Kembali ke konten utama
Dengarkan Nyanyian Austronesia: Proyek Musik Austronesia dari Taiwan
2022-08-22

Small Island Big Song

 

“Satu hal yang saya pelajari dari proyek ‘Small Island Big Song’ adalah mengesampingkan pengekangan perbatasan negara, karena lautan tidak mengenal batasan seperti itu.” Demikian kata BaoBao Chen, pendiri proyek “Small Island Big Song” yang bertujuan menggunakan musik untuk menghubungkan negara-negara kepulauan Austronesia dan mendiskusikan isu-isu lingkungan.

 

Setelah jeda tiga tahun, proyek musik “Small Island Big Song” merilis album kedua berjudul “Our Island” pada Januari tahun ini (2022), dan sejak akhir tahun lalu telah memulai konser tur keliling 36 pertunjukan di Taiwan, Amerika Serikat dan Italia.

Konser tur berawal dengan sebuah pertunjukan di Taiwan Creative Content Fest (TCCF) 2021 yang diselenggarakan oleh Taiwan Creative Content Agency. Putad Pihay, vokalis band Outlet Drift yang memenangkan Golden Melody Award 2021 untuk Album Bahasa Penduduk Asli Terbaik, menyanyikan lagu “Pinagsanga” (Alam) dalam bahasa Suku Amis. Penyanyi-penulis lagu Sauljaljui membaurkan nyanyian duka suku Paiwan ke dalam karya ini, sementara musisi Sammy Andriamalalaharijaona dari Madagaskar dan penyanyi Emlyn dari Mauritius berkontribusi pada karya ini secara online dengan pertunjukan instrumen tradisional. Iringan gendang yang menderu bagaikan ombak mengumandangkan lagu penghormatan untuk lautan yang mengharukan.

 

Menghubungkan Austronesia Melalui Musik

Album pertama proyek “Small Island Big Song” berisi 18 lagu yang direkam oleh produser BaoBao Chen bersama suaminya, produser musik Australia Tim Cole, selama kunjungan ke lebih dari 100 musisi di 16 negara Austronesia sepanjang tiga tahun. Titik awal dari proyek ini adalah pernyataan dari seorang tetua di negara kepulauan Pasifik Selatan, Vanuatu.

Saat BaoBao dan Tim Cole mengunjungi Vanuatu pada tahun 2012, seorang tetua lokal memberitahukan mereka, “Leluhur kami berasal dari Taiwan.”

BaoBao awalnya sulit mempercayai dan mengatakan, “Saya menegaskan kepada dia bahwa saya berasal dari Taiwan, bukan Thailand.” Tapi akhirnya ia menemukan bahwa Taiwan benar-benar adalah tempat asal budaya Austronesia. Bukti untuk ini dapat ditemukan melalui tumbuhan dan bahasa, tapi sebagian besar diskusi terbatas pada akademisi, jarang ada dialog kontemporer. Inilah sebabnya BaoBao mulai menggalang dana untuk proyek “Small Island Big Song” pada tahun 2015, ia berencana menggunakan musik untuk menghubungkan musisi Austronesia; sementara Tim Cole yang sekitar 20 tahun lalu sudah mulai merekam musik suku asli Australia dan Papua Nugini, bertugas menandatangani kontrak kerja sama lintas budaya, memproduksi musik, dan merekam video.

Tim Cole yang terlatih secara profesional bersikeras untuk tidak merekam di studio rekaman. Ia pergi jauh-jauh ke tepi gunung berapi Kīlauea di Hawaii untuk merekam nyanyian tradisional dari vokalis Kekuhi Kealiikanakaoleohaililani saat matahari terbit; merekam “Women's Water Music” di samping Lubang Biru (Riri Blue Hole) di Vanuatu; dan merekam lagu-lagu yang diiringi oleh instrumen tradisional di hutan bakau Papua Nugini dan di hutan hujan Selandia Baru. Lagu-lagu ini mengungkapkan hubungan antara manusia dan alam, serta antara manusia dan budaya. Tim Cole yang bersuara lembut mengatakan dengan nada bersemangat, “Musik yang ditampilkan dengan cara ini adalah pernyataan pada Alam dan sangatlah kuat.”

Berdasarkan konsep perdagangan musik yang adil dan Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “Hak-Hak Masyarakat Penduduk Asli”, Tim mengembalikan keuntungan bersih dari semua rekamannya kepada masing-masing suku, untuk menerapkan semangat melindungi hak kekayaan intelektual tradisi masyarakat penduduk asli.

 

Lautan Tak Mengenal Batasan

Album “Small Island Big Song” yang dirilis pada tahun 2018, tidak saja masuk dalam nominasi untuk “Album Konsep Terbaik” dalam Penghargaan Musik Independen 2019 di Amerika Serikat, tetapi juga memenangkan Penghargaan Kritikus Rekor Jerman untuk “Album of the Year”, menjadikannya satu-satunya pemenang dari Benua Asia. Mereka kemudian melakukan konser tur ke lebih dari 50 pertunjukan di 16 negara di empat benua, menarik penonton yang berjumlah lebih dari 170.000 orang.

Lagu penutup pertunjukan “Uyas Gerakun” menghadirkan penampilan harpa mulut tradisional suku Truku yang disebut sebagai rubug qawqaw. Melodi utama dimainkan oleh Pi Teyru Ukah, seorang penyanyi dan pemburu Truku, diiringi lapisan warna nada harpa mulut serupa dari Sarawak dan Papua Nugini, serta ritme tarian bela diri Haka dari Maori dan nyanyian tari Kecak dari Bali. Di tengah kombinasi elemen musik ini, meski hanya bersuara tipis namun bagaikan tetesan air di lautan, rubug qawqaw menambahkan nuansa khas pada alunan musik yang bergelora.

BaoBao mengatakan, saat bekerja di Australia pada usia 22 tahun dan masih berusaha menjelajahi diri sendiri, ia mulai mencari impian tentang apa yang bisa dilakukan bagi Taiwan. Melalui proyek “Small Island Big Song”, ia menemukan sebuah jalan impian yang jelas, “Semakin besar gambar lingkaran maka akan semakin besar ruang untuk menampung lebih banyak orang.”

Proyek “Small Island Big Song” tidak hanya menghubungkan pulau-pulau Austronesia, juga menjadi bukti bahwa masyarakat Austronesia bermigrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. BaoBao mencontohkan, ada sebuah alat musik rakyat bagaikan harpa berbentuk tabung yang terbuat dari bambu atau kayu di Madagaskar yang dikenal sebagai valiha, yang dapat dimainkan oleh semua penduduk setempat. Musisi Tarika Sammy mengatakan kepadanya bahwa ketika nenek moyang mereka pertama tiba di Madagaskar, valiha masih tidak bersenar, setelah mulai ada sepeda, orang-orang baru menggunakan kabel rem sebagai senar logam. Ketika mengunjungi Sarawak di Malaysia, musisi Alena Murang memperkenalkan pagong yang biasa dimainkan neneknya dengan pemetik yang terbuat dari bambu. Saat itu, mereka baru menyadari bahwa pagong adalah bentuk asli dari valiha. Ada juga instrumen identik di Filipina dan Indonesia, sedangkan di Taiwan ada catatan sejarah tentang instrumen semacam itu tapi sekarang tidak ditemukan lagi.

Pada masa konser tur keliling Eropa tahun 2018 dan 2019, “Small Island Big Song” dipentaskan di antara pertunjukan skala besar kelompok musik rock, tapi saat pagong dan valiha berduet, melodi yang dialunkan selalu mengharukan setiap penonton.

 

Kerabat di Seberang Lautan

Salah satu lagu di album “Small Island Big Song” adalah “Naka Wara Wara To’o”, dikarang dalam bahasa kuno oleh pemain seruling panci (pan flute) dari Kepulauan Solomon, Charles Maimarosia. Ia mengatakan bahwa mengambil bagian dalam proyek “Small Island Big Song” bagaikan menemukan kerabat di seberang lautan, dan lagu itu ditulis untuk keluarga besar ini.

Semasa konser tur, penyanyi dari negara yang berbeda menemukan, meskipun memiliki bahasa ibu masing-masing, ada kemiripan dalam pengucapan angka satu sampai sepuluh baik yang berasal dari Pulau Paskah atau suku Amis di Taiwan, dan para penyanyi bahkan memiliki bahasa tubuh yang serupa.

Taiwan bukan hanya sebagai bagian dari Asia, tapi juga sebagai bagian dari Austronesia. Dalam sebuah wawancara BaoBao mengatakan bahwa “Isu Indo-Pasifik” yang belakangan hangat dibicarakan di Amerika Serikat dan Australia sebenarnya merujuk pada wilayah Austronesia; sementara saat isu konflik dan ketegangan antara Taiwan dan Tiongkok kerap didiskusikan oleh masyarakat internasional, asalkan berpaling ke arah Samudra Pasifik, ikatan dan koneksi antara Taiwan dan Austronesia akan terlihat jelas, dan mendefinisikan kembali identitas Taiwan.

 

Mengubah Dunia dengan Musik

Proyek “Small Island Big Song” juga menyampaikan keprihatinan atas perubahan iklim. Sebagai contoh, lagu “Gasikara” yang dinyanyikan dan dimainkan secara kolektif dengan alat musik tradisional oleh musisi dari enam negara, melukiskan krisis lingkungan pesisir seperti pemutihan karang yang dihadapi di tanah air mereka. Tim Cole yang telah berkecimpung dalam dunia musik selama 30 tahun, ingin menggunakan cerita dan musik dalam lagu-lagu di album untuk bersuara atas nama lingkungan dan lautan. Itulah sebabnya Tim Cole memilih nama “Small Island Big Song” yang secara harfiah berarti “Pulau Kecil Lagu Besar”, dan menggunakan kata tunggal “island” (pulau) sebagai judul bahasa Inggris album untuk menunjukkan bahwa “Kita hanya memiliki satu Bumi.”

Ketika merekam alat musik bambu tradisional di Pulau Bougainville di lepas pantai Papua Nugini, BaoBao dan Tim Cole bertemu dengan seorang pengacara hak asasi manusia dari Australia yang sedang membantu warga lokal untuk membeli tanah. Perubahan iklim telah menimbulkan masalah salinisasi lahan dan sungai, membuat lahan semula tidak lagi dapat dipakai untuk bercocok tanam dan tidak ada air minum.

Selanjutnya, mulai akhir Januari 2022, tim “Small Island Big Song” akan melakukan konser tur keliling di Amerika Serikat dengan pertunjukan di berbagai tempat termasuk Broadway di New York dan University of Pennsylvania. Perhentian terakhir adalah di Pulau Procida di Teluk Napoli, Ibukota Kebudayaan Italia untuk tahun 2022. “Saat ini acara masih sedang disusun, tapi kami berharap dapat mementaskan pertunjukan terakhir di Taiwan,” tutur Baobao. “Bagaimanapun, Taiwan adalah titik awal budaya Austronesia, dan ini adalah musik yang Taiwan sumbangkan kepada dunia.”

 

MORE

Dengarkan Nyanyian Austronesia: Proyek Musik Austronesia dari Taiwan