New Southbound Policy Portal

"Penghargaan Karya Sastra Pekerja Migran ke-5" Berlangsung di Taipei

Seorang pekerja migran asal Indonesia, Loso Abdi mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Taiwan yang telah menyelenggarakan acara ini, dan memberinya kesempatan. Ia mengatakan, Pekerja migran seperti kami banyak sekali, tapi hanya sedikit orang yang bersedia mendengar kisah kami dan suara hati kami, namun melalui acara ini kami merasa didengarkan.

Seorang pekerja migran asal Indonesia, Loso Abdi mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Taiwan atas penyelenggaraan acara ini. Ia mengatakan, "Pekerja migran seperti kami banyak sekali, tapi hanya sedikit orang yang bersedia mendengar kisah kami dan suara hati kami, namun melalui acara ini kami merasa didengarkan." (Foto oleh CNA)

 

Upacara penyerahan "Penghargaan Karya Sastra Pekerja Migran ke-5" telah dilaksanakan pada hari Minggu, 30 September 2018 di National Taiwan Museum. Di awal acara, para pekerja migran yang berhasil meraih penghargaan dipersilakan untuk membacakan satu paragraf dari hasil karya mereka dengan menggunakan bahasa nasional masing-masing.

Buku karya Melinda M Babaran, seorang pekerja migran asal Filipina, yang berjudul "Latay sa Laman" bercerita tentang pertikaiannya dengan sang ayah karena perbedaan pandangan mengenai kesetaraan gender. Hasil karya Melinda berhasil menarik perhatian juri, dan menjadi karya pekerja migran pertama di bidang keragaman gender yang meraih penghargaan.

Pada saat menerima penghargaan, Melinda turut mengundang sang ibu yang juga sedang bekerja di Taiwan untuk naik ke atas panggung dan berbagi kegembiraan. Ia mengatakan, "Saat itu saya mulai menulis buku ini karena mendengar ayah saya di kampung halaman sedang sakit keras, saya ingin menumpahkan perasaaan saya kepada teman, tapi tidak ingin memperlihatkan air mata, sehingga saya hanya bisa menuliskan kerinduan saya pada ayah dengan menulis di ponsel. Setelah saya menyelesaikan penulisan buku ini, ayah saya meninggal, sekarang dia tidak akan tahu kalau saya berhasil meraih penghargaan, namun saya ingin memberitahu ayah bahwa saya menyayanginya, saya sudah memaafkannya, dan setiap malam saya berdoa baginya."

Pekerja migran asal Indonesia, Loso Abdi, menulis buku berjudul "Tentang Cinta", sebuah kisah percintaan yang diangkat dari pengalaman pribadinya sendiri. Hasil karya Loso berhasil meraih juara pertama dan "Penghargaan Pilihan Remaja" (Teen Choice Award). Loso Abdi saat ini sudah kembali ke Indonesia, setelah sebelumnya bekerja di Taiwan selama 5 tahun. Sebelumnya, ia juga berhasil meraih juara pertama dalam "Penghargaan Karya Sastra Pekerja Migran ke-3".

Di atas panggung, Loso Abdi mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Taiwan yang telah menyelenggarakan acara ini, dan memberinya kesempatan. Ia mengatakan. "Pekerja migran seperti kami banyak sekali, tapi hanya sedikit orang yang bersedia mendengar kisah kami dan suara hati kami, namun melalui acara ini kami merasa didengarkan."

Acara "Penghargaan Karya Sastra Pekerja Migran" kali ini untuk pertama kalinya menerima pendaftaran dari pekerja migran di Hong Kong, Macau, Malaysia, dan Singapura, sehingga jumlah naskah yang diterima dewan juri melonjak hingga mencapai 553 eksemplar. Dari naskah yang terkumpul dipilih pemenang untuk lima kategori, yaitu juara pertama, juara pilihan dewan juri, juara harapan, penghargaan pilihan remaja, dan penghargaan khusus Macau. Hasil karya yang berhasil keluar sebagai juara akan diterbitkan akhir tahun ini dalam bentuk kumpulan cerita.

Kategori juara harapan dimenangkan oleh Yuli Riswati dengan kisah berjudul "Luka Itu Masih Ada di Tubuhku" dan Pratiwi Wulansari, dengan hasil karya berjudul "Orang-orang Penampungan". Keduanya adalah pekerja migran Indonesia yang sedang bekerja di Hong Kong.

Pemenang kategori juara harapan ketiga adalah seorang pekerja migran asal Filipina dengan nama yang disamarkan karena saat ini sedang menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Taoyuan. Dalam sebuah rekaman video yang diputar saat sesi penyerahan hadiah, ia menuturkan kesulitan yang dialami karena keterbatasan bahasa ketika menjalani proses hukum, dan menulis buku adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk bercerita. Ia mengatakan, "Mengikuti perlombaan ini dan meraih penghargaan mungkin dapat menjadi motivasi bagi sebagian orang, namun bagi kami yang berada di LP, hal ini menandakan bahwa kami masih berguna, kami masih memiliki harapan, dan masih ada orang yang mencintai kami."