Kembali ke konten utama
Hidup dan Mati bagi Laut Wang Ming-hsiang Bangun Rumah Cumi-Cumi
2020-09-14

Wang Ming-hsiang mengajak orang dewasa dan anak-anak mengikat Phyllostachys reticulata (bambu madake) untuk dijadikan rumah pemijahan cumi-cumi, sekaligus mempromosikan konsep konservasi.

Wang Ming-hsiang mengajak orang dewasa dan anak-anak mengikat Phyllostachys reticulata (bambu madake) untuk dijadikan rumah pemijahan cumi-cumi, sekaligus mempromosikan konsep konservasi.
 

Banyak orang yang hidupnya bergantung pada laut, tetapi mereka yang bersuara bagi laut sangat sedikit. Kebanyakan orang hanya tahu “mengeruk laut”, tetapi tidak mengetahui bahwa penangkapan ikan secara berlebihan dan sampah yang mengapung di lautan telah menghancurkan keindahan laut.

Wang Ming-hsiang yang sangat mencintai laut adalah seorang nelayan dan instruktur selam, ia juga menjadi duta promosi laut yang terbaik. Ia melakukan dengan sekuat tenaga, tidak memperhitungkan seberapa besar biaya yang dikeluarkan demi memprakarsai konservasi laut, sama seperti lautan luas yang membesarkan dirinya tanpa pamrih.

 

Kita mungkin pernah melihat Wang Ming-hsiang di National Museum of Marine Science and Technology (NMMST) di Keelung pada hari libur. Cuaca mendung disertai hujan gerimis tidak mengurangi antusias wisatawan yang datang dari tempat nan jauh untuk mengikuti kegiatan semi-ruang terbuka. Wang Ming-hsiang membimbing sekelompok besar anak-anak dan orang dewasa untuk memotong Phyllostachys reticulata (bambu madake) sesuai dengan ukuran yang diinginkan, kemudian mengikatnya dengan simpul ganda hingga berbentuk kipas, seperti karang laut lunak (alcyonacea), membangun “rumah cumi-cumi” (bigfin reef squid, Bahasa Latin: Sepioteuthis lessoniana).

Petugas NMMST memperkenalkan Wang Ming-hsiang kepada para pengunjung dengan sebutan “pelatih piston” (piston adalah sumbat geser yang terpasang di dalam sebuah silinder mesin pembakaran dalam silinder hidraulik, pneumatik, dan silinder pompa) sebagai “Kakek Cumi-cumi”, karena ia sudah berkecimpung dalam pekerjaan pemulihan populasi cumi-cumi selama 12 tahun, padahal ia baru berusia sekitar 50 tahun. Dengan adanya sebidang lahan di kawasan Timur Laut Taiwan yang tidak terjamah manusia, cumi-cumi yang memiliki masa hidup setahun ini dapat memiliki habitat untuk meneruskan generasinya.

Untuk itu sederetan sebutan mulai dari “bapak cumi-cumi”, “paman cumi-cumi”, “kakek cumi-cumi” hingga sekarang, Wang Ming-hsiang mengatakan, kalau berdasarkan silsilah seharusnya ia sudah mendapat sebutan “buyut”.
 

Wang Ming-hsiang turun ke laut, dengan Phyllostachys reticulata (bambu madake) yang akan ditarik ke dasar laut hingga kedalaman 24 meter.

Wang Ming-hsiang turun ke laut, dengan Phyllostachys reticulata (bambu madake) yang akan ditarik ke dasar laut hingga kedalaman 24 meter.
 

Pemuda Pecinta Laut

Mata Wang Ming-hsiang akan langsung bersinar, penuh dengan antusias apabila membicarakan tentang laut. Ia lahir dan dibesarkan di Keelung, sejak kecil kerap memandang kapal-kapal nelayan yang berlayar dan berlabuh. Semasa bertumbuh, Wang begitu mencintai laut tidak mengindahkan peringatan para senior, “Laut itu berbahaya, jangan pergi ke sana.” Tidak jarang ia mendapat hukuman dan dipukul sepulangnya dari bermain air, tetapi tetap saja tidak jera.

“Jika hati sedang sedih akan menjadi sangat senang kalau saya ke pantai.” Setelah beranjak dewasa, ia pun memiliki perahu sendiri, mulai dari perahu kecil sampai perahu besar, bahkan pernah memiliki 5 perahu sekaligus dalam waktu bersamaan, ini merupakan rekor terbanyak. Wang Ming-hsiang juga telah mendapatkan lisensi penyelam professional, sekarang pekerjaan utamanya adalah memandu wisatawan mulai dari menyelam, memancing di laut atau membantu melakukan survei ekologi kelautan.

Wang Ming-hsiang yang sudah seharusnya mendapat predikat “pemuda slash” (seseorang yang memiliki lebih dari satu keahlian atau profesi diistilahkan dengan sebutan slash), dengan profesi penting lain, yaitu sebagai petugas penyelamat, partisipasinya dalam tugas penyelamatan sudah lebih dari 20 tahun, ia pernah turut serta dalam berbagai ajang penyelamatan antara hidup dan mati. Wang Ming-hsiang turut terlibat dalam pertolongan bencana garda terdepan seperti bencana Taifun Xangsane, Taifun Morakot (dikenal dengan bencana banjir besar 8 Agustus 2009) dan insiden jatuhnya Penerbangan 235, pesawat milik perusahaan TransAsia Airways.

Wang Ming-hsiang juga mendapat julukan “Piston”, yang ternyata asal muasal dari sebutan ini adalah karena memanggil nama asli seorang penyelamat di lokasi bencana adalah hal yang tabu, ditambah lagi bengkel motor adalah usaha keluarga Wang, ia sendiri juga membantu mereparasi motor, untuk itu ia menggunakan nama sebuah onderdil sederhana “Piston” sebagai sebutan bagi dirinya, begitulah adanya panggilan yang mengikutinya hingga sekarang.

Wang Ming-hsiang yang telah melihat begitu banyak manusia menemui ajal, membuat ia memahami bahwa kehidupan manusia tidaklah abadi, pandangannya tentang kehidupan sangat terbuka, ia sendiri telah menghabiskan uang 1 juta NTD lebih untuk investasi konservasi laut, tetapi ia tidak mempermasalahkannya, “Lakukanlah seberapa banyak yang dapat dilakukan, jangan memikirkan berapa banyak uang yang dikeluarkan pada saat mengerjakannya, yang terpenting adalah berapa banyak sumbangsih yang dapat kita lakukan bagi masyarakat sosial dan lautan selama masa hidup kita.” ujarnya dengan gamblang.

 

Bencana Laut Bangkitkan Kesadaran Pelestarian Lingkungan

Orang yang hidupnya bergantung pada laut, kebanyakan memiliki kenangan bahwa “laut adalah lemari pendingin keluarga kita”, jika ingin menambah menu makan malam, cukup dengan ke laut menangkap ikan dan kerang, tidak terkecuali dengan Wang Ming-hsiang. Namun seiring dengan memburuknya lingkungan ekosistem, laut yang dulu kaya akan keragaman sumber daya alam, kini sudah tidak sama lagi.

Saat semakin sedikit ikan yang dapat dipancing, Wang Ming-hsiang menjadi penasaran dan menyelam ke dalam laut, di sini barulah ia menemukan bahwa di laut yang tadinya masih terdapat udang lobster yang bertengger, sekarang malah dipenuhi dengan limbah sampah yang tidak tahu datang dari negara mana, bahkan juga berserakan limbah jala ikan yang dibuang sembarang, hal ini membangkitkan kesadaran Wang Ming-hsiang akan pelestarian lingkungan. Setelah menjadi instruktur selam, ia selalu meminta wisatawan untuk memungut sampah laut saat menyelam, setelah itu baru mengajak mereka ke objek-objek wisata.

Atas permintaan nelayan pada 12 tahun silam, Wang membantu menempatkan semak bambu di lautan sekitar Badouzi. Meski wilayah Timur Laut Taiwan merupakan tempat penghasil cumi-cumi paling penting di Taiwan, tetapi karena kerusakan lingkungan alam, cumi-cumi hanya dapat bertelur pada tumpukan limbah sampah laut dan jala ikan, semak bambu dibangun sebagai “rumah pemijahan berbintang enam buatan manusia” bagi cumi-cumi dengan harapan untuk meningkatkan tingkat penetasan telur mereka.

Sejak itulah Wang Ming-hsing dengan tegas tanpa ada keraguan sama sekali terjun dalam tugas ini. Masa pemijahan cumi-cumi adalah antara bulan April hingga Oktober setiap tahunnya, tanpa peduli ada tidaknya bantuan dana dari luar ataupun ada tidaknya orang yang turut berpartisipasi atau memperhatikannya, semua ini telah berjalan bertahun-tahun hingga sekarang.

Meskipun pada awalnya, instansi pemerintah beranggapan bahwa semak bambu adalah salah satu terumbu buatan, dan harus mengajukan persetujuan untuk penempatan. Namun berkat dukungan yang besar dari asisten peneliti NMMST, Chen Li-shu dan pakar lainnya, ditambah lagi dengan catatan-catatan penelitian selama bertahun-tahun membuktikan bahwa kenyataannya cara ini membuahkan hasil, barulah pejabat pemerintah berubah sikap untuk mendukung.
 

Keindahan lautan memerlukan perlindungan bersama dari kita semua.

Keindahan lautan memerlukan perlindungan bersama dari kita semua.
 

Konservasi Sediakan Jalan Kehidupan bagi Sang Cumi Kecil

Pembangunan rumah pemijahan buatan hanyalah awal dari pelaksanaan konservasi. Pada suatu hari Wang Ming-hsiang mendapati ternyata penempatan semak bambu menjadi surga bagi para pemancing, “Bagi yang tidak bisa memancingpun pasti bisa memancing cumi-cumi di sini.” Kabar inipun tersebar sehingga meskipun kuantitas cumi-cumi kecil meningkat besar tetapi cumi-cumi besar malah menjadi langka.

Namun masa hidup cumi-cumi tidak lebih dari satu tahun, “Berarti 4 hari usia cumi-cumi sama dengan 1 tahun usia manusia.” jelas Wang Ming-hsiang. Cumi-cumi yang makan lebih banyak akan bertumbuh lebih cepat, dan hanya dalam kurun waktu setengah tahun saja beratnya bisa mencapai 1,2 kg, hal ini tidak saja membuat spesies ini dapat terus berkembang biak, tetapi juga meningkatkan nilai ekonomisnya.

Untuk itulah Wang Ming-hsiang berulang kali dengan sabar memberikan penjelasan pada para pemancing, selain itu ia juga mengimbau pemerintah untuk secepatnya membuat peraturan, berharap dapat memberlakukan larangan penangkapan dan penjualan cumi-cumi yang panjangnya kurang dari 15 cm, “Kepiting saja memiliki peraturan perlindungan, mengapa cumi-cumi tidak? Padahal populasi cumi-cumi lebih sedikit dibandingkan kepiting.” Demikian pemikiran Wang Ming-hsiang, tetapi tetap saja tidak mendapat tanggapan.

Wang Ming-hsiang yang tidak putus asa akhirnya mengubah strategi, usulannya diganti dengan harapan menjadikan area laut sekitarnya sebagai kawasan laut yang dilindungi, berharap dapat memberikan lingkungan yang baik untuk cumi-cumi kecil dapat bertumbuh dan berkembang. Usulan ini mendapat dukungan dari para pakar dan pejabat pemerintahan, dan diumumkan pembentukan “Kawasan Konservasi Sumber Daya Teluk Wanghaixiang Chaojing” dengan kawasan Keelung sebagai preseden pada tahun 2016.

Selain mempromosikan berdirinya kawasan konservasi, Wang Ming-hsiang dengan berbagai saluran yang dimiliki, menghimpun tenaga manusia untuk dikerahkan dalam pembersihan dasar laut di sekitar, dengan memunguti limbah sampah dan jala ikan, agar apa yang dikenal sebagai “tembok maut” ini tidak lagi menjerat ikan-ikan, udang, kepiting dan lainnya.

Ada nelayan yang mencemoohnya, “orang yang mencuri dengan memasang jaring insang saja tidak ditangkap, apa gunanya perencanaan kawasan konservasi” kata-kata ini membuat dia langsung pergi melaut, bersama para patroli laut menangkap kapal nelayan ilegal yang secara sembunyi-sembunyi memasang jaring insang sampai pada ganjaran hukman berat agar mereka takut dan jera. Selain memperketat penangkapan, ia juga mendesak pemerintah Kota Keelung untuk membangun sistem pendataan pengguna jaring insang, memberlakukan pertanggungjawaban dari alat tangkap dari setiap kapal nelayan dan berbagai tindakan lainnya, sampai akhirnya mereka mematuhi peraturan. Tindakan nyata yang dilakukan Wang Ming-hsiang membuat nelayan-nelayan yang tadinya hanya bisa mengecam dalam hati tanpa bisa bersuara melihat penggunaan jaring insang dari nelayan ilegal, akhirnya berbalik memberikan dukungan padanya.

Namun visi akhir dari apa yang diinginkan Wang Ming-hsiang adalah berharap dapat memperluas cakupan kawasan konservasi, memasukkan seluruh Teluk Wanghaixiang (juga disebut Teluk Fanzai’ao) ke dalam perencanaan. Meskipun nelayan tidak dapat lagi menangkap ikan di sini, tetapi mereka bisa mengikuti cara ternak tiram seperti yang dilakukan Desa Fangyuan di Kabupaten Changhua, yang mana budaya unik setempat dikembangkan menjadi sumber pariwisata, sebagai mata pencaharian, para nelayan dapat memanfaatkan kapal sebagai sarana transportasi bagi wisatawan mengikuti kegiatan laut.

Sebidang lautan luas yang membuat Wang Ming-hsiang jatuh cinta, ia berharap semakin banyak orang dapat memahami bahwa keindahan ini tidak mudah didapatkan, dan sudah sepatutnya kita lindungi bersama.