Kembali ke konten utama
Keterampilan Tradisional Inovasi Baru Ungkapan Terima Kasih Yang Tulus: Sepatu Bordiran x Batu bata dan Ubin x Keramik
2020-02-10

Terinspirasi dari singa berpedang “Jianshi”, Chiang Pei-chia mendesain pola bertema “Pelindung Laut”, dengan harapan agar si pemakai diberkahi kedamaian.

Terinspirasi dari singa berpedang “Jianshi”, Chiang Pei-chia mendesain pola bertema “Pelindung Laut”, dengan harapan agar si pemakai diberkahi kedamaian.
 

Menatap ke masa satu tahun yang lalu, adakah orang yang ingin Anda sampaikan ucapan terima kasih? Jika hendak memberi kado ungkapan terima kasih, maka hadiah apakah yang akan menjadi pilihan Anda?

Diperuntukkan bagi seseorang yang ada di dalam hati kita,《Taiwan Panorama》telah menyeleksi 3 merek produk inovatif. Ketiga merek produk ini merupakan seni kriya tradisional, yang tetap mempertahankan kehangatan produk buatan tangan dan mencoba menyisipkan elemen inovatif agar industri tradisional bertransformasi menjadi produk kerajinan tangan yang modern.

Lalu 'percikan api' seperti apakah yang akan terjadi ketika kerajinan tangan tradisional bertemu dengan inovasi terbaru?

 

Aneka warna bahan kulit seperti warna cokelat karamel, biru langit yang terang dan lainnya, kemudian dikombinasikan dengan desain bordiran menambah rona keindahan pada sepatu, membuat hati si pemakai menjadi ceria. Perintis perusahaan korporasi “Hsiu Taiwan” bernama Chiang Pei-chia adalah pelaku di balik layar, yang telah berhasil mentransformasi sepatu bordiran tradisional menjadi produk yang identik dengan mode.

 

Sepatu Bordiran Tradisional, Desain Modern

Chiang Pei-chia berasal dari Taichung, menekuni kuliah di Tainan, suatu ketika ia melewati toko sepatu “Nien”. Sekilas memandang, ia sangat terpesona pada sepatu bordiran yang elegan dan menarik. Secara kebetulan, dalam salah satu mata kuliah strata 2 yang sedang ia tempuh, ada kelas yang mewajibkan mahasiswa mencari toko tradisional untuk mempraktikkan desain layanan inovatif maka Chiang Pei-chia memilih toko sepatu “Nien” untuk menerapkan desainnya.

Karena mata kuliah tersebut, Chiang Pei-chia mulai mengenal makna budaya yang lebih mendalam tentang seni sepatu bordiran, sebagai contoh menjelang pernikahan, mempelai wanita akan menjahit sendiri sepatu bordiran berwarna merah, menandakan harapan dan keyakinan atas cinta yang terbina. “Saya berpikir semestinya ada peluang untuk memproduksi sepatu bordiran dengan tampilan gaya baru,” ujar Chiang Pei-chia.
 

Chiang Pei-chia (Kiri), perintis perusahaan korporasi Hsiu Taiwan, menggunakan sepatu bordiran untuk menyampaikan kisah kisah pada generasi selanjutnya.

Chiang Pei-chia (Kiri), perintis perusahaan korporasi Hsiu Taiwan, menggunakan sepatu bordiran untuk menyampaikan kisah kisah pada generasi selanjutnya.
 

Pertemuan Indah antara Kulit dan Bordiran

Bordiran tradisional selalu tersulam pada kain, sama halnya dengan sepatu bordiran selalu menggunakan bahan kain. Chiang Pei-chia mengatakan, pada mulanya ia hanya berniat untuk merubah motif pada desain sepatu bordiran tradisional, sehingga Chiang meminta pengrajin toko sepatu “Nien” untuk membuat sepatu, akan tetapi setelah menjalani kerjasama, ada ide baru yang tercetus, “Hasil produk sepatu bordiran berbahan kain berbeda dengan hasil yang diinginkannya, baik tekstur maupun tingkat kehalusan dinilai belum memenuhi standar, tingkat kenyamanan dan fungsi sirkulasi udara dari sepatu berbahan kain belum dapat menyaingi sepatu berbahan kulit.” Ide tersebut membuat Chiang Pei-chia mendapatkan inspirasi untuk membuat sepatu bordiran dengan menggunakan bahan kulit.

Chiang Pei-chia berhasil menemukan pabrik OEM yang memproduksi sepatu buatan tangan di distrik Annan Tainan, setelah berulang kali menjalani proses perbaikan, akhirnya ia berhasil membuat sepatu bordiran berbahan kulit yang indah.

Desain sepatu bordiran Chiang Pei-chia dan setiap pasang sepatu dibuat oleh tangan-tangan terampil pengrajin, sepasang sepatu jadi, diproses melalui ratusan tahap pembuatan, dijahit dengan tangan, dipalu, dilem serta memerlukan tangan terampil untuk membentuk sepatu yang sesuai dengan kontur kaki, sehingga nyaman dipakai. Sepatu buatan tangan sungguh nyaman dipakai dan tak tertandingi oleh sepatu hasil produksi mesin.

Chiang Pei-chia memilih menggunakan bahan kulit berkualitas tinggi yang mahal untuk membuat sepatu wanita ala oriental, dengan menggunakan bahan dari kulit sapi, kulit babi, kulit kambing dan lain-lain. Setiap desain model sepatu yang berbeda menggunakan bahan kulit yang berlainan pula. Mulai dari bagian upper, midsole, outsole hingga setiap rincian bagian sepatu, tak henti-hentinya dirancang ulang oleh Chiang Pei-chia, ia sangat gigih untuk menghasilkan sepatu indah dan nyaman dipakai.

 

Sepatu Bercerita Sepatu Pemberi Kehangatan

Desain bordiran Chiang Pei-chia pada sepatu tidak lagi mengadopsi motif tradisional, tetapi digantikan dengan pola garis sederhana membentuk totem yang imajinatif. Karya perdana yang dihasilkan Chiang Pei-chia bertajuk “Pelindung Laut”, terinspirasi dari jimat penangkal bala yakni “Jianshi”, singa berpedang dari Anping Tainan yang telah digunakan sejak era Koxinga. Jimat tersebut dipercaya dapat membawa berkah bagi si pemakai.

Peta kota kuno Tainan, cangkang tiram Tainan, kupu-kupu gagak ungu (Euploea) hingga minuman es dingin yang menyegarkan di musim panas, semua produk lokal Tainan dituangkan dalam desain sepatu bordiran, Chiang Pei-chia mengatakan, “Motif di atas sepatu bordiran semuanya menyiratkan makna budaya bersejarah di era tersebut. Sekarang, saya ingin menulis cerita milik kita yang hidup di masa sekarang.”

 Sepasang sepatu adalah pendamping yang menemani perjalanan jauh Anda. Pada sepatu bordiran ini, Chiang Pei-chia menggunakan rangkaian garis-garis bordir untuk mengisahkan sebuah kenangan milik generasi baru.
 

Menjelang tahun baru imlek yang penuh dengan kegembiraan, karya seni dari pengrajin menjadi kado istimewa untuk mengekspresikan rasa terima kasih.

Menjelang tahun baru imlek yang penuh dengan kegembiraan, karya seni dari pengrajin menjadi kado istimewa untuk mengekspresikan rasa terima kasih.
 

Timbunan Bata dan Ubin Endapan Kerinduan

Berlanjut menelusuri Tainan, kami tiba di Distrik Dashu kota Kaohsiung. Dahulu, kawasan ini memiliki pabrik pembakaran batu bata terbanyak, pada masa kejayaannya, Distrik Dashu pernah mencapai lebih dari ratusan pabrik batu bata. Seiring dengan transformasi sosial masyarakat Taiwan, pada tahun 1970 bahan material semen dan baja secara berangsur menggantikan batangan batu bata merah, hingga tahun 1988 pabrik San-He Tile Kiln menjadi satu-satunya pabrik pembakaran batu bata di distrik tersebut.

Lee Yu-chu, pemilik generasi ketiga perusahaan San-He, berulang kali meminta cucu sepupu lelakinya, Lee Chun-hung, untuk mengambil alih perusahaan, agar perusahaan keluarga tersebut dapat bertahan. Lee Chun-hung selalu merasakan ikatan batiniah yang kuat pada perusahaan, yang dihasilkan dari kenangan ketika bekerja di tempat pembakaran bersama sang ayah, yang meninggal pada usia muda.

Melalui pergumulan kuat ini, pada akhirnya Lee Chun-hung mengundurkan diri dari pekerjaannya di bank dan sepenuhnya mengelola pabrik pembakaran batu bata milik keluarganya. Setelah Lee Chun-hung menekuni bisnis keluarga dan memprioritaskan tugas penting, di bawah kepemimpinannya, usaha pabrik pembakaran batu bata yang merosot kini bangkit dan beroperasi dengan cara baru.

Ibu Lee Chun-hung memiliki kegemaran membuat “tabung sumpit”, berkat inspirasi tersebut, Lee Chun-hung mulai mencoba untuk mengembangkan produk kerajinan tangan.

Secara kebetulan ada sekelompok pelajar jurusan seni rupa dari Tung Fang Design University yang bermaksud mengambil topik ukiran bata sebagai tugas akhir, setelah bertemu dengan Lee Chun-hung maka terbukalah kesempatan untuk San-He Tile Kiln untuk mengembangkan produk seni kriya.

Promosi “Mengukir sebelum tahap pembakaran” yang dijalankan oleh Lee Chun-hung mendapat subsidi program “Dukungan seni ketrampilan masyarakat” dari Institut Riset dan Pengembangan Kerajinan Tangan Nasional Taiwan, dengan mengundang mahasiswa Tung Fang Design University untuk memberikan pelatihan kepada warga setempat, maka secara resmi pengembangan produk kerajinan tangan telah diaktifkan.

Setelah mendapat subsidi dari pemerintah selama 3 tahun, secara berangsur aneka produk seni kriya dan distribusi pemasaran akhirnya mulai berkembang, Lee Chun-hung kemudian memutuskan untuk mendirikan perusahaan desain dan membangun merek “San-He Tile Kiln”.
 

Menelusuri jalan batu bata di pabrik San-He Tile Kiln, kami menemukan toko “Chuan Mai Dian” yang khusus menjual produk batu-bata kreatif.

Menelusuri jalan batu bata di pabrik San-He Tile Kiln, kami menemukan toko “Chuan Mai Dian” yang khusus menjual produk batu-bata kreatif.
 

Produk Batu Bata Kreatif

Di area pabrik pembakaran, Lee Chun-hung menyisihkan satu petak ruangan yang digunakan sebagai area pameran dan diberi nama “Chuan Mai Dian” yakni toko khusus yang menjual produk batu bata kreatif.

Ketika masuk ke toko tersebut, pandangan mata pengunjung akan terpikat oleh seni kriya batu bata merah yang memberikan kehangatan, serta ruangan bernuansa pedesaan yang menebarkan kenyamanan dan ketenangan.

Tanah liat alami mengandung zat besi, setelah melalui proses pembakaran akan dihasilkan bata berwarna merah, mengintegrasikan adat masyarakat Timur yang senantiasa menyukai kebersamaan dan kegembiraan, lalu mendesain wadah sabun batangan bertuliskan huruf Mandarin “Xi” (artinya kegembiraan), tatakan gelas bertuliskan “Ji Xiang” (artinya keberuntungan), semua ini menjadi produk buah tangan untuk teman luar negeri yang laris dipilih oleh konsumen lokal.

Selain barang-barang kecil untuk keperluan sehari-hari, masih ada produk lainnya yang diproduksi oleh San-He Tile Kiln berupa pajangan kartu nama 5 elemen, didesain dengan perpaduan tembok bangunan batu-bata tradisional dan benda-benda dari 5 elemen pada bagian alas, seperti elemen kayu ada bangku, elemen api ada tungku. Replika tembok batu bata memberikan kesan tentang rumah kuno di pedesaan.

Berkat kegigihan dari Lee Chun-hung dan berbagai pihak dalam industri pembuatan batu bata, industri yang pudar dan terpinggirkan ini, akhirnya dapat bangkit kembali dan api harapan baru tetap menyala.

 

Menjaga “Api Harapan” Keluarga

Sama halnya dengan kedua kakak adik yang berasal dari Yingge, Mao Chieh -hsuen dan Mao Hsuan-yuan yang ingin mempertahankan pabrik pembakaran keramik milik keluarga.

Ayah mereka adalah seniman keramik terkemuka di Yingge bernama Mao Chang-hui, pada tahun 1980 mendirikan pabrik Hsiang Hsin Ceramics yang diawali dengan model bisnis OEM dan profit yang tidak seberapa. Karena terobsesi dengan seni, pada tahun 1984 perusahaan tersebut mulai mengamati tren perkembangan seni keramik, kemudian memadukan seni budaya barat seperti karya seni Monet dengan keterampilan keramik tradisional untuk menciptakan ceruk pasar bagi produk keramik.

Akibat perekonomian yang melesu, dan pasar yang semakin menyusut, industri keramik Yingge kian mengecil, “Pada masa kejayaan terdapat lebih dari 200 pabrik pembakaran keramik di Yingge, tetapi kini hanya tersisa sekitar 20 pabrik saja,” Mao Chieh-hsuen berkata. Inilah permasalahan yang dihadapi oleh industri tradisional, jika tidak ada inovasi baru maka akan mulai tersingkir.

Merasa tidak ikhlas membiarkan bisnis yang digeluti oleh ayah selama lebih dari 30 tahun pudar begitu saja karena tidak ada ahli waris, maka yang pertama kali memutuskan untuk kembali ke rumah adalah sang kakak, Mao Chieh-hsuen. Kemudian diikuti oleh adiknya Mao Hsuan-yuan yang baru saja lulus dari jurusan desain arsitektur.

Pada awalnya ketika kedua kakak adik terjun menekuni bisnis ayah dan mempraktikkan seni keramik kreatif sering terjadi perselisihan antar dua generasi, ayah mereka cenderung menyukai karya yang penuh dengan warna, sementara kedua kakak adik beranggapan rona yang lembut lebih mudah menyentuh selera konsumen, Mao Hsuan-yuan mengatakan, “Kolektor seni keramik memiliki selera yang tinggi, sementara produk keramik untuk keperluan sehari-hari dapat dapat dimiliki setiap orang.”
 

Mao Studio menginginkan setiap goresan dan guratan diukir oleh seniman, setiap produk unik dan tiada duanya.

Mao Studio menginginkan setiap goresan dan guratan diukir oleh seniman, setiap produk unik dan tiada duanya.
 

Mao Studio Berbagi Kepuasan dan Kegembiraan

Mao Hsuan-yuan pernah sekali membuat sendiri mangkok keramik, pada bagian dalam mangkok dibubuhi satu huruf Mandarin “Bao” (artinya kenyang atau puas), hasil karya tersebut diunggah di facebook dan dibagi, tanpa diduga berhasil menarik perhatian teman-temannya, ia juga mendapat pesanan untuk huruf Mandarin tertentu, ada pula yang ingin membeli untuk dijadikan hadiah, semua ini membuat kedua kakak adik terinspirasi untuk memproduksi “keramik yang bisa digunakan sehari-hari, dan desain keramik yang disesuaikan dengan permintaan konsumen” menjadi produk yang dipasarkan. 

Akhirnya pada tahun 2009, mereka berdua membangun merek “Mao Studio” yang berorientasi pada gambar hasil buatan tangan dan produk keramik sesuai dengan permintaan konsumen. Seperti: produk satu merah satu putih, produk bertuliskan huruf Mandarin “Hsi” dengan tonjolan maupun lekukan ke dalam, ukiran tulisan Yin-Yang pada mangkok yang menandakan perpaduan pria dan wanita serta design huruf Mandarin “Suang Hsi” (artinya Kebahagiaan Ganda). Atau di atas perabot makan seperti mangkok, piring bertuliskan “Ping An” (artinya damai), “Hsi Le” (artinya suka cita) sebagai ucapan selamat dan restu menjadi pemberian yang tulus.

Mereka bersikeras meminta seniman untuk melukis huruf Mandarin langsung di atas produk, sehingga setiap mangkok memiliki bentuk karakter yang unik dan tidak ada duanya.

Berbeda dengan keramik berkualitas buruk yang memiliki kandungan logam berat agar dapat mengurangi waktu dan derajat panas yang diperlukan dalam proses pembakaran, tungku pembakaran keramik yang dimiliki oleh Mao Studio dapat mencapai suhu 1.230 derajat Celsius untuk menjamin kandungan logam berat pada warna glasir menguap sehingga mangkok benar-benar aman untuk digunakan.

 

Berdiri di Atas Pundak Kejayaan Ayah

Bisnis ayah selama 30 tahun telah dilanjutkan oleh kedua kakak adik Mao, selain menguasai teknik pembakaran dan analisa pengembangan bahan glasir, mereka juga mewarisi komitmen ayah terhadap keunggulan kualitas, “Tidak mengorbankan kualitas hanya demi keuntungan”. Inilah prinsip seniman keramik, yang dengan sungguh-sungguh membangun merek Mao Studio. Berdiri di atas pundak kejayaan sang ayah, membuat mereka semakin berpandangan jauh ke depan, pengelolaan inovatif dari kedua kakak adik ini membuka jalan baru untuk pabrik pembakaran keramik yang telah berdiri 30 tahun lamanya.

Industri keramik dibumbui dengan elemen kreatif sehingga mengalami perubahan, namun ada yang tak berubah yakni keterampilan tangan seniman yang hangat. Kegigihan mempertahankan seni tradisional, sehingga setiap produk dapat menjadi kado untuk menyampaikan kehangatan dari di pemberi.

Kado apakah yang cocok untuk menyampaikan rasa terima kasih Anda pada seseorang?