Kembali ke konten utama
Kekuatan Pendidikan “Makan” Membangkitkan Profil Kuliner Taitung
2022-11-07

Rupa tanah Taitung yang variatif, juga memiliki suku etnis yang beragam dan menciptakan cita rasa kuliner Taitung yang khas.

Rupa tanah Taitung yang variatif, juga memiliki suku etnis yang beragam dan menciptakan cita rasa kuliner Taitung yang khas.
 

Pada pertengahan tahun 2009, pemerintah kabupaten Taitung, Pusat Desain Taitung (Taitung Design Center) dan AGUA Design meluncurkan platform pengusung pendidikan makan Taitung “Fooding Taitung” dengan menyambangi alam Taitung dan menggali “kekuatan kuliner” yang terselubung di Taitung.

 

Lahan Taitung sangat variatif, terdapat lembah gunung, garis pantai, jalan raya haluan balik selatan dan pulau-pulau kecil. Populasi di Taitung juga beragam dari masyarakat penduduk asli, etnis Minnan, etnis Hakka dan penduduk imigran baru yang menciptakan kekhasan cita rasa makanan Taitung. Kali ini kami menilik daftar yang direkomendasikan oleh Agua Chou seorang perintis AGUA Design yang memperkenalkan satu per satu kawasan lembah gunung, merasakan alam Taitung yang memiliki panorama indah dan kuliner yang lezat.
 

Kakak A Jiao berkata, kuliner Taitung enak “gila” , jadi diculik oleh makanan Taitung juga rela.

Kakak A Jiao berkata, kuliner Taitung enak “gila” , jadi diculik oleh makanan Taitung juga rela.
 

Singgahan Pertama: Merasakan Vitalitas Tanah Taitung

“Huhh!! Saya diculik oleh bahan makanan Taitung.” tutur Zhuang Yue-jiao yang akrab dipanggil sebagai kakak A Jiao, ia memiliki kebiasaan mengumpat saat berbicara, di masa lalu ia sangat populer dalam dunia kuliner, mendapat julukan sebagai dewi pencicip makanan. Setelah ia mendapat tawaran program residensi perkampungan dari Lovely Taiwan Foundation, pada akhirnya ia betah dan tidak pernah meninggalkan Taitung.

Jika ingin mengetahui keberagaman kuliner Taitung, pagi-pagi buta Kakak A Jiao membawa kami ke pasar Guanshan dan pasar Chishang. Dengan mobil yang dipenuhi bahan makanan, kami pulang kembali ke kios kakak A Jiao yang terletak di samping kolam Dapo.

Sore harinya, kakak A Jiao mengantar kami mengunjungi petani kecil mitra kerjanya, “Semula hasil tanaman mereka akan dijual ke pasar, saya meminta mereka mengantar saya ke kebun sayur untuk melihat langsung, jika rumput liar tumbuh lebih bagus daripada sayur, itu baru benar!”

Ada beberapa kebun petani kecil berlokasi di lahan yang aneh di samping sungai, sebaliknya malah kakak A Jiao lebih suka dan mengutamakan untuk  membelinya, “Jika kehidupan manusia selalu lancar, maka tidak ada kisah yang dapat diceritakan, seperti kehidupan yang saya lalui sangat pahit (bercerai dan dililit hutang), tiga hari tiga malam pun cerita ini tidak akan habis-habisnya, begitu juga tanah, dikarenakan setiap kondisi tanah berbeda-beda. Sayur-mayur yang bekerja keras untuk tumbuh akan memiliki rasa yang tak sama, maka saya lebih memilih untuk membeli sayur ini.”

Ia meminta kami memetik paprika hijau di kebun dan memakannya, ketika masuk ke dalam mulut, selain merasakan paprika yang manis menyengat, masih ada semburan rasa yang langsung menyerang bagian kepala, beginilah tanaman yang dihasilkan dari tanah Taitung, atau dengan kata lain inilah kisah tanah Taitung!

“Standar papil pengecap lidah tidak bisa diturunkan, yang ada hanya permintaan yang semakin baik.” Taitung yang dipenuhi dengan kekayaan alam, “Kamu tahu, saya diculik, saya pun rela.” ujar kakak A Jiao sambil terbuai.
 

Ingin menyantap jagung, langsung ke ladang dan memetiknya, jarak dengan bahan makanan nol kilometer.

Ingin menyantap jagung, langsung ke ladang dan memetiknya, jarak dengan bahan makanan nol kilometer.
 

Singgahan Ke-2:  SD Jin Ping Menciptakan Lingkungan Pangan Pertanian

Kaki berpijak pada Sekolah Dasar Jin Ping di kecamatan Haiduan, seketika kami terpukau dengan lukisan warna-warni pada bagian luar dinding kelas. “Jawawut merupakan hasil pertanian penting bagi masyarakat suku Bunun, kehidupan masyarakat suku Bunun sangat bergantung panen jawawut, mereka mengamati kronologis perubahan alam untuk mengatur pekerjaannya.” Demikian penjelasan Kepala Sekolah Xu Shu-wei.

Pendidikan pangan yang dipromosikan SD Jin Ping telah berjalan lebih dari 4 tahun, pada awalnya hanya bermaksud memanfaatkan ruangan sekolah yang tak terpakai, kemudian merapikan tanah dan menanam sayur-mayur. Namun, Xu Shu-wei mengira bercocok tanam dan urusan memasak adalah kegiatan praktik, kemudian ia semakin memikirkan ilmu pengetahuan dan sikap yang mengena yang ingin disampaikan kepada para siswa di balik kegiatan ini. Ia menuntun guru-guru di sekolah untuk belajar pangan pertanian, secara bertahap membangun kekuatan pendidikan dan mekanisme pengetahuan yang semestinya dikenal oleh siswa pada setiap tingkatan kelas, “Jadi pendidikan pangan pertanian bisa dikatakan sebagai metode saya, materi kurikulum saya.”

Membangun lingkungan pangan pertanian, tidak hanya diterapkan pada materi pelajaran pangan pertanian, seperti pelajaran ilmu pengetahuan alam dalam memahami lingkungan yang mengalami perubahan iklim, guru pengajar dapat mengambil contoh babi hutan yang mencuri ubi jalar di kebun, dan memandu siswa berdiskusi mengenai apakah habitat dalam hutan telah dirusak sehingga mengakibatkan krisis makanan, ada kemungkinan habitat rusak disebabkan pembukaan akses jalan. Satu per satu permasalahan yang terkait dibahas, sehingga siswa berani berpendapat, cara yang lebih mendekatkan siswa dengan kehidupan nyata dibandingkan membaca penggalan pengetahuan dari buku-buku pelajaran.
 

Pendidikan Pangan Taitung Lukisan kehidupan suku Bunun di tembok luar sekolah, ini adalah pemandangan SD Jin Ping yang mempesona (Foto: Cathy Teng)

Pendidikan Pangan Taitung Lukisan kehidupan suku Bunun di tembok luar sekolah, ini adalah pemandangan SD Jin Ping yang mempesona (Foto: Cathy Teng)
 

Singgahan Ke-3: SD Yongan Mengintegrasikan Pendidikan Makan dalam Kehidupan

Selanjutnya, tempat yang patut dijelajahi adalah SD Yongan yang terletak di Luye, dataran tinggi yang populer dengan festival balon udara internasional. Mengikuti Kepala Sekolah Wen Shang-de memasuki sekolah, anjing sekolah pun mengikuti dari belakang. Pada hari tersebut pihak sekolah mengundang penulis buku parenting, Saffron untuk menjadi nara sumber, serta mengajak siswa memasak menu makan siang di dapur.

Selama diskusi, Saffron melontarkan pertanyaan dan berinteraksi dengan siswa. Kami mendapati ternyata banyak siswa mempunyai pengalaman ke pasar bersama ibu mereka, dan mereka juga mengetahui kapan panen kentang, sohun terbuat dari olahan kacang hijau, tauco adalah produk fermentasi kacang kedelai serta berbagai pertanyaan yang cukup sulit bisa dijawab siswa dengan mudah, ternyata ini semua membuktikan apa yang pernah dikatakan Agua Chou, anak-anak Taitung memiliki pengetahuan tentang makanan.

Siswa memiliki “konsep” yang diperoleh sendiri, jika kita mengamati lingkungan sekolah ini yang kaya akan ekosistem sangat mengagumkan. Dikarenakan pada semester sebelumnya, siswa diajak menonton video dokumenter tentang asal mula kehidupan kemudian membuat mereka penasaran. Guru membeli mesin penetas telur, meminta telur ayam, telur bebek dengan tetangga dan mulai mengerami telur hingga saat ini ada sekawanan ayam dan bebek di sekolah yang ikut anak-anak belajar di sekolah. Masih ada pohon zaitun, pohon persik, tanaman rosela yang mengelilingi bangunan sekolah. Ketika tiba waktunya, mereka bergotong-royong memetik dan memasak buah zaitun, membuat sendiri manisan rosela, inilah kegiatan musiman yang rutin dilakukan siswa SD Yongan.

“Asalkan didasari makanan atau sesuatu yang berhubungan dengan makanan dijadikan sebagai ide untuk materi pelajaran, saya merasa inilah materi pendidikan makan SD Yongan,” ujar Wen Shang-de.

Kadang-kadang, guru mengajak siswa menikmati makan siang di luar kelas, anak-anak mengangkat panci makanan ke salah satu sudut sekolah, semua melepaskan sepatu dan kaos kaki, lalu merendamkan kaki mereka ke dalam air sungai yang dingin, dengan santai dan asyik menikmati makan siang, inilah pendidikan pangan. Masih ada materi tentang fermentasi arak dari beras ketan, arak menjadi mediasi bagi penduduk suku Amis berkomunikasi dengan roh leluhur dan alam semesta. Selama proses belajar, mengajari siswa agar menghormati Tuhan dan mencintai sesama manusia serta selalu bersyukur, inilah bentuk dari pendidikan makan.
 

Arak adalah mediasi suku Amis untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan alam. Materi pendidikan pangan SD Yongan mengajari siswa membuat fermentasi arak, dalam kesempatan tersebut guru menyampaikan makna menghormati alam dan mencintai sesama.

Arak adalah mediasi suku Amis untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan alam. Materi pendidikan pangan SD Yongan mengajari siswa membuat fermentasi arak, dalam kesempatan tersebut guru menyampaikan makna menghormati alam dan mencintai sesama.
 

Singgahan Ke-4: Memori Makanan Adalah Jalan Menuju ke Rumah

Bel berbunyi pukul 12 siang tepat, kantin SMA Nasional Taitung diserbu siswa-siswa yang kelaparan, di atas meja terlihat mangkok-mangkok berisikan “gongdanfan”, satu per satu dimakan untuk mengisi perut para siswa.

Lulusan SMA 12 tahun berjalan, Mala Huang kembali ke almamater tempat kenangan masa mudanya, ia kembali bukan sebagai pelajar melainkan menjadi seorang juru masak yang bertugas mengolah sajian panas untuk menghangatkan perut para siswa.

Masa di bangku sekolah, kantin SMA Nasional Taitung menyediakan semangkok gongdanfan, yaitu nasi putih dilengkapi daging cincang, sejumput sayuran, sepotong daging, masih diberi toppingan bakso dan telur pindang, makanan ini menjadi momen bahagia bagi Mala Huang di masa sekolah. “Kehidupan masa SMA yang mengesankan, ke sekolah, belajar, makan siang hanya setengah jam saja, meskipun waktu yang pendek tetapi penuh kenangan.”

Namun menu gongdanfan telah hilang setelah Mala Huang lulus 4-5 tahun. Dalam lubuk hatinya, muncul keinginan untuk membuat gongdanfan. Sebenarnya Mala Huang telah memiliki profesi tetap, lalu ia memutuskan berhenti, kembali ke kampung halaman dan ia mengikuti ujian sertifikasi teknisi level C untuk kuliner ala Tionghoa agar memahami dasar pengolahan dan kebersihan makanan. Ia bermaksud menyajikan cita rasa yang ada dalam benak pikirannya. Untuk memastikan bahan makanan, ia meminta data belanjaan masa lalu dari pihak sekolah, kemudian melalui internet mendapatkan beragam cara pengolahan daging cincang, lalu menuangkan bahan makanan menjadi bagian dalam metode, satu per satu dicoba, pada akhirnya berhasil membuat gongdanfan dengan rasa yang hampir mendekati dengan apa yang dibayangkan. “Sebenarnya rasanya berbeda, tetapi saya merasa yang sekarang ini lebih lezat rasanya.” ujar Mala Huang.

Satu mangkuk gongdanfan menjadi ikatan batin bagi Mala Huang, membawanya pulang ke desa di Taitung, menjalani kehidupan lokal sebagai generasi muda yang kembali berkarya di desa, apakah semua ini adalah efek kupu-kupu dari pendidikan pangan?
 

Nasi putih ditaburi daging cincang, sejumput sayur dan sepotong daging, ditambah dengan toppingan bakso dan telur pindang, inilah memori indah Mala Huang semasa SMA.

Nasi putih ditaburi daging cincang, sejumput sayur dan sepotong daging, ditambah dengan toppingan bakso dan telur pindang, inilah memori indah Mala Huang semasa SMA.
 

Singgahan Ke-5: Membangun Merek “Pendidikan Pangan” Taitung

Mampir ke singgahan di kawasan lembah kemudian berbalik ke niat awal AGUA Design yang bermaksud mempromosikan pendidikan pangan Taitung, “Berkaitan dengan pendidikan makan Taitung, yang kami pikirkan adalah bagaimana caranya agar Taitung dapat terlihat, serta agar “warga Taitung” juga terlihat,” Agua Chou berkata.

“Taitung sangat berpotensi dalam pendidikan pangan, benar-benar kaya dan limpah ruah akan tetapi tidak terlihat oleh masyarakat luar.” Ada banyak sekali makanan langka di sini, setelah berkunjung ke Taitung baru menemukannya seperti buah tepurang, jeruk valencia, masih ada tanaman yang dikira hanya ada di Jepang yaitu bawang rakkyo dan lain-lain, ternyata semua tanaman ini umum ditemukan di Taitung. AGUA Design berharap melalui rancangannya bisa membuat kekuatan kuliner makanan Taitung semakin dikenal banyak orang.

Tahun lalu, tim AGUA melakukan survei di lahan liar kawasan lembah, mencatat kondisi musim-musim yang terjadi di kawasan lembah, kemudian dirangkum dalam gambar “Pendidikan Pangan Taitung 365”, begitu besarnya pengetahuan terkait dengan musim makanan, penyimpanan makanan dan kehidupan warga Taitung yang sangat mengandalkan musim.

Tahun ini ditampilkan “100 Kuliner Taitung” yang menggali resep makanan sehat untuk usia 0-100 tahun dengan mengundang ahli pencicip warga Taitung untuk berbagi apa yang disantap sehari 3 kali, cara makan, makan bersama siapa, agar setiap orang juga bisa menikmati kuliner, dengan cakupan dimulai dari lingkungan makanan, kesehatan gigi hingga pengelolaan isi kulkas. Menelusuri memori akan cita rasa kampung halaman kemudian merancang kombinasi kuliner yang tepat supaya setiap orang mengetahui ternyata makanan Taitung sangat lezat.

Memanfaatkan platform “Fooding Taitung”, ketika tidak berada di Taitung juga bisa memerhatikan kuliner Taitung, melalui internet yang menghubungkan puluhan ribu orang, media sosial facebook “Fooding Taitung” yang dikelola selama satu tahun berjalan dengan jumlah jangkauan (reach) mencapai jutaan orang. Unggahan artikel di laman facebook dalam waktu singkat menarik perhatian netizen dan marak dibahas dengan lontaran pertanyaan interaktif seperti cara makan, makan di mana, dan bagaimana cara memasaknya.

Tidak hanya melakukan survei lapangan, saat bersamaan tim AGUA, kami juga mengumpulkan banyak sekali informasi makanan dunia, misalkan aneka kuliner dari berbagai negara, bagaimana mengolahnya, bagaimana mempromosikan pendidikan pangan, semua ini menjadi kesempatan agar Taitung bisa mengenal dunia, juga mengenal diri sendiri. Banyak koki internasional bersusah payah mencari bahan makanan yang berkualitas untuk menciptakan masakan yang memiliki kekhasan daerah setempat. Agua Chou berharap, asalkan Taitung dapat terlihat maka akan menarik perhatian mereka karena selain kaya dengan bumbu-bumbu internasional Taitung juga dipenuhi dengan kearifan lokal.

 

MORE

Kekuatan Pendidikan “Makan” Membangkitkan Profil Kuliner Taitung