Kembali ke konten utama
Seorang Pemimpi di Antara Fiksi dan Realitas Dunia Hiburan Imersif Jack Hsu
2020-04-27

Penggiat film senior, Eric Tseng (kanan), optimis dengan ambisi Jack Hsu. Selain bersedia tampil, ia pun menanamkan investasinya dengan bertindak sebagai produser.

Penggiat film senior, Eric Tseng (kanan), optimis dengan ambisi Jack Hsu. Selain bersedia tampil, ia pun menanamkan investasinya dengan bertindak sebagai produser.
 

Jack Hsu yang berusia 28 tahun merupakan sosok yang sangat sibuk.

Tidak seperti rekan-rekannya yang masih bingung menentukan arah kehidupan, pikirannya selalu berputar cepat dan bahkan melampaui usia setaranya. Ia memiliki wawasan luas nan mandiri, baik di bidang perfilman, filosofi dan sosial masyarakat.

Di usianya yang menginjak 15 tahun, Jack Hsu bercita-cita ingin menjadi seorang sutradara film. Untuk merealisasikan mimpinya, ia pun melangkah setahap demi setahap. Pada usia 18 tahun, dirinya menempuh pendidikan di National Taiwan University of Arts, Department of Radio and Television. Sebuah perusahaan produksi film SELF PICK berhasil didirikannya pada usia 23 tahun. 2 karya film pendek online yang dihasilkannya telah ditonton oleh jutaan warganet, yakni Mr. Bartender dan The Bar.

2019 merupakan tahun penuh makna nan istimewa. Film sinematik perdananya yang menceritakan persaingan di dunia bisnis, menjadi film pertama di Taiwan yang mengangkat tema teknologi blockchain. Film yang diberi judul ¡§The Last Thieves¡¨ ini, resmi dirilis pada bulan Oktober. Jack Hsu pun dinominasikan sebagai salah satu Sutradara Pendatang Baru Terbaik dalam ajang Golden Horse Awards ke-56. Kerja kerasnya selama bertahun-tahun akhirnya berhasil mendapatkan pengakuan dari para profesional.

 

Dengan nama yang kini mulai dikenal publik, membuat Jack Hsu tidak lupa akan pengalaman pahit getir yang harus dilalui untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Dalam benaknya, Jack Hsu memiliki skema dan rancangan yang jelas. Ia bercita-cita ingin membangun “Dunia Hiburan Imersif” berskala industri. Yang mampu mengombinasikan realitas dengan virtual dan direalisasikan menggunakan pancaindra manusia, layaknya Taman Wahana Disney atau Universal Studios.

Di masa awal memulai bisnis, ia pernah mengajukan dana subsidi ke Kementerian Kebudayaan (MOC). Namun sayangnya, anggota komite peninjau menolak, karena Jack Hsu dianggap memiliki “mimpi yang terlampau besar”.

Dengan gigih, ia pun mencoba untuk memproduksi drama online, “Mr. Bar­tender”. Selama proses pengambilan gambar, ia pun berusaha menggalang dana dari masyarakat, namun tetap berakhir dengan kegagalan.

Jack Hsu tidak berkecil hati, ia mulai mengumpulkan modal investasi dengan mengerjakan proyek-proyek lain, tidak saja untuk menyelesaikan karya-karya yang ada, ia juga mengubah lokasi yang pernah menjadi tempat pengambilan gambar menjadi sebuah bar yang masih beroperasi hingga hari ini.

“Di atas mimpi ini, saya merangkak dan berjalan begitu lamanya, tidak mudah tetapi akhirnya saya tiba di sini.” Ini adalah ungkapan pribadi Jack Hsu, ketika menggalang dana dalam peluncuran film “The Last Thieves”.

Film yang menghabiskan dana sebesar NT$ 50 juta ini, mendatangkan kritik yang berbeda-beda. “The Last Thieves” hanya tayang 10 hari di bioskop-bioskop Taipei, dengan penjualan tiket yang menyedihkan.

Meski demikian, tekad Jack Hsu untuk meneruskan mimpinya, berani berkarya dan semangat pantang menyerah, berhasil menggerakkan hati banyak orang. Sekelompok warganet muda mendengungkan tantangan “Tontonan Seratus Kali”, untuk membantu dan mendukung mimpi sang sutradara.

Walau ini bukan film komersial yang sempurna, namun karyanya berhasil membekas di hati setiap individu.

 

Rasa Cinta yang  Tidak Tega Melihat Dunia Gagal

Siapa pun yang pernah menyaksikan “The Last Thieves”, akan memiliki kesan mendalam serta pertanyaan dan argumen yang tajam, baik perihal kapitalisme, mekanisme ekonomi maupun isu permainan kekuasaan.

Ini bagaikan sajak di salah satu puisi Luo Chi-cheng, “Cinta di dalam diri saya, tidak tega melihat dunia jatuh dalam kegagalan.” Jack Hsu yang mencemaskan kaum muda dan kaum lansia beserta negara dengan masyarakatnya, meminjam dan membahas karakter di dalam film tersebut.

Ia mengatakan, dirinya sangat mencintai Taiwan. Sebelumnya, beberapa peluang besar memberikan ia kesempatan untuk mengembangkan karier di luar negeri. Tetapi entah mengapa, ia tidak dapat meninggalkan tanah kelahirannya. Atas dasar cinta, ia memilih untuk menetap, dan juga karena cintalah, ia meletakkan harapannya atas Taiwan.

“Tetapi rasa cinta dan keinginan untuk menjadi tak terpisahkan dengan Taiwan ini pada akhirnya tidak dapat menghindari adanya kekecewaan. Oleh karena itu, saya mencoba menarik perhatian prang lain,” katanya.

 

Film Komersial Taiwan Pertama dengan Tema Blockchain

Perjalanan hidup Jack Hsu memiliki kemiripan dengan karakter utama yang diciptakannya, yakni Yin Tzu-hsiang.

Menghadapi dunia yang tidak sempurna, membuat wirausahawan muda ingin mengubah mekanisme yang kaku. Dengan menerapkan inovasi mata uang virtual generasi kedua, dan akhirnya menciptakan pusat dunia  baru.

Demi memproduksi film, mayoritas penggiat film asal Taiwan hanya memiliki 1 jalan yang dapat ditempuh. Pertama-tama, mencoba mengajukan dana bimbingan yang berjumlah tidak terlalu banyak ke pemerintah Taiwan, dukungan dana ini digunakan untuk menarik perhatian investor lainnya. Dikarenakan jumlah uang yang terbatas, membuat para penggiat film hanya bisa memproduksi film bertema kesenian. Ditambah lagi, film kesenian lebih memiliki peluang digunakan untuk membawa pulang penghargaan, dengan demikian akan memperlihatkan kinerja positif dari pemerintah.

“Jika tidak ada bisnis, dan aliran modal, bagaimana industri mampu bertahan?” Meski tidak seambisius layaknya karakter wirausahawan Yin Tzu-hsiang, tetapi Jack Hsu memiliki cita-cita untuk mengubah industri perfilman, yang telah menjadi dedikasi kariernya seumur hidup.

Karena alasan itulah, di saat membuat film “The Last Thieves”, untuk pertama kalinya ia mengintegrasikan teknik blockchain dengan merilis mata uang virtual SELF, yang akhirnya, mata uang ini digunakan sebagai media untuk menggalang dana dari pihak luar.

Hal ini tidak hanya menarik perhatian berbagai investor, tetapi juga memperdalam interaksi antara penonton dengan film terkait, menciptakan lebih banyak ruang pemasaran dan dengan demikian terciptalah  peluang untuk mengubah industri.

“The Last Thieves” tidak hanya menjadi film bertema blockchain pertama dalam sejarah perfilman Taiwan, tetapi juga menjadi karya visual pertama yang menggalang dana dengan menggunakan teknik blockchain. Kenyataan ini bagai lanjutan plot cerita dari film tersebut.

 

Sebuah Dunia dengan Pengalaman untuk Dinikmati Bersama

Dalam wawancara hari ini, kami bertemu di SELF OASIS yang terletak di Jalan Rui An Taipei.

Bar ini merupakan salah satu properti milik Jack Hsu. Hingga hari ini, Jack Hsu telah memiliki 3 perusahaan dan 2 bar.

Ini tidak semata-mata untuk memenuhi ambisinya, melainkan sebagai pemenuhan janji kepada para penggemar film.

Melangkah masuk ke dalam bar, dengan mudah Anda akan menemukan instalasi seni berskala besar yang menyerupai huruf “S” bertengger di sudut ruangan. Bagi para penggemar film “The Last Thieves”, tentu tidak asing dengan peralatan penting yang muncul beberapa kali dalam plot cerita ini.

Tidak hanya di sini, di barnya yang lain, yaitu SELF Bar dapat ditemukan rak-rak penyimpan anggur yang terlihat sangat familier. Ini adalah salah satu lokasi adegan yang penting, di mana karakter Yin Tzu-hsiang (Yen Tsao) berulang kali bertemu dengan Hsu Ching (Megan Lai).

Awalnya, Jack Hsu tidak berencana untuk membuka satu perusahaan pun. Namun kini, ia berusaha untuk menggabungkan setiap karya, perusahaan dan barnya menjadi kepingan puzzle yang direkatkan ke dalam sebuah denah besar.

Dalam mekanisme industri perfilman konvensional, ketika pengambilan gambar selesai dilakukan, maka perusahaan tersebut juga akan turut membubarkan diri. Selebihnya hanya mengurus persoalan penjualan hak cipta, tidak ada kelanjutan yang berarti. “Jika film Cape No.7 direncanakan dengan matang, dan lokasi tempat pengambilan gambar dipertahankan maka dapat dijadikan sebagai panggung pergelaran festival musik.” Jack Hsu memberi contoh, “Selama tujuan industri, strategi dan penonton tepat sasaran, maka banyak hal yang seharusnya bisa terus dipertahankan.”

Sejujurnya, ini bukanlah hal yang baru. Disney dan Universal Studios telah melakukan hal serupa. Pertama-tama, menghasilkan sebuah karya film orisinal, kemudian merambah ke ruang lingkup berikutnya seperti makanan, pakaian, akomodasi, hiburan dan pengalaman visual dengan menggunakan pancaindra. Masih ada produk-produk sampingan lainnya yang saling terintegrasi, yang kemudian menambah pemasukan. Ditambah lagi dengan adanya investasi perumahan dan produk properti lainnya, yang akhirnya membentuk sebuah ekosistem industri yang memadai──Hanya saja belum pernah ada orang yang melakukannya di Taiwan.

Meskipun tidak memiliki sumber keuangan layaknya perusahaan besar, tetapi kunci pintu masa depan tetap dapat dimiliki, yakni dengan memanfaatkan inovasi jaringan internet dan mata uang virtual.

Menggunakan teknik blockchain untuk menggalang dana dari masyarakat, bukanlah hal yang rumit. “Sederhananya, saya menulis sebuah kontrak, kemudian saya letakkan di dalam jaringan. Kontrak tersebut diberi judul ‘Saya ingin bekerja sama dengan Anda semua untuk menciptakan ekosistem dunia hiburan imersif, senilai US$ 100 juta’,” kata Jack Hsu.

Perusahaan SELF yang didirikan di bawah namanya, menggunakan ide penggalangan dana yang kemudian menarik perhatian orang-orang untuk membelinya. Jack Hsu bertanggung jawab untuk memenuhi setiap bagian yang tertera dalam kontrak, setahap demi setahap membangun industri ini. Dirinya berpikir keras untuk mewujudkan ekosistem bisnis masa depan yang memiliki nilai di atas US$ 100 juta, dengan memanfaatkan penjualan tiket, lokasi pengambilan gambar dan hak cipta.

Menurut imajinasi Jack Hsu, asal mula substansi cerita akan diperdalam dan diperluas setahap demi setahap, melalui pengambilan gambar. “The Last Thieves” hanyalah bagian pertama dari rangkaian trilogi. Film ini dapat disaksikan secara mandiri atau dinikmati bersama dengan karya-karya lain. Lokasi pengambilan gambar yang tersebar di beberapa tempat, dapat berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Ketika berkunjung, para penikmat film seakan-akan dibawa ke sebuah perjalanan untuk memecahkan misteri dari lokasi yang pernah menjadi tempat pengambilan film tersebut.

Terlalu banyak orang yang berkata kepada Jack Hsu, bahwa mimpinya terlampau besar dan sulit terealisasi. Ia mengaku bahwa dirinya mendapat tekanan, tetapi tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mundur.

“Jika merasa benar dan dapat terlaksana, maka kerjakanlah! Jika tidak, hidup ini untuk apa? Jika setiap manusia pada akhirnya akan meninggal, apakah Anda hanya ingin menunggu ajal atau berusaha untuk menjadikan hidup lebih bermakna?” dengan lantang ia balik bertanya.