New Southbound Policy Portal

Hukuisu Bangunan Rumah Makan Lintas Budaya

Bagi Wu Chien-hao, mengembalikan kejayaan Hukuisu tidak saja hanya sebuah bisnis, melainkan lebih sebagai nostalgia dan keromantisan dari “Apa yang ingin diberikan pada generasi berikutnya” (Foto: Eagle Hill)

Bagi Wu Chien-hao, mengembalikan kejayaan Hukuisu tidak saja hanya sebuah bisnis, melainkan lebih sebagai nostalgia dan keromantisan dari “Apa yang ingin diberikan pada generasi berikutnya” (Foto: Eagle Hill)

 

“Lentera bergantung, di depan pintu terdapat lalu lalang rickshaw yang mengangkut orang-orang terhormat berbaju mewah dan Geisha yang datang dari Shinmachi (Nama area administrasi kota Taiwan di masa pendudukan Jepang). Meskipun “Hukuisu” adalah Ryotei (Rumah makan tradisional Jepang yang menyajikan makanan Jepang untuk tamu kelas atas) namun memiliki peran penting sebagai ‘Pusat Eksekusi Bawah Tanah’ di kawasan Tainan semasa tahun Showa, berkaitan erat dengan perkembangan sejarah Tainan Fu-cheng (Pemerintahan kota).

 

Hukuisu bertetangga dengan pusat pemerintahan Tainan, menyediakan masakan Jepang pada era 1930an dan merupakan tempat yang popular. (Foto: Rumah Makan Eagle Hill)Hukuisu bertetangga dengan pusat pemerintahan Tainan, menyediakan masakan Jepang pada era 1930an dan merupakan tempat yang popular. (Foto: Rumah Makan Eagle Hill)

Dalam “Buku Harian Guan Yuan” dari seorang pelopor gerakan nasional Taiwan Lin Hsien-tang, tertuliskan, pada tahun 5 Showa (1930) ketika mengunjungi sahabat di Tainan, “….. kali ini mengunjungi Aula Pameran, kedua kalinya makan siang di Hukuisu, undangan dari Min-zhe, ditemani oleh Shi-quan, selama 1 jam lebih membahas masalah agama…” mendeskripsikan percakapan santai saat makan bersama temannya di Hukuisu.

Bangunan Rumah Makan Terobos Penyekat Budaya

Rumah makan Hukuisu didirikan tahun 1912 dan merupakan rumah makan mewah pada jaman pendudukan Jepang di Tainan, karena bertetangga dengan pusat pemerintahan sehingga mendapat sebutan “Pusat Eksekusi Bawah Tanah”. Setelah bertahun-tahun ditinggalkan karena masalah sengketa apakah akan dilestarikan atau dihancurkan, hantaman berat bencana angin dan kebimbangan dalam hal penentuan peninggalan budaya, maka setelah 100 tahun kemudian, tahun 2018, Hukuisu kembali membuka pintu untuk tamu, menggemakan kejayaan masa itu.

Peneliti budaya, Lin Tzung-kuei dalam “Meiji-mura on paper: The Demolished Classic Buildings of Taiwan” memasukkan Hukuisu dan Kishu (Kishu An Forest of Literature) sebagai bangunan rumah makan era pendudukan Jepang di Taiwan yang mewujudkan nuansa sejarah. Meskipun Hukuisu tidak seindah Kishu dengan pemandangan tepi sungai, tetapi Hukuisu memiliki keindahan murni pemandangan taman Jepang, menyiratkan filsafat Zen dan Shinto, tempat ideal untuk berjalan santai, berkontemplasi, pertukaran dan penyerapan informasi politik.

Setelah Hukuisu lahir kembali, taman gaya Jepang yang hening dengan jembatan di tengahnya muncul kembali.Setelah Hukuisu lahir kembali, taman gaya Jepang yang hening dengan jembatan di tengahnya muncul kembali.

Di utara ada Kishu, di selatan ada Hukuisu, sebagai perwakilan rumah makan antar gap kebudayaan Taiwan di jaman Showa pendudukan Jepang. Kishu dan Hukuisu hampir serupa, keduanya merupakan rumah makan bagian dari jejak budaya yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Jepang.

Jalan 'Lahir Kembali' Tidak Mulus

Keduanya juga diambil alih oleh sektor publik setelah Perang Dunia kedua berakhir, Kishu sempat menjadi asrama tempat tinggal pegawai negeri sipil (PNS), pada tahun 1990-an, kebakaran yang melahap bangunan utama dan bangunan lainnya, yang tersisa hanya ruangan ini. Hukuisu juga dijadikan asrama SMA Pertama Tainan (Tainan First Senior High School), terpaan angin taifun pada tahun 2008 membuat bangunan mengalami kerusakan parah. Bangunan yang tersisa dibiarkan begitu saja perlahan-lahan hancur dan masyarakat setempat meminta untuk dirobohkan, tetapi beberapa tahun terakhir dengan munculnya gerakan bahasa ibu yang mengadvokasi penggunaan unsur budaya tradisional sebagai komponen desain arsitektur baru, perlahan-lahan mendapat perhatian dari organisasi pelestarian budaya rakyat, dan memintanya untuk dimasukkan dalam daftar peninggalan budaya yang dilestarikan.

Tahun 2004, dosen dan mahasiswa Institut Pembangunan dan Perencanaan, Universitas Nasional Taiwan berhasil mengajukan Kishu sebagai bangunan bersejarah kota pada Biro Kebudayaan Kota Taipei. Pada tahun yang sama, Biro Kebudayaan Kota Tainan menggelar rapat peninjauan bangunan bersejarah dan Hukuisu berhasil lolos pemeriksaan, tahun 2005 menjadi bangunan bersejarah kota, tetapi adanya kekurangan dalam proses administrasi, sehingga tahun 2016 didiskualifikasi. Pada tahun 2009 pemerintah kota Tainan menetapkan Hukuisu sebagai arsitektur lanskap (Seni taman), dengan renovasi pemulihan wujud, sambil tetap mempertahankan bagian-bagian struktur asli yang tersisa. Setelah selesai pemulihan, pada akhir tahun 2013 baru dibuka kembali untuk umum.

Bangunan kayu di sebelah kanan Eagle Hill, mempertahankan wajah asli bangunan gaya Jepang, memamerkan tulisan Hukuisu asli.Bangunan kayu di sebelah kanan Eagle Hill, mempertahankan wajah asli bangunan gaya Jepang, memamerkan tulisan Hukuisu asli.

Tiga Solusi Membuka Kewenangan

Dibatasi dengan perencanaan tata kota dan hukum arsitektur semakin membuat kegunaan ruang Hukuisu sangat terbatas, pengunjung hanya bisa berdiri terpaku memandang arsitektur, taman dan ruang tengah yang memamerkan tulisan asli Hukuisu dan ekspektasi “Hukuisu seharusnya ada makanan” ternyata sangat berbeda.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Biro Kebudayaan Kota Tainan memulainya dari merevisi undang-undang setempat. Pertama-tama pada tahun 2014 menetapkan “Tim peninjauan bangunan peringatan Pemerintah Kota Tainan” baru kemudian merumuskan “Peraturan rekonstruksi atau renovasi bangunan peringatan Kota Tainan", terakhir perencanaan tanah kota Hukuisu diubah menjadi “Tanah sosial pendidikan”, melonggarkan batasan penggunaan tanah untuk membangun struktur baru di atas tanah yang sebelumnya dirancang untuk alun-alun.

Melalui 3 solusi “Ketentuan Hukuisu”, menjadikan bangunan utama kayu “Lidong” Hukuisu sebagai bangunan peringatan pertama di Kota Tainan pada tahun 2015. Rumah Makan A-sha berhasil mengambil alih pengelolaan dari bangunan tersisa berwarna putih “Biaodong” yang mendapat predikat tempat “Terbanyak dikunjungi presiden” di Taiwan tahun 2016. Bangunan ini mulai direnovasi pada tahun 2017 dan selesai di tahun 2018. Untuk rekonstruksi, memadukan bagian lama dan baru dari bangunan 2 lantai ini, membutuhkan dana puluhan juta, dan semua ini dikerjakan Wu Chien-hao, pemilik Rumah Makan A-sha generasi keempat, yang kemudian menamakannya “Eagle Hill”, tempat yang menyirat keharmonisan yang terletak di 44 meter dari atas permukaan laut. Setelah selesai dipulihkan kembali, barulah disumbangkan pada Pemerintah Kota Tainan, dan menjadikan bangunan asli Hukuisu, taman sebagai lokasi pameran, ruang umum pengunjung dan pameran, dengan harapan dapat membangun pencerahan baru bagi pemandangan humaniora Tainan.

Eagle Hill menyediakan makanan ringan, seperti lemper belut Taiwan (Depan) dan teh bunga lotus putih Tainan (Belakang)Eagle Hill menyediakan makanan ringan, seperti lemper belut Taiwan (Depan) dan teh bunga lotus putih Tainan (Belakang)

Membangun Sinar Baru Humaniora Tainan

Bagi Wu Chien-hao yang sejak kecil hingga dewasa tinggal di jalan Zhongyi, Hukuisu merupakan bagian dari kehidupan, ”Bagaimana agar papan nama Hukuisu bersinar kembali, memikat publik untuk turut andil dalam kelahirannya kembali?”, ini menjadi tantangan bagi Wu Chien-hao.

Selain merubah perangkat keras, cara yang paling baik dan alami adalah menggunakan makanan untuk menarik pengunjung, Wu Chien-hao memadukan belut dengan kue beras khas rumah makan A-sha, dibungkus seperti lemper dengan daun Alpinia, sebagai wujud penghormatan pada nasi bungkus belut yang menjadi makanan khas Hukuisu pada masa itu, menggunakan buah dari pohon Berangan Chinese (Sterculia monosperma) yang berusia 90 tahun di taman, untuk membuat kue beras berangan musiman yang menarik dan lezat. “Saya juga mencoba membuat kue Mont Blanc, baik rasa maupun warna sangat serupa, sayangnya ada sebagian orang tidak dapat menerima rasa pohon berangan, sehingga terpaksa harus menyerah”, Wu Chien-hao mengatakannya dengan penuh rasa sesal.  

Sebagai seorang juru masak, Wu Chien-hao memiliki antusias dan kreativitas yang tinggi terhadap masakan, tetapi juga seorang anak pembantah yang tidak mendengarkan perkataan orang tua, tetap bersikeras mengajukan proposal untuk mendapat hak kelola Hukuisu. Meskipun tahu tidak mudah mendapatkan profit, namun Chang Yu-huang, seorang pakar renovasi bangunan kuno bersikeras merenovasinya, dengan perkiraan dana awal sebesar NT$ 4 juta, kemudian terus bertambah hingga NT$ 10 juta. “Kepala sudah terlanjur basah, jadi sekalian dicuci sampai bersih.” Wu Chien-hao membeberkan rincian renovasi, kisah yang tidak ada habisnya: Pintu masuk di lantai dasar, meja penerimaan tamu dan lantai berpola bulu, pencahayaan lampu lantai 2 berupa jenis burung, pada ujung balok atap berbentuk burung, di mana-mana tampak gambar spesies keluarga burung Walber.

Eagle Hill di lantai dua Hukuisu dikelola oleh rumah makan A-Sha, menyediakan ruang rekreasi dan kegiatan, Wu Chien-hao menyambut baik setiap kerja sama yang ditawarkan.Eagle Hill di lantai dua Hukuisu dikelola oleh rumah makan A-Sha, menyediakan ruang rekreasi dan kegiatan, Wu Chien-hao menyambut baik setiap kerja sama yang ditawarkan.

 Eagle Hill menunjukkan jelas semangat kuliner lintas budaya dari Hukuisu, menarik pengunjung untuk masuk ke ruang perpaduan lama dan baru, menjelajahi taman, bangunan, pertunjukkan musik, pesta jamuan teh, mencicipi sepotong kue beras berangan, meminum teh bunga lotus putih, saat hari hujan duduk di beranda sembari mendengarkan derai tetesan air hujan atau menikmati pemandangan lampu yang menerangi kegelapan malam di taman… membuat Hukuisu menjadi pencerahan baru bagi humaniora Tainan, sekali lagi menghidupkan kembali sejarah.

“Jiu Ling” mengacu pada dataran dari generasi di sekitar Taman Memorial Tang Te-chang, jaman dulu disebut “Kuil Tian Gong”, menurut budaya dan adat istiadat rakyat, setiap Kaisar Giok (Yu Huang Da Di) ulang tahun, merupakan masa puncak bagi seluruh masyarakat untuk berdoa. Kuil Arktik dan Kuil Surga dibangun sejak awal dinasti Qing dan dinasti Ming, masing-masing untuk memuja Yu Huang Da Di dan Xuan Tian Shang Di. Dupa yang membara, membuat Jiu Ling lambat laun berkembang menjadi kota religi, politik, ekonomi dan pusat kota.