Kembali ke konten utama
Taiwan – Pusat Penelitian Hakka Global Ragam Penelitian Aliansi Akademik Global
2021-04-19

Taiwan – Pusat Penelitian Hakka Global

 

Berjuang meski dengan bercucuran air mata darah untuk bertahan hidup.

Hakka merupakan kelompok yang tidak memiliki tanah air sendiri. Gerakan “Kembalikan Bahasa Ibuku” yang berlangsung 30 tahun lalu di Taiwan, telah membangkitkan kesadaran orang Hakka untuk berupaya meraih rasa hormat di tengah perputaran arus demokrasi. Studi Penelitian Hakka baru memasuki dunia akademik pada tahun 2003, selama 15 tahun terakhir orientasi penelitian berkembang luas, tidak saja dari sudut pandang lokal untuk membentuk studi etnis, melainkan melalui perspektif global, pertukaran dan menggunakan jalur Hakka berkesinambungan untuk mengembangkan batasan akademik Hakka.

 

Siapakah Orang Hakka

“Siapakah saya? Dari mana asal saya? Mengapa saya disebut sebagai Orang Hakka?” Serangkaian teka-teki yang harus dipecahkan inilah yang memicu penelitian terhadap kelompok etnis tersebut. Setelah terjadi insiden “Hakka bukanlah etnis Han” pada abad ke-19, sejarawan di akhir masa Dinasti Qing dan awal pemerintahan Tiongkok, Lo Hsiang-lin (1906-1978) yang dikenal sebagai peneliti budaya dan bahasa Hakka, mulai mencari akar keraguan persoalan yang rumit dan sulit diuraikan. Di tengah sejarah yang panjang, mereka membuka satu-persatu lembaran sejarah untuk memahami dunia Hakka beserta asal-usul dan wawasan migrasi mereka. Yang mana ini telah menjadi pintu masuk bagi penelitian akademik.

“Orang Hakka mendapatkan identitas diri mereka melalui konstruksi budaya,” ujar Hsu Cheng-kuang, mantan Kepala Institut Etnologi, Academia Sinica. “Pemikiran memutuskan kesimpulan.” Kata mantan Kepala Akademi Studi Hakka dari National Chiao Tung University Chang Wei-an, yang meraih penghargaan “Hakka Contributions Award” ke-7, menceritakan ruang lingkup keilmuan tentang studi Hakka Taiwan.

“Pandangan Lo Hsiang-lin terhadap komunitas Hakka memiliki latar belakang ruang dan waktu tersendiri.” Profesor Sejarah dari National Taiwan University, Lin Cheng-hui yang bekerja di The Academia Historica beranggapan penelitian Hakka dari Lo Hsiang-lin dimulai dari stigmatisasi yang dirasakan komunitas Hakka sehingga ia berharap teori akademis dapat melegitimasi keunggulan dari kelompok ini.

“Sebenarnya Hakka (memiliki arti tamu) adalah sebuah sebutan yang sesuai.” Hal ini telah diverifikasi baik secara antropologis maupun sosiologis. Penamaan tersebut merupakan sebuah ekspresi konflik terhadap pihak yang merupakan penduduk lokal, dan pihak  penamaan tersebut menunjuk kepada sekumpulan orang yang datang berpindah dari suatu tempat, dan digunakan oleh penduduk setempat untuk menyebut orang-orang yang datang kemudian. Jadi hal tersebut merupakan proses perasaan mereka yang menyebut “diri sendiri” kemudian menjadikannya sebagai sebutan bagi orang lain. “Saya sendiri dibesarkan dan tinggal di perkampungan Hakka. Ketika saya tidak bersentuhan dengan dunia luar, saya tidak mengerti arti dari keberadaan orang Hakka.” Kata Chang Wei-an yang tidak bisa berbahasa Hokkien sementara teman-teman sekolahnya tidak memahami bahasa Hakka. “Melalui interaksi dengan kelompok yang berbeda barulah kita bisa merasakan perbedaan satu sama lain.” Sehingga pandangan terhadap diri sendiri mulai beralih dari “orang Hakka secara lahiriah”, menjadi “orang Hakka yang sadar akan jati diri”.

Berdasarkan konsep sosiologi, pemilahan etnis merupakan masalah identifikasi sejarah dan budaya, sedangkan identitas orang Hakka di Taiwan sudah sejak lama tidak terbatas pada persyaratan “hubungan darah”. Definisi pragmatis berdasarkan “Hukum Dasar Hakka” (The Hakka Basic Law), asalkan seseorang memiliki “hubungan darah” atau “asal-usul” dan “mengidentifikasi dirinya” sebagai Hakka maka orang tersebut adalah orang Hakka.

 

Bahasa Hakka sebagai Identifikasi

Bahasa adalah pembawaan dari budaya dan merupakan unsur penting yang tidak terpisahkan dalam penelitian etnis, yang berkaitan erat dengan sejarah dan nasib dari etnis.

“Beragam aksen bahasa Hakka dapat ditemukan di Taiwan.” Kata Hsu Cheng-kuang (catatan: aksen 四海永樂大平安 yaitu aksen Sixian - 四縣腔, aksen Hailu-海陸腔, aksen Yongding-永定, aksen Changle-長樂, aksen Dabu-大埔腔, aksen Raoping-饒平腔, dan aksen Zhao'an-詔安腔). Hsu Cheng-kuang yang dibesarkan di Liu Dui, Kaohsiung mengatakan, “Hingga melanjutkan kuliah di Taipei, saya baru tahu ada aksen bahasa Hakka yang tidak sama.” Chang Wei-an juga menceritakan sebuah kisah menarik yaitu “bahasa Hakka dikira sebagai bahasa Kanton pada masa kolonial Jepang”. Pada saat tentara Jepang mengutus orang Hakka Taiwan ke Guandong untuk melakukan komunikasi dan menerjemahkan bahasa Kanton, kedua belah pihak baru menyadari bahwa kedua bahasa tersebut berbeda sama sekali.

Pelestarian bahasa Hakka selalu menjadi fokus gerakan Hakka dan juga merupakan jiwa penting bagi kelangsungan hidup etnis. “Kamus bahasa Hakka pertama ditulis oleh seorang misionaris asing.” Chang Wei-an yang memiliki komitmen untuk melestarikan bahasa Hakka menemukan dan memotret tabel pelafalan bahasa Hakka di markas besar The Basel Mission di Basel, Swiss. Gereja Kristen Basel Mission ini diyakini sebagai gereja pertama yang menyebarkan Injil hingga ke kawasan Hakka di Guangdong, dan berkontribusi dalam melestarikan dan menghidupkan kembali budaya Hakka, hal ini menunjukkan adanya hubungan erat asal usul dan budaya Hakka dengan agama Kristen.

Revisi “Hukum Dasar Hakka” yang menjelaskan bahasa Hakka sebagai bahasa nasional diumumkan berlaku mulai 31 Januari 2018. Stasiun radio berbahasa Hakka seperti Radio Hakka, Radio Formosa Hakka, Radio New Hakka dan “elearning.hakka.gov.tw” yang dikelola oleh Dewan Urusan Hakka merupakan promotor penting arus utama bahasa Hakka, yang berperan membantu mempopulerkan penggunaan bahasa dan budaya Hakka, meningkatkan identitas Hakka dan merangsang kesadaran dari orang-orang Hakka yang tersembunyi.

 

Peta Migrasi Hakka

“Hakka adalah kelompok etnis yang tersebar tetapi juga terhubung.” Dalam studi Hakka, era migrasi merupakan jejak penting bagi evolusi etnis. “Layaknya burung, orang Hakka merupakan kelompok etnis yang bermigrasi.” Pada saat fondasi dasar kehidupan terguncang, maka migrasi dimulai. Mewariskan keberanian menghadapi tantangan di lingkungan baru sehingga membentuk distribusi populasi yang luas seperti sekarang ini. “Diperkirakan 60 juta lebih populasi orang Hakka tersebar di seluruh dunia, selain di kawasan Asia Tenggara, jejak orang Hakka juga ada hingga ke Papua Nugini.” Demikian kata Chang Wei-an.

“Tempat tinggal dan kebiasaan hidup mencerminkan budaya Hakka,” ujar Hsu Cheng-kuang. Orang Hakka memiliki kebiasaan membuat acar, mengawetkan hasil panen berlimpah untuk memperpanjang waktu penyimpanan. Mereka menghargai tanah serta memanfaatkan waktu dan lingkungan sebaik mungkin. Karena kehidupan mengembara sangat sulit sehingga orang Hakka sangat memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, dan memanfaatkan pengetahuan untuk mengubah kehidupan yang lebih baik. “Menjadi orang yang berkualitas yang pertama adalah setia dan anak berbakti, kedua adalah bekerja keras dan belajar,” ini adalah prinsip yang diajarkan orang Hakka pada anak cucu mereka.

 

Perspektif Global dan Multi Eksplorasi

Tingkat ketinggian dari pandangan menentukan kedalaman dan keluasan dari penelitian seseorang. “Dimulai dari pembukaan program studi Hakka oleh National Central University pada tahun 2003, kemudian lembaga-lembaga akademik di Taiwan mengikutinya untuk mendirikan studi Hakka.” Lembaga akademik dengan kelembagaan yang berbasis perguruan tinggi melakukan diskusi komprehensif dengan menggunakan teori yang profesional, dan metode ilmiah.

“Keikutsertaan sektor publik juga telah membantu mendorong globalisasi inti penelitian Hakka.” Demikian tutur Chang Wei-an. Dewan Urusan Hakka yang telah berdiri 17 tahun, secara periodik mengelar Konferensi Budaya Hakka Global, Pertemuan Pimpinan Dewan Hakka Luar Negeri dan Konvensi Hakka Dunia, menyediakan database penelitian akademis serta memberikan kontribusi yang sangat diperlukan untuk pewarisan budaya Hakka.

Jurnal “Global Hakka Studies” yang diedit oleh Chang Wei-an merupakan platform pertukaran dan penelitian Hakka Global. Tanpa batasan geografis dan waktu, melalui penelitian akademis dan pengalaman komunitas platform tersebut mengakumulasi penelitian latar belakang Hakka. Lembaga Akademis juga secara teratur mengumpulkan dan berbagi hasil penelitian melalui seminar internasional. Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Akademi Kebudayaan Hakka, National Chiao Tung University pada tanggal 13 – 15 November 2018 menjadi ajang pertukaran pengalaman dari pakar asal Korea, Jepang, Thailand, Amerika Serikat, Indonesia, Malaysia, dan Selandia Baru. Pertemuan Consortium of Global Hakka Studies (GHAS) dari karakteristik Hakka Taiwan telah memperluas cakupannya untuk memperkenalkan perspektif baru dari studi lintas disiplin, perkembangan penelitian yang dilakukan telah mencapai skala yang setara dengan nama Pusat Penelitian Hakka Global. Studi Hakka yang tengah berkembang pesat, telah menarik dan mengumpulkan para pakar dari seluruh dunia untuk bekerja sama membajak lahan yang subur ini.