Kembali ke konten utama
Formosa Rumahku Rolf-Peter Wille & Gaya Humornya di Taiwan
2019-12-16

Wille dan Yeh menarik banyak perhatian ketika mengadakan pertunjukan duet piano di jalan Kota Taipei. (Foto: Lina Yeh)

Wille dan Yeh menarik banyak perhatian ketika mengadakan pertunjukan duet piano di jalan Kota Taipei. (Foto: Lina Yeh)
 

“Tentu saja, saya mungkin bukan orang asing yang menetap paling lama di Taiwan, tetapi 30 tahun—tanpa terputus—adalah waktu cukup panjang. Sebagai perbandingan, Robinson Crusoe meninggalkan pulau fiksinya setelah menetap di sana selama 28 tahun.”

– Rolf-Peter Wille, Formosa in Fiction

 

Pada tahun 1978, Rolf-Peter Wille yang berusia 24 tahun dan baru tamat dari Universitas Musik, Drama dan Media Hanover, tiba di Taiwan yang jauh dan asing untuk berpetualang seperti Robinson Crusoe.

Apakah ini karena istrinya yang dari Taiwan bersikeras agar mereka menetap di Taiwan? Bukan demikian. "Pada waktu itu, Wille sendirilah yang ingin datang untuk melihat Taiwan," jelas musisi Lina Yeh, istri Wille yang juga teman sekelasnya.

Lingkungan musik Taiwan tidak dapat dibandingkan dengan Eropa yang merupakan tempat asal musik klasik, tapi justru karena perkembangan di Eropa dimulai lebih awal daripada di tempat lain, pasar musik di sana sudah menjadi jenuh sejak 40 tahun yang lalu, dan tidak mudah bagi seorang lulusan untuk mendapatkan posisi mengajar di universitas.

Sebaliknya, Taiwan adalah tanah perawan untuk musik klasik. Ini memberikan banyak kebebasan bagi musisi, dan menjadi alasan untuk merintis masa depan.

Begitulah Rolf-Peter Wille yang baru menikah melakukan perjalanan jauh ke Taiwan dan mulai mengajar di sebuah universitas.

Sejak saat itu, meskipun Eropa sebenarnya tidak terlalu jauh, dan meskipun profesinya sering membawanya ke berbagai pelosok dunia, Wille tidak pernah lagi menetap  di Jerman, biasanya ia hanya singgah untuk sementara sekitar beberapa bulan, bisa dikatakan Taiwan adalah rumahnya.

Juli 2018, Wille mendapatkan kartu tanda penduduk di Kantor Pendaftaran Rumah Tangga Distrik Da’an di Kota Taipei yang berdekatan dengan tempat tinggalnya, ia kini resmi menjadi seorang warga Taiwan.
 

Rolf-Peter Wille mentransformasi pengalaman hidupnya di Taiwan menjadi melodi mengharukan yang menggetarkan hati pendengar tanpa rintangan bahasa.

Rolf-Peter Wille mentransformasi pengalaman hidupnya di Taiwan menjadi melodi mengharukan yang menggetarkan hati pendengar tanpa rintangan bahasa.
 

Orang Jerman di Taiwan

Sebagai seorang asing di Taiwan, pada awalnya tentu ada banyak kejutan (atau kesulitan beradaptasi) dalam kehidupan sehari-hari di Taiwan. "Namun, saya masih muda saat itu dan bisa tahan dengan apa pun." Inilah komentar Wille yang selalu mengundang tawa.

Perbedaan terbesar adalah kepatuhan orang Jerman terhadap waktu serta ruang, dan klarifikasi terhadap perbatasan. Ini tidak hanya berlaku untuk ruang pribadi, tetapi juga untuk ruang publik.

Lina Yeh yang memahami perbedaan besar dalam budaya kedua negara itu menjelaskan, "Misalnya, di rumah orang Jerman, semuanya memiliki tempat yang telah ditentukan, bahkan anak-anak tidak diizinkan untuk memindahkan barang-barang sesuka mereka." Bagi orang Taiwan yang cenderung santai dalam segalanya, ini adalah hal yang sulit untuk dipahami.

Karena pekerjaannya sebagai guru musik, seringkali siswa datang ke rumah Wille untuk mengikuti pelajaran piano. Wille masih ingat bahwa suatu kali, orang tua salah satu siswanya turut datang ke untuk mengikuti pelajaran. "Orang tua itu terus-menerus berkata, 'Guru, tenang saja, tenang saja,' lalu dia pergi dan membuka kulkas kami," kata Wille. "Jika ini terjadi di Jerman, maka saya akan segera memanggil polisi."

Dikatakan bahwa orang Jerman pada umumnya lebih mengutamakan logika spasial, harus mengenal tempat mereka tinggal, termasuk koordinat, geografi, hidrologi dan nama jalan, mulai dari saat mereka masuk sekolah dasar. Seolah-olah jika tidak mengetahui lokasi keberadaannya sendiri di dunia yang luas ini, akan membuat manusia tidak mampu bertahan hidup.

Wille membawa semangat ini ke dalam kehidupan di Taiwan. Dimulai dari Distrik Da'an di Kota Taipei, tempat ia tinggal. Ia mengendarai sepedanya melewati setiap gang dan lorong, menggambar peta yang menandai jalan raya utama, dan menghafalnya. "Saya menemukan bahwa bentuk Distrik Da'an mirip dengan wajah Raja Frederick II." Dipandang sekilas, gambar peta di tangannya memang sedikit mirip dengan raja Prusia itu.
 

Dalam suatu pertunjukan melodrama, Wille dan Yeh tidak hanya memainkan piano tetapi juga mengucapkan dialog, bagaikan musik soundtrack film yang penuh dengan ketegangan.

Dalam suatu pertunjukan melodrama, Wille dan Yeh tidak hanya memainkan piano tetapi juga mengucapkan dialog, bagaikan musik soundtrack film yang penuh dengan ketegangan.
 

Memandang Taiwan dengan Humor

Seperti kebanyakan orang Jerman, ketika Wille tidak tersenyum, garis-garis keras di wajah membuatnya terlihat sangat galak. Tetapi ketika dia berbicara dengan aksen Tionghoanya yang bercampur bahasa Jerman dan Inggris, selalu membuat pendengarnya tersenyum. Ini sesuai dengan gaya penulisan humor dari bukunya, dan membuktikan kenyataan bahwa "Gaya mencerminkan penulis."

Kesenjangan budaya yang besar menimbulkan banyak pengalaman lucu bagi Wille, terutama dalam isu bahasa Tionghoa, yang memang merupakan salah satu hal paling sulit dan sering menyebabkan kesalahpahaman bagi orang asing. Lina Yeh mengenang, "Suatu kali kami berbicara dengan seorang teman tentang banyak hal yang membutuhkan kompromi (tuoxie dalam bahasa Mandarin) setelah menikah. Wille segera bertanya, 'Mengapa harus melepaskan sepatu (juga diucapkan tuoxie) setelah menikah?'"

Bentrokan antar keragaman budaya ini, satu demi satu berubah menjadi kejutan berkat gaya humor Wille.

Wille dan Lina sama-sama menyukai barang antik. Di dalam rumah mereka, ada begitu banyak benda antik yang terintegrasi ke dalam dekorasi ruangan. Barang-barang ini mencakup pintu tua dengan lukisan dewa pintu yang dibawa pulang dari kuil, dougong (Penyangga atap kayu dalam arsitektur tradisional Tiongkok) dengan pengerjaan indah, miniatur lemari curio, patung dewa, boneka dan patung binatang dengan jumlah besar. Boleh dibilang, rumah pasangan ini memiliki koleksi benda antik lebih banyak dibandingkan rumah orang Taiwan pada umumnya.

Namun, benda yang jumlahnya paling banyak dan menarik perhatian paling besar adalah koleksi puluhan botol urinal

Sambil memamerkan botol-botol yang tersebar di sekitar rumahnya sebagai benda dekoratif, Wille berkata, "Pola yang satu ini sangat istimewa." Ia menunjuk ke salah satu botol dengan desain biru-hijau yang halus dan mengatakan bahwa itu adalah titik awal untuk koleksi uniknya.

Lina Yeh mengingat asal-usul koleksi ini, "Semuanya berawal secara tak disengaja. Suatu ketika kami berada di Tainan dan bertemu dengan seorang pemilik toko barang antik yang terus menawarkan Wille untuk membeli sesuatu, sampai ia tidak tahan lagi. Wille pun menunjuk ke beberapa porselen seladon, dan bertanya apakah ada botol urinal dengan desain yang sama. Cukup mengejutkan, sang penjual mempunyai botol tersebut, jadi kami tidak punya pilihan selain membelinya!" Begitu tersiar kabar, ada orang yang datang untuk mendonasikan botol koleksi mereka sendiri, dan ada pula yang datang khusus untuk menjual. Selama beberapa dekade koleksinya telah tumbuh, tidak terencana, hingga menjadi banyak seperti sekarang.

Selama 40 tahun ini, banyak suka dan duka berlalu dalam kehidupan Wille di negeri asing, tetapi ketika ditanya apakah ada hal yang disesalkan, ia menjawab, "Ketika baru datang, saya tidak berpikir akan menetap di sini. Setiap kali terjadi sesuatu yang konyol atau lucu, saya akan berkata pada diri sendiri, 'Tambah satu cerita lagi untuk dikisahkan kepada teman-teman saat pulang ke Jerman.'" Tetapi statusnya di Taiwan kini telah berubah, maka ia pun secara dramatis menyatakan penyesalan bahwa "Kini saya tidak akan pernah bisa melakukan itu lagi!"

Untuk saat ini, Taiwan dan Jerman sama-sama adalah "Rumah."
 

Memperoleh kewarganegaraan Taiwan memberi Wille jaminan nyata bahwa ia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya di Taiwan, sebagaimana yang ia rencanakan.

Memperoleh kewarganegaraan Taiwan memberi Wille jaminan nyata bahwa ia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya di Taiwan, sebagaimana yang ia rencanakan.
 

Imigran Jerman berakar di Taiwan

Oktober 2016, pemerintah Taiwan akhirnya mengamandemen undang-undang untuk mengakui kewarganegaraan ganda, dan banyak orang asing mulai secara aktif berusaha menjadi warga negara Taiwan.

Namun, Wille yang awalnya berpikir untuk mengajukan naturalisasi di bawah kategori "Profesional tingkat tinggi," merasa ragu dan menunda permohonannya karena ujian bahasa yang ketat.

Sambil memamerkan sebuah buku contoh pertanyaan yang sangat tebal yang disusunnya sendiri, ia mengatakan bahwa prosedur naturalisasi sama sekali tidak mudah. Secara umum pelamar harus mendapatkan nilai 60 atau lebih tinggi untuk lulus tes bahasa.

Wille yang selalu bersikap tertib dan teratur dalam melakukan apa pun, mencetak semua pertanyaan dan satu per satu menambahkan pelafalan dalam bentuk alfabet lengkap dengan fonetik, bersama dengan jawaban. Ia bahkan membuat video untuk setiap pertanyaan, membaca pertanyaan serta jawabannya di kamera, dan menyertai suaranya dengan gerakan tangan dan tubuh yang berlebihan, berupaya keras menghafal nada yang benar untuk digunakan dalam mengucapkan setiap kata. "Mungkin tubuhku akan mengingat apa yang tidak bisa dilakukan otakku," candanya.

Untungnya mereka kemudian menemukan, karena Wille dan Lina Yeh telah memenangkan Penghargaan Budaya Nasional untuk keahlian mereka dalam pertunjukan musik duo piano, mereka dapat mengajukan aplikasi untuk Wille di bawah kategori "Orang yang telah memberikan kontribusi khusus di Taiwan." Kategori ini tidak memerlukan ujian, dan setelah mengumpulkan semua dokumentasi yang diperlukan, hanya dalam sepuluh hari saja, Wille menerima kartu tanda penduduknya.

Karena telah mengadakan konser bersama selama bertahun-tahun, Wille dan Lina Yeh sangat terkenal di kalangan publik untuk pertunjukan duo piano. Pasangan yang saling mencintai ini menciptakan preseden dengan tampil di jalanan Taipei, dan bahkan mengangkut piano-piano mereka ke gunung tertinggi di Taiwan, Gunung Yushan, untuk dimainkan bersama, dan ke Gunung Alishan untuk tampil di depan pohon kuno "Tataka Couple Trees" yang dikenal sebagai "Pohon suami-istri."

Menurut Wille dan Yeh, duet piano (dua pianis memainkan piano terpisah) sedikit berlainan dengan duo piano (dua pianis berbagi satu piano). Untuk duet piano, pianis harus mengetahui  batas-batas keyboard tunggal dan fakta bahwa piano hanya memiliki satu set pedal, mau tidak mau masing-masing pemain harus belajar mengakomodasi yang lain. Duo piano, di sisi lain, menawarkan kebebasan yang lebih besar dan lebih banyak kesempatan untuk menghadirkan keterampilan masing-masing pihak.

Kehidupan dan pekerjaan mereka mirip sekali dengan format pertunjukan mereka yang unik. Latar belakang yang berlainan, kebiasaan dan cara hidup yang berbeda, tidak menjadi batasan. Sebaliknya, karena keragaman inilah, mereka telah menciptakan suatu simfoni keharmonisan dengan gaya hidup yang unik. "Dibandingkan dengan duet piano, duo piano lebih kaya dan lebih ekspresif." Kata-kata Lina Yeh ini seolah terus terngiang di dalam benak pendengarnya.