saat ini, tidak hanya menghasilkan sumber-daya yang dapat digunakan kembali, namun anak-anak mulai dapat memperbarui sampah-sampah. Ini adalah pencapaian besar. Dan yang terpenting adalah filosofi dan ide menghargai lingkungan yang dibangun bersama oleh setiap anggota tim.
 

“Buku Panduan Bergambar-Sampah Laut”, mengintegrasikan konsep permainan Pokémon Go. Mencantumkan tempat dan nilai kehidupan (HP). Memudahkan dalam pemahaman masalah limbah laut. (Foto: RE-THINK)

“Buku Panduan Bergambar-Sampah Laut”, mengintegrasikan konsep permainan Pokémon Go. Mencantumkan tempat dan nilai kehidupan (HP). Memudahkan dalam pemahaman masalah limbah laut. (Foto: RE-THINK)
 

RE-THINK: Buku Ilustrasi Sampah Laut yang Modis

“Melalui 100 cara akan saya ceritakan kisah limbah laut”, demikian tutur pendiri RE-THINK, Jason Huang. Pada tahun 2013, RE-THINK mulai menggalakkan kegiatan bersih-bersih pantai, dengan berkeliling pulau. Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan kondisi lingkungan, RE-THINK meluncurkan “Buku Ilustrasi Bergambar Sampah Laut” pada tahun 2018. Dengan tekun mereka dirikan studi foto dan mengambil potret 360° dari setiap rongsokan laut. Selanjutnya, foto-foto disunting dan diberi warna dasar. Ini menjadi buku ensiklopedia limbah laut pertama yang diterbitkan di Taiwan. Media Britania Raya, The Guardian, pernah mewartakan gerakan ini. Selain itu, gerakan yang diprakarsai oleh RE-THINK ini berhasil memenangkan penghargaan Best of the Best tahun 2019, dari ajang Red Dot Design Award Jerman.

Jason Huang bersama koleganya juga menyematkan cerita dan narasi di setiap puing-puing sampah, yang kemudian berkolaborasi dengan konsep permainan Pokémon Go. Masing-masing rongsokan tersebut akan diberi perumpamaan monster laut, lengkap dengan tempat dan kapan sampah tersebut ditemukan. Melalui nilai kehidupan (HP) yang dicantumkan, kami menemukan bahwa hampir setiap limbah laut plastik dapat bertahan selama seratus tahun lamanya. Di dalam buku panduan ini juga tertulis sebuah kisah puing korek api dari Midway, Amerika Serikat. Korek api tersebut ditemukan di dalam perut burung albatros, yang mati karena mengonsumsi sampah laut. Korek api yang bertuliskan huruf Mandarin Tradisional itu-pun dipulangkan kembali ke Taiwan. Jason Huang melanjutkan, kisah tersebut diceritakan bukan untuk mengejar ketenaran, tetapi lebih kepada membuat para pembaca memiliki sedikit “Rasa bersalah”, dan ini semua adalah “Dosa kita bersama”.

Mencermati sampah laut, yang mana hal ini erat berkaitan dengan kehidupan kita. Selanjutnya adalah berpikir dan bagaimana untuk mulai bertindak.
 

Tim Laboratorium O2 berhasil 'memungut' kamar mandi. Lantainya dihiasi dengan motif mozaik yang terbuat dari tutup botol plastik.

Tim Laboratorium O2 berhasil 'memungut' kamar mandi. Lantainya dihiasi dengan motif mozaik yang terbuat dari tutup botol plastik.
 

Merajut Kembali Hubungan Antar Manusia dengan Lingkungan Alam

Jeng Ming-shiou mengusulkan untuk berpikir dari sumbernya; mulai dari kebijakan pemerintah, pendidikan, tindakan dan inisiatif. Terkait tata kelola laut, ia menyarankan harus ada 4 tindakan utama; mengintegrasikan program pemantauan lingkungan dan satwa liar, pemindahan dan pemrosesan ulang sampah laut di darat, pertukaran informasi dunia internasional dan pelacakan sampah laut, serta meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya konservasi lingkungan.

Jason Huang meminta kepada masyarakat luas untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam memberlakukan larangan penggunaan plastik, serta mulai mengurangi sampah dan mengubah kebiasaan. Selain itu, ia juga mengingatkan kepada publik untuk dapat mengkritisi setiap masalah yang berkaitan erat dengan isu “Perlindungan lingkungan”. Pengurangan sampah plastik misalnya, Jason Huang melanjutkan pada dasarnya plastik bukanlah benda yang penuh dosa, namun inti permasalahannya terletak pada cara penggunaan dari setiap individu. Alih-alih ingin mengurangi sampah plastik, berbagai bahan alternatif pun mulai dikembangkan. Namun siapa duga, jika sebagian besar komposisi bahan alternatif tersebut, terbuat dari materi komposit yang sulit didaur ulang. Tanpa mekanisme daur ulang yang sesuai, membuat situasi kian tak bersahabat. Satu-satunya cara penyelesaian di Taiwan, adalah dengan membakarnya. Yang mana hal ini akan menciptakan permasalahan baru.

Selain itu, produk “Ramah lingkungan” tidak serta-merta langsung berfungsi di kala kita membelinya. Untuk memproduksi sedotan stainless steel dibutuhkan tenaga yang tidak sedikit, begitu pula dengan produk kertas yang memakan banyak sumber daya air. Sebuah penelitian menunjukkan “Sebuah tas katun ramah lingkungan harus dipergunakan 131 kali, agar dampak lingkungannya seimbang dengan 1 kantong plastik”. Memiliki tas atau peralatan makan yang ramah lingkungan, tidak dapat didefinisikan mengurangi sampah plastik. Intinya terletak pada kebiasaan dalam menggunakannya.

“Mengurangi sampah dapat dimulai dengan sedikit merepotkan diri sendiri, yakni membawa kotak makanan dan botol minum sendiri”, tutur Tang Tsai-ling. Perubahan membutuhkan akumulasi waktu dan pengaruh teman sebaya. Kini, kolega di sekitar Tang Tsai-ling mulai menyiapkan peralatan makan sendiri dan mengurangi volume sampah.

Dengan berbagai upaya, Laboratorium O2 mengusahakan agar kegiatan bersih-bersih pantai menjadi tidak membosankan. Selesai membersihkan pantai, pengunjung akan diminta untuk tinggal sesaat dan menikmati pantai yang bebas dari sampah. Dengan memanfaatkan fitur “Singgah” dunia medsos (media sosial), mereka mengkreasikan adegan piknik dengan menggunakan rongsokan laut. Atau mengintegrasikan ragam kegiatan menarik sembari membersihkan pantai; di antaranya aktivitas mendayung perahu kano atau menciptakan instalasi seni.

Seorang pakar perilaku binatang, Jane Goodall berkata, “Dengan memahami, kita dapat menjadi peduli. Dengan peduli, kita akan membantu. Dengan membantu, kita dapat tertolong”. Merajut kembali hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya, lalu perhatikan indahnya pantai setelah dibersihkan. Jawaban ini mungkin dimiliki setiap individu. Dengan demikian kita memiliki solusi untuk meredam amukan dari malapetaka sampah laut.