Kembali ke konten utama
Menembus Awan Bersepeda di Desa Wuta
2020-01-06

(Dinding batu Qicai di sungai Hayou pasca)

(Dinding batu Qicai di sungai Hayou pasca)
 

Pengarang AS Ernest Hemingway pernah mengatakan: “Untuk menjelajahi seluk beluk budaya suatu negara, cara yang terbaik adalah bersepeda naik turun gunung dan membasahi segala pelosok daerah dengan keringat anda.”

Dalam artikel serial Majalah Taiwan Panorama tentang “Bersepeda di Taiwan” kali ini, di awal musim semi kami merancang penjelajahan yang dimulai dari Provincial Highway 24, dengan rute dimulai dari desa Sandimen ke desa Wutai di kabupaten Pingtung. Kami mengayuh pedal sepeda menjelajahi daerah pegunungan yang hijau, permukiman penduduk asli, merasakan keindahan budaya kerajinan tangan dan lingkungan bisnis suku Paiwan dan Rukai yang berkembang pesat.

 

Setelah angin topan Morakot menimbulkan kerugian berat di tiga pedesaan di Pingtung utara sepuluh tahun silam, maka ketiga pemukiman penduduk asli yaitu Kucapungane, Paridrayan dan Makazayazaya direlokasi ke Sandimen menjadi sebuah permukiman bersama yang baru bernama Rinari. Langkah pertama dari perjalanan sepeda kami, sebagai pemanasan adalah menikmati kuliner penduduk asli yang autentik di restoran Kubav. 

Daftar menu sajiannya seperti Cinavu, Kinepel dan Daging Bakar khas yang diasap di atas batu papan, segera membuat kami terhanyut dalam suasana kehidupan penduduk asli. Terutama Cinavu suku Paiwan yang khusus disajikan saat upacara tahunan dan untuk menjamu tamu agung, yaitu sebuah sajian bacang jawawut isi daging babi yang dibungkus dengan daun Alpinia zerumbet yang mirip daun laos, digodok dalam air selama 40 menit, aromanya semerbak, perbauran antara wanginya daun dan gurihnya daging.

Bahan-bahan diambil dari tanaman khusus di pemukiman misalnya kue kinepel, kudapan yang terbuat dari bahan khas penduduk asli seperti jawawut dan waluh kuning, demikian pula daging babi hutan yang dimarinade dengan daun Zanthoxylum ailanthoides dan merica makau, lalu dibakar dengan kayu akasia yang banyak terdapat di sekitar, setiap hidangan memberi kejutan indah, menjadi bekal kami untuk menjelajahi kebudayaan penduduk asli.
 

Poci tembikar di Museum Budaya Sandimen merupakan benda keramat lambang status sosial suku Paiwan.

Poci tembikar di Museum Budaya Sandimen merupakan benda keramat lambang status sosial suku Paiwan.
 

Tiga Mestika Suku Paiwan

Bersepeda menapaki tanjakan gunung yang berliku, dalam cuaca yang cerah, kami bisa melihat pemandangan Kaohsiung 85 Sky Tower di kejauhan. Sesampai di Pusat Budaya Sandimen, yang terletak di markah 22 km Highway 24, terlihat “Tiga Mestika suku Paiwan: pisau perunggu, manik-manik kaca, tembikar”, yang menceritakan legenda asal usul dan kepercayaan leluhur.

Dari tiga mestika suku Paiwan yang berbeda ini, menunjukkan adanya tingkatan kasta dan tata krama dalam masyarakat suku Paiwan. Sebagai contoh dari poci tembikarnya, Remaljiz salah satu kepala suku Paiwan yang menjadi kurator merangkap pemandu pameran ini menjelaskan, poci dengan pegangan kuping bermotif puting susu adalah Poci Ibu, dan yang berukiran gambar ular vulung adalah Poci Bapak, tapi yang paling dihormati adalah Poci Kelahiran yang ringan, tipis dan berkilat.

Benda-benda keramat ini juga dipakai sebagai mas kawin biasanya berupa manik-manik gelas, motif di setiap manik gelas, bagi suku Paiwan melambangkan langit, bumi dan hubungan antar manusia, misalnya “Manik Ningrat” adalah mas kawin untuk kepala suku, dan jika memakai “Manik Ksatria” menunjukkan kepiawaian seorang prajurit.

Bagi seorang wisatawan, bisa membuat sendiri manik-manik gelas dengan gaya DIY di Dragonfly Beads Art Studio. Galeri di lantai dua studio ini, khusus menyimpan benda koleksi dan karya pendiri studio bernama Remereman. Benda yang dikoleksi termasuk baju pengantin yang dijahit tangan oleh ibu sang pemilik yang meningggal karena kanker, selain itu juga ada karya-karya mix-media yang unik dan indah. Saya membeli sebuah gelang bermanik ksatria, agar menjadi penyemangat ketika mengayuh pedal sepeda menyusuri jalan, kalau saja tidak ada pemandangan jalan berliku di hadapan mata dalam nuansa kehangatan udara, maka mungkin saya mengira sedang bersepeda di jalan biasa.
 

Ukiran relief di jalur batu papan Wutai melambangkan kepiawaian suku Rukai di bidang seni.

Ukiran relief di jalur batu papan Wutai melambangkan kepiawaian suku Rukai di bidang seni.
 

Rumah dan Jalur Gang Batu Kecerdasan Suku Rukai

Bersepeda di sepanjang jalan terowongan terbuka di markah 29 km Highway 24, pemandangannya sangat indah menakjubkan bagaikan berada di atas jalan tol lintas pulau. Di markah 31 km, kami berada di platform observasi, dengan melihat ke bawah, ada pemandangan keseluruhan lembah sungai Ailiao utara, selain itu kami juga dapat menikmati keindahan jembatan Guchuan yang mempunyai pilar jembatan tertinggi di Taiwan.

Angin sepoi-sepoi tapi menghangatkan, dan penampakan secara bergantian antara sinar dan bayangan yang indah, melipur hati di sepanjang jalan menanjak berliku yang melelahkan.

Saidai Latarovecae, Direktur Departemen Penduduk Asli Kabupaten Pingtung, merekomendasikan Wutai sebagai permukiman suku Rukai yang paling utuh. Sesampai di markah 40 Highway 24, pandangan mata terpukau oleh patung kepala suku dan ksatria, dan mengartikan anda sudah tiba di museum Budaya Rukai. 

Di sini anda bisa mengenal kebudayaan asli suku Rukai. Baik itu jalur tumpukan batu papan yang ditata rapi satu persatu secara bersilangan, atau ukiran relief yang berwarna warni cerah di SD Wutai, semuanya adalah karya kakak beradik Besakalane dan Kalava. 

Dengan mengangkat sepeda menaiki anak tangga, kami melihat markah tanah di jalur batu papan bertuliskan: “Gereja Presbyterian Wutai”. Gereja yang dirancang dan pembangunannya diawasi langsung oleh Kalava ini, rampung dalam waktu enam tahun. Hal ini juga melambangkan semangat gotong royong suku Rukai.

Gereja ini mempunyai atap yang paling curam di antara rumah-rumah batu papan di Wutai, teknik penataan batu papan, kalkulasi berat yang disangganya, berdasarkan kecerdasan dan pengalaman generasi senior dalam membangun rumah batu.

Salib kayu akasia besar yang berada di aula, ditemukan oleh seorang pemburu di dalam hutan belantara daerah persilangan antara Taitung dan Kabupaten Pingtung, pohon akasia yang dibabat orang Jepang dan ditinggalkan di hutan itu, warga Rukai menghabiskan waktu 4 hari untuk menarik kayu ini, dan mengukirnya menjadi salib kayu akasia terbesar dan sangat langka di Taiwan.

Dengan mengamati salib ini, bisa kita rasakan betapa besar semangat gotong royong dan sumbangsih para warga suku, untuk beribadah. Jerih payah proses pembuatan salib kayu ini, telah diukir menjadi relief di pegangan kayu tangga naik di luar gereja.
 

Bersepeda di atas jembatan Guchuan berpilar tertinggi di Taiwan, sambil menikmati terpaan angin.

Bersepeda di atas jembatan Guchuan berpilar tertinggi di Taiwan, sambil menikmati terpaan angin.
 

Bunga Sakura & Kupu-Kupu di Adiri

Agar tidak bersepeda di malam hari, kami bermalam di sebuah penginapan warga di Wutai, setelah tidur nyenyak, pada hari kedua kami melaju ke permukiman Rukai terakhir di Highway 24 ini yaitu Adiri.

Keseluruhan jalan menanjak, dan tantangan demi tantangan mulai bermunculan, diakibatkan oleh bencana tanah longsor dan angin topan Morakot sepuluh tahun lalu, jalan di gunung terputus karena longsor, walaupun sekarang sudah dipasang pagar pengaman sederhana di pinggir jalan, kami masih merasa ngeri ketika mempercepat kayuhan sepeda untuk menghindari batu-batu berjatuhan, karena di pinggir jalan adalah lembah gunung, kami seolah sedang berjalan di atas awan.

Permukiman Adiri yang berada di ketinggian 1200 m di atas permukaan laut, sepanjang tahun selalu diselimuti kabut. Ketika kami menengok ke Wutai dan Kabalelradhane yang berada di kaki gunung, mereka semua sudah berselimutkan lautan awan. 

Kami melewati dua area longsoran yang sangat curam, yaitu dinding longsoran curam Kinulane dan Adili, struktur lahan unik yang diciptakan oleh angin topan Morakot. Jika diamati secara dekat, setiap batu di dinding longsorannya mempunyai bentuk yang berbeda, lekukan tajam beraneka ragam, bagaikan sebuah karya seni, yang membuat manusia merasa takjub.

Titik akhir dari highway 24 pada markah 44,5 km, juga mengartikan titik awal dari jalan pintas 45, ketika sampai di permukiman Adiri, kami melihat pemandangan seperti desa yang terlantar dengan rumah rumah batu berserakan tak teratur, di sela-selanya terlihat pohon-pohon bunga sakura Taiwan yang hampir bermekaran.

Melewati rumah kepala suku Adiri, kita melihat pilar-pilar roh leluhur, gentong tembikar, ukir-ukiran kayu dan bermotif cerita legenda Balenge ka abulru di mana putri Baleng menikah dengan dewa ular vulung. Nuansa arsitektur seperti ini menunjukkan status kepala suku dalam permukimannya.

Suami istri Bao Taide dan Gu Xinhui yang tetap bertahan terus di Adiri, mereka berdua mengelola Sumuku Homestay, melayani tamu-tamu yang datang ke Adiri untuk melihat burung dan kupu-kupu, dan juga para pendaki gunung yang datang untuk menjelajahi jalan Lama Aluwan.

Di sore hari, kami menelusuri jalan setapak pepohonan sakura Taiwan, dan pada malam hari, saat langit penuh dengan bintang-bintang gemerlapan, kami bernostalgia tentang masa lalu, sambil menikmati kesunyian malam, dengan penuh suka cita dan kedamaian.
 

Mampir ke tempat rahasia sungai Hayou, harus mengarungi dasar lembah sungai dengan perjalanan mobil selama 1 jam lebih.

Mampir ke tempat rahasia sungai Hayou, harus mengarungi dasar lembah sungai dengan perjalanan mobil selama 1 jam lebih.
 

Tempat Rahasia Tercipta Pasca Bencana Taifun

Udara yang segar dan cuaca yang cerah, ketika kami berangkat pulang keesokan harinya, menjadi saat-saat berkesan bagi pengendara sepeda menuruni gunung. Lewat permukiman Kalbalelradhane, kami berhenti untuk menyantap semangkuk es Aiyu segar yang dicampur dengan jawawut yang legit dan sari jeruk lemon, semangkuk Aiyu seharga NT$ 35 menjadi hadiah bagi tubuh kami yang lelah, sambil menatap ke arah pegunungan Dawu yang penuh pesona.

Aiyu ditanam di lahan seluas 2 hektar, menjadi hasil pertanian utama penduduk setempat.

Dalam perjalanan pulang, di luar rencana, kami bertolak ke sungai Hayou, tempat wisata yang unik karena hanya bisa dikunjungi saat sebelum musim kering tiba pada akhir April, tim survei kami memilih naik mobil cross country milik warga untuk ke sana, dan tidak bersepeda.

Sungai Hayou adalah anak sungai utama dari Sungai Ailiao utara, setelah menempuh satu jam perjalanan mobil di dasar lembah sungai, lalu trekking di sungai untuk tiba di dinding batu Qicai yang spektakuler, di sepanjang perjalanan ada sumber air panas belerang, dinding batu basal yang bercampur besi dan kuarsa, dengan refleksi cahaya yang menimpa permukaan air sungai, berkilau keemas-emasan, suatu pemandangan yang mengesankan sekali.

Warga permukiman Labuwan Ba Yingxiong mengatakan, sebelum topan Morakot, daerah ini merupakan sebuah danau lembah yang dalam sekali, dinding batu Qicai hanya bisa dilihat dari arah atas yaitu dari jalan setapak di punggung gunung, dan merupakan tanah suci bagi suku Rukai. Kawasan ini berubah menjadi tempat wisata rahasia setelah topan Morakot, terdapat kemungkinan tempat ini bisa hilang tertimbun reruntuhan apabila badai topan kembali melanda tempat ini.

Musibah topan Morakot genap 10 tahun pada 2019, Profesor Departemen Kehutanan National Pingtung University of Science and Technology, Chen Mei-hui dalam waktu satu dasawarsa telah membentuk kader tenaga penduduk asli, ia mengatakan: “Pemukiman penduduk tidak ditelantarkan hanya karena bencana alam, berbekal latar kebudayaan yang kental, maka dengan mengumpulkan kekuatan semua orang, kami mengembangkan keunikan lahan ini, dengan mencurahkan budaya swasembada pertanian di pemukiman, bekerjasama dengan pasar bisnis, mengembangkan ekowisata Provincial Highway 24, pasti bisa mengembalikan keindahan permukiman bak kalung mutiara yang terputus oleh bencana alam direka kembali.”

Harapan Chen Mei-hui ini bagaikan kesan terhadap perjalanan kami akan kehangatan penduduk setempat, dan indahnya pemandangan Wutai, dalam perjalanan pulang yang membuat kaki kami terasa berpijak lebih kokoh.