Kembali ke konten utama
Merajut Memori Historis Taiwan Bersepeda di Dataran Chianan
2020-07-13

Dahulu Dataran Chianan tidak memiliki sistem irigasi. Setelah sistem irigasi Chianan dibangun, barulah kawasan ini menjadi lumbung Taiwan.

Dahulu Dataran Chianan tidak memiliki sistem irigasi. Setelah sistem irigasi Chianan dibangun, barulah kawasan ini menjadi lumbung Taiwan.
 

Menelusuri jalan raya tertua “Provincial Highway 1” sembari bersepeda di Dataran Chianan (Chianan Plain), kami melewati tempat-tempat pusat aktivitas para leluhur di masa silam seperti waduk irigasi, pasar ternak sapi, dan area ramai di dekat stasiun. Perjalanan kali ini bagai menyelusup ke nadi pulau harta karun dan pada akhirnya kembali ke sumber pasokan nutrisi ─ lumbung Taiwan. Bersepeda tidak hanya merupakan aktivitas melintangi kawasan geografis semata, tetapi juga menjelajahi kisah lika-liku kehidupan.

 

Perjalanan mencari jejak sejarah dimulai dari Chiayi yang dikenal sebagai “Kota Kayu”, dengan Stasiun Beimen sebagai titik awal, seolah-olah kembali ke zaman pendudukan Jepang, pada masa kejayaan industri kayu Taiwan.

 

Regenerasi Bangunan Tua Jepang

Ketika berbicara perihal sejarah Kota Chiayi, penggiat budaya dan sejarah setempat akan merekomendasikan pemilik “Yushan Inn”, Yu Kuo-hsin, sebagai pemandu. Dengan pengalaman yang dimilikinya sebagai pemandu wisata selama bertahun-tahun, ditambah lagi toko yang dioperasikan Yu Kou-hsin berdiri tepat di depan Stasiun Beimen, membuat dirinya sangat lugas dalam menjelaskan sejarah perkeretaapian. 

“Dulu toko ini menjalankan bisnis ‘gelap’ (prostitusi). Melirik dari pintu kaca, semuanya terlihat gelap. Orang yang melewati kawasan ini, biasanya akan berjalan sambil menunjuk-nunjuk. Hanya saya, ketika memandu wisata ia akan secara khusus memperkenalkan kisahnya. Awalnya, saya hanya berani melihat dari luar, ketika jumlah orang yang datang cukup banyak, saya berpura-pura untuk memberanikan diri masuk ke dalam.” Dengan sang pemilik, Yu Kuo-hsin menjalin relasi yang akrab, ketika mendengar bahwa toko ini ingin disewakan, pria yang memiliki hasrat besar akan bangunan tua tersebut pun mulai mencari mitra investasi.

“Arsitektur bangunan adalah lambang suatu era. Rumah ini telah melewati generasi yang berbeda dan meninggalkan jejak yang tak terhitung jumlahnya. Sebelum menjalankan bisnis “gelap”, toko ini sebenarnya adalah sebuah penginapan. Dahulu, setiap harinya ada 4 jadwal kereta api di Stasiun Beimen, ada orang yang hendak ke gunung untuk menebang kayu dan ada warga dari Zhuqi yang datang ke pusat kota untuk berdagang. Dengan adanya peluang bisnis tersebut, sang pemilik pun membuka usaha penginapan.” Yu Kuo-hsin percaya, inspirasi dari sebuah bangunan tua berasal dari kisah-kisah yang tersemat di dalamnya.

Bersepeda di kawasan perkotaan Chiayi, dapat terlihat makanan tradisional yang dijual dengan harga terjangkau, tetapi yang menarik perhatian adalah bangunan tua yang direnovasi menjadi sebuah toko. Tren merenovasi bangunan tua ini semakin meluas, apalagi kawasan The Chiayi Cultural and Creative Industries Park yang telah selesai direnovasi beberapa tahun terakhir, sebelumnya merupakan pabrik pembuatan arak tertua di Taiwan.

Studio film “Chung Chung Film”, didirikan oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Melalui pengambilan gambar, mereka mendokumentasikan kisah-kisah kampung halaman Chiayi. Di dalam toko, terpajang objek-objek yang pernah mereka abadikan, meliputi seni merangkai bunga, syuting drama atau membuat kudapan. Mereka yang memiliki beragam impian, dan berharap dengan menyewa ruangan di daerah ini mimpi-mimpi tersebut dapat terlihat dan mengikutsertakan lebih banyak orang.

 

Jalan Mahar Jingliao: Mengembalikan Kemakmuran Setempat

Meninggalkan daerah perkotaan Chiayi, kami kembali melanjutkan perjalanan ke “Provincial Highway 1”. Setelah melewati tanda Garis Balik Utara (Tropic of Cancer), kini memasuki kawasan tropis Taiwan. Setelah mengayuh lurus beberapa saat, belok kanan ke Jalan Selatan 84 dan masuk ke Jalan Tua Jingliao.

Jalan Tua Jingliao beraspal bata merah ini biasanya disebut “Jalan Mahar”. Di kedua sisi jalan terdapat bangunan berlantai satu yang rendah, salah satunya adalah bangunan tua berusia 250 tahun bernama “Jing De Hsing Rumah Tua Marga Ruan ” (Ruan Family Old House). Selain itu, masih ada penginapan “Huang Family Hostel”, yang pada era pendudukan Jepang menjadi tempat pemberhentian bagi para pengusaha dalam perjalanan Tainan-Chiayi. Meskipun hostel ini mengakhiri bisnisnya pada tahun 1950-an, tetapi Huang Yong-quan yang merupakan generasi keempat mendirikan usaha penginapan di sekitar area tersebut. Ia pun mendalami profesi sebagai pemandu wisata serta penggiat budaya dan sejarah.

Meski komunitas Jingliao tidak besar, tetapi kawasan ini memiliki banyak toko bersejarah. Toko sepeda Jincheng berdiri di tahun 1926 dan dioperasikan oleh Ayahanda Huang Yong-quan. Toko Fengchang dibangun pada tahun 1929, sang pemilik adalah Huang Kun-bin yang pernah memenangi Fourth Fine Rice Contest dan memerankan karakter utama dalam film Let It Be. The Ruirong Timepiece Shop dibuka pada tahun 1946, ada lebih dari 100 jam antik yang tersimpan di dalam toko jam ini. Lonceng jam-jam tersebut akan berdentang bersamaan pada setiap jamnya, bagai mendengarkan alunan simfoni orkestra tanpa pemain.

Huang Yong-quan yang juga menjabat sebagai kepala desa tersebut, mengajak kami berkunjung ke tempat-tempat bisnis tua. Dengan antusias sembari menceritakan kisah toko, Huang Yong-quan juga menanyakan kondisi kesehatan para teknisi yang telah lanjut usia tersebut.

Tempat pemberhentian berikutnya adalah ── Pabrik Gula Xinying, yang terletak di dekat stasiun. Sebelum mengakhiri perjalanan hari ini, kami menyempatkan diri untuk membeli es loli rasa kacang kenari dan telur asin yang khusus diproduksi oleh Taiwan Sugar Corporation.
 

The Ruirong Timepiece Shop telah beroperasi lebih dari 70 tahun. Sang pemilik, Yin Rui-xiang tahun ini telah berusia 93 tahun. Jam-jam antik yang terdapat di dalam toko akan berdentang bersamaan pada setiap jam.

The Ruirong Timepiece Shop telah beroperasi lebih dari 70 tahun. Sang pemilik, Yin Rui-xiang tahun ini telah berusia 93 tahun. Jam-jam antik yang terdapat di dalam toko akan berdentang bersamaan pada setiap jam.
 

Keluarga Pertama di Tainan: Promotor Pendidikan Seni Taiwan

Keesokan paginya, kami berkunjung ke Liu Chi-hsiang Art Gallery and Memorial Hall di Liuying. Selama perjalanan kami melewati jalan-jalan yang cenderung datar, memudahkan kami bersepeda sembari menikmati panorama memukau dari ladang-ladang sawah yang siap panen.

Saat pertama kali melihat Liu Chi-hsiang Art Gallery and Memorial Hall, perhatian Anda pasti akan terpusat pada bangunan berwarna dengan arsitektur ekterior bergaya barat. Gerbang besar dan halaman yang luas adalah bekas rumah keluarga Liu, yang merupakan “Keluarga Pertama di Tainan”. Anggota keluarga Liu pernah berkunjung ke Benua Eropa dan Jepang, maka tidak heran jika gaya bangunan ini mencerminkan ragam karakteristik budaya; bereksterior Barat, berelemen Jepang dan memiliki konstruksi khas Taiwan.

Dengan memakai setelan jas berwarna krem dan mengenakan kacamata berbingkai persegi, anak tertua Liu Chi-hsiang, Liu Keng-i, berbicara dalam dialek Taiwan dengan gaya nada indah, dari setiap gestur tangannya terpancar aura kaum bangsawan. Ia menunjuk ke sudut studio melukis, mengenang kembali memori di ruang tersebut, “Ketika kecil, saya bolos sekolah demi menangkap jangkrik. Ladang sawah di masa lampau sangat menawan, air sungai mengalir begitu jernihnya dan dapat langsung diminum ketika haus.” Keindahan alam Liuying membekas di hati Liu Keng-i, sama seperti sang Ayahanda yang selalu melukis pemandangan ladang sawah di dalam karyanya.

Meninggalkan studio melukis, masuk ke Yilou dan di dalam ruangan tersebut masih terdapat struktur aula khas Taiwan, sementara ruangan lainnya memajang lukisan Liu Chi-hsiang dari berbagai era. Dari Jepang, Prancis dan akhirnya menetap kembali di Kaohsiung. Pria yang merupakan generasi pertama mahasiswa asal Taiwan yang belajar di Prancis tersebut, telah meninggalkan banyak karya lukisan yang mendunia. Tidak hanya itu, Liu Chi-hsiang di masa tuanya juga membuka lembaga penelitian kesenian, mengajar para siswa melukis, setelah itu, ia dan temannya juga mendirikan asosiasi seni Southern Taiwan Art Association, yang terkenal di dunia seni sekarang ini dengan sebutan Nan-Pu Exhibition (Southern Exhibition).

 

Keberadaan Nyata Melalui Kisah yang Diceritakan

Kami pun bergegas menuju Shanhua Cattle Market, berharap dapat menikmati semangkuk kuah daging sapi khas setempat sebelum pasar selesai beroperasi. Setelah berusaha selama 1 jam lebih, akhirnya kami tiba di tempat tujuan.

Di depan kios daging sapi 258 sudah ada antrian panjang, teriakan memesan makanan pun mulai terdengar. Kami segera memilih tempat duduk dan memesan semangkuk sup daging sapi yang panas. Dengan harga NT$ 60 saja, kami dapat menikmati semangkuk sup yang penuh dengan daging sapi.

Setelah makan, kami pun pergi meninggalkan kawasan pasar dengan mengitari area luar Shanhua Cattle Market tersebut. Kami menyusuri County Road 178, terus mengayuh menuju pabrik bir Shanhua Brewery. Kemudian belok kiri kembali ke Provincial Highway 1 dan setelah sekitar satu jam, belok kanan ke County Road 171, dan akhirnya kami pun tiba di Waduk Wushantou.

Waduk Wushantou dan Irigasi Chianan didirikan pada masa pendudukan Jepang, yang memakan waktu 10 tahun untuk menyelesaikannya. Proyek ini mengalihkan aliran air dengan melakukan pengeboran pada dinding gunung, yang kemudian meningkatkan volume pengairan irigasi dari yang semula untuk 5.000 hektar menjadi 150.000 hektar. Dataran Chianan pun menjadi lumbung padi  Taiwan.

Waduk Wushantou adalah bagian paling curam dari rangkaian perjalanan ini. Setelah masuk ke dalam area waduk, Anda harus mengayuh ke atas tanjakan sebelum tiba di tanggul samping waduk. Bersepeda di atas tanggul, di satu sisi terdapat panorama danau yang biru, di sisi lain adalah pemandangan hutan nan hijau, kawasan yang sungguh luas. Saat mengayuh sepeda, angin kencang terus berhembus. Teruslah mengayuh dan akan terlihat patung perunggu dari sosok insinyur Jepang yang membangun waduk ini ──Yoichi Hatta, serta makam sang istri tepat di belakangnya.

Pemberhentian terakhir adalah toko buku “GJ Taiwan” (GJ Taiwan Bookstore) yang terletak di pusat Kota Tainan. Pendirinya, Prince Wang percaya bahwa warga Taiwan pada umumnya tidak begitu mengenal sejarah mereka sendiri. Fenomena “lupa ingatan” akan tokoh pahlawan dan seniman fenomenal di masa lampau hingga asal usul perkembangan sektor industri pun mulai bermunculan. Karena alasan-alasan itulah, muncul niat untuk mempromosikan sejarah Taiwan melalui cara yang lebih menarik.

Ada banyak koleksi buku yang berkaitan dengan sejarah Taiwan dipajang di dalam toko, yang paling khas adalah “Potret Kuno Taiwan dalam Warna”. Setelah melakukan observasi, foto hitam putih kembali dipoles dengan warna, guna mendekatkan masyarakat modern dengan kehidupan di masa lampau. Setelah dirilis, mendatangkan reaksi yang luas di dunia maya.

“Ketika orang-orang tidak mengenal hal-hal di sekitar mereka, maka tidak dapat menghasilkan pengakuan atau melihat nilainya.” Ucapan Prince Wang kebetulan juga merupakan catatan kaki dari perjalanan sejarah Taiwan kali ini. Jika Anda tidak paham akan peran yang dimainkan oleh landmark dan toko tua dalam sejarah, maka Anda tidak dapat memahami pentingnya fungsi pelestarian.

Jika ingin lebih memahami keindahan Taiwan, Anda dapat melakukannya dengan bersepeda! Kayuhlah sepeda ke jalan-jalan kecil desa-desa di Taiwan, datangilah toko yang jarang dikunjungi banyak orang, dan masuklah ke dalam setiap cerita historis Taiwan.