Kembali ke konten utama
Menumpuk Warisan, Mempertahankan Vitalitas: Desa Hakka Meinong Tempo Dulu Hingga Masa Kini
2024-01-08

Chung Jen-chen adalah seorang peneliti dan promotor acar lobak Hakka.

Chung Jen-chen adalah seorang peneliti dan promotor acar lobak Hakka.
 

Pada tahun 1980, Taiwan Panorama pernah melaporkan tentang majalah perintis lokal “Today’s Meinung”. Pendirinya Huang Sen-sung termasuk di antara gelombang pertama dari “Pemuda yang kembali ke kampung halaman” di Meinong. Atas desakan Huang, Lin Hwai-min memimpin kelompok tari Teater Cloud Gate (Cloud Gate Dance Theatre) yang terkenal untuk tampil di Meinong. Ini merupakan peristiwa besar pada zamannya.

 

Desa Meinong telah lama menjadi tempat yang menarik perhatian. Pada awal tahun 1970-an, penulis dan pecinta kuliner Tang Lu-sun dan perdana menteri saat itu Chiang Ching-kuo berkali-kali secara khusus menuju Meinong di wilayah selatan untuk menikmati kuliner lokal, akhirnya memopulerkan jajanan lokal seperti kwetiau Meinong.

Beberapa tahun terakhir, Meinong bahkan menjadi tempat dimulainya pembudidayaan tetepok, dan markas grup musik berbahasa Hakka “Sheng-Xiang & Band” keduanya sama-sama terkenal.

Jadi mengapa Meinong bisa memiliki begitu banyak kisah menarik?

Berkunjung ke Meinong pada musim dingin cukup nikmat karena cuaca hangat di Taiwan selatan sangat menyenangkan. Kebetulan siang hari pas waktu untuk makan, kami pun mengikuti arus manusia, memasuki sebuah toko kwetiau lokal yang bisa ditemukan di mana-mana.

Pemandu perjalanan kali ini adalah seorang penggiat sastra dan sejarah Meinong, Chiu Kuo-yuan selaku “pemuda yang kembali ke kampung halaman” generasi pertama, kini Chiu Kuo-yuan telah berusia lebih dari 70 tahun. Chiu Kuo-yuan aktif berkontribusi dalam urusan desa sehingga ia memiliki banyak status tambahan. Selain pernah menjadi guru di Kaohsiung Chi Mei Vocational High School, ia juga aktif dalam isu lingkungan dan selalu tekun dalam studi sejarah budaya lokal.

 

Lobak Tua Hakka yang Disegel Tepat Waktunya

Pertumbuhan sayur lebih lebih lambat pada musim dingin, tetapi malah memiliki rasa yang lebih manis. Menyusuri jalanan desa ini, terlihat banyak warga menjemur sayuran di bawah sinar matahari. Saat ini adalah musim panen lobak "Giok Putih". Konon, varietas ini dibawa oleh orang Jepang sekitar seratus tahun yang silam, meski ukuran lobak ini kecil, tetapi memiliki kulit yang tipis dengan cita rasa manis dan renyah, selain dapat dimakan mentah, lobak ini juga menjadi pilihan terbaik untuk dibuat sebagai acar.

Chiu Kuo-yuan membawa kami ke kedai “Kwetiau Shuizun” untuk menemui pemiliknya Chung Jen-chen, yang juga memiliki jabatan lain, yakni peneliti dan promotor acar lobak khas Hakka.

Area terbuka di samping rumah tua dipenuhi oleh lobak yang tengah dijemur di bawah sinar matahari. Meski proses pengawetannya belum selesai, tetapi lobak berwarna coklat yang sudah berkeriput dan mengecil ini mengeluarkan aroma yang menggugah selera. Namun, Chung Jen-chen meyakinkan bahwa produk setengah jadi ini tidak bisa dibandingkan dengan “lobak bau” buatan neneknya. “Rasa manis seperti demikian, satu sendok saja sudah cukup untuk semangkuk bubur.”

Chung Jen-chen selalu berupaya memperbaiki metode yang diturunkan dalam keluarganya. Setelah lobak dipanen, ia sengaja tidak memotong ujung bagian kepala dan akarnya, terlebih dahulu mencampur-ratakan lobak dan garam dengan perbandingan 1 kati lobak dan 125 gram garam. Lobak kemudian ditempatkan dalam ember dan ditekan batu berat selama seminggu. Setelah dikeluarkan, lobak dijemur di bawah sinar matahari selama setengah bulan. Saat lobak masih lunak tetapi sudah muncul serpihan halus seperti embun di permukaannya, bisa segera dimasukkan ke dalam stoples dan disegel. Saat ini, lobak belum menjadi “lobak tua”. Chung Jen-chen menegaskan, “Untuk menjadi lobak tua, lobak harus disimpan setidaknya selama tiga tahun.”

Kandungan nutrisi yang kaya pada lobak membuatnya mendapat julukan “ginseng bawah tanah”. Orang Hakka menganggap “lobak tua” sebagai obat kesehatan, rasanya enak dimasak menjadi sup iga babi atau sup ayam; sementara daun bagian kepala lobak (juga disebut “kecambah lobak” oleh warga Meinong) yang selesai dijemur selain bisa dijadikan masakan, juga dapat digunakan untuk menyeduh teh, merupakan resep obat tradisional untuk menyembuhkan batuk dan sakit tenggorokan. Chung Jen-chen menuturkan, di Desa Meinong bahkan tersimpan “lobak tua” yang sudah diawetkan selama lebih dari 20 tahun.
 

“Kaum muda yang kembali ke desa” pada era berlainan. Dari kiri: Wen Chung-liang, Chiu Kuo-yuan, Huang Sen-sung.

“Kaum muda yang kembali ke desa” pada era berlainan. Dari kiri: Wen Chung-liang, Chiu Kuo-yuan, Huang Sen-sung.
 

Garam Mengalir dalam Darah Orang Hakka

Masakan Hakka selalu cenderung asin dan terkenal menggugah selera. Bagi masyarakat umum, masakan yang asin dan kaya akan cita rasa tentu memberikan pesona tersendiri, tetapi, Chiu Kuo-yuan menyampaikan, karakteristik pola makan seperti ini dan sejarah perjuangan hidup masyarakat Hakka menjadi manifestasi satu kesatuan yang memiliki dua sisi.

Meinong yang dulu disebut sebagai “Minong” memiliki sejarah membuka lahan hampir 300 tahun sejak berdiri pada tahun 1736 semasa periode Kaisar Qianlong pada Dinasti Qing. Menurut “Prasasti Desa Minong Kaiji” yang berdiri di sebelah “Kuil Dewa Tanah Kaiji”,  para leluhur “Membuka hutan belantara dengan menebang tanaman merambat, mewariskan kebajikan dan menetap di tanah yang telah dilewati orang lain.” Kesulitan yang dialami para pemukim awal terlihat jelas di sini.

Selain terkenal akan “rasa asin yang kuat”, masakan Hakka juga kaya akan budaya acar. Bagi orang Hakka dengan sejarah gejolak dan migrasinya, pengawetan merupakan komponen penting dalam DNA gastronomi mereka. Dikarenakan rasa khawatir tidak bisa mencukupi makan tiga kali sehari, masyarakat Hakka generasi terdahulu mencoba segala cara untuk mengawetkan kelebihan makanan, dengan memanfaatkan  bumbu untuk mengasinkan, konsumsi makanan diperlambat dan tidak perlu dihabiskan dalam waktu cepat.

“Garam mengalir dalam darah orang Hakka,” demikian tutur Chiu Kuo-yuan. Ia menghitung dengan serius acar sayuran yang ditemui di rumah warga seperti kacang hitam, lobak, kubis, nanas, rebung, beligo, jahe dan lainnya. Bagi generasi tua Meinong, acar-acar ini adalah jaminan kelangsungan hidup dan simbol rasa aman.

 

Tetepok yang Digemari di Seluruh Taiwan

Meski lingkungan luar dengan kondisi kehidupan tidak begitu baik, tetapi beruntung sekali karena orang Hakka sangat ulet dalam menjalani hidupnya. Sesampainya di Meinong yang dikelilingi pegunungan dan sungai, mereka memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk bertahan hidup, dan berhasil menemukan tanaman liar yang dapat diolah menjadi masakan mereka seperti fucai, Sphenoclea zeylanica dan tanaman tetepok lias (Nymphoides hydrophylla) yang kini populer di seluruh Taiwan.

Tetepok (telepok) liar yang berasal dari Danau Meinong (sebelumnya dikenal sebagai Danau Zhongzheng) dengan nama orisinal adalah “white water snowflake” (Nymphoides hydrophylla). Di Taiwan, ia umum dijuluki sebagai “shuilian” (yang secara harfiah berarti “teratai air”). Selain segar dan renyah, cita rasa tetepok tidak hanya menjadi bahan makanan wajib disajikan warung makan di jalan tua atau toko yang menjual produk khas pegunungan, akan tetapi juga dapat ditemui di rak-rak toko swalayan PX Mart dan Costco, rupanya telah berbaur dengan meja makan masyarakat pada umumnya. Sulit membayangkan bahwa pada masa lalu tetepok liar adalah bahan makanan yang dikonsumsi oleh keluarga miskin.

Petani pertama yang mulai menanam tetepok liar adalah “Kakek Tetepok Liar” Chung Hua-chen. Kesulitan di awal kehidupannya membuat Chung Hua-chen, yang kini berusia 80-an tahun, satu-satunya artis folk tersisa yang dapat melantunkan kepedihan lagu-lagu daerah Hakka dengan begitu sentimental. Ia secara mendetail menceritakan bagaimana ketika masih kecil, untuk “menambah menu makanan” di meja makan keluarga, Chung Hua-chen kecil harus mengikat tabung bambu di bagian bawah leher, dan menggunakan daya apung dari tabung bambu tersebut ia memberanikan diri untuk menyelam jauh ke dalam danau memetik tetepok liar. Berbeda dengan tetepok budidaya sekarang ini yang panjangnya hanya satu meter, tetepok liar dapat tumbuh hingga 8-10 meter panjang tergantung kedalaman air, dan diameternya bahkan bisa setebal sumpit bambu sekali pakai.

Namun, Danau Meinong pernah tercemar oleh air limbah dari peternakan babi, dan dalam sekejab tetepok liar menghilang. Suatu kali, Chung yang sudah dewasa secara tidak sengaja menemukan bibit tetepok liar di tepi danau, lalu ia membawanya pulang untuk disemai di sawah miliknya. “Tetepok liar” telah berubah menjadi “Shuilian”, bercabang dan tumbuh daun dengan lebat. Karena cita rasanya yang renyah dan nikmat, tidak hanya populer di kalangan setempat, bahkan banyak warga luar kota berdatangan secara khusus mencicipinya, tersebar dari mulut ke mulut, satu orang menyampaikan kepada 10 orang, dari 10 orang menyebar ke seratus orang dan seterusnya, skala pembudidayaan terus meluas, bahkan tetepok berkembang menjadi produk terpenting bagi Desa Meinong selain daun tembakau.
 

Desa Hakka Meinong Tempo Dulu Hingga Masa Kini
 

Ketekunan Mengakar di Kampung Halaman

Seiring dengan perubahan zaman, kode kultural Meinong terus berevolusi. Dari arsitektur Dinasti Qing seperti Menara Gerbang Timur dan Paviliun Jingziting, hingga pedesaan Hakka yang menawarkan kwetiau tradisional dan payung kertas minyak, sampai pada lahirnya tokoh seni dan budaya modern belakangan ini seperti penulis Chung Li-ho dan Chung Tie-min serta musisi Sheng-Xiang & Band.

Terlihat dari sini bahwa Desa Meinong tidak hanya memiliki daya tarik kultural yang unik, tetapi juga memiliki vitalitas yang kuat. Ada orang mengatakan, dikarenakan struktur jalur geografisnya yang tertutup, dibatasi oleh Gunung Chading dan Gunung Yuekuang, serta terhalang oleh Sungai Laonong sehingga budaya tradisional Hakka di sini tetap terpelihara utuh. Namun, desa Hakka yang konservatif ini juga merupakan tempat untuk beberapa gerakan sosial di Taiwan, seperti gerakan kesadaran untuk kembali ke kampung halaman, gerakan perlindungan lingkungan dan pembangunan komunitas.

Oleh karena itu, daripada mengatakan faktor lingkungan yang tertutup yang menjadi faktor penyebab, lebih baik menyebutnya sebagai semangat praktis dan vitalitas berkelanjutan warga Hakka di era kontemporer. Pada masa lampau, orang terus berjuang dan bekerja keras untuk bertahan hidup, terlepas dari betapa sulitnya keadaan lingkungan sekitar. Di zaman modern sekarang ini, hal tersebut telah bertransformasi menjadi bentuk identifikasi yang kuat terhadap kampung halaman, serta merupakan perwujudan terhadap tekad kuat dan tidak mudah menyerah terhadap nilai-nilai yang ditaati.

Sebelum mengakhiri perjalanan, kami menikmati piknik di samping Kuil Dewa Bumi Bogonggou. Dipandu oleh Chiu Kuo-yuan, tokoh-tokoh lokal yang hadir termasuk pendiri “Today’s Meinung” Huang Sen-sung, dan ketua asosiasi lokal Rural Meinung Field Learning, Wen Chung-liang serta kerabat warga lokal lainnya.

Terlepas dari perbedaan generasi, mereka semua secara sadar mengambil keputusan untuk kembali ke kampung halaman, dan selalu ramai dengan perbincangan penuh antusiasme terhadap Meinong saat berkumpul bersama.

Di tengah suasana hangat perjamuan, kami mulai memahami makna seruan tulus dari Chung Li-ho: "Darah penduduk kampung halaman harus mengalir ke tempatnya semula dengan demikian baru biasa berhenti bergejolak!” Identifikasi diri dengan tempat asal inilah yang terus mendorong penduduk asli Meinong dari generasi berlainan untuk meninggalkan kemakmuran perkotaan dan kembali ke kampung halaman untuk meneruskan perjuangan hidup.

Orang-orang inilah yang memungkinkan Desa Meinong untuk terus menumpuk warisan dan mempertahankan vitalitasnya. Bagaikan simpanan “lobak tua” ibu rumah tangga Hakka, mereka tetap memancarkan pesona segar dan manis meski telah melalui waktu ke waktu.

 

MORE

Menumpuk Warisan, Mempertahankan Vitalitas: Desa Hakka Meinong Tempo Dulu Hingga Masa Kini