Badan Konservasi Laut dari Dewan Urusan Kelautan (OAC) menyelenggarakan “Pertemuan APEC tentang Keikutsertaan Sektor Pengusaha/ Swasta dalam Keberlanjutan Lingkungan Kelautan” ke-23 pada tanggal 27 dan 28 Agustus di Taipei.
Pertemuan ini mengundang 17 pembicara dari negara anggota APEC yang tergabung dalam ekonomi Ocean and Fisheries Working Group (OFWG), yaitu Kanada, Indonesia, Amerika Serikat, Selandia Baru, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Taiwan.
Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai sektor, baik dari dalam maupun luar negeri, yang berpartisipasi secara tatap muka dan virtual, untuk bersama-sama membahas solusi perlindungan dan pemanfaatan laut secara berkelanjutan, serta kompatibilitas antara pengetahuan tradisional dan konservasi laut.
Ketua Dewan Urusan Kelautan, Kuan Bi-ling, dalam pidato pembukaannya menekankan bahwa Undang-Undang Konservasi Laut akhirnya disahkan oleh Presiden pada tanggal 31 Juli setelah pelaksanaan komunikasi sosial dan koordinasi administratif selama bertahun-tahun, termasuk dialog dengan nelayan dan penduduk asli. Menghadapi tantangan perubahan iklim, pencemaran lingkungan laut, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan habitat, implementasi Undang-Undang Konservasi Laut menyediakan perangkat kebijakan yang kuat.
Melalui penetapan zona perlindungan, pengumuman langkah-langkah pengelolaan kawasan konservasi, dan pembatasan perilaku tertentu, dalam undang-undang ini pemerintah juga memasukkan “OECM” (Other Effective Area-based Conservation Measures) sebagai salah satu bentuk langkah perlindungan laut. OECM adalah konsep baru di Taiwan, dan dalam pertemuan ini, pihak penyelenggara mengundang narasumber dari Kanada untuk berbagi pedoman dan pengalaman dalam penetapan dan pengakuan OECM.
Kuan Bi-ling juga menambahkan bahwa pertemuan APEC Roundtable kali ini juga memiliki satu topik penting lain, yaitu langkah-langkah konservasi berbasis ilmu pengetahuan dan komunikasi sosial.
Penelitian ilmiah memberikan bukti yang jelas tentang kerentanan ekosistem laut, dan dampaknya yang luas terhadap lingkungan global. Oleh karena itu, kita harus mengandalkan kekuatan ilmu pengetahuan untuk merumuskan langkah-langkah konservasi yang efektif. Namun, ilmu pengetahuan saja tidak cukup, pengetahuan ini harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang dapat dipahami dan didukung oleh masyarakat.
Menemukan solusi yang dapat menjembatani penelitian ilmiah, langkah-langkah konservasi, dan komunikasi sosial adalah isu terpenting untuk memastikan implementasi dan efektivitas Undang-Undang Konservasi Laut di masa depan.
Pertemuan APEC kali ini diselenggarakan secara tatap muka dan virtual, dan diikuti oleh 11 negara, termasuk Kanada, Indonesia, Amerika Serikat, Brunei, Selandia Baru, Malaysia, Filipina, Chili, Korea Selatan, Vietnam, dan Taiwan.
Diharapkan agar hasil dari upaya konservasi laut akan membawa peluang lebih lanjut bagi pengembangan berkelanjutan industri kelautan dan perikanan. Sementara itu, integrasi antara lanskap budaya dan warisan pengetahuan tradisional diharapkan dapat melindungi hak-hak penggunaan laut bagi nelayan pesisir dan komunitas penduduk asli.