Kembali ke konten utama
“Tai Ke” Baru Pekerja Imigran asal Asia Tenggara di Taiwan
2018-02-19

Hubungkan Asia Tenggara

 

Untuk mendobrak pemahaman dan pemikiran masyarakat Taiwan pada umumnya terhadap imigran baru, sejak bulan Maret 2017 Museum Nasional Sejarah Taiwan (NMTH) bekerja sama dengan Asosiasi Persaudarian TransAsia Taiwan (TASAT) dan Brilliant Time Bookstore, menggelar pameran khusus  bertajuk "Tai Ke Baru, Pekerja Imigran Asal Asia Tenggara di Taiwan", yang merupakan kumpulan cerita pengalaman sendiri saat merantau bekerja di negeri orang, antara lain pekerja imigran asal Kamboja, Indonesia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Dengan menggunakan cerita sejarah sendiri untuk berkomunikasi dengan sejarah sosok yang lebih besar lagi, dan memberitahukan kepada khalayak umum bahwa sosok "Tai Ke Baru" juga manusia yang memiliki hati dan perasaan.

 

Kotak kardus besar dan kecil menjadi memori kenangan bagi para imigran baru, untuk mengirimkan berbagai benda keperluan bagi keluarga di kampung halaman.Kotak kardus besar dan kecil menjadi memori kenangan bagi para imigran baru, untuk mengirimkan berbagai benda keperluan bagi keluarga di kampung halaman.

Pameran kali ini mengfokuskan kepada sejarah pekerja yang migrasi selama kurang lebih 50 tahun terakhir, dengan memamerkan berbagai jenis benda kebutuhan hidup, video, suara dan karya cipta para pekerja imigran, agar pengunjung dapat melihat dari sudut pandang yang berbeda tentang nilai dan budaya dari komunitas atau suku yang berbeda.

Hubungkan Asia Tenggara

Melaju ke Masa 50 Tahun Berikutnya

Salah satu ruang pameran bertajuk “Perang Dingin, Tolak Komunis, Anti Tionghwa: Paruh Awal Abad Imigran Asia Tenggara”, untuk memperkenalkan kepada Taiwan tentang proses migrasi, dan mengukur 30 hingga 40 tahun ke depannya, dapat memudahkan masyarakat umum untuk memahaminya, jika Taiwan telah mulai memiliki catatan sejarah hubungan dengan Asia Tenggara di awal era tahun 1960 an hingga 1970 an.

Banyak imigran asal Asia Tenggara yang merantau hingga ke Taiwan pada era tahun 1960 dan 1970 an. Huang Yun-thu, salah satu Tionghwa Perantau asal Indonesia, dapat terlihat berbagai macam benda seperti setrika, yang turut dibawa ke Taiwan kala itu.Banyak imigran asal Asia Tenggara yang merantau hingga ke Taiwan pada era tahun 1960 dan 1970 an. Huang Yun-thu, salah satu Tionghwa Perantau asal Indonesia, dapat terlihat berbagai macam benda seperti setrika, yang turut dibawa ke Taiwan kala itu.

Asisten Peneliti Bidang Pameran Museum Nasional Sejarah Taiwan (MNTH) Chow I-ying menjelaskan bahwa sebelum menggelar pameran saat ini, pihak MNTH sebelumnya juga sempat menggelar pameran terkait para pekerja imigran dan imigram baru, namun banyak yang memberikan pendapat bahwa mayoritas imigran baru datang menikah ke Taiwan kurang lebih 10 tahun yang lalu, atau dari kalangan para pekerja imigran asal negara-negara Asia Tenggara. Sementara di era tahun 1960 an karena memasuki masa baru usainya perang dunia ke 2, dipengaruhi oleh berbagai aksi internasional misalnya Tolak Komunis dan Perang Dingin. Sekalipun ada yang datang untuk menetap, melanjutkan pendidikan, misalnya salah satu Tionghwa Perantau Huang Yun-thu yang melakukan proses migrasi keTaiwan mengikuti jejak ayah dan kakaknya, dan menetap di Pintung, demikian juga dengan mereka yang masih di Indonesia yang selanjutnya terhubungi, ikut dalam proses pengurusan migrasi dan datang ke Taiwan membentuk sebuah komunitas Tionghwa Perantauan.

Chow I-ying menyebutkan bahwa pada masa lalu banyak penduduk Tionghwa yang tinggal di Provinsi Guangdong Daratan Tiongkok, demi memperbaiki kehidupan, merantau ke Asia Selatan dan menetap di Indonesia, Vietnam dan negara lainnya di Asia Tenggara. Demikian juga dengan keluarga Huang, dimana ayah dari Huang Yun-thu dengan alasan wisata ke Taiwan, akhirnya menetap di kawasan Pintung, yang menurutnya memiliki kondisi dan lingkungan sama dengan Indonesia. Huang sendiri juga sempat dikunjungi oleh mendiang Presiden Jiang Khai-shek. Dari berbagai benda peninggalan dapat ditelusuri jejak sejarah kehidupan Huang di Taiwan, misalnya foto, alat hitung hingga kerangka ranjang. Selain Huang, masih banyak Tionghwa perantauan asal Thailand, Vietnam yang datang menetap di Taiwan.

Dobrak Persepsi Kuno

Tulis Ulang Kisah Kehidupan

Jiang Rung-jen, Tionghwa Perantauan melukiskan isi hatinya tentang “Rumah”.Jiang Rung-jen, Tionghwa Perantauan melukiskan isi hatinya tentang “Rumah”.

 “Tai Ke Baru, Pekerja Imigran Asal Asia Tenggara di Taiwan” tidak hanya memperpanjang dan memperluas waktu catatan sejarah, namun sekaligus untuk mendobrak persepsi khalayak umum terhadap “Imigran Baru” dan “Pekerja Imigran”. Hal ini dimaksudkan agar publik mampu melihat masyarakat yang berasal dari latar belakang berbeda, memiliki kisah kehidupan dan sejarah sendiri, termasuk kebudayaan yang dimiliki. “Mengapa datang: Kisah mereka di Taiwan” mencoba mendeskripsikan cerita dari 14 imigran dari Thailand, Kamboja, Vietnam, Indonesia dan Filipina. Ada yang menjadi ibu rumah tangga, penyiar, tokoh masyarakat, nelayan dan apa yang menjadi pemikiran mereka tentang “Rumah”.

Jiang Rung-jen asal Thailand, yang bertemu dan jatuh cinta dengan sang suami, adalah seorang wanita karir yang mandiri. Ia tidak saja berpendidikan tinggi, namun juga fasih dalam berbahasa Inggris. Selanjutnya karena tugas dinas sang suami, ia harus meninggalkan kampung halamannya sendiri, dan memulai kehidupan baru di Meinong, Kaoshiung.

Suami adalah anak tunggal, sehingga Jiang Rung-jen selain harus berperan sebagai menantu satu-satunya untuk menjaga seluruh anggota keluarga sang suami, dirinya masih harus menjalani kehidupan jauh dari negara sendiri. Awalnya sangat sulit untuk menyesuaikan diri, sehingga menjadi sebuah beban yang teramat sulit baginya untuk dipikul. Hingga sang putri mulai masuk sekolah, dan ia menjadi salah satu sukarelawan di sekolah, barulah dapat mulai membuka diri sendiri untuk masyarakat luar. Dalam film yang diputar, terlihat sebuah dapur kecil tempat dimana ia dapat mengebulkan kembali aroma masakan khas negaranya, menceritakan kehidupan tradisional yang ia lalui selama 17 tahun. Dalam salah satu sketsa sederhana yang digoresnya, dapat terlihat pandangannya akan rumah masa depan. Langit biru dengan rumah di Taiwan dan di Thailand, dapat dipahami keinginan bebas bepergian pulang dan pergi antara Taiwan dan Thailand.

Dalam salah satu film dokumenter yang diluncurkan oleh TASAT tahun 2010, mengambil tema “Saudari yang menjual labu”.Dalam salah satu film dokumenter yang diluncurkan oleh TASAT tahun 2010, mengambil tema “Saudari yang menjual labu”.

Ke Ya, mantan ketua TASAT periode pertama berasal dari Kamboja. Ia dilahirkan dan dibesarkan di masa rejim Khmer Merah. Ke Ya bertemu dengan salah satu agen biro jodoh dan akhirnya bertemu dengan sang suami yang awalnya takjub mendengar Ke Ya fasih berbahasa Inggris, sehingga keduanya pun akhirnya melanjutkan ke pelaminan. Sekalipun dirinya sempat mengenyam pendidikan dalam bidang perawatan, namun dirinya tetap saja mendapat keraguan dalam hal merawat anak kecil. Ia rasakan dengan mampu membaca maka baru dapat menyuarakan isi hati sendiri. Ke Ya akhirnya memutuskan untuk membuka kelas mengenal tulisan pertama di Meinong, yang kemudian berlanjut menjadi ketua periode pertama di TASAT.

Salah satu yang mampu memiliki tekad yang kuat dan konsisten di negeri orang adalah Ruan Shih-jen, yang kini melanjutkan kuliah untuk strata 2 di National Sun Yat Sen University. Ia hanya lulusan universitas di Vietnam, setelah berkenalan dan menikah dengan sang suami, Ruan hijrah tinggal di Taiwan. Saat ditanya tentang latar belakang pendidikannya, ia selalu merasa tak berdaya, “Pendidikan di Vietnam atau yang di Taiwan? Jika di Vietnam, saya adalah lulusan universitas, namun jika di Taiwan saya hanya lulusan SD.” Ruan yang tidak pernah putus asa, kini adalah seorang penyiar radio sembari mengemban tugas selaku pekerja sosial, dan senantiasa memberikan bantuan kepada orang lain.

Yang paling menarik dalam pameran kali ini adalah, hampir setengah dari isi pameran adalah para pekerja informal, namun ada juga yang mengemban tugas sebagai penerjemah, hingga seorang fotografer. Chow i-ying menjelaskan bahwa kini di Taiwan terdapat sebanyak lebih dari 600 ribu imigran baru dan pekerja imigran, dimana 60 ribu di antaranya adalah pekerja professional. Misalnya salah satu penerjemah dalam arena pameran, Yang Yu-ying yang berprofesi sebagai penerjemah dan agensi. Ia adalah Tionghwa Perantauan, dan lulusan Universitas Nasional Chi Nan, jurusan bahasa Mandarin. Kini selain mengemban tugas selaku penerjemah, juga menjadi mediator perantara perusahaan lintas negara.

Tampak berbagai jenis catatan memenuhi dinding, menuliskan kisah perjalanan hidup para imigran di Taiwan.Tampak berbagai jenis catatan memenuhi dinding, menuliskan kisah perjalanan hidup para imigran di Taiwan.

Linda yang sehari-hari bekerja dalam bidang medis, juga menyukai seni fotografi, sehingga bersama dengan rekan senegaranya untuk membuka studio khusus pemotretan pernikahan. Membantu mereka yang menemukan kekasih di Taiwan untuk mengabadikan momen pernikahannya. Dalam kesibukannya, Linda juga mengusung program pendidikan universitas terbuka, dan tidak melepaskan kesempatan apapun dalam hal meningkatkan keterampilan sendiri.

Sejarah perkembangan Tai Ke Baru di Taiwan, juga dipamerkan di beberapa lokasi tempat dimana mereka suka berkumpul, misalnya Stasiun Kereta Api Taipei. Selain memperkenalkan Organisasi TIWA yang aktif memberikan pelayanan kepada para pekerja imigran sejak 1990 an, TIFA yang khusus bergerak dalam bidang urusan rumah tangga dan keluarga, serta organisasi baru yang terbentuk seperti TASAT, 4 Arah, One-Forty dan lain sebagainya. Juga mengusung topik pelajar SD di Changhwa yang menggelar aksi pemberian bantuan bagi para imigran baru. Sementara untuk bidang perbaikan undang-undang dan isu sosial masyarakat lainnya, juga telah terekam dalam berbagai catatan aktivitas berbagai organisasi terkait.

Chow I-ying mengatakan, “Dari catatan sejarah hingga individual, maka diharapkan dengan adanya kisah kehidupan yang disampaikan, maka dapat membuah khalayak umum lebih memahami siapa para Tai Ke Baru, dan turut memikirkan serta menciptakan sebuah persepsi yang baru di Taiwan.”