Kembali ke konten utama
Pohon, Sang Pencerita Kisah Pulau Interaksi Manusia dengan Pohon
2024-02-19

Pohon Koelreuteria henryi (Foto: Chen Mei-ling)

Pohon Koelreuteria henryi (Foto: Chen Mei-ling)
 

“Bapak dan Ibu yang terhormat, pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Taoyuan. Saat ini, suhu di darat cukup nyaman berkisar 24oC, bertepatan dengan ketika bunga-bunga mulai bermekaran di kehangatan musim semi, di berbagai kota di Taiwan, barisan pepohonan di tepi jalan sedang berganti pakaian baru, menghiasi jalanan dengan aneka ragam warna, memberikan nuansa baru. Sebagai tambahan dalam pengalaman wisata Anda, kami menyarankan untuk mengamati keindahan pohon-pohon ini yang sedang berbalut pakaian baru musim semi dan panas. Kita akan menjelajahi cerita unik dari pohon-pohon Taiwan, dengan harapan bahwa perjalanan ini akan memperluas pemahaman Anda tentang pepohonan Taiwan dan mengenalkan Anda pada keindahan serta keragaman yang kaya nan memesona dari Taiwan.”

 

Mengenang kembali tahun 1624, ketika orang Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Dayuan (sekarang Tainan) melalui jalur laut, pastilah yang pertama terlihat adalah pemandangan hutan lebat dari pohon-pohon yang menutupi seluruh gunung dan lembah.

Hari ini, dari bandara kami langsung menuju pusat kota Taipei, saat berjalan-jalan di kota Taipei, apakah Anda memerhatikan lorong-lorong hijau yang menemani di sepanjang jalan? Zhongshan North Road terkenal sebagai jalan pepohonan Liquidambar formosana; di tepi jalan Aiguo West Road yang dekat dengan Gedung Peringatan Chiang Kai-shek (Chiang Kai-shek Memorial Hall) terdapat barisan pepohonan Gadog (Bischofia javanica) khas Taiwan berjajar rapi; di Ren'ai Road kelompok pohon kamper (Cinnamomum camphora) menampilkan kerimbunan yang subur sepanjang tahun; sementara saat menikmati kuliner di Cisheng Temple – Dadaocheng, akan tersajikan panorama teduhnya bayangan pohon beringin (Ficus spp) melindungi pelataran kuil. Sepanjang perjalanan ini, tanpa Anda sadari, mungkin Anda telah melihat empat 'Raja' pohon di dataran rendah Taiwan: beringin, kamper, Bischofia javanica dan Liquidambar formosana.

 

Panorama Empat Musim

Barisan pepohonan di tepi jalan merupakan salah satu panorama kota yang paling menyejukkan mata, tidak hanya mengatur suhu dan membersihkan udara, tetapi juga menyerap kebisingan dan melestarikan sumber air, dan yang paling mencolok adalah telah memperkaya tampilan visual kota.

Asisten Profesor Departemen Kehutanan di Universitas Sains dan Teknologi Pingtung, yang juga seorang etnobotani, Yang Chih-kai, menjelaskan kepada kami bahwa pohon-pohon tidak hanya memberikan kepuasan visual, tetapi juga digunakan oleh penduduk asli untuk mengidentifikasi perubahan musim. Dia mengacu pada ‘Buku Gambar Fan She’ dan mengatakan, “Suku Penduduk Asli tidak mengenal tahun dan musim, mereka mengidentifikasi waktu berdasarkan mekarnya bunga pada pohon Dadap (Erythrina variegata).” Ini menunjukkan bagaimana suku penduduk asli menggunakan karakteristik tanaman sebagai penanda urutan waktu dan acuan untuk musim.

Bunga Dadap merah yang bermekaran, adalah pertanda datangnya tahun yang baru. Penduduk asli suku Amis dan Puyuma di bagian timur Taiwan mengetahui bahwa ketika mereka melihat buah bisbul berwarna cokelat, maka musim panas telah tiba. Pohon Koelreuteria henryi adalah perwakilan dari musim gugur, yang mengalami perubahan warna dari hijau ke kuning lalu menjadi merah, dan akhirnya mengering menjadi cokelat sebelum gugur. Variasi warna yang menakjubkan ini membuatnya dijuluki ‘pohon empat warna’.

Karena perubahan warna yang berbeda di setiap musim, pohon Koelreuteria henryi telah masuk dalam daftar ‘Pohon Bunga Tropis Terkenal Dunia’. Di area metropolitan Taipei, pemandangan deretan pohon Koelreuteria henryi dapat dilihat di sepanjang Dunhua North Road dan Zhongcheng Road.

Pemandangan alam ini tidak hanya terdiri dari spesies asli khas Taiwan, tetapi juga termasuk pohon yang diperkenalkan selama era kolonial Belanda (1624-1661) seperti Randu alas, kemboja (Plumeria rubra), Tengguli (Cassia fistula) dan lainnya. Selama masa kolonial Jepang (1895-1945), pohon-pohon seperti flamboyan (Delonix regia) dan Roystonea regia dan lainnya dibawa ke Taiwan. Spesies pohon yang datang melintasi samudra ini tidak hanya menghubungkan Taiwan dengan dunia, tetapi juga menambah keanekaragaman hayati pulau ini.
 

Yang Chih-kai sering mengutarakan, “Tumbuhan adalah pencerita kisah pulau.”

Yang Chih-kai sering mengutarakan, “Tumbuhan adalah pencerita kisah pulau.”
 

Kuseberangi Samudera untuk Bertemu Denganmu

Sekarang ini, menikmati dan merasakan segar dan manisnya buah-buahan mangga, jambu biji dan jambu air di Taiwan, sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. “Sebenarnya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang membawa masuk buah-buahan tersebut ke pulau ini, kemudian memperkaya kerangka awal dari 'Kerajaan Buah' Taiwan”. Yang Chih-Kai kemudian berbicara tentang tahun 1624, saat Perusahaan Hindia Timur Belanda menjadikan Taiwan sebagai basis mereka. Dari dokumen sejarah, tercatat bahwa Martinus Sonck, gubernur pertama Perusahaan Hindia Timur Belanda, mengirim surat ke kantor pusat di Batavia (sekarang Jakarta), “…… tolong kirimkan bibit pohon buah seperti anggur, mangga, leci, dan durian.”  Begitulah, pohon-pohon buah tersebut dibawa ke pulau dan menjadi panorama pedesaan yang umum ditemukan di Taiwan dewasa ini. Lokasi awal adalah di Fanzi, Guantian – Tainan, yang menjadi deretan pohon mangga yang ditanam orang Belanda, merupakan barisan pepohonan tepi jalan paling awal di Taiwan, yang dapat menjadi bukti dari catatan sejarah ini.

“Buah-buahan yang dibawa oleh orang Belanda sebenarnya memiliki pertimbangan strategis, entah itu untuk dikonsumsi, untuk keperluan militer, penggunaan lingkungan, atau penggunaan medis.” Yang Chih-Kai, yang ahli dalam bidang tumbuhan, memberikan contoh seperti buah jambu biji yang dapat dimakan, daunnya  bisa digunakan untuk mengobati diare dan menurunkan tekanan darah, serta rantingnya juga dapat digunakan untuk obat.

Taiwan diselimuti “hujan emas” dari pohon tengguli (Cassia fistula)di musim panas setiap tahunnya,  tumbuhan yang dinamakan “aleibo” (pelafalan nama pohon tengguli dalam bahasa Mandarin)  di Taiwan ini, Yang Chih-Kai menambahkan, “Sebenarnya diperkenalkan oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda dengan pertimbangan militer.” Saat itu, kayu diperlukan untuk dasar meriam, dan tengguli tumbuh cepat, batang kayunya berat dan memiliki resistensi tekan yang baik, sangat stabil. “Hujan emas yang terlihat dari barisan pepohonan tepi jalan di Taiwan,  sebenarnya Anda sedang mendengarkan cerita tentang orang Belanda,” tambahnya.

Selama periode kepemimpinan Koxinga, Dinasti Ming (1661-1683), banyak produk dari wilayah selatan Tiongkok, seperti pohon persik, plum dan prem juga diperkenalkan ke Taiwan. Selanjutnya, selama periode Dinasti Qing (1683-1895), pohon lengkeng, leci, dan bambu Phyllostachys edulis dibawa masuk.

Selama periode kolonial Jepang, berbagai jenis tanaman seperti pohon kelapa, pohon pulai (Alstonia scholaris), Ginkgo biloba, kayu putih (Melaleuca leucadendra), mahoni (Swietenia macrophylla), dan pohon jati (Tectona grandis) ditanam di Taiwan untuk eksperimen. Semua ini menambah bab baru dalam hubungan antara manusia dengan tumbuhan, tak heran Yang Chih-Kai sering mengatakan, “Tumbuhan adalah pencerita kisah pulau.”

 

Kedekatan Manusia dengan Pohon

Keragaman dan kekayaan Taiwan sebagian besar datang berkat penambahan spesies asing, tetapi kisah dan emosi yang berasal dari spesies lokal adalah sesuatu yang menarik dan menyentuh hati.

“Apakah Anda tahu asal-usul tradisi karantina tujuh plus tujuh (hari) di Taiwan? Adalah suku Paiwan,” Yang Chih-Kai mengajukan sebuah topik yang tidak terduga. Di masa lalu, di pintu masuk perkampungan suku Paiwan, ada dua jenis pohon yang digunakan sebagai batas, satu adalah pohon gadog (Bischofia javanica) dan yang lainnya adalah pohon leles (Ficus subpisocarpa), keduanya adalah pohon besar yang umum ditemukan pada ketinggian rendah hingga menengah dan secara alami menjadi batas dan simbol suku. Mereka membangun gubuk di bawah pohon-pohon tersebut. Ketika ada orang asing yang ingin masuk ke perkampungan, mereka harus menjalani karantina sendirian di gubuk selama tujuh hari untuk memastikan tidak ada masalah terkait kesehatan sebelum diizinkan masuk ke dalam perkampungan. Yang Chih-Kai bercanda, “Ini bukan tradisi modern, tapi kearifan kuno dari suku Paiwan.”

Membahas lebih lanjut tentang pohon gadog, ciri khasnya adalah kulit kayu berwarna abu-abu kecoklatan dan sering terdapat benjolan pada batang pohon tua. Ada pepatah yang mengatakan, “Bila ada yang perlu dikatakan, maka katakanlah. Bila tidak ada, maka duduk saja di bawah pohon gadog”. Yang Chih-Kai lebih lanjut menggambarkan situasi ini, ketika bertemu dengan teman di bawah pohon gadog, jika orang tersebut belum tiba, maka kita dapat memandang pohon gadog dengan tenang lalu menyampaikan isi hati kita kepada pohon, ini juga merupakan sebuah bentuk persahabatan. “Ini menggambarkan hubungan penting antara manusia dengan pohon, pohon memberikan kekuatan yang menenangkan, saya pikir ini adalah sebuah pandangan filosofis, sebuah pelukan bagi jiwa,” ujarnya.

Yang Chih-Kai sangat merekomendasikan pohon mindi (Melia azedarach) asli Taiwan, yang memiliki bentuk anggun. Bunganya berukuran kecil dan romantis dengan warna ungu muda. Pada musim berbunga di bulan Maret dan April, seluruh pohon tampak seperti ditutupi awan ungu, memberikan nuansa romantis dan elegan. Mindi adalah pohon serba guna, seluruh bagian pohon dapat digunakan. Ambil segenggam daun dan letakkan di atas pisang untuk mempercepat pematangan buah pisang. Rebus daun atau ekstraknya dapat digunakan sebagai antiseptik untuk perawatan kulit. Bunga mindi bisa dijadikan minyak esensial, sedangkan buah kuningnya, yang dikenal sebagai “Golden Bells” adalah bahan obat tradisional Tiongkok. Saat ini, tren mengejar bunga musiman dan mengabadikan pemandangan indah menjadi sangat populer. Jika di luar negeri ada bunga sakura, maka di Taiwan, Anda bisa mengejar keindahan pohon mindi.

Taiwan juga memiliki banyak nama tempat dan pemandangan alam yang terkait dengan pohon, yang mengisahkan lanskap historis masa lampau. Arsitek Belanda, Francine Houben, mendapatkan inspirasi dari kelompok pohon beringin tua di Kaohsiung yang memiliki cabang dan akar yang berliku-liku untuk kemudian merancang Alun-alun Beringin di National Kaohsiung Center for the Arts, dengan konsep terbuka, bergerak dan luas.

Kota kecil “Jiufen” yang baru-baru ini kembali menjadi perhatian karena pemutaran ulang film “A City of Sadness”, pemberian namanya juga terkait pohon kamper. Taiwan pernah dikenal sebagai kerajaan pohon kamper di dunia. Daerah Jiufen dulunya dipenuhi pohon kamper, dan pada masa lalu, proses penyulingan minyak kamper menggunakan sepuluh tungku untuk setiap bagian, sehingga nama “Jiufen” mewakili adanya sembilan puluh tungku di daerah tersebut. Yang Chih-Kai mengungkapkan kisah lama ini. Secara umum, nama tempat yang mengandung kata “份” (pelafalan dalam bahasa Mandarin fèn) biasanya terkait dengan industri kamper.
 

Barisan pepohonan tepi jalan merupakan pemandangan hijau perkotaan yang menyegarkan mata, serta mampu mengatur suhu dan memurnikan udara.

Barisan pepohonan tepi jalan merupakan pemandangan hijau perkotaan yang menyegarkan mata, serta mampu mengatur suhu dan memurnikan udara.
 

Dekapan Pohon yang Luar Biasa

Dari perspektif sejarah, Taiwan mungkin tidak memiliki sejarah yang panjang, tetapi jika kita bersedia mengenal pulau ini dengan lebih baik dan mendengarkan ceritanya, “Meskipun kami adalah pulau kecil, tetapi kami selalu terlibat dalam momen-momen penting sejarah dunia.” Yang Chih-Kai dengan bangga melanjutkan, “Seperti Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang pada waktu itu mendominasi dunia, siapa yang akan menyangka bahwa Taiwan juga merupakan salah satu pangkalannya, dan keterlibatan yang begitu erat tersebut sangat berpengaruh bagi lanskap pulau Taiwan.”

“Saya merasa bahwa pulau ini memiliki kemampuan toleransi yang sangat kuat. Asalkan Anda bersedia tinggal di sini, maka dapat menjalani kehidupan yang baik. Anda dapat mengerti dengan melihat tanaman di pulau ini.” Taiwan memiliki kemampuan toleransi yang unik, ditambah dengan teknologi inovatif. Ia lalu menggunakan mangga sebagai contoh. Buah ini diperkenalkan oleh orang Belanda sebagai varietas asli ke Taiwan, yang kemudian dimodifikasi oleh orang Taiwan, sehingga menghasilkan berbagai varietas seperti Xiaxue, Jinhuang, Taichung No.1, Tainung No.2, dan masih banyak lagi. Rasa asli mangga lokal yang asam manis, seperti yang terdapat pada manisan buah mangga masih tetap terjaga hingga hari ini dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Taiwan.

Pohon, adalah pencerita kisah pulau, menyimpan riwayat pulau itu sendiri. Anda bisa mendengarkan kisahnya yang bergema melalui dahan-dahannya yang berayun, atau hanya diam bersamanya dalam kesunyian, “Bila ada kata, ucapkanlah; bila tidak ada, maka duduklah di bawah pohon gadog.” Antara manusia dan pohon, sudah sangat cukup.

 

MORE

Pohon, Sang Pencerita Kisah Pulau Interaksi Manusia dengan Pohon