Kembali ke konten utama
Tantangan dan Kesempatan pada Masa Pandemi Survei Pelaku Seni Asia Tenggara
2021-02-08

Survei Pelaku Seni Asia Tenggara

 

Peribahasa “Kesejahteraan tidak kembali datang, kesusahan bisa hadir beruntun” sangat sesuai untuk mendeskripsikan kondisi tahun 2020. Serangan pandemi COVID-19 tahun ini, menyebabkan kemerosotan ekonomi di berbagai negara, pemberlakuan isolasi kota, penerapan jarak sosial, tidak ada penerbangan dan ragam protokol pencegahan penularan, yang telah menimbulkan pukulan telak terhadap berbagai industri, menyebabkan pengangguran, gelombang pemecatan karyawan, dan pemasukan pelaku seni pun menciut akibat dihentikannya program pertukaran dan dibatalkannya pertunjukkan, yang telah berkembang menjadi efek domino.

Untuk menyampaikan kepedulian dan pemahaman terhadap kondisi sahabat masyarakat Taiwan, khususnya para seniman yang berada di negara-negara mitra Kebijakan Baru Arah Selatan, terlebih-lebih yang tengah menghadapi hantaman dan tantangan, “Majalah Taiwan Panorama” dan Taiwan Asia Exchange Association, bekerja sama dengan Mekong Cultural Hub, untuk pertama kalinya melakukan sebuah survei tentang kondisi seni budaya Asia Tenggara pasca pandemi, melakukan wawancara yang lebih mendetail dengan para pelaku seni atau ormas di Laos, Myanmar, Thailand dan Taiwan. Selain mengutarakan kepedulian kepada mereka, artikel ini diharapkan dapat menyibak keadaan para seniman di saat pandemi.

 

Pat, Desainer Lanskap Asal Laos: Interaksi Internasional Terhenti

Sejak pandemi merebak, Pha Tad Ke, kebun raya tempat kerja desainer lanskap Laos, Tongchan Kamphart (Pat), hingga September 2020 masih tertutup untuk umum.

“Tidak ada pengunjung sama sekali, turis pun tidak dapat datang,” ujar Pat sembari duduk di dalam kebun raya, bercerita melalui video call saat menerima wawancara. Pha Tad Ke, tempat Pat bekerja terletak di Luang Prabang Laos, yang sebelumnya selalu menjadi lokasi wisata favorit para turis. Pandemi yang berkepanjangan, membuat pihak Laos menghentikan pemberian visa turis, dan kebun raya yang mengandalkan pemasukan dari para turis juga terpaksa ditutup. Sebelum ini terjadi, selain bekerja sebagai desainer lanskap, Pat juga menjadi koordinator bidang seni, melakukan kolaborasi dengan banyak seniman piawai mancanegara. Mereka mencoba memadukan unsur tradisi agama Budha dengan alam, melakukan inovasi seni kontemporer, namun setelah COVID-19 merebak, semuanya berubah.

“Tidak ada penerbangan internasional, kita tidak dapat menggelar pertemuan, rapat pun tidak dapat dijalankan, semuanya hanya dapat bekerja dari rumah.”

Pat mengaku bahwa dampak pandemi sangat besar. “Kini semua jadwal harus disesuaikan dengan kondisi pandemi, tetapi tidak ada seorang pun yang mampu menjamin apa yang akan terjadi pada bulan depan.”

 

Zun Ei, Seniman Visual Myanmar: Semua Penuh dengan Ketidakpastian

Pandemi yang mengganggu jalannya program juga terjadi di Myanmar. Setumpuk proposal kolaborasi lintas negara yang ada di tangan Zun Ei Phyu (Zun Ei), terpaksa harus ditunda karena pandemi.

“Tahun 2020 adalah tahun seni saya,” gerutu Zun Ei tak berdaya. Ia mengatakan, “Tahun ini saya memiliki banyak program, mayoritas adalah program kolaborasi internasional dan beberapa program lokal lainnya, bahkan saya sendiri juga sempat berencana hendak berkunjung ke Taiwan pada bulan April lalu, tetapi karena COVID-19, semuanya dibatalkan.”

Zun Ei adalah seorang dokter yang juga spesialis bidang seni menggunting kertas dan instalasi. Selain berkarya seni, ia juga memberikan pelayanan medis sosial di komunitas setempat pada setiap hari Jumat.

Klinik tempat pelayanan medis sosial yang biasanya digunakan oleh Zun Ei, awalnya hendak dibuka kembali pada bulan Juli, namun terpaksa harus ditutup. Dalam kurun waktu 10 hari, jumlah kasus postif terinfeksi di Myanmar kembali meningkat pesat, bahkan lebih dari 1.000 pasien, bertambah minimal tiga kali lipat, sehingga setiap orang juga terpaksa harus kembali mengenakan masker.

Talenta Zun Ei yang utama adalah memberikan pelayanan kepada mereka yang sakit, namun semua ini tidak dapat terwujudkan. Epidemi di Myanmar memberikan pukulan yang sangat besar, sementara itu pemasukan seniman setempat boleh dikata rata-rata tidak begitu tinggi, sehingga saat pandemi tiba kondisi menjadi semakin parah. Namun, Zun Ei cukup beruntung, karena selama masa pandemi, masih banyak pembeli asing yang membeli hasil karyanya.

Tanawat, Produser Thailand: Pandemi Membawa Tantangan, Demokratisasi Baru Dapat Menyelesaikan Masalah

Produser Thailand, Tanawat Asawaitthipond, yang memiliki beberapa profesi, juga menjadi salah satu korban pandemi kali ini. Ia adalah seorang aktor, penasihat seni, dan produser yang berpengaruh besar dalam dunia seni internasional,  serta memiliki jalinan tali silaturahmi yang erat dengan berbagai organisasi atau yayasan.

Menghadapi kondisi pandemi yang tiada akhirnya ini, ditambah dengan adanya sedikit pergolakan sosial di Thailand, Tanawat justru optimis. “Saya tidak dapat mengatakan saya tidak terkena dampak, tetapi saya menganggap pandemi kali ini adalah sebuah titik balik perubahan.” Meskipun kondisi secara keseluruhan tidak sebaik sebelumnya, Tanawat mencoba memperlambat langkah kerjanya, melakukan inventarisasi secara mendetail berkenaan dengan sumber daya yang ada, serta mencari jalan penyelesaian. “Sebagai seorang produser, saya selalu melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.” Kebijakan seni Thailand selama ini selalu memiliki masalah dalam bidang kelembagaannya. Mayoritas seniman tidak mendapat dukungan dari pihak pemerintah, sehingga selalu harus mengembangkan profesi kedua guna mempertahankan hidup. Tanawat juga mengaku, “Sekalipun tidak terjadi pandemi seperti saat ini, kami juga tidak mendapatkan banyak dukungan dari pemerintah.”

 

Margaret Shiu,

Pendiri Bamboo Curtain Studio

Dampak pandemi juga memengaruhi kondisi seni dan budaya di Taiwan. Pendiri Bamboo Curtain Studio, Margaret Shiu, mengutarakan bahwa Covid-19 adalah hantaman paling besar bagi dirinya di tahun 2020. “Pertukaran proposal yang awalnya hendak dilakukan semua terhenti. Yang kita bangun adalah dusun seni, tapi kini rumah yang ada semuanya kosong tak terisi.”

Margaret Shiu awalnya yakin bahwa pertukaran budaya hendaknya dilakukan secara nyata dengan bertatap muka langsung, maka setiap tahun ia mengundang para seniman internasional untuk datang dan menetap di dusun seni tersebut, sekaligus mengirim seniman Taiwan ke dunia internasional. Akan tetapi, kondisi tampaknya sangat parah. Margaret Shiu mengeluh, “Tidak ada satupun seniman pertukaran yang datang ke Taiwan di tahun 2020.”

 

Peringatan Pelajaran akan Kehidupan

Pandemi yang mengoyak dunia, tidak semata hanya dalam bidang ekonomi saja, namun jaminan pekerjaan dan lain sebagainya menjadi tidak menentu, sehingga membuat kebanyakan seniman merasa takut dan cemas.

Namun, Zun Ei justru memilih langkah seni untuk memberikan respons. Selama April hingga Mei, Zun Ei memberikan kesempatan bagi dirinya untuk berkonsentrasi secara total, tidak melakukan apapun, juga tidak berkarya. Sebagai seorang Buddhis, ia menggunakan masa yang kacau balau ini untuk melakukan meditasi, mendengarkan masukan ajaran Buddha. Dirinya yang memiliki sertifikat terapi seni, juga sekaligus melakukan terapi seni terhadap dirinya sendiri. “Saya tahu bahwa saya harus berinisiatif yang positif. Hidup masih harus terus berjalan.”

“Setiap manusia mungkin akan meninggal setiap saat, hanya saja kita mengabaikannya di kala pandemi belum datang menyerang.” Pandemi justru menjadi sebuah peringatan, membuka hati dan kreativitas Zun Ei. Ia merencanakan untuk menggunakan “ketakutan” sebagai topik utama untuk menggelar tiga loka karya, mengajak setiap peserta untuk menyelami lebih lanjut perasaan takut tersebut.

Pat menggunakan filsafat Buddha untuk menenangkan jiwa. “Khalayak umum takkala menghadapi pandemi, mungkin akan segera berupaya mencari jenis pekerjaan yang baru, atau sumber pemasukan yang baru. Namun kami sebagai umat Buddha percaya bahwa kami dapat mengikuti situasi.” Pat menganggap bahwa kehidupan manusia dapat kembali menjadi sederhana, “Para petani tetap dapat bertahan hidup, dan saat ini kita dapat berkumpul bersama keluarga, berbagi indahnya kehidupan.”

Margaret Shiu menambahkan fungsi dusun seni sebagai bagian dari transformasi, “Saya bersama dengan tim kerja saya tengah menyusun sebuah interaksi pertukaran virtual.” Tugas yang diibaratkan “makelar” oleh Margaret Shiu ini mentransformasikan dusun seni menjadi sebuah platform perantara, mempertemukan seniman Taiwan dengan dunia, melakukan pertukaran ragam materi secara virtual, bertukar pengalaman, mempererat hubungan kerjasama yang telah terjalin.

Margaret Shiu menganggap pandemi membawa fenomena yang “tidak normal”, yang mana kelak akan menjadi kebiasaan yang baru, para pekerja dunia seni harus cepat melakukan transformasi, mencari jalan keluar sendiri.

“Seniman bukannya tidak bermanfaat, melainkan hendaknya berubah untuk memberikan pelayanan serta perluasan bidang pendidikan kepada masyarakat,” usul Margaret Shiu. Di tengah kondisi saat ini yang penuh dengan tantangan, seniman bisa memainkan peran dalam hal inovasi seni yang sesungguhnya, berupaya untuk mengubah seni menjadi sebuah bentuk pelayanan yang inovatif, atau mengubah ruang seni menjadi sebuah platform, terlebih-lebih di tengah ketidakpastian akibat pandemi, dengan demikian barulah seorang seniman dapat menemukan kesempatan untuk berubah di saat krisis terjadi.