Kembali ke konten utama
Berkreasi di Tengah Dua Kampung Halaman Penulis Tionghoa-Malaysia di Taiwan
2023-01-23

Chang Kuei Hsing yang telah memenangkan penghargaan Grand Literary Award dari United Daily News, Golden Tripod Award, Penghargaan Sastra Taiwan, dan hadiah utama Pemeran Buku Internasional Taipei, adalah seorang penulis Tionghoa-Malaysia, juga novelis kontemporer terkemuka Taiwan.

Chang Kuei Hsing yang telah memenangkan penghargaan Grand Literary Award dari United Daily News, Golden Tripod Award, Penghargaan Sastra Taiwan, dan hadiah utama Pemeran Buku Internasional Taipei, adalah seorang penulis Tionghoa-Malaysia, juga novelis kontemporer terkemuka Taiwan.
 

Mereka adalah sekelompok “Pasukan asing” di dunia sastra yang memiliki kreasi dan imajinasi luar biasa dalam tulisan. Meski berasal dari Asia Tenggara, mereka berakar, berkarya dan menjadi terkenal di Taiwan. Karya-karya mereka yang ditulis dan diterbitkan di Taiwan kemudian merambah ke kancah internasional. Sekelompok orang ini kita sebut sebagai “Penulis Tionghoa-Malaysia”.

 

Kelompok penulis etnis Tionghoa kelahiran Malaysia bertalenta ini, memiliki kepakaran di setiap genre yang berbeda, dan prestasi yang tidak pernah terputus dari generasi ke generasi. Apakah kisah di balik kemunculan komunitas sastra yang begitu unik dan menonjol ini?

 

Kelompok Sastra yang Datang Karena Kagum pada Taiwan

Penulis Inggris kelahiran Jepang peraih Penghargaan Nobel Kesusastraan Kazuo Ishiguro pernah berkata, “Manusia bukan terbuat dari dua pertiga suatu hal dan sisanya sesuatu yang lain. Temperamen, kepribadian dan pandangan seseorang tidak bisa dipisahkan dengan jelas. Semuanya akan bergabung menjadi campuran homogen yang menarik. Orang-orang dengan latar belakang budaya campuran ini akan menjadi lebih umum pada akhir abad ini. Inilah tren perkembangan dunia.”

Penulis Tionghoa-Malaysia di Taiwan menjadi contoh bukti terbaik dari perkataan Ishiguro ini. Jika ditelusuri ke era tahun 1960-an, pembatasan sistem pendidikan di Malaysia, ditambah dengan ketertarikan dengan kebijakan pendidikan Tionghoa perantauan, menyebabkan banyak pemuda etnis Tionghoa di Malaysia yang memiliki aspirasi budaya memilih untuk meneruskan studi di lingkungan pendidikan berbahasa Mandarin di Taiwan. Pada masa sekolah, mereka mulai mendirikan kelompok sastra di sekolah dan menerbitkan tulisan mereka.

Banyak kritikus menganggap tahun 1980-an sebagai Era puncak sastra Taiwan”, didominasi oleh penghargaan sastra bergengsi dari surat kabar “China Times” dan “United Daily News”, dengan kehormatan yang diperoleh berupa imbalan finansial mencapai jutaan dolar, dan tawaran kontrak penerbitan, menjadi batu loncatan bagi kebanyakan pemuda pecinta sastra untuk menggapai impian memasuki dunia sastra. Beberapa penulis Tionghoa-Malaysia menjadi terkenal dalam gelombang sastra ini, antara lain: Shang Wanyun, penulis Tionghoa-Malaysia pertama yang memenangkan hadiah novel terbaik dari United Daily News; Lee Yung Ping yang saat memenangkan penghargaan masih kuliah di Amerika Serikat; dan Chang Kuei Hsing yang belajar di Jurusan Bahasa Inggris di National Taiwan Normal University.
 

Pengalaman diaspora yang dialami mantan Ketua Departemen Penelitian Amerika di Academia Sinica, Lee Yu-cheng, membuatnya selalu lebih prihatin pada kelompok etnis minoritas. Risetnya pun cenderung berfokus pada penulis Inggris keturunan Asia dan penulis Afrika-Amerika.

Pengalaman diaspora yang dialami mantan Ketua Departemen Penelitian Amerika di Academia Sinica, Lee Yu-cheng, membuatnya selalu lebih prihatin pada kelompok etnis minoritas. Risetnya pun cenderung berfokus pada penulis Inggris keturunan Asia dan penulis Afrika-Amerika.
 

Posisi Penting “Sastra Tionghoa-Malaysia”

Namun, dicapainya posisi penting “Sastra Tionghoa-Malaysia” selain bergantung pada upaya para penulis yang tak kenal lelah, juga pada penelitian akademis. Sejak era tahun 1990-an, sarjana-penulis seperti Ng Kim Chew, Chong Yee Voon, dan Chan Tah Wei telah memainkan peran penting dalam meningkatkan dan mempertajam kesadaran akan “Sastra Tionghoa-Malaysia”.

Meskipun beberapa orang ini memiliki keunggulan tersendiri yang berlainan dalam genre fiksi, prosa nonfiksi dan puisi modern, tetapi mereka memiliki kesamaan yaitu semua datang ke Taiwan untuk studi di perguruan tinggi sampai akhirnya menerima gelar doktor. Beberapa darinya sudah terkenal di masa mahasiswa sebagai pemenang hadiah sastra; semuanya terus bekerja sebagai akademisi setelah lulus, menyibukkan diri dengan tulisan kreatif sambil juga terlibat dalam kritik ilmiah; mengedit sejumlah antologi tulisan-tulisan Tionghoa-Malaysia; dan bersama-sama menghimpun energi sepanjang 20 tahun.

“Teks-teks sastra akan diteliti oleh dunia akademis, dan menjadi bahan ajar di kampus. Pada saat yang sama, kritikus menerbitkan karya pilihan antologi. Sebuah karya sastra memperoleh pengakuan ketika dipelajari dan dimasukkan ke dalam kanon sastra,” kata Ko Chia Cian, deputi profesor sastra Tionghoa di National Taiwan University.

Taiwan dengan lingkungan sastra yang sehat, mulai dari penulisan kreatif dan penerbitan hingga kritik dan penelitian, menempati posisi penting dalam dunia sastra berbahasa Tionghoa. Tidak mengherankan jika Chan Tah Wei berpendapat bahwa Taiwan adalah salah satu dari tiga sektor utama sastra Tionghoa-Malaysia di samping Malaysia Timur dan Malaysia Barat.

 

Taiwan Adalah Tempat yang Baik untuk Berkarya

Pasar pembaca yang cukup besar merupakan salah satu alasan mengapa Taiwan menjadi tempat penting untuk sastra berbahasa Tionghoa.

Dibandingkan dengan situasi di Malaysia, keragaman etnis dan fakta bahwa bahasa resminya adalah Bahasa Melayu, berarti tidak ada pembaca yang cukup besar untuk karya-karya dalam bahasa Tionghoa untuk membentuk pasar independen, sekalipun banyak orang Malaysia dididik di sekolah menengah swasta Tionghoa, dan dapat membaca atau bahkan menulis secara kreatif dalam bahasa Tionghoa.

Adapun Hong Kong, meskipun bahasa Tionghoa adalah bahasa utama di sana, populasinya hanya cukup besar untuk menopang penulis yang sukses secara komersial seperti Louis Cha (Jin Yong) dan Yi Shu. Banyak penulis karya sastra di Hong Kong seperti Zhang Yan (Xi Xi), Dung Kai-cheung dan Wong Bik-wan, beralih ke Taiwan untuk proyek penerbitan, sehingga beberapa buku mereka hanya diterbitkan di Taiwan dan tidak di Hong Kong. “Sederhananya,” jelas Ko Chia Chian, “Mereka menganggap Taiwan sebagai pusat operasi sastra Hong Kong.”

Selain itu, hadiah sastra terkemuka di Taiwan sangat beragam, mencakup manca genre seperti puisi modern, prosa nonfiksi, fiksi, dan reportase. Ditambah lagi pasar sastra Taiwan sangat makmur, setiap tahun hampir 40.000 buku baru diterbitkan, dan jumlah penerbitan buku baru per kapita di sini adalah tertinggi kedua di dunia setelah Inggris. Sementara itu, peraturan penerbitan di Taiwan lebih longgar dan tidak ada topik yang tabu, maka subjek dan jenis buku yang diterbitkan pun sangat bervariasi. Sepeti buku-buku yang mengeksplorasi isu-isu gender dan gerakan sosial yang jarang terlihat di dunia berbahasa Tionghoa di tempat lain…. Semua ini merupakan keunggulan lingkungan kreatif Taiwan. “Menulis adalah aktivitas pribadi. Seseorang bisa menulis di mana saja, tapi jika berharap tulisannya dapat disebarluaskan, maka Taiwan adalah tempat yang tepat,” tutur Lee Yu-cheng, seorang kritikus sastra Tionghoa-Malaysia mantan Direktur Institut Studi Eropa dan Amerika di Academia Sinica.
 

Berasal dari Malaysia, Ko Chia Cian telah menetap di Taiwan lebih dari 20 tahun.

Berasal dari Malaysia, Ko Chia Cian telah menetap di Taiwan lebih dari 20 tahun.
 

Universalitas dalam Koeksistensi Pluralisme

Apakah penulis Tionghoa-Malaysia di Taiwan bisa menghasilkan karya dengan kualitas yang sama andaikata berbasis di negara asalnya?

Chang Kuei Hsing yang telah tinggal di Taiwan selama lebih dari 40 tahun, memberikan jawaban negatif. Menurutnya, salah satu faktor adalah lingkungan sastra yang aktif dan lingkungan berkreasi yang bebas di Taiwan. Selain itu Chang Kuei Hsing beranggapan, berada di tempat yang jauh dari kampung halaman adalah kuncinya. “Menulis di Malaysia berbeda dengan menulis di tempat dengan jarak tertentu. Ada hal-hal yang bisa dilihat lebih jelas ketika diamati dari kejauhan,” Chang Kuei Hsing membeberkannya.

Walaupun “Rasa jarak” terkadang memicu tanggapan dari pembaca Taiwan: Mengapa selalu menulis tentang kampung halaman Sarawak, dan bukan tentang Taiwan? Berbicara tentang psikologi para penulis saat berkarya dari segi kritik sastra, Lee Yu-cheng menganalisis, “Kenangan masa kecil dan remaja yang tertanam jauh di benak mereka telah menimbulkan rasa jarak melalui keterpisahan fisik dan waktu. Para penulis mendapatkan dorongan kreatif dengan merenungkan memori dan pengalaman di masa lalu.”

Banyak penulis terkenal di tempat lain di dunia juga menampilkan kecenderungan yang sama dalam tulisan mereka. “Jika mengesampingkan penulis seperti Kazuo Ishiguro dan Salman Rushdie, sastra Inggris modern akan kehilangan banyak pesonanya. Jika kita melihat Taiwan, tanpa penulis berlatar belakang imigran seperti Lee Yung Ping, Chang Kuei Hsing dan Ng Kim Chew, atau penulis dengan orang tua yang merupakan imigran di Asia Tenggara seperti Fang Hui-chen dan Chen Yu-chin, sastra Taiwan akan tetap sastra Taiwan, tapi pasti akan kehilangan banyak ragam warnanya,” kata Lee Yu-cheng.

 

Menemukan Kembali Makna Taiwan

Untuk itu, penilaian kreasi sastra Tionghoa-Malaysia, atau sastra imigran lain, hendaknya berbasis pada isi dan kualitas, dan bukan subjeknya. Terlebih-lebih, masyarakat yang tidak pernah merestriksi subjek kreasi penulis dan menyambut etnis berlainan dengan tangan terbuka, baru bisa membuat mereka merasa diterima.

Saat diwawancara, Chang Kuei Hsing memberitahu bahwa ia akan segera memulai proyek penulisan barunya tentang Lin Wang, seekor gajah populer yang hidup di Kebun Binatang Taipei selama bertahun-tahun, yang sempat digunakan untuk keperluan militer di Myanmar, bertaruh hidup dan mati selama Perang Dunia II. Seperti novel-novel Chang Kuei Hsing lainnya, proyek baru ini akan melibatkan pengumpulan fakta sejarah dan etnis yang kompleks, tapi Chang dengan penuh percaya diri mengungkapkan, “Saya sudah lama memikirkan ide ini, jadi akan sangat cepat untuk menulisnya.”

Beberapa tahun terakhir, Lee Yu-cheng yang baru saja pensiun dari Academia Sinica kembali menulis puisi seperti masa mudanya. Puisinya “Kembali ke Desa Nelayan di Malam Hari”, memiliki kalimat berikut, “Cinta dalam keluarga bagaikan buku lama yang akrab / Setiap kali saya membukanya, tanpa mengharapkan apa pun secara khusus / Makna baru akan terungkap / Atau seperti daun teh yang dipetik dari cabang tua / Dipanggang hingga mengeluarkan aroma manis yang sudah lama dirindukan.”

Mungkin bagi para penulis Tionghoa-Malaysia yang merasa dirinya memiliki dua kampung halaman, Taiwan juga bagaikan “buku tua yang akrab.” Novel baru Chang Kuei Hsing akan membawa Lin Wang dari kehidupannya yang tenang di kebun binatang untuk kembali ke medan perang yang hampir dilupakan manusia di Asia Tenggara. Melalui “penelusuran” dari perspektif Tionghoa-Malaysia, makna Taiwan ditemukan kembali, diperkaya dan diberikan banyak arti. Meskipun “Dipetik dari cabang-cabang tua,” makna-makna ini memancarkan rasa manis yang dapat bertahan dalam ujian waktu.

 

MORE

Berkreasi di Tengah Dua Kampung Halaman Penulis Tionghoa-Malaysia di Taiwan