Kembali ke konten utama
Reputasi Seuntai Nama Jiwa Kreativitas Pengrajin Hidangan Es
2021-07-12

Es serut Jepang seketika meleleh di dalam mulut. Berpadu dengan segarnya jeruk, menjadi penyejuk saat musim panas.

Es serut Jepang seketika meleleh di dalam mulut. Berpadu dengan segarnya jeruk, menjadi penyejuk saat musim panas.
 

Kehadiran hidangan es di atas meja makan sering kali hanya dipandang sebelah mata. Namun, ada segelintir orang telah melalui masa pembelajaran yang panjang, kemudian memilih mengabdikan diri pada dunia kreativitas produk es. Di tangan mereka, es mencapai titik terbaru, bukan hanya dianggap sebagai makanan yang logis, masuk akal dan sederhana, melainkan tumbuh menjadi jiwa dengan ekspresi yang dinamis.

 

Sebagian besar industri kerajinan, misal fesyen, perhiasan atau kuliner, memiliki tradisi menamai produk mereka sesuai nama pribadi. “Menggunakan nama saya pribadi”, melambangkan kemandirian profesi dan kerja keras, serta simbol akan kebanggaan dari puncak profesionalitas dan keterampilan dalam bidang yang digeluti.

Duo toko es di Taipei : “Kakigori Toshihiko” dan “Studio du Double V”, secara kebetulan dinamai menurut nama pendirinya.

“Kakigori Toshihiko” menjual es serut ala Jepang. Pengertian「Kakigori」(かき氷)mengacu pada es serut Jepang, sedangkan “Toshihiko”(俊彥)adalah pengucapan Jepang dari nama sang pemilik toko, yakni  Wu Chun-yen.

“Studio du Double V” menjual es krim ala Italia. “Double V” adalah pengucapan huruf “W” dalam alfabet Prancis, yang juga menjadi huruf pertama dari nama sang pendiri, yaitu Wilson Chen.

Hanya dari nama toko, orang-orang dapat merasakan kentalnya profesionalisme pengrajin es ini. Yang pertama adalah bahasa Jepang dan berikutnya bahasa Prancis, diam-diam memperlihatkan latar belakang orang yang kembali menggeluti bidang kesenian ini.

 

Hidangan Es Adalah Sajian Penutup

Bentuk es layaknya puncak dari bukit kecil, pada bagian toppingnya dihiasi sepotong kue lidah kucing ala Prancis. Lapisan es kristalnya lembut bagaikan gumpalan awan yang seketika lumer saat berada di dalam mulut. Ditambah dengan selai Hōjicha (daun teh Jepang yang dipanggang) dan susu, menghasilkan cita rasa halus nan segar. Menyantap hingga ke bagian bawahnya, tiba-tiba muncul gula merah dan panna cotta (hidangan penutup Italia dari krim manis yang dikentalkan dengan gelatin dan dibentuk). Gula merah dan daun teh adalah komposisi yang melewati proses pemanggangan, dengan cita rasa yang konsisten, baik luar maupun dalam. Selain itu, juga disediakan selai dalam cangkir kecil, yang dapat ditambahkan sesuai dengan selera para tamu.

Menilik kembali menu “Baked Tea Latte Shaved Ice” yang baru saja dinikmati di Kakigori Toshihiko. Jike es serut yang dijual pada umumnya memiliki cita rasa seperti sepotong kue, maka hidangan es yang ditampilkan dengan keahlian sang master di Kakigori Toshihiko, akan terlihat seperti sajian di dalam restoran mewah. Menekankan kesegaran makanan yang disajikan, menu hidangan penutup di atas piring (dessert à l'assiette) langsung dihadirkan ke hadapan Anda

 

Toko Berbalut Kisah Perjalanan Hidup

Kakigori Toshihiko menjual es serut khas Jepang, begitu juga dengan desain tokonya. Tergerai tirai Jepang pada bagian pintu, dan ada bar dengan meja panjang di dalam toko. Tamu yang datang duduk di depan bar, layaknya restoran sushi, dapat melihat seluruh proses pembuatan yang langsung dilakukan oleh sang pemilik.

Meski yang dijual adalah es serut Jepang, tetapi penerapannya menggunakan teknik makanan penutup ala Prancis, dengan komposisi makanan yang berasal dari Taiwan. Gaya perpaduan yang khas, menonjolkan pengalaman sang pemilik, Wu Chun-yen. “Seluruh toko ini seolah menceritakan asam-garam kehidupan”, ungkap Wu Chun-yen sembari menatap sekeliling tokonya.

Meski masih muda, tetapi Wu Chun-yen telah berkecimpung di bidang ini lebih dari 10 tahun. Semenjak usia 16 tahun, ia mulai magang di sebuah restoran Jepang. Setelah lulus SMK tata boga, Wu Chun-yen menempa keahliannya di Tokyo Confectionery College, dengan mengambil jurusan makanan penutup ala barat, kemudian ia pun kembali ke Taiwan dan bekerja di restoran berbintang. Terakhir kali, Wu Chun-yen bekerja di restoran berbintang ala Prancis.

Saat masa-masa sekolah di Jepang, kebetulan teman sekelasnya bekerja di toko es, yang akhirnya membuat Wu Chun-yen memiliki pengetahuan awal tentang es serut ala Jepang. Rasa yang ringan dan segar, membuatnya langsung jatuh hati pada suapan pertama.

Setelah yakin untuk berwirausaha, ia pun fokus mengamati kebiasaan warga Taiwan saat berbelanja. Wu Chun-yen yang takut dengan hawa panas dan terbiasa menikmati sajian es, memutuskan untuk menamai tokonya sesuai dengan nama sendiri, “Kakigori Toshihiko”. Toko ini pun lahir di sebuah gang yang terletak di Jalan Kinmen, Kota Taipei.
 

Ini adalah toko pertama yang didirikan oleh Willson Chen. Karena keterbatasan dana, Willson Chen yang sederhana pun membuat gambar grafiti sebagai pengganti papan dagangnya. Alhasil, grafiti ini menjadi ciri khas dari Double V.

Ini adalah toko pertama yang didirikan oleh Willson Chen. Karena keterbatasan dana, Willson Chen yang sederhana pun membuat gambar grafiti sebagai pengganti papan dagangnya. Alhasil, grafiti ini menjadi ciri khas dari Double V.
 

Esensi Sang Master Kawakan

Dalam beberapa tahun terakhir, Taiwan telah menjadi bagian dari tren es serut Jepang, tetapi sayangnya tidak banyak pelaku usaha yang benar-benar menguasai keautentikannya. Perbedaan terbesar antara tekstur es serut Taiwan dengan Jepang, terletak pada kehalusannya. Kuncinya adalah, es serut Jepang memiliki satu prosedur ekstra, yakni membiarkan es batu berubah menjadi transparan dengan suhu berkisar -7℃ hingga 0℃, baru kemudian dipotong. Lapisan kristal dari es tersebut akan menjadi sangat lembut, dengan bentuk seperti serabut halus, dan lumer seketika saat berada di dalam mulut.

Namun, es serut Jepang tidak menekankan kombinasi penyajian aneka bahan tambahan, layaknya es serut Taiwan. Dan di Kakigori Toshihiko, mereka pun mengintegrasikan kombinasinya tersendiri. Sebagian besar es serut yang dibuat Wu Chun-yen  menggunakan selai sebagai dasar rasa, kemudian menambahkan garnis (penghias hidangan) menakjubkan, yang menghasilkan efek visual mencengangkan, dan mampu memenuhi ekspektasi konsumen dalam negeri.

Misalnya, inspirasi menu “Stroberi Kelapa”, yang berasal dari roti rasa kelapa stoberi, yang dijual di toko roti tradisional Taiwan. Rasa kelapa yang terlampau mendominasi dan tidak begitu disukai, membuat Kakigori Toshihiko berinovasi, yakni mengubahnya dengan cara memanggang kelapa parut kemudian merendamnya dalam cairan susu, guna mengekstrak rasa kelapa yang lembut. Dan di bagian topping es serutnya, ditambah krim keju dan ditaburi biskuit Sablés, sebagai garnis tambahan.

Selain itu, masih ada menu hidangan penutup klasik lainnya “Taro Mont Blanc”, yang dibuat dari talas Taiwan produksi Dajia. Setelah dipanaskan, talas kemudian diemulsi sehingga teksturnya menjadi kental. Yang mana, akan sangat berbeda dengan isian kue talas pada umumnya. Di lapisan atasnya dipenuhi dengan garnis spiral, yang kian memperjelas tampilan klasik Mont Blanc. Rasa kentalnya mengingatkan orang-orang pada ubi tumbuk, okra dan natto yang sering terlihat dalam makanan khas Jepang.

 

Toko Es Krim Larut Malam

Terletak di sudut yang berbeda di Kota Taipei, Studio du Double V memiliki teknik pengerjaan yang berbeda dengan Kakigori Toshihiko, yakni langsung menyajikan natur dari hidangan es sebagai menu jajanan yang lugas.

Berada di dalam gang yang sibuk dengan lalu lalang manusia, layaknya “depot makanan tengah malam”, jam operasional Double V dimulai sore hari dan berakhir larut malam.

Double V menjual es krim Italia, yang terbagi atas dua kategori utama. Pertama, Gelato yang lembut dengan tambahan susu. Kedua, Sorbet yang cenderung berisikan buah-buahan, tanpa tambahan susu dan bebas lemak. Ini adalah toko es krim yang mengikuti perubahan musim, serta terus menggali inovasi dan transformasi. Setiap hari mereka menyajikan sembilan jenis es krim, dengan menu yang senantiasa berubah-ubah.

Cerita ini harus dimulai dari sang pemilik Double V, yakni Willson Chen yang mengambil jurusan elektro saat berada di jenjang universitas. Dirinya sedikit terlambat menginjakkan kaki di industri ini. Dengan kepribadian yang menyukai perubahan, Willson Chen pun tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja sektor teknologi yang monoton. Apalagi, ia pernah bekerja paruh waktu di kafe, saat mengenyam bangku kuliah. Ia akhirnya memicu hasrat untuk bergelut di bidang pembuatan roti. Setelah selesai menjalankan wajib militer, ia pun memulai kariernya, dengan menjadi seorang murid di sebuah toko roti tradisional.

"Saya memulai lebih lambat dibandingkan mereka yang bergelut di jurusan tata boga, saya apa pun tidak bisa,” tutur Willson Chen. Kerja keras menjadi hal yang lumrah, dengan tekad bulat, ia pun rela untuk memulai aktivitas pada pukul 06:00 pagi hingga 10:00 malam. “Setiap hari tiba di rumah, setelah mandi langsung tertidur di atas sofa, dan keesokan paginya kembali bekerja.” Hingga dirinya berhasil menguasai seluruh teknik keterampilan di dalam toko, dengan dukungan dari sang master, ia pun terbang ke negeri kuliner – Prancis, untuk mendalami teknik tata boga, dan akhirnya, ia pun lulus dari sekolah kuliner ternama, yakni Ecole Lenôtre.

 

Teknik Ilmiah Pemroduksian Es

Meski sedikit memutar, tetapi bagi Willson Chen yang berasal dari latar belakang teknik mesin, dirinya masih  bisa menemukan sisi yang menitikberat pada logika ilmiah. Ditambah lagi pelatihan kuliner ala barat, dipadukan dengan karakteristik pribadi yang menyukai inovasi dan perubahan, membuat Double V memiliki keunikan tersendiri.

Bagi yang pernah menikmati es buatan Double V, pasti paham bahwa toko ini sangat luar biasa. Tidak hanya variasi yang terus berubah-ubah dengan kemampuan pengembangan yang kuat, tetapi juga memiliki tekstur yang lembut di setiap rasa yang mereka hadirkan.

Es krim adalah kesenian yang mengintegrasikan sains dengan cita rasa. Karena setiap bahan memiliki perubahan masing-masing pada suhu yang berbeda-beda, sehingga menguji kemampuan sang master untuk menguasai dinamika tiap komposisi saat mengolah es krim. Setiap rasa es krim Double V memiliki formula tersendiri, dan ini menjadi nyawa dari setiap produk yang mereka hasilkan. Bukan hanya pertimbangan rasa, melainkan bagaimana membuat kelembutan masing-masing es krim menjadi tetap konsisten, saat berada di wadah penyimpanan yang serupa.

Hingga hari ini, Double V telah mengakumulasi lebih dari 450 formula, produk dikeluarkan sesuai perubahan musim. Menu musim dingin menampilkan rasa yang lebih lembut  perpaduan krim susu, wiski dan kacang-kacangan. Sedangkan di musim panas, lebih sering menggunakan buah-buahan. Toko es krim yang berinovasi “seiring dengan perubahan musim” ini, memperlihatkan eksplorasi yang mendetail dan variasi beragam dari setiap produk. Komposisi klasik vanila, memiliki metode penyajian yang berbeda-beda, baik di musim dingin atau panas. Di musim dingin, vanila akan lebih kental, sedangkan di musim panas akan terasa lebih segar.

Teh hijau Matcha dan gula merah yang sering kita temukan, bisa dikembangkan menjadi lima atau bahkan sepuluh menu sekaligus. Setiap tetesan bahan makanan ditafsirkan dengan maksimal. Willson Chen yang bergelut di kuliner khas barat ini, bahkan menemukan inspirasi dari hidangan penutup, misal dengan “hidangan penutup berbentuk es” yang pernah ia buat dari isian gula karamel, apel dan kue tar lemon.

Willson Chen mengatakan, hidangan penutup dapat dihidangkan berlapis-lapis, tetapi wujud es yang sederhana akan lenyap seketika dalam satu gigitan. Namun, produk es yang disajikan Willson Chen, memiliki cita rasa yang lugas, serta tekstur yang kaya dan lembut.