Kembali ke konten utama
Tur Nostalgia Hualien Bersepeda di Antara Bangunan Kayu Era Jepang
2019-07-08

Hutan Dataran Danongdafu memiliki jalur sepeda yang baik, bersepeda di bawah pepohonan, terasa sejuk dan nyaman.

Hutan Dataran Danongdafu memiliki jalur sepeda yang baik, bersepeda di bawah pepohonan, terasa sejuk dan nyaman.

 

“Orang bijak menyukai air, orang baik mencintai gunung”, ada dua jalur utama di Hualien yang kebetulan adalah jalur laut dan jalur gunung. Proposal “Bersepeda di Taiwan” (Taiwan Panorama) kali ini sampai ke jalur nasional 9 Taiwan yang terletak di antara barisan pegunungan sentral dan Haian-Range. Layaknya kebajikan yang merangkul semua hal, ngarai Hualien telah mencakup semua ragam jenis gaya arsitektur seabad terakhir ini.

Seperti yang dikatakan pemilik toko buku “Time 1939”, Trista Wu, “Karena saya cinta dengan rumah tua ini, barulah saya memulainya.” alasan yang begitu sederhana, bermula dari cinta dengan bangunan-bangunan tua ala Jepang, untuk itu kami menelusuri jejak langkah para imigran tua Jepang, perlahan-lahan mengayuh sepeda ke Hualien, yang terlihat bagaikan surga bernuansa Jepang.

 

Pabrik pupuk Hualien menggunakan kayu cemara dan teknik pengelolaan tradisional, memulihkan dua arsitektur kayu yang hancur karena terpaan taifun.Pabrik pupuk Hualien menggunakan kayu cemara dan teknik pengelolaan tradisional, memulihkan dua arsitektur kayu yang hancur karena terpaan taifun.

Berawal dari pantai Qixingtan, dari jalur 193 menelusuri Pelabuhan Hualien hingga “D Park” (Taman Industri Deep Ocean Water dari perusahaan pupuk Taiwan), dalam kawasan taman ini ada 2 komplek bangunan kayu masa pendudukan Jepang, di antaranya ada aula kantor yang direnovasi menjadi restoran tematik, sementara tempat ibadah para pekerja Jepang di masa lalu (Kuil Shinto) masih tetap dipertahankan, bangunan seperti ini sangat jarang ditemukan.

Setelah selesai makan, kayuhan sepeda dilanjutkan menelusuri pelabuhan Hualien mengarah ke selatan jalur 193, memasuki kawasan kota Hualien, pada jalan di seberang Sekolah Menengah Atas Negeri, Hualien (HLHS) kami mendapati Pusat Musik Kuo Tzu-chiu.

 

Menapak Tilas Jejak Kaki Tentara

Pusat Musik Kuo Tzu-chiu dengan dinding rajutan bambu dan jendela kayu yang tertutup rapat, mengandung konsep Zen.Pusat Musik Kuo Tzu-chiu dengan dinding rajutan bambu dan jendela kayu yang tertutup rapat, mengandung konsep Zen.

“Seiring dengan berlalunya musim semi, kembang pun beterbangan, musim berganti musim, namun dikau belum juga pulang, teringat akan hijaunya dedalu mengiringi perpisahan di tahun itu….” bagian penting dari lirik lagu “Kenangan”, di Taiwan pada era tahun 1970 – 1980, setiap paduan suara pasti menyanyikannya, diciptakan oleh Kuo Tzu-chiu, seorang guru di HLHS yang juga mendapat predikat “Bapak musik Hualien”, terdengar di mana-mana.

Sejak HLHS dibangun tahun 1936, pembangunan asrama guru dibuat mengikuti model bangunan asrama pejabat junior dengan “Standar Bangunan Pemerintah Gubernur Taiwan” termasuk asrama untuk kelas tertinggi dan tingkatan A, menyediakan asrama perwira militer berpangkat tinggi, yang direkrut dari Jepang untuk mengajar di Taiwan.

Ketua Yayasan Kesenian Budaya Kuo Tzu-chiu, Jhong Hong-cheng menjelaskan, “Hanya asrama pejabat tinggi yang memiliki pintu masuk ganda, luar dan dalam, motif gambar pada langit-langit tiang pintu masuk luar dan ruang anak (kamar anak) melambangkan bahwa ini adalah wilayah kolonial Jepang di Pasifik Selatan.”

Bekas kediaman Kuo Tzu-chiu mempertahankan keramik peninggalan kolonial Jepang yang tahan panas, tidak mudah terbakar, tetapi karena pembuatan yang rumit keramik jenis ini sudah jarang ditemukan.Bekas kediaman Kuo Tzu-chiu mempertahankan keramik peninggalan kolonial Jepang yang tahan panas, tidak mudah terbakar, tetapi karena pembuatan yang rumit keramik jenis ini sudah jarang ditemukan.

Tentu saja, saat ini pengajar berpakaian perwira militer dilengkapi pedang samurai sudah tidak terlihat lagi, asrama guru yang sudah lapuk, juga sudah diperbaiki, dan sekarang menjadi tempat untuk memperingati Musisi Kuo Tzu-chiu.

Penyair Chen Li mendeskripsikan guru musik HLHS, Kuo Tzu-chiu sebagai “Komposer legendaris Taiwan”, dengan karya “Kenangan”, “Kau Datang” dan lainnya sebagai lagu wajib paduan suara. Kuo Tzu-chiu yang berasal dari keluarga kecil sederhana, hanya lulusan SD, setelah direkrut mengajar musik di HLHS, Kuo Tzu-chiu berupaya keras menyelesaikan pendidikan kejuruannya”.

Moto Kuo Tzu-chiu “Mengubah diri agar dapat menerobos kesulitan” diterapkan dalam pendidikan musiknya, mengimprovisasi “Paranada elektronik audiovisual” yang unik. Ia mengambar sendiri desain dan meminta guru elektronik membuat papan lampu paranada yang dihubungkan ke papan ketik organ, ketika tuts organ “Do” ditekan, maka lampu “Do” pada papan lampu paranada akan menyala. Memadukan audio dan visual, murid-murid dapat belajar lebih mendalam.

Setelah mengetuk reproduksi papan ketik organ dan mesin ketik tua berusia 80 tahun, kami kembali melanjutkan perjalanan mengarah ke sungai Meilun.

Sederetan asrama bergaya arsitek Jepang terletak di tepi sungai Meilun, pohon-pohon cemara menjulang tinggi menaungi rumah-rumah kayu dari teriknya sinar matahari.

“Rumah jenderal” yang juga menjadi asrama perwira militer, pada masa itu menjadi tempat kediaman komandan tertinggi Jepang di Taiwan yaitu Kolonel Mitsuo Nakamura, bangunan tersebut terletak di hutan pinus di kaki gunung Meilun, juga sebagai kantor pusat komando militer.

Rumah jenderalRumah jenderal

Relawan budaya Li Yong-zhen yang menjadi pemandu kami, sudah berusia 90 tahun, sama seperti usia rumah jenderal.

Li Yong-zhen menjelaskan, “Wansei artinya mengacu pada orang Jepang yang lahir di Taiwan selama zaman kolonial Jepang, seorang teman sekolah Wansei saya yang bergabung dalam pasukan Kamikaze menjelang perang dunia II, pergi dan tidak pernah kembali.” Teman Wansei lainnya dari Jepang berkunjung ke Taiwan untuk menghadiri reuni sekolah HLHS 6 tahun lalu, suasana reuni sangat mengharukan karena pada saat semua peserta saling bertemu, serentak saling mengatakan "Kamu masih hidup!".

 

Atap loreng Jiangjunfu, merupakan situs sejarah tingkat 3 kabupaten, memiliki keindahan tanpa cacat, di masa mendatang akan dipulihkan kembali menjadi bagian dari jalan dengan gaya Kyoto-Jepang.Atap loreng Jiangjunfu, merupakan situs sejarah tingkat 3 kabupaten, memiliki keindahan tanpa cacat, di masa mendatang akan dipulihkan kembali menjadi bagian dari jalan dengan gaya Kyoto-Jepang.

Rasakan Kembali Kehidupan Wansei

Sinar mentari di sore hari sangat indah, menyinari hamparan lumut di atas genting-genting tua. Setelah mengayuh sepeda hampir 9 kilometer, tibalah waktunya mengistirahatkan tubuh dan pikiran.

Memasuki rumah tua toko buku “Time 1939”, yang menjual makanan vegetarian, buku bekas dan mengadakan kegiatan seni budaya, “Di sini benar-benar seperti rumah sendiri! Sepertinya kami sudah tinggal di sini selama 80 tahun,” Ujar kepala toko, Trisna Wu. Mungkin aroma cemara Taiwan yang memenuhi ruangan menyebabkan orang lupa akan keberadaan waktu.

Untuk merasakan kehidupan Wansei di masa lalu, selanjutnya kami berangkat dari jalur nasional 9 menuju ke Qingxiu Yuan, sebuah kuil di desa Ji’an.

Qingxiu Yuan merupakan kuil peninggalan Jepang paling utuh yang ditemukan di Taiwan, 88 patung batu Buddha di permukaan dinding, konon didatangkan dari 88 kuil yang ada di Shikoku, Jepang sehingga umat yang beribadah mengelilingi satu putaran seakan-akan berziarah ke kuil-kuil di seluruh Shikoku.

Berlanjut mengayuh ke selatan, jalanan di desa Shoufeng menjadi lebih lurus, bersilang jalanan vertikal dan horizontal layaknya papan catur, ini adalah desa pertama dari tiga desa imigran yang ada di Hualien, yang perencanaannya resmi dilakukan pada masa kolonial Jepang --- Desa Imigran Fengtian (Toyota).

Di sudut pintu keluar stasiun kereta api Fengtian terdapat sebuah bangunan kayu, yang merupakan sebuah toko barang bekas yang bernama “Five Way House“. Kerangka atap bangunan terlihat berbeda dengan asrama pejabat yang sebelumnya terlihat, ini adalah rumah rakyat dengan bentuk atap “Miring di keempat sisi”.

Asosiasi Pengembangan Masyarakat Hualien dengan sepenuh hati memelihara Jiangjunfu, menyediakan baju yutaka (sejenis kimono) bagi tamunya.Asosiasi Pengembangan Masyarakat Hualien dengan sepenuh hati memelihara Jiangjunfu, menyediakan baju yutaka (sejenis kimono) bagi tamunya.

Balok utama langit-langit yang tertinggi sangat pendek, membuat atapnya menyerupai kerucut runcing, ruangan toko ditutupi dengan 5 anyaman rumput Mischantus. Rak-rak barang, meja kursi kayu dan anak-anak yang berlari ke sana ke mari di dalam ruang memberikan gambaran yang sangat menarik.

 

Perjalanan ke Asrama Karyawan Pabrik Gula

Tur nostalgia bersepeda sudah tiba di bagian paling selatan Hualien, “Pabrik gula wisata Hualien” jarak tempuh sudah melebihi 59 kilometer.

Genting hitam di atap yang miring terlihat sangat memesona di bawah langit berbintang, berpadu lampu jalan kuno dan lentera batu yang menyinari jalan, menghantar sampai di asrama tempat tinggal kami malam ini.

Ketika kami membuka pintu asrama, terciumlah aroma cemara Taiwan dan kayu Luanta-fir, yang mampu memabukkan orang tanpa perlu minum minuman beralkohol.

Di luar ada penopang kayu, di dalam ada ruang tamu dengan meja pendek, ruang tatami tradisional dan lemari, lorong dan kamar mandi serta perabot lainnya, semua dipulihkan seperti asrama karyawan yang sebenarnya, terjaga utuh mempertahankan struktur rumah tradisional Jepang.

Malam ini benar-benar rileks, berendam di dalam tong kayu cemara, mengenakan kimono, berbaring di tatami menikmati aroma cemara, tidur terlelap dengan nyenyak.

Memasuki halaman toko buku “Time 1939” bagaikan kembali ke tahun 1939 ketika rumah ini dibangun, meskipun sepeda motor melintas di pintu rumah tidak akan mengganggu kenyamanan rumah tua ini.Memasuki halaman toko buku “Time 1939” bagaikan kembali ke tahun 1939 ketika rumah ini dibangun, meskipun sepeda motor melintas di pintu rumah tidak akan mengganggu kenyamanan rumah tua ini.

Pabrik Gula Hualien berdiri tahun 1921, memiliki banyak karyawan, tahun berikutnya asrama karyawan dibangun sesuai dengan standar tempat tinggal resmi pemerintah. Sekarang menjadi satu-satunya penginapan lanskap budaya nasional di seluruh Taiwan.

Wakil Manajer Pabrik Gula Hualien, Vincent Ou mengatakan, “Infrastruktur dasar pabrik gula, seperti kilang arak (zaman sekarang adalah kantin), sekolah dasar, klinik, bioskop, salon dan lainnya”, fungsi lingkungan kehidupan lengkap di masa kolonial Jepang masih utuh terjaga, bersepeda dalam kawasan ini seperti berada di pabrik gula Hualien 90 tahun yang lalu.

 

Bersepeda Santai di Hutan Dataran

Mengikuti rekomendasi yang begitu antusias dari banyak orang di pabrik gula, pagi di hari kedua, kami mengayuh 3 – 4 kilometer ke arah selatan dari pabrik gula, sekitar kilometer ke-255 jalur nasional 9 belok ke kiri, terlihat sebuah jalan lurus yang langsung mengarah ke garis cakrawala, jalan ini mengarah ke “Hutan Dataran Danongdafu”.

88 patung batu Buddha kuil Qingxiu merupakan kerinduan yang disematkan imigran Jepang yang ada di Taiwan.88 patung batu Buddha kuil Qingxiu merupakan kerinduan yang disematkan imigran Jepang yang ada di Taiwan.

Hutan Dataran seluas 1.250 hektar ini memiliki hampir 20 jenis pohon, pemandu senior, Yang Meng-yao membawa kami mengayuh sepeda mengelilingi taman dengan yang dikelilingi pohon Maple dan pohon Elaeocarpus.

Hutan dataran kaya akan ekologi, saat bersepeda Anda berpeluang untuk bertemu dengan Melogale moschata (Musang), Musang Bertopeng dan Babi Hutan; Anda juga dapat menyaksikan kunangkunang di jalan Beihuan saat berkunjung di malam hari pada pertengahan bulan Maret hingga pertengahan April.

Apabila tidak ada panduan Yang Meng-yao, kita tidak akan pernah menemukan bahwa daun maple memiliki sedikit wangi aroma buah markisa. Di sekeliling jalur sepeda adalah pohon flamegold rain tree tempat di mana semut-semut membuat sarangnya, sehingga kita dapat melihat simbiosis alam antara semut dan pepohonan.

Qingxiu YuanQingxiu Yuan

Sastrawan Su Shi (1037 – 1101, Jaman Dinasti Song) mengatakan, “Hidup manusia layaknya perjalanan mundur, dan saya adalah seorang musafir.”

Semua imigran dan Wansei di masa kolonial Jepang yang pernah melakukan perjalanan di antara lembah Rift tidak dapat membawa barang-barangnya, selain meninggalkan sekelompok bangunan, mereka juga meninggalkan kisah yang takkan pernah habis dan tekad semangat pantang menyerah.

Berkendara melewati Hualien, saya juga hanyalah pengunjung yang tergesa-gesa, dengan kecintaan pada rumah-rumah tua dan mengayuh sepeda menelusuri jejak yang ditinggalkan para imigran dan Wansei di hutan dataran, berlapis ingatan dalam benak yang nantinya akan dirajut menjadi sebuah catatan perjalanan nostalgia.