Membicarakan perfilman Taiwan pasti tidak akan terlepas dari sutradara-sutradara terkenal seperti Hou Hsiao-Hsien, Edward Yang, Ang Lee dan lainnya. Beberapa tahun terakhir ini, dalam dunia perfilman Taiwan selain sutradara besar ternama tersebut, telah bermunculan sutradara-sutradara muda internasional, seperti Ho Wi-ding dari Malaysia, Lee Yong-chao dan Midi Z yang berasal dari Myanmar dan lainnya melejit dengan pesat dan menjadi sorotan dalam industri perfilman internasional. Mereka menyajikan karya dari perspektif yang berbeda, memberikan warna baru dalam perfilman Taiwan.
“Akan lebih mudah disaksikan orang-orang, apabila memproduksi film di Taiwan.” ujar Ho Wi-ding, sutradara yang pernah menggondol penghargaan Festival Film Cannes, Festival de Cine de Sitges (dikenal sebagai Festival Internacional de Cinema de Cataluña), the Comedy Cluj International Film Festival Romania, Golden Horse Film Festival (Festival Film Kuda Emas) dan penghargaan lainnya. Setelah lulus dari Universitas New York, Ho Wi-ding kelahiran Malaysia mengembangkan karirnya di Taiwan, dan tidak sedikit dari karya filmnya berhasil meraih penghargaan.
Karya film terbaru Ho Wi-ding yang berjudul “Terrorizers” kembali masuk dalam nominasi Festival Film Kuda Emas ke-58, kabar baik juga bermunculan di festival perfilman di Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Italia dan lainnya sehingga menjadi perhatian internasional. Film “Terrorizers” memperlihatkan kekhasan dari gaya imajinatif Ho Wi-ding, meski dilihat dari judulnya seperti film remaja komersial bergaya fantasi, tetapi film ini mengkaji dilema kehidupan pemuda-pemudi generasi Z, seperti penjelajahan dunia maya, kecanduan permainan online dan lainnya, film ini tidak saja menghadirkan adegan yang membuat hati berdebar dan wajah penonton bersemburat merah, tetapi juga mengangkat topik-topik di luar batas seperti menyelami kasus pembunuhan acak tanpa motif yang dilakukan remaja, pencurian, kisah cinta lesbian, percintaan yang erotis dan lainnya.
Kebebasan dan Keterbukaan Tema Film
“Tema kali ini adalah tema yang tabu di banyak tempat, pembuatan film seperti ini tidak diperbolehkan di Malaysia, sedangkan di Singapura, dan Hong Kong hanya boleh ditonton oleh mereka yang berusia 21 tahun ke atas.” Tema film baru karya Ho Wi-ding mengangkat topik erotisisme dan lesbian, sehingga tidak berjodoh untuk ditayangkan di Malaysia yang konservatif, tetapi di Taiwan film ini dimasukkan dalam kategori film wajib dalam bimbingan orang tua (PG, Parental Guidance), yang dapat disaksikan oleh anak-anak berusia di atas 6 tahun dengan ditemani orang dewasa. Hal ini tidak saja menonjolkan perbedaan jelas dari kedua tempat, tetapi juga memperlihatkan bahwa penilaian konten film di Taiwan menghormati seni kreatif.
Ho Wi-ding sudah mulai menulis review film sejak di bangku SMA, menonton 50 lebih film dalam setahun, tidak peduli film bagus maupun tidak, semua ditontonnya, tidaklah mengherankan kalau ia menjadi pakar film di mata teman-teman sekolahnya. “Pada masa itu, buku yang paling banyak dilihatnya adalah serial pembuatan film dari produser Peggy Chiao.” Serial buku ini merupakan pencerahan film bagi Ho Wi-ding, dari bukulah ia mulai mengenal La Nouvelle Vague (makna harfiah: gelombang baru), Akira Kurosawa, Federico Fellini, dan baru mengetahui apa yang disebut dengan sekolah film. Pada suatu hari ia membolak balik majalah dwibahasa Mandarin – Inggris “Sinorama” yang sekarang adalah majalah “Taiwan Panorama”, yang membeberkan kebebasan dan keterbukaan dari sekolah di New York secara rinci, sehingga menggerakkan hatinya untuk melanjutkan pendidikan di dunia barat.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ho Wi-ding pulang ke Benua Asia, teringat pada masa kuliah di Universitas New York, kampusnya sering mengelar pameran retrospeksi film Taiwan, “Sutradara Hou Hsiao-hsien, Tsai Ming-liang, Edward Yang, dan Wong Kar-wai sangat terkenal pada masa itu. Saya menonton Vive L'Amour film karya Sutradara Tsai Ming-liang di Museum Seni Modern (Museum of Modern Art /MoMA) New York. Menyaksikan setiap film duplikasi 35mm karya Sutradara Hou Hsiao-hsien yang dihadirkan dalam pameran retrospeksi di Lincoln Center for the Performing Arts, untuk itulah saya memiliki perasaan kagum dengan perfilman Taiwan!”
Lahir di desa petani bagian utara Myanmar, Lee Yong-chao mengenal dunia film saat kuliah di Taiwan. Film karyanya “The Blood Amber” masuk dalam nominasi “Pekan Kritikus Film” Festival Film Internasional Lucarno. Film “Rain in 2020” juga masuk nominasi Penghargaan Kuda Emas ke-58 untuk kategori “Film Dokumenter Terbaik”.
Inspirasi Lahir di Jalan Kecil Taipei
Pembuat film memiliki kebebasan berkreasi dan hanya sedikit batasan peraturan dalam pembuatan film di Taiwan, Ho Wi-ding kerap berjalan santai di pelosok jalan di Taipei untuk mencari ilham untuk pembuatan filmnya. “Distrik Zhongshan, Balai Peringatan Chiang Kai-Shek (National Chiang Kai-shek Memorial Hall), Wanhua, Jalan Guangzhou, Jalan Heping East…. jalan-jalan di kawasan tua tidak berarti miskin dan kumuh, juga belum tentu tidak modern. Untuk itu di dalam film, saya ingin membangun dunia anak muda di distrik barat kota Taipei, dan tidak bertentangan, merasakan itu adalah sesuatu tentang Taiwan, saya menyukai perasaan itu.”
Saat mencari lokasi film, Ho Wi-ding pasti menciptakan beberapa lokasi disesuaikan dengan karakter sebuah peran. “Kota-kota di Taiwan sangat sinematik, sangat keren, sangat kacau, setiap gang kecil, setiap sudut memberikan sebuah kejutan bagi Anda. Gang yang sepi dengan tembok rendah dan kebun yang indah, tetapi begitu berbelok maka terlihat gedung perumahan megah, inilah yang menjadikan Taiwan sebagai tempat yang menyenangkan.”
Ho Wi-ding datang dan tinggal di Taiwan selama 20 tahun lebih, ia sering mendapatkan ide dari berita-berita hiburan di televisi, ia juga menyukai kehidupan toleran yang penuh dengan vitalitas di Taiwan. “Kami pernah membuat sebuah film tentang polisi yang korupsi, dengan lokasi syuting di kantor polisi lantai 2. Setiap hari keluar masuk dan menyapa polisi, setelah itu langsung naik ke lantai 2 untuk pembuatan film yang penuh dengan kebisingan, tetapi para polisi tidak pernah naik ke atas untuk menegur sepatah katapun.”
Ho Wi-ding sambil tertawa mengatakan bahwa ia sendiri senang menonton film santai yang tidak memeras otak, tetapi pada saat syuting film pasti muncul hal-hal yang menggugah pikiran, “Menyisipkan sesuatu ke dalamnya, perbanyak sudut pengambilan, agar penonton bisa memiliki gagasan-gagasan setelah menyaksikan karyanya, dengan demikian maka waktu, tenaga dan dana yang dikeluarkan baru menjadi berarti.”
Sutradara Muda di Pentas Internasional
Keterbukaan lingkungan kreatif di Taiwan juga melahirkan generasi baru seperti Lee Yong-chao. Lahir dan dibesarkan di desa petani bagian utara Myanmar sehingga karya Lee Yong-chao berfokus pada orang-orang pada tingkatan rendah Myanmar dan kerap menyinggung topik-topik yang sensitif. Film “Blood Amber” mengisahkan pertarungan hidup penduduk desa utara Myanmar dengan menambang batu amber untuk dapat keluar dari kemiskinan. Untuk mendokumentasikan kenyataan kehidupan tragis di “kawasan pertambangan Xipiaogong” salah satu dari empat tambang amber terbesar dunia. Lee Yong-chao memasuki hutan belantara di Negara Bagian Kachin, utara Myanmar yang berada di bawah kekuasaan Tentara Kemerdekaan Kachin. Film dokumenter “The Bad Man” dengan pembuatan secara rinci menghabiskan waktu 2 tahun ini mengisahkan pemuda Kachin yang kecanduan narkoba dan pembunuhan. Dua karya Lee Yong-chao diikutsertakan dalam festival dengan menggunakan nama Taiwan, dan masuk dalam “Pekan Kritikus Film” di Festival Film Internasional Locarno sejak festival ini digelar.
Lee Yong-chao yang gemar menonton film sejak masa kanak-kanak, tumbuh dewasa di bawah pengaruh film Taiwan seperti “Oolong Yard”, “The Kung-Fu Kids” dan lainnya. Semasa kecil ia tinggal di desa utara Myanmar, hanya ada satu “bioskop” di seluruh desa. Di dalam bangunan dari jerami terdapat pesawat televisi yang menayangkan film kaset video, dilengkapi dengan bangku-bangku kecil yang berserakan menjadi tempat duduk “bioskop”. Selain menangkap ikan, menembak burung, menonton “film” merupakan kegiatan yang paling disukai penduduk desa untuk mengisi waktu luang, “Setiap kali ada pemutaran film baru, maka penduduk desa akan menggelar kios menjual camilan berondong jagung yang dibuatnya sendiri.” Lee Yong-chao yang bermata besar dan beralis tebal, baru serius mendalami film sejak ia masuk ke jurusan media digital National Yunlin University of Science and Technology. Dimulai dari berpartisipasi dalam syuting film pendek, kemudian perlahan-lahan beranjak ke ajang festival film dunia.
Menyukai cita rasa Taipei kuno, Ho Wi-ding kerap keluyuran ke gang-gang kecil untuk mendapatkan inspirasi bagi filmnya.
Pendidikan Taiwan Membina Tenaga Berbakat
“Bagi keturunan Tionghoa Perantau Myanmar, datang dan berkembang di Taiwan merupakan pilihan jalan keluar semua orang pada masa itu. Guru di sekolah juga tidak henti-hentinya mengungkit Taiwan sebagai Empat Naga Kecil Asia, kami merasa sangat keren begitu mendengar sebutan naga.” Lee Yong-chao yang tidak pernah melihat apalagi memegang komputer hingga ia berusia 20 tahun, baru pertama kali memegang dan mulai belajar mengetik komputer saat masuk universitas. “Teman kelas saya sudah mahir membuat animasi, desain grafis dan desain web, tetapi saya malah tidak bisa menggambar wajah sendiri, hanya bisa mengambar manusia lidi.”
Karena mengecap pendidikan universitas di Taiwan, tenggelam dalam lingkungan film yang kreatif, Lee Yong-chao adalah keturunan dari “Gu Jun” (tentara yang tertinggal di perbatasan antara Myanmar dan Provinsi Yunnan di Daratan Tiongkok setelah Pemerintah Republik Tiongkok pindah ke Taiwan pada tahun 1949) sehingga ia dapat mengembangkan bakatnya di Taiwan. “Saya sendiri merasa sangat beruntung, banyak orang Myanmar datang ke Taiwan hanya bisa berharap mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang bagi diri sendiri dan keluarganya di Myanmar, tetapi saya masih dapat mengejar impian menjadi pembuat film di sini.” Pada saat syuting film dokumenter “The Bad Man”, Lee Yong-chao berjarak dekat dengan tentara muda yang telah membunuh orang dengan jumlah yang tidak terhitung, berapa kali ia mengarahkan kamera ke wajah lawan, berapa kali pula rasa takut timbul. “Selama pembuatan film ini, setiap kali terbang ke Myanmar hati saya sangat galau.” Lee Yong-chao yang sebenarnya ingin merekam remaja lainnya yang berada di pusat rehabilitasi narkoba, tetapi setelah bertemu dengan pemuda Kachin ini, Lee Yong-chao segera mengubah tema cerita, dan mendapat dukungan penuh dari stasiun Public Television Service (PTS).
Dengan menggunakan perpaduan cahaya dan bayangan serta sorotan kamera, Lee Yong-chao merekam orang-orang yang berada di tingkatan rendah Myanmar, berharap dengan demikian dapat menyampaikan gagasan bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah baik. Karena sistem sensor sehingga tidak mungkin menayangkan karya filmnya di Myanmar, tetapi lingkungan kreatif Taiwan yang toleran dan terbuka memungkinkan ia untuk jujur pada dirinya sendiri dengan memotret Myanmar yang sebenarnya, menggunakan bentuk lain untuk menyuarakan Myanmar pada dunia internasional dan untuk menjadi saksi zaman.
Kebebasan dan Keterbukaan Lingkungan Taiwan
Direktur Utama Institut Film dan Audiovisual Taiwan, Wang Chun-chi mengamati, “Salah satu keunggulan lingkungan kreatif Taiwan adalah lingkungan bebas dan demokrasi kita, yang membuka ruang kebebasan berkreasi, termasuk lingkungan produksi film.” Lingkungan seperti inilah yang dapat membuat sutradara Tsai Ming-liang dan Ho Wi-ding dari Malaysia atau Midi Z dari Myanmar dapat berkembang di Taiwan.
Nilai produksi perfilman Taiwan pada tahun 2018 sekitar NT$22,473 miliar, mencakup industri produksi perfilman dan pemutaran film rata-rata mengalami peningkatan dibandingkan 2 tahun lalu. Untuk tahun 2018 saja, ada sebanyak 323 film nasional Taiwan yang turut berpartisipasi dalam pameran internasional, dan banyak film kerja sama lintas negara. Selain lingkungan produksi yang maju, keterbukaan pemerintah dengan kebijakan perfilman dan televisi serta dukungan pembiayaan dan kerja sama internasional juga menjadi unsur penting dalam produksi film.
Dari gambaran lesbian oleh Ho Wi-ding hingga ekplorasi sifat masyarakat tingkatan rendah dari Lee Yong-chao, dapat terlihat toleransi dan keterbukaan Taiwan terhadap tema konten film. Kekhasan lingkungan politik dan ekonomi Taiwan sejak awal sudah melahirkan “Film Baru Taiwan”, seperti sekarang ini pembuat film internasional telah berdatangan ke Taiwan untuk mengejar impian mereka. Taiwan menyediakan lingkungan kreatif yang unggul, tenaga berbakat yang baik dan peralatan teknis yang canggih, sehingga membuat para sutradara internasional dapat mengembangkan kemampuan, dan bakat mereka.
MORE