New Southbound Policy Portal
Tanpa tanah maka tidak akan ada kehidupan, 80% nutrisi yang dibutuhkan manusia berasal dari tanah.
Jenis tanah di Taiwan sangat beragam, berdasarkan taksonomi tanah Amerika Serikat tercatat ada 12 tatanan tanah, di pulau Taiwan yang panjangnya kurang dari 400 km, dengan lebar dari timur ke barat juga tidak melebihi 100 km, ternyata mengandung 11 macam jenis tanah, yaitu Histosols, Spodosols, Andisols, Oxisols,Vertisols, Ardisols, Mollisols, Ultisols, Alfisols, Inceptisols dan Entisols. Apa makna yang hendak disampaikan dari sekian banyak jenis tanah ini?
Tanah Sumber Daya Penting
Manusia pertama kali dalam sejarah berhasil mendarat di bulan pada tahun 1969, astronaut Neil Amstrong telah mengoleksi sampel tanah dari bulan, hal ini membuktikan betapa pentingnya tugas pengoleksian tanah dalam suatu penjelajahan yang penuh misteri, Hseu Zeng-yei dosen dan dekan Fakultas Kimia Pertanian National Taiwan University (NTU) merangkap sebagai kepala Museum Tanah National Taiwan University menuturkan, “Karena tanah adalah sumber kehidupan.”
Fungsi tanah yang paling dikenal manusia adalah sebagai medium pertumbuhan tanaman, “Ilmu pengetahuan tentang 18 unsur sumber nutrisi yang dibutuhkan kehidupan manusia dewasa ini, berasal dari hasil penelitian pada tanah.” Selain itu, tanah menjadi habitat mahluk hidup, termasuk puluhan ribu mikroorganisme yang tidak terlihat oleh mata, penemuan antibiotik pertama dalam dunia medis “Penisilin”, adalah hasil dari pemisahan mikroorganisme dalam tanah.
Fungsi lainnya dari tanah adalah konservasi air dan mensterilkan kualitas air, dan fungsi keempat adalah sebagai bahan konstruksi bangunan. Yang terakhir dalam ekosistem, tanah berperan serta dalam sirkulasi unsur kerak bumi, sebagai contoh, zat nitrogen dalam atmosfer setelah terikat dengan azotobacter baru bisa diserap tumbuh-tumbuhan, tanah berperan sebagai pendorong sirkulasi ekosistem.
Museum Tanah NTU mengoleksi sampel tanah dari berbagai daerah di Taiwan, dalam foto ini Hseu Zeng-yei menjelaskan proses pembentukan tanah.
Periset ekosistem tanah Chiu Chih-yu dari Biodiversity Research Center Academia Sinica, menjelaskan pentingnya tanah melalui sejarah jatuh bangun peradaban kuno. Mesopotamia memiliki tanah subur di antara dua sungai yaitu sungai Tigris dan Efrat yang menjadi sumber perabadan, penduduknya hidup di sekitar lembah pertemuan dua sungai dengan sumber air yang stabil dan tanah yang subur, menyokong pertanian produktif dan kemakmuran peradaban. Namun, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan populasi, penduduk mulai berebut lahan dengan alam, mereka membabat hutan yang berada di hulu sungai, sehingga musnahnya hutan, mengakibatkan lahan di hilir kehilangan fungsi sebagai penyokong elemen organik, akibat degradasi tanah, masyarakat kekurangan pangan dalam jangka waktu panjang, hal ini meruntuhkan keadaan sosial menuju kemerosotan, tanah adalah salah satu faktor yang merobohkan perabadan.
Sejarah migrasi Tionghoa perantau berkaitan erat dengan tanah, gersangnya lahan di daerah pesisir tenggara Tiongkok, menyebabkan rakyat tidak bisa hidup, mereka bermigrasi ke Asia Tenggara dan Taiwan. Chiu Chih-yu bercerita, begitulah leluhurnya mengarungi samudera datang menetap di Taoyuan, mengembangkan silsilah keturunan keluarganya di Taiwan. Hseu Zeng-yei membuat kesimpulan : “No soil, no life -Tanpa tanah Tidak akan ada kehidupan.”
Lima Faktor Pembentukan Tanah
Ada lima faktor untuk terbentuknya tanah, masing-masing adalah material induk, iklim, letak topografi, mahluk hidup dan waktu. Kata Hseu Zeng-yei, “Faktor yang paling berat akan membawa dampak terbesar, maka dalam perkuliahan saya selalu menjelaskan bahwa tanah adalah rangkuman dari 5 faktor variabel.”
Material induk bagaikan faktor genetika, di mana awal mula tanah dibentuk oleh batuan, tanah yang berusia muda secara natural menunjukkan ciri khas batuan induknya. Lingkungan bersuhu tinggi dan banyak turun hujan akan mempercepat pembentukan tanah, semakin besar curah hujan, kandungan unsur seperti potasium, kalsium dan magnesium dalam tanah akan cepat terkikis, sehingga pH tanah menjadi semakin asam. Oleh karena itu, kita melihat banyak tanah merah di daerah tropis, sebab dalam tanah yang terlalu sering terguyur hujan, hanya tersisa kandungan ferioksida yang membuat tanah menjadi merah. Seiring dengan berjalannya waktu, tanah yang semakin tua akan semakin asam dan merah. Sampai di sini, kita baru menyadari bahwa Hseu Zeng-yei telah memasukkan konsep waktu ke dalamnya.
Sementara itu pembinaan tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas organik. Chiu Chih-yu memberikan perumpamaan dampak habitat bambu yang berbeda jenis. Bambu tempurung kura-kura atau Phyllostachys edulis tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian menengah dari permukaan laut, masyarakat menanamnya terutama untuk mengumpulkan rebung dan mengambil bahan bambu. Namun, pembudidayaan tanaman bambu yang padat menyebabkan degradasi tanah, karena hutan bambu tempurung kura-kura tidak mampu menciptakan humus berkelanjutan. Sebaliknya di daerah sekitar Zuozhen dan Longqi di Tainan serta Tianliao di Kaohsiung yang terkenal sebagai tanah tandus seperti permukaan bulan dengan tingkat salinita tinggi, sangat tidak layak ditumbuhi tanaman. Di zaman kolonial Jepang, daerah tersebut sudah mulai ditanami bambu duri, untuk menyokong materi organik yang memperbaiki sifat kandungan fisikokimia dalam tanah, pembuatan hutan bambu duri adalah strategi jangka panjang untuk memperbaiki lahan yang buruk.
Setelah menjajaki faktor pembentukan tanah, maka tidak heran lagi mengapa tanah Taiwan begitu beragam. Mengingat Taiwan adalah pulau hasil ciptaan dari benturan antara lempengan dasar laut Eurasia dengan lempengan Filipina, material induknya sangat kaya sumber daya, “Ditambah lagi Taiwan berada di garis balik utara, yang mayoritas ditempati daratan Tiongkok, dan hanya Taiwan satu-satunya berupa pulau; dengan kesenjangan besar dalam ketinggian permukaan laut menciptakan iklim yang berbeda.”Komposisi faktor beragam seperti ini telah menciptakan biodiversitas tanah Taiwan. “Tanah adalah habitat bagi mahluk hidup, diversitas tanah menciptakan keberagaman organisme,”begitu penjelasan dari Hseu Zeng-yei.
Lapangan bola dari tanah merah adalah ciri khas produk daerah tropis dan subtropis.
Selain memiliki keragaman tanah, Taiwan juga merupakan tempat pemukiman setidaknya empat etnis, yang masing-masing memperlakukan tanah dengan tindakan berbeda, misalnya suku Han menanam padi dalam sawah air, seperti budaya irigasi kolam di daerah Taoyuan.
“Terroir mengartikan angin dan tanah yang membina habitat sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di suatu tempat.” Tanah yang paling tua di Taiwan terdapat di plato Linkou. Waktu bergulir dari masa ke masa mengakibatkan kandungan nutrisi dalam tanah terkikis musnah, yang tertinggal hanyalah unsur ferioksida yang memerahkan tanah yang ada, tidak itu saja, sifat tanah juga menjadi asam, “Tanah ini menjadi salah satu faktor yang berhasil mengangkat Taiwan ke kancah dunia.”
Dengan nada misterius Hseu Zeng-yei menuturkan bahwa teh Taiwan menjadi terkenal di seluruh dunia, juga berkaitan erat dengan tanah. Ia menilik beberapa plato tanah merah kenamaan di Taiwan, mulai dari Linkou sampai Taoyuan dan Hsinchu, di masa lalu menjadi daerah produksi teh, di dataran Bagua ada teh light Oolong atau Ching tea, di Wuhe Taiwan timur ada teh hitam Assam, sedangkan plato Luye sejak zaman kolonial Jepang sudah menjadi markas produksi teh. “Inilah keunikan lahirnya budaya teh Taiwan di mana terjadi interaksi erat antara teh dan tanah, karena tanaman teh menyukai tanah yang asam, lalu dataran-dataran letaknya lebih tinggi, dan banyak kabut yang sangat cocok untuk pertumbuhan teh.”
“Jika Anda mengerti tanah, maka pasti mengenal budaya terroir setempat.” tambah Hseu Zeng-yei. Zaman sekarang masyarakat mengenal dataran Chiayi-Tainan sebagai gudang beras, tetapi di masa lalu lahan di kawasan ini dijuluki “Sawah yang nasibnya tergantung pada cuaca”, tanahnya meskipun mengandung banyak unsur mineral, tetapi sumber air tidak mencukupi, lahan sulit dibajak, dan hanya menantikan hujan turun, sungguh pas sekali dengan julukan “Bisa makan tergantung cuaca”.
Sampai akhirnya seorang insinyur sipil Jepang Yoichi Hatta membangun “Sistem Irigasi Chianan” yang berhasil mengubah komposisi tanah setempat, dan menjadikan dataran Chianan sebagai gudang beras Taiwan, Hseu Zeng-yei mengatakan, “Tujuan Yoichi Hatta yang sebenarnya adalah ingin memperbaiki sifat tanah setempat.”
Melihat dunia dari kacamata seorang pakar tanah, akan memberikan daya tarik tersendiri. Hseu Zeng-yei ketika menyaksikan kejuaraan terbuka bola tenis Prancis, berbeda dengan pemikiran awam, di kawasan beriklim sedang yang langka tanah merah, akan menghabiskan biaya besar jika hendak membangun lapangan bola bertanah merah; berlanjut ke Jepang yang termasuk lahan volkanik, kalau masih ingat, Kano Taiwan pernah bermain di stadium Koshien bertanah volkanik yang hitam warnanya.
Apabila menonton baseball AS di Florida yang beriklim substropik, lapangannya bertanah merah, tetapi kalau ke Seatle di utara, yang berada di daerah gunung berapi, lapangan bolanya pasti bertanah hitam. Tampaknya Hseu Zeng-yei menyadarkan kita mengenai kaitan antara tanah, budaya dan kehidupan satu sama lain.
Memperlakukan Tanah Saksama, Penuh Perhatian
Hseu Zeng-yei menuturkan: “Meneliti tanah membuat saya menyadari mengapa orang Portugis menyebut Taiwan sebagai “Ilha Formosa - Pulau Yang Indah.”Ia juga menyadari arti “Jangan menilai orang dari penampilan luarnya”, sebab penelitian terhadap tanah selalu harus membuat kerukan yang sangat dalam ke bawah lapisan bumi, agar bisa melihat seluk beluk pembentukan tanah.
Menilik tema tanah dari sudut pandang global, populasi yang berkembang pesat pasca Perang Dunia II, krisis pangan yang tetap terjadi, dari 17 indeks SDGs target perkembangan berkelanjutan Persatuan Bangsa Bangsa, salah satunya adalah “Membasmi kemiskinan dan mengakhiri kelaparan” dan menjelaskan bahwa betapa pentingnya peranan tanah. Tema hangat “Nol Emisi Karbon” beberapa tahun ini, tanah juga memainkan peranan penting, “Menanam pohon mengurangi emisi karbon, tanah bisa menyerap karbon, dalam proses ini cakupan peranan tanah sebesar 60%”.
Masalah polusi udara global, misalnya badai debu pasir yang sering melanda Jepang, Korea Selatan di musim dingin, ada periset menemukan debu pasir dalam badai debu berasal dari dataran tinggi Mongolia, karena hutan setempat telah dieksploitasi berlebihan, mengakibatkan lahan menjadi gurun pasir, tiupan angin dari arah utara membawa dampak bagi negara-negara di sekitar.
Tanah menciptakan keberagaman budaya, sekaligus memengaruhi aspek dunia, dalam proses klasifikasi sumber daya alam, tanah telah dikategorikan sebagai sumber daya mutlak, menjadi tema global berkelanjutan yang penting, “Saksama, penuh perhatian” adalah tanggung jawab warga dunia dalam memperlakukan bumi ini.
MORE