Kembali ke konten utama
Kunci Memori Mencari Bunda Kedua yang Hilang
2021-01-25

Hsieh Pei-yu dan nenek sangat merindukan masa-masa saat Le Thi Thu masih ada di Taiwan, mereka bahkan menganggap Le Thi Thu sebagai bagian dari keluarga.

Hsieh Pei-yu dan nenek sangat merindukan masa-masa saat Le Thi Thu masih ada di Taiwan, mereka bahkan menganggap Le Thi Thu sebagai bagian dari keluarga.
 

Di Taiwan, ada sebagian anak-anak yang sempat diasuh oleh pengasuh asal Asia Tenggara saat masih kecil. Walau ada kendala bahasa dan perbedaan kebudayaan, namun hubungan yang terjalin dalam kurun waktu yang cukup panjang, mampu membangun hubungan batin layaknya dengan anggota keluarga. Jalinan ini tidak terputus walau sang pengasuh telah meninggalkan Taiwan. Anak-anak yang beranjak dewasa, melalui perkenalan kebudayaan Asia Tenggara, peduli dengan topik terkait pekerja migran, melanjutkan impian “Mencari Bunda Kedua” mereka. Sudut pandang mereka juga mencerminkan kehidupan para pekerja migran saat berada di Taiwan, termasuk tantangan yang dihadapi.

 

Pada bulan April tahun ini melalui  jalur media, di Taiwan dan di Indonesia, seorang siswi SMA Hsu Tzu-han berhasil menemukan sang pengasuhnya Dwi Setyowati yang telah hilang kontak selama belasan tahun lamanya. Kemudian, mahasiswa Hsieh Pei-yu, berkat bantuan salah seorang selebriti internet Vietnam, juga berhasil menemukan sang pengasuh, Le Thi Thu. Menanggapi hal ini, kedua pengasuh tersebut dengan perasaan gembira menyampaikan, jika anak-anak yang dulu dirawat ternyata masih ingat dengan mereka. Tidak saja demikian, mereka juga mendeskripsikan keadaan rumah kampung halaman mereka, sehingga mampu menjadi salah satu bagian memori yang dikejar oleh anak-anak saat beranjak dewasa.

 

Mereka Bukan Pembantu
Mereka Adalah Keluarga

Saat masih kecil, Hsu Tzu-han yang menyukai film kartun “Cardcaptor Sakura”, kerap menyebut Dwi sebagai Kinomoto Sakura, sementara dirinya sendiri kerap berperan sebagai Keruberosu yang menemani Kinomoto Sakura, dari sinilah akhirnya orang rumah lainnya juga memanggil Dwi seperti itu. Setiap pagi setelah bangun tidur, asalkan menemukan orang tua tidak berada di sampingnya, maka Dwi akan membantunya menelepon agar Hsu Tzu-han dapat mendengar suara orang tuanya. Sejak pulang dari TK, Dwi akan mengajaknya berjalan-jalan di dekat rumah. Saat malam tiba, Dwi akan menggendong dan meninabobokannya.

Tidak diduga, suatu pagi saat Hsu Tzu-han bangun dari tidur, ia tidak menemukan Dwi. Dwi yang sudah menyelesaikan masa kontrak kerjanya, khawatir jika anak yang dirawatnya tidak dapat menerima kesedihan atas kepergiannya, maka Dwi memilih untuk tidak memberitahu waktu kepulangannya. Hsu Tzu-han yang tidak berkesempatan menyampaikan perasaannya atas kepergian Dwi, sempat menutup sebagian pintu hatinya, dan berdampak saat berpisah dengan orang tuanya yang diutus keluar negeri, ia kerap menyembunyikan perasaannya, menghadapi semua beban emosinya sendirian.

Belasan tahun berlalu, impian untuk bisa kembali bertemu dengan Dwi selalu hadir, namun karena mempertimbangkan kenyataan yang ada, dirinya tidak berani mengambil langkah selanjutnya. Hingga suatu hari, saat ia membaca sebuah artikel yang berjudul “Hal yang Paling Berharga”, ia teringat akan Dwi dan boneka Teddy Bear serta memori mereka berdua. Setelah usai menulis artikel, linangan air mata pun mengalir tak terbendung. Sejak hari itu, ia kerap bermimpi bertemu dengan Dwi, kenangan belasan tahun yang tersimpan dalam hati, ditambah dengan kondisi pandemi COVID-19, setiap berita tentang Indonesia kerap membuat dirinya khawatir akan keadaan Dwi. Hingga akhirnya, keinginan untuk menemukan Dwi semakin besar, dan ia memutuskan untuk benar-benar mencari dimana Dwi berada.

 

Menyuarakan Keadilan bagi Para Pekerja

Kisah tentang Hsu Tzu-han dan Dwi, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, awalnya dirilis oleh The Opinion Commonwealth Magazine, dan tidak lama kemudian berkat bantuan salah satu wartawan dari CNA, artikel tersebut dimuat di dalam media di Indonesia. Program yang awalnya terasa sulit untuk tercapai, malah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tepat pada Hari Ibu, bagaikan hadiah jatuh dari langit, Hsu Tzu-han dan Dwi akhirnya dapat bertemu melalui video-call.

“Mei Mei, kamu sudah gendut!”, ucap Dwi saat pertama kali melihat Hsu Tzu-han, bahkan terus-menerus menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Video call ini adalah pertemuan dua hati, mereka menghabiskan waktu selama 4 jam untuk saling melepas rindu, yang tentu disertai dengan ragam emosi dan linangan air mata. Hsu Tzu-han mengetahui jika Dwi saat ini sudah tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin, sehingga kosakata yang ia gunakan sangat terbatas, bagaikan obrolan antar dua anak kecil. Saat ia tahu Dwi hanya menjawab “iya” bila tidak mengerti, untuk itu saat ia mendengarkan respon ini yang diberikan, maka Hsu Tzu-han akan mengubah kalimat yang digunakan. Mereka berdua sepakat, usai pandemi COVID-19 mereda, mereka akan melakukan pertemuan di Indonesia.

Setelah menemukan Dwi, Hsu Tzu-han beranggapan bahwa dirinya kini mengemban tanggung jawab yang lebih besar lagi terhadap para pekerja migran asal Asia Tenggara. Ia yang tertarik dengan bidang advokasi, berkeinginan untuk menggunakan jalur perbaikan sistem, menyuarakan kondisi ketimpangan perlakuan terhadap para pekerja migran. Melalui pengalaman mencari Dwi, ia yakin dan percaya akan kekuatan media dan tulisan artikel yang ada.

 

Mudah Berubah dan Ketergantungan Semasa Kecil

Keluarga Hsieh Pei-yu menganggap Le Thi Thu layaknya anggota keluarga sendiri, ia tidak hanya duduk semeja untuk makan bersama, bahkan ia dianggap sebagai anak perempuan dalam keluarga. Nenek membelikan pakaian untuknya, ibu mengajaknya ke salon, bahkan pernah ada satu kali Le Thi Thu jatuh sakit, ibu pun segera mengantarkannya ke rumah sakit untuk mendapatkan infus. Sebenarnya yang memiliki waktu interaksi lebih lama dengan Le Thi Thu adalah Hsieh Pei-yu. Saat masih kecil, ia mudah emosi dan mengeluarkan nada bicara yang kasar terhadap Le Thi Thu, juga berbuat onar terhadap Le Thi Thu.

“Dulu Le Thi Thu tidak mengerti bahasa Mandarin, dan saya pasti akan emosi. Suatu kali saat makan, saya bahkan memanjat naik hingga ke atas punggung Le Thi Thu, saya tidak menduga jika ia akan berdiri, lantas saya pun jatuh ke lantai.” Hsieh Pei-yu menebak jika sikap dirinya terhadap Le Thi Thu, mungkin meniru gaya ayah. Ayah yang berbadan besar dan sikap keras, sering menanggapi Le Thi Thu dengan kata-kata yang bisa membawa kesedihan, misalnya “Toh nantinya kamu juga akan pergi.”

Meskipun Hsieh Pei-yu bisa bersikap emosi kepada Le Thi Thu, namun dalam hatinya ketergantungannya kepada Le Thi Thu sudah melebihi terhadap ibu sendiri. Saat ngompol di ranjang tengah malam, ia akan segera menuju kamar adik dan membangunkan Le Thi Thu untuk membersihkannya, guna menghindari terjadinya kekalutan hati sang ibu. Saat sekolah TK dan dicurigai mencuri, semua orang tidak percaya lagi kepadanya, tetapi ia merasa jika Le Thi Thu saat ini masih di Taiwan, maka dia akan berada di pihaknya, karena Le Thi Thu selalu menerima Hsieh Pei-yu apa adanya.

 

Hormati Setiap Perawat yang Bekerja dengan Hati

“Setelah dewasa, saat tidur sendirian atau duduk termenung, Hsieh Pei-yu sering teringat kepada Le Thi Thu”, Hsieh Pei-yu yang tinggal di Keelung, untuk pertama kalinya pergi ke Taichung sendirian untuk melanjutkan pendidikan. Di kala kesepian datang, ia selalu teringat akan Le Thi Thu. Hingga akhirnya ia membaca liputan berita tentang kisah Hsu Tzu-han dan Dwi, dan memutuskan dalam kondisi apapun, ia ingin sekali lagi bisa bertatap muka dengan Le Thi Thu.

Melalui bantuan Pham Thao Van, selebriti dunia maya  berkewarganegaraan Vietnam, yang membagikan artikel tersebut, akhirnya Le Thi Thu berhasil ditemukan dalam kurun waktu kurang dari satu hari.

Saat menggunakan video-call, Le Thi Thu masih memiliki banyak kenangan akan kondisi rumah keluarga bapak Hsieh, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan Hsieh Pei-yu atau ibu. Ia ingat dulu kerap bersama nenek pergi ke kelenteng Mingyue dekat rumah untuk sembahyang, juga ingat sering jalan-jalan bersama Hsieh Pei-yu di tepi sungai Tianliao. Le Thi Thu yang telah pulang ke Vietnam, suka mengenakan gaun yang dihadiahkan oleh ibu, untuk pergi bernyanyi di KTV bersama teman-teman. Kini, dengan pemberitaan “Mencari Bunda Kedua”, tetangga juga sering bertanya kapan Le Thi Thu pergi ke Taiwan dan menemui Hsieh Pei-yu. Le Thi Thu mendadak dikenal banyak orang, bagaikan selebritis setempat.

Karena Le Thi Thu, Hsieh Pei-yu bisa berbagi sepenggal memori yang hangat ketika merasa kesepian, kini juga ditambah dengan rasa ingin tahu lebih banyak tentang Vietnam. Waktu SMA, saat pelajaran geografi, ia mendengar nama kampung halaman Le Thi Thu, dan timbulah sebuah perasaan yang akrab dan harapan. Berkat Le Thi Thu, ia juga mulai dapat memahami permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja migran. “Tidak semua pekerja migran asing mendapatkan perlakuan yang baik, bahkan ada yang masih memiliki pemikiran strata sosial”. Melalui kesempatan “Mencari Bunda Kedua”, ia ingin mengingatkan kepada semua pihak yang mempekerjakan PMA, untuk menjaga sikap, agar jangan sampai menjadi contoh yang buruk bagi anak-anak.

 

Peduli Kebutuhan Hati PMA

Pengusung program “Mencari Bunda Kedua” adalah Liao Yun-chang, Editor in Chief “The Opinion Commonwealth Magazine”. Setelah berhasil memberikan bantuan kepada Hsu Tzu-han dan Hsieh Pei-yu melalui kisah ceritanya, Liao Yun-chang mengilas balik jika pada umumnya orang Taiwan tidak begitu memperhatikan nilai-nilai akan kisah kasih Pekerja Migran Asing. Akan tetapi, para Pekerja Migran Asing justru menjadi sandaran paling penting dalam keluarga yang memiliki orang yang hendak dirawat. Dalam “Taiwan Literature Award for Migrants 2018”, pemenang pertama dengan topik berjudul “Tentang Cinta”, mendeskripsikan peran utama adalah pengasuh yang menjaga seorang anak kecil yang cacat, selang perawatan menahun, anak tersebut akhirnya mulai dapat berbicara, namun kata pertama yang diucapkannya bukanlah mama, melainkan tante “A yi”.

Liao Yun-chang menjelaskan selain Taiwan yang memiliki contoh untuk program “Mencari Bunda Kedua”, juga ada anak-anak yang berada di Arab dan Belanda, mendatangi Kedutaan Besar Indonesia setempat, hendak mengetahui kondisi Pekerja Migran Asing nya. Tanpa memandang batasan negara, dalam menyelesaikan kondisi perpisahan, tentu membutuhkan waktu dan proses, agar tidak meninggalkan penyesalan atau luka baru. Kelak di kedepannya, Hsieh Pei-yu berencana akan membangun sebuah platform, mengumpulkan kisah cerita pengalaman serupa, agar pengorbanan yang telah diberikan oleh para pekerja migran asing dapat terlihat oleh masyarakat.

“Mereka bukan perabot, mereka adalah keluarga”, Liao Yun-chang berpendapat saat ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat untuk melakukan introspeksi diri, khususnya dalam hal hubungan antara pekerja dan majikan. Entah apakah pemerintah atau masyarakat umum, semuanya harus menyadari jika PMA juga seorang manusia yang punya hati dan rasa. Bukan hanya memberikan gaji saja, namun juga masih harus mempertimbangkan perasaan mereka. Dulu, sempat ada majikan yang memberikan bantuan kepada pekerja asal Filipina, dengan melakukan investasi restoran, agar ia dapat tetap tinggal di Taiwan. Liao Yun-chang berharap, kelak di masa yang akan datang, kisah cerita serupa bisa semakin banyak, dan para pekerja migran yang tengah berada di negeri orang, juga dapat turut merasakan dihormati dan dicintai.