Kembali ke konten utama
Ketika Puisi bertemu dengan Lagu dan Lo Sirong menemukan jalan untuk pulang
2018-09-24

Ketika Puisi bertemu dengan Lagu dan Lo Sirong menemukan jalan untuk pulang

 

“Penyanyi Pedesaan Wanita,” “Penyanyi Hakka Terbaik,” “Wanita Hakka Sang Pencipta Lagu” dan masih banyak lagi predikat, yang tampaknya belum cukup mendefinisikan sosok Lo Sirong. Ia menulis puisi, melukis, menciptakan musik, menjadi jembatan untuk memenuhi hasratnya pada hakekat kehidupan yang alami. Meskipun albumnya yang berjudul “The Flower Beckon” membuat
Lo terpilih sebagai penyanyi Hakka terbaik dan album Hakka terbaik untuk kategori musik pop dalam penghargaan Golden Melody Awards 2012, Lo pribadi lebih menyukai predikat tanpa label “Hakka” dan memilih jalan yang lebih lebar dalam dunia “puisi” dan “wanita”. Mari kita simak bagaimana seniman wanita ini membuat puisi dan lagu berdialog dalam kehidupannya.

 

Anak perempuan yang meninggalkan rumah sedang dalam perjalanan pulang, ia tidak melupakan aksen asalnya.Anak perempuan yang meninggalkan rumah sedang dalam perjalanan pulang, ia tidak melupakan aksen asalnya.Anak perempuan yang meninggalkan rumah sedang dalam perjalanan pulang, ia tidak melupakan aksen asalnya.

Studio kerjanya berada di tingkat teratas rumah kediamannya, di situ pula ia menanam bunga-bunga, teras yang tidak besar itu penuh dengan ratusan jenis tumbuh-tumbuhan, dan dalam ruang kerja terdapat sebuah pot tanaman pakis favoritnya seolah-olah berperan sebagai penyubur suasana ruang.

Di atas meja terdapat asinan anggur kering yang direndam dalam arak Hua Diao dan cuka daun cemara, kudapan sehat, alami yang dibuat sendiri oleh Lo Sirong.

Studio tempat Lo Sirong berkreasi ini memberikan kesan beraura Yin, alami, penuh dinamika hidup yang berimbang. “Saya berharap bisa kembali pada derap kehidupan yang lebih alami tanpa hasrat yang membabi buta,” demikian ungkapnya.

Gomoteu dan Anggotanya

Album Lo Sirong “Everyday” membuat debut menakjubkan pada 2007, yaitu di usianya yang ke-47 tahun.

Albumnya yang kedua “The Flower Beckon” diluncurkan pada 2011, semakin menggebrak dengan meraup hampir semua penghargaan, seperti Golden Melody Awards untuk kategori musik pop, Golden Indie Music Awards, Chinese Music Media Awards dan Chinese Music Awards. Kritikus musik Chang Tieh-chih memuji musiknya sebagai “Dialog antara balada gunung Hakka tua dan blues tradisional Amerika.”

Tahun lalu, Lo Sirong membuat terobosan keluar dari kerangka “Wanita Hakka,” dengan menyeleksi 12 penyair wanita penting Taiwan yang berasal dari tingkatan usia dan kelompok etnik yang berbeda, dan merangkum karya seni mereka ke dalam musik, menghasilkan album berjudul “More Than One.”

Ke 12 penyair wanita tersebut adalah Chen Yu-hong, Fangge Dupan, Ai Lin Yen, Feng Ching, A-mang, Chang Fang-tsu, Ling Yu, A-Weng, Li Yufang, Tsai Wan-shuen dan Yin Nuo. Puisi mereka dijadikan lirik lagu album “More Than One” dalam tiga bahasa - Mandarin, Minnan dan Hakka.

Dengan album ini Lo Sirong meraih penghargaan Penyanyi Lagu Rakyat Terbaik dalam Chinese Music Media Awards tahun 2015. Menurut DJ Radio, Ma Shih-fang, tidaklah mudah membaurkan puisi ke dalam musik. “Syair-syair dalam lagu bernada blues itu bagaikan sumber mata air yang muncul dari muka bumi, dengan kehangatan dari jiwa yang dalam.”

“Jalan raya dan angin, bimbing daku pulang/Waktu dan impian, bawalah daku pergi/Seorang anak perempuan pergi melanglang buana/Anak perempuan sedang dalam perjalanan pulang/Ia tidak melupakan aksen asalnya.”- Gone From Home“Jalan raya dan angin, bimbing daku pulang/Waktu dan impian, bawalah daku pergi/Seorang anak perempuan pergi melanglang buana/Anak perempuan sedang dalam perjalanan pulang/Ia tidak melupakan aksen asalnya.”- Gone From Home

Berganti karir di usia setengah baya dan menjadi ternama, suatu bukti karakter “Gomoteu” nya.

“Gomoteu” dalam bahasa Hakka adalah kata sifat untuk melukiskan sosok yang tak terkendali, penuh humor serta sarkasme, dan menjadi judul lagunya. Inilah sebagian lirik dari lagunya: “Berapa banyak jumlah kera di atas gunung, maka sama dengan berapa banyak kera di hatimu, hidup semaunya, liar dan bebas.”

Maka jadilah Gomoteu sebagai nama band yang beranggotakan lima orang. Lo Sirong menulis lirik dan musik serta menjadi penyanyi utama, bersama anggota band David Chen pemain alat musik dawai, Huang Yu-tsan pemain gitar akustik, Lo Chen pemain cello dan Conor Prunty (orang Irlandia) 
pemain harmonika.

Walaupun Lo sebagai penulis lagunya, tapi sebuah lagu yang bisa memukau publik membutuhkan partisipasi semua anggota band. “Opini setiap anggota sama penting, semua terlibat dalam diskusi, saling mendengarkan ide masing-masing.” Kata Lo, proses inilah membuat sesama anggota band semakin kompak.

Karya cipta Lo Sirong sedikit tapi semuanya menakjubkan.Karya cipta Lo Sirong sedikit tapi semuanya menakjubkan.Karya cipta Lo Sirong sedikit tapi semuanya menakjubkan.

Pembebasan ala Shaman

Lalu, apa yang membuat Lo Sirong terjun ke dunia musik di usia menjelang 50-an?

Lo beranggapan, “Berkreasi membuatku merasa nyata.” Ia sering hendak melepaskan suatu perasaan, tetapi sebaliknya juga merasa tidak sederap dengan dunia ini; kadang terkucilkan, kadang sangat berbaur, kadang sangat antusias, kadang merasa kosong. “Kontradiksi bermacam-macam ini, bisa disalurkan melalui jalan berkreasi.”

Ada suatu masa, Lo Sirong melukis, dan suatu saat ia menulis puisi, dan belakangan ini ia menciptakan lagu. Baginya, media apa untuk berkreasi itu tidak menjadi soal, yang penting bisa mengekspresikan hasrat dan imajinasinya. “Tahap sekarang adalah saat emas untuk berkarya musik dan menyanyi.”

DJ Ma melihat adanya sifat shamanisme dalam musik Lo Sirong, yang mengandung kekuatan transformatif, melarikan diri dari realita dan beralih ke dunia lain.

Untuk ini, Lo berkomentar, “Puisi adalah kidung shaman zaman purba. Shaman yang dimaksudkan adalah inti dari peradaban. Shaman bisa menghubungkan langit dan bumi.” Lo melanjutkan, mungkin inilah daya transformatifnya, yang membuat seniman menjadi bebas dan bisa ditanggapi oleh pendengarnya.

Ada pula yang berpendapat musik Lo Sirong sebagai paduan antara Hakka dan blues. Lo menuturkan, blues dibawa orang Afrika ke benua Amerika, mengekspresikan emosi hati saat menghadapi kematian dan masa depan yang suram. Tujuannya hanya menunjukkan keberadaan dirinya saja, dan bukan untuk diperdengarkan kepada orang lain. Balada Gunung Hakka juga sama merupakan nyanyian dalam keseharian saja, dan bukan untuk pertunjukan. “Semangat kidung ini secara kebetulan berbaur dalam diri saya.”

Semangkuk Kerinduan Kampung Halaman

Meskipun tidak mau diberi label sebagai seniman wanita Hakka, Lo mengakui dirinya memulai debut dari ke-Hakka-annya.

Anak perempuan yang meninggalkan rumah sedang dalam perjalanan pulang, ia tidak melupakan aksen asalnya.Anak perempuan yang meninggalkan rumah sedang dalam perjalanan pulang, ia tidak melupakan aksen asalnya.

“Bahasa adalah kode suatu budaya.” Lo menuturkan, bahasa adalah pola pemikiran suatu suku, dan juga pengakuan atas nilainya. Mengambil contoh bahasa Hakka, yang dominan dengan gerakan tangan, maka kata sifatnya sangat banyak, “Suku Hakka adalah suku yang rajin bekerja, sehingga dalam bahasanya penuh dengan kata gerakan tangan yang sangat detail.”

Sedangkan ciptaan lagu Hakka Lo Sirong bermula dari rasa rindu akan kampung halaman yang tadinya terabaikan.

Sambil tertawa Lo bertanya, “ Mau semangkuk rasa rindu kampung halaman?” Rasa rindu Lo ini sama dengan kuliner orak-arik telur dengan daun kemangi.

Di era yang serba kekurangan sandang pangan, suku Hakka kelas pekerja sering menggunakan daun kemangi sebagai penambah stamina tubuh. “Setiap kali ibu saya merasa lelah, pasti akan memetik daun kemangi dan membuat orak-arik telur daun kemangi dengan tambahan arak beras. Itu sungguh suatu makanan yang menenteramkan jiwa dan raga.”

Gomoteu adalah nama band, nama lagu, juga sifat Lo Sirong, yang bebas, unik, tak terkekang.Gomoteu adalah nama band, nama lagu, juga sifat Lo Sirong, yang bebas, unik, tak terkekang.

Sempat terlupakan oleh Lo Sirong, sampai suatu ketika, setelah ia menikah dan melahirkan anak, ibunya datang menjenguk dengan membawa daun kemangi, dan membuat orak-arik telur daun kemangi beraroma arak beras itu, sebagai vitamin untuknya. “Saya sambil makan, sambil meneteskan air mata. Yang saya makan adalah lauk kerinduan akan kampung halaman. Jalinan kehidupan dengan asal usul manusia begitu langsung dan blak-blakan,” tutur Lo.

Menurut Lo, “Wanita Hakka hidupnya penuh kesusahan,” mereka harus serba bisa melakukan segalanya. Pada tahun 2008, ia berpartisipasi dalam lokakarya di pedesaan Hsinchu, membimbing para wanita tua Hakka untuk bercerita tentang riwayat hidupnya. Seorang nenek berusia 93 tahun bercerita, dirinya serba bisa kecuali menjadi maling, semua bisa dilakukannya, bagaikan menjadi sapi atau kuda yang tanpa ekor saja.

Setelah itu, Lo Sirong timbul niat keras untuk menulis lagu tentang wanita Hakka. Dan lahirlah lagu tentang orak-arik telur daun kemangi.

“ Sedikit perasaan, tambah sejumput cinta sejati, aromanya masih tersisa di sudut bibir, itulah rasa orak-arik telur daun kemangi; dalam kuliner sederhana ini, tercurah harapan sang ibu.”

Dari suara nyanyian Lo Sirong, bisa dirasakan kerinduan akan kampung halaman yang sangat dalam, bagaikan aroma daun kemangi yang keras semerbak.

Ketika Puisi bertemu dengan Lagu dan Lo Sirong menemukan jalan untuk pulang

Dalam Perjalanan Pulang

“Jalan raya dan angin, bimbing daku pulang/Waktu dan impian, bawalah daku pergi/Seorang anak perempuan pergi melanglang buana/Anak perempuan sedang dalam perjalanan pulang/Ia tidak melupakan aksen asalnya.”- Gone From Home

“Gone From Home” adalah ulasan isi hati Lo Sirong.

“Karena jauh dari rumah, maka tahu berapa panjang jalan untuk pulang kembali.”

Ada yang mengatakan, menulis adalah proses perjalanan pulang. Bagi Lo, mencipta lagu adalah salah satu jalan untuk pulang.

Memang semula berawal dari asal usul ke-Hakka-annya, tapi Lo tidak dibatasi olehnya. “Hidup ini masih harus dilakoni, maju terus.” Ia mengatakan, dirinya lebih mengutamakan nasib semua kaum wanita.

Bahasa Hakka adalah bahasa ibu Lo Sirong, selain itu bahasa Mandarin dan Minnan juga menjadi bahasa sehari-hari, dan tidak menghambat proses kreasinya. Album “More Than One” yang dirilis tahun lalu, merupakan kumpulan balada puisi tiga bahasa, yaitu Mandarin, Minnan dan Hakka.

Lingkungan penuh tanaman hijau, kehidupan tanpa batas, Balada Puisi ciptaan Lo Sirong melambangkan rasa syukur atas keberadaan diri. (Foto: Lo Sirong)Lingkungan penuh tanaman hijau, kehidupan tanpa batas, Balada Puisi ciptaan Lo Sirong melambangkan rasa syukur atas keberadaan diri. (Foto: Lo Sirong)

Lo memilih puisi untuk lagunya bagaikan kupu-kupu yang beterbangan mencari madu. Dimulai dengan membaca sejumlah besar puisi dengan suara keras, agar bisa menghayati maknanya apakah mengandung suara tiga dimensi yang diinginkan. Kemudian ia membaca karya banyak penyair untuk menjajaki sudut pandang, gaya bahasa dan makna yang dihaturkan para seniman ini. “Saya ingin memilih karya yang benar-benar orisinal dan unik.”

Paduan Kaum Wanita dan Puisi

“Puisi dilagukan” memang sudah bukan sesuatu yang baru lagi. Sudah jadi tradisi sejak zaman dahulu pengutaraan syair melalui nyanyian. Tapi di era modern dengan gaya bahasa dan linguistik yang semakin bebas terbuka, walau tidak sesederhana air putih, karya puisi zaman baru sudah berbeda jauh dengan sajak kuno yang berirama.

Letak kesulitan syair dilagukan bagi Lo Sirong, sama dengan ibarat menemukan cara untuk hidup. “Kuncinya terletak pada sikap dan penghayatannya.” Lo menuturkan, ia sendiri berharap bisa mengekspresikan dalam lagu makna terselubung yang dikandung kata demi kata dalam puisi.

“Seorang penyanyi kidung yang baik harus bisa menjiwai perasaan dan konsep budaya dalam kata-kata syairnya.” Lo mengatakan menyanyikan syair, sering dirombak agar sesuai dengan ritme lagunya, tapi ia memilih untuk mempertahankan keaslian syairnya, mengusahakan lagu dan syair menjadi dua primadona, yang bersama-sama menyuguhkan sesuatu yang baru.

Serba Serbi Kampung Halaman

Tidak beralas kaki adalah ciri khas Lo Sirong di atas panggung, Ia bilang bernyanyi sambil menyerap daya tanah, agar bisa lebih tegar berpijak pada bumi. (Foto: Lo Sirong)Tidak beralas kaki adalah ciri khas Lo Sirong di atas panggung, Ia bilang bernyanyi sambil menyerap daya tanah, agar bisa lebih tegar berpijak pada bumi. (Foto: Lo Sirong)

Berapa gunung harus kudaki

Baru bisa lewat di depan kuil Dewa Bumi

Berapa kuil Dewa Bumi harus kulewati

Baru tampak sungai kecil itu

Berapa pohon cemara harus kutanam

Agar kucapai hutan yang lebat it

Melantunkan puisi Ling Yu “Serba Serbi Kampung Halaman,” perasaan Lo Sirong seperti sedang melihat sebuah gulungan lukisan yang terpapar secara perlahan-lahan. “Penulisnya setapak demi setapak menelusuri pencarian atas kampung halamannya, ketika saya mengaransemen musiknya, tidak tergesa mencari jawaban, memberikan kesan jalan bersama-sama mencarinya. Agar hidup ini seperti lukisan kaligrafi yang digulung, pelan-pelan dipaparkan, dan perlahan-lahan digulung kembali.”

Puisi ini sangat dijiwai Lo, sehingga proses penciptaan lagunya sangat lancar. “Begitu selesai kulantunkan syairnya, dalam waktu lima menit sudah bisa kunyanyikan!”

Penyairnya merasa kagum sekali akan karya cipta Lo Sirong ini, seraya puisinya telah dimaknai nilai hidup yang baru.

Penyair Chen Yu-hong tidak bisa membendung emosinya, saat pertama kali dalam seminar mendengarkan puisi “I Told You Before” (Telah Kuberitahu Sebelumnya) dijadikan nyanyian, juga tidak bisa membendung air matanya dan tidak bisa berkata-kata.

Telah kuberitahu dahiku rambutku rindu padamu/Karena awan di langit saling menyisirnya maka leher dan daun telingaku rindu padamu/Karena kekalutan jembatan gantung dan lorong rerumpatan……

Alunan nyanyian sendu seolah-olah menguak perasaan yang jauh terpendam di relung hati penyairnya.

Lo Sirong dan Band Gomoteu seperti PBB mini, menelurkan karya musik yang berbobot.Lo Sirong dan Band Gomoteu seperti PBB mini, menelurkan karya musik yang berbobot.

Lo Sirong yang menguasai bahasa Mandarin, Minnan dan Hakka membuat karya ciptanya sangat berkesan. Puisi “Vending Machine” (Mesin Jual Otomatis) yang dinyanyikan dalam Mandarin, berisi suara tuntutan kepada budaya modern, dengan gaya rock ‘n’ roll meneriakkan protes terhadap kemajuan teknologi.”

Dalam perasaan Lo Sirong, setiap nyanyian seperti sebutir bibit, masing-masing tumbuh sesuai bentuknya.

Berkalung tanda salib tapi tidak berkepercayaan tertentu, Lo Sirong menganut konsep keseimbangan, keharmonisan dan alami. “Setiap lagu, setiap tanaman, setiap orang, bersikap hidup tersendiri. Saya ingin mempertahankan keasliannya, seperti bumi ini, meskipun miring, tetap berputar di orbitnya.”

Perbedaan duniawi dan batin baginya tidak kontras. “Karya cipta memang sulit dimaknai, hanya bisa diselami saat batin mencapai suatu keadaan tertentu,” tuturnya penuh melankolis.