Kembali ke konten utama
Fesyen Berkelanjutan Kembali ke Pola Hidup Minimalis
2020-11-23

Kuan Chen (kiri) yang memang berasal dari industri fesyen, menyadari dampak-dampak yang muncul, hingga akhirnya mengabdikan diri, berjuang melestarikan lingkungan.

Kuan Chen (kiri) yang memang berasal dari industri fesyen, menyadari dampak-dampak yang muncul, hingga akhirnya mengabdikan diri, berjuang melestarikan lingkungan.
 

Banyak masalah bermunculan setelah industri gaya busana mencapai titik klimaks akibat penggalakkan promosi konsumsi dan produksi yang terus menerus, misalnya pakaian bekas melimpah ruah, pencemaran lingkungan dan hak asasi buruh. Masalah tersebut membuat industri fesyen beberapa tahun terakhir mulai memandang serius isu fesyen berkelanjutan, dengan memproduksi baju baru dari bahan kain daur ulang, juga membuat peralatan baru yang terbuat dari bahan limbah. Pelestarian lingkungan harus dimulai dari sektor perindustrian.

 

Menurut data statistik organisasi Greenpeace, konsumen Taiwan pada tingkat usia 20-45 tahun, setidaknya membuang 5,2 juta potong pakaian setiap tahun, yang artinya setiap menit ada 9,9 potong pakaian dibuang ke tong sampah atau ke kotak baju daur ulang.

 

Dampak Buruk Kain Sintetik bagi Ekologi

Emisi karbon menjadi sebuah masalah lain. Materi kain sintetik yang murah sangat mudah digunakan, tetapi dalam proses pembuatannya mengeluarkan karbon dioksida tiga kali lipat dari pemakaian kapas. Dewasa ini terdapat lebih dari 60% serat tekstil kain sintetik terbuat dari bahan bakar fosil, sehingga jika baju dibuang menjadi sampah tidak akan melebur dengan tanah, lagipula ketika mencucinya, baju tersebut akan mengeluarkan serat-serat yang super halus, terhanyut masuk ke sungai dan samudera, plastik mikro ini tidak akan rusak dalam ribuan tahun.

Ada sekelompok orang berdedikasi sudah mulai beraksi untuk menurunkan pencemaran lingkungan yang diciptakan industri fesyen. Seperti Story Wear mencanangkan “tidak menciptakan sampah”, dengan mengumpulkan bahan kain dan baju bekas di seluruh Taiwan, untuk dirancang kembali menjadi baju yang baru, mempekerjakan penjahit dari kaum wanita minoritas, mereproduksi banyak pakaian modis.

Pada 2013, pendiri Story Wear Kuan Chen mengakhiri kariernya di industri fesyen yang sudah ditekuni selama 5 tahun di Taiwan, lalu melanjutkan studi pascasarjana di Inggris. Di Inggrislah untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa industri fesyen adalah sumber polusi no.2 di dunia setelah industri petrokimia. Industri tekstil memang adalah sektor yang tidak transparan, pencipta polusi tinggi, mengeksploitasi tenaga kerja, bekerja melebihi waktu yang seharusnya, menciptakan banyak masalah hak asasi manusia.

 

Story Wear Memodifikasi Kain Denim

Kuan Chen mulai merasakan keseriusan situasi setelah Tiongkok menolak menerima limbah tekstil dari negara manapun. “Ini mengartikan di masa depan masalah sampah produk tekstil akan semakin parah.” Baju daur ulang Taiwan tidak memiliki tempat bernaung lagi, limbah tekstil akan terkumpul semua di pulau ini, hal ini menggugah dirinya untuk mendirikan “Story Wear”.

Bahan pakaian Story Wear terbuat dari celana jin daur ulang yang sebagian besar sumbangan dari perusahaan, setelah dicuci lalu dirancang kembali menjadi jaket panjang yang modis, atau menjadi gaun bahkan tas komputer, kotak tisu dan lain-lainnya.

“Pekerjaan tersulit adalah membongkar celana jin, mengembalikannya menjadi selembar kain.” Para “Penjahit Pojok Jalan” terlebih dulu membuka semua benang jahitan dari kain denim yang kuat dan awet dicuci serta tidak mudah berubah bentuk, ini adalah suatu proses pengerjaan yang sulit sekali. Kuan Chen memberikan julukan “Penjahit Pojok Jalan” kepada para penjahit wanita, sebenarnya mereka adalah kaum ibu minoritas dengan hobi jahit-menjahit dan juga kaum ibu dari anak-anak difabel.

Kuan Chen merancang contoh baju terlebih dulu, baru para penjahitnya meniru dengan mencari bahan yang serupa dari tumpukan kain warna-warni dan tebalnya berbeda, mereka harus mencari kain yang warna dan teksturnya serupa, termasuk arah serat kain harus melintang atau vertikal, semua harus dikombinasi dengan tepat, baru mulai dirakit dengan jahitan tangan.

Oleh karena itu setiap konsumen Story Wear akan melihat label bertuliskan: “kain denim daur ulang, kain perca limbah, katun” pada baju yang mereka beli, “tanggal pembuatan”, dan tanda tangan asli dari penjahitnya. “Bahan kain setiap baju kami berbeda, sehingga warna dan guratan kain yang dirakit juga tidak sama.” Label bertuliskan informasi produk, membuat prosesnya transparan, “Dengan demikian bisa menjamin agar hak tenaga kerja tidak tereksploitasi.” Begitulah tuntas Kuan Chen.

Sejak merek dagang ini dimulai pada 2018, Story Wear sudah mereproduksi 2,408 celana jin, menandakan ada 2.000 lebih celana jin yang semula dibuang, sekarang dirancang kembali menjadi pakaian. Selain itu Story Wear juga menciptakan banyak kesempatan kerja, setiap bulan, mereka rata-rata memberikan 50 ribu pesanan baju kepada kaum ibu minoritas.

 

Melawan Arus, Menciptakan Produk dari Limbah.

Lin Yun-ting dari Fengyuan, Taichung dan Patricia Lip dari Hong Kong sama-sama bergerak mengubah limbah menjadi emas. Keduanya berkenalan saat melanjutkan studi di Royal College of Art di Inggris, berdasarkan konsep mereka yang sama dalam fesyen berkelanjutan, maka mereka bekerja sama membangun STUDIO LIM.

Mereka mengembangkan peralatan dari kayu fiber, memanfaatkan kelanjutan pelestarian alam dengan memakai serbuk kayu, koran bekas dan serat rami, membuat nampan yang kuat, karena diproses dengan teknik 8 lapis pernis ala kerajinan tradisional, bergantian memernis dan menggosoknya berkali-kali sampai berkilat seperti kaca.

Benda artistik ini beralur guratan tidak teratur, ditambah dengan sentuhan pernis yang indah berkualitas tinggi, membuat orang sulit mempercayai benda berkelas ini adalah hasil daur ulang limbah.

Semula Lin Yun-ting dan Patricia Lip melakukannya untuk proyek tesis pascasarjana, mereka mencari bahan layak eksperimen, dan secara kebetulan mereka berkenalan dengan ahli sains, Koon-Yang Lee dari Imperial College London. Bahan penyokong Cellulose Nanofiber dari Koon-Yang Lee akhirnya menjadi bahan dasar penelitian mereka mengenai peralatan kayu fiber berkelanjutan.

 

Terobosan Aplikasi Bahan Baru

Dalam awal perjumpaan mereka dengan Koon-Yang Lee, materi baru itu masih dalam taraf penelitian, dan belum bisa dijadikan produk komersial yang menarik konsumen.

Mereka sempat bereksperimen dengan serat tumbuh-tumbuhan, dengan perbandingan yang berbeda, bahkan campuran warna yang berbeda. Juga mencoba membuat bentuk, ketebalan dan lekukan yang berbeda-beda, misalnya dipres menjadi lempengan untuk dijadikan tabung, terus menerus mengubah faktor fisika setiap bahan, sampai akhirnya berhasil membuat sifat serat rami menjadi lebih kuat. Walaupun teknik ini tidak berkaitan dengan materi nano, tetapi dalam proyek kelulusan pascasarjana, mereka berhasil memakai serat rami untuk membuat sebuah lemari, selembar papan konstruksi dan sebuah pengeras suara.

“Produksi serat rami adalah produksi serat terbesar no.2 sedunia.” Tanaman tahunan ini bisa dipanen setiap tahun, bisa tumbuh di lahan yang gersang, sangat ramah lingkungan. Ini juga mengisyaratkan bahwa di masa yang akan datang tidak perlu menebangi hutan lagi, serat rami bisa dijadikan papan kayu untuk membuat perabotan besar.

Peralatan kayu fiber mengandung limbah serbuk kayu. Mereka berdua mengumpulkan serbuk gergajian kayu-kayu seperti kayu zelvoka Taiwan, kayu pinus, kayu maple dari pabrik kayu yang berada di Fengyuan Taichung, serbuk kayu-kayu ini dicampur dengan serat rami, lalu diwarnai, dan terciptalah nampan dan piring kudapan dengan guratan kayu yang indah dan berbeda satu sama lain.

Mengingat bahan dasarnya adalah fiber, yang rentan terhadap air, Lin Yun-ting mendapat inspirasi dari kerajinan pernis tradisional berusia ratusan tahun di Fengyuan, ia memernis peralatan fibernya agar kedap air. “Asal bukan sengaja dirusak, benda-benda kecil ini bisa dipakai cukup lama.” Belakangan ini mereka mencampurkan koran bekas, menciptakan nampan dari bahan material komposit, dari jauh kelihatan seperti dari bahan mozaik, tapi dari dekat masih terlihat tulisan di atas koran, ini adalah suatu terobosan yang sangat piawai.

 

Muluskah Jalan Fesyen Berkelanjutan?

Inovasi dari hasil eksperimen materi, membuat Anda sulit memercayai bahwa bentuk luar nampan STUDIO LIM ternyata terbuat dari serbuk kayu, apalagi dikaitkan dengan “limbah”, “barang bekas”, atau “daur ulang”. Dipajang di etalase, sangat indah dan eksklusif.

“Pembeli barang kami, tertarik bukan karena ini produk berkelanjutan, melainkan karena keindahannya.” Lin Yun-ting juga mengeluh sulitnya mempromosikan konsep berkelanjutan. Patricia Lip juga membenarkan, “Produk berkelanjutan adalah inti merek dagang kami, tetapi pada saat berkomunikasi dengan konsumen, konsep ini hanya sebuah kata tambahan saja.” Maka agar konsumen bisa menerima konsep ini, syarat utamanya adalah produk harus cantik, “Tidak ada pembeli yang bersedia mengeluarkan uang untuk membeli barang jelek.”

Kembali pada keindahan material yang hakiki, mencintai semua orang dan benda di sekeliling kita, barulah tersedia alternatif yang lebih baik untuk berkonsumsi.

“Untuk itu kami mengimbau masyarakat untuk menggunakan barang konsumsi selama mungkin.” Lin Yun-ting dan Patricia Lip sangat optimis terhadap masa depan konsep berkelanjutan, dan berharap bisa mencurahkan pengertian ini kepada konsumen, bahwa fesyen berkelanjutan bukan konsep suatu merek dagang saja, melainkan sebuah pola hidup.