Kembali ke konten utama
Bersepeda di Balik Gunung Menikmati Panorama di Jalan Provinsi Taiwan 11
2020-03-05

Zhang Nian-yang dan Chen Ci-bu yang pindah ke Changbin, membeli tanah kemudian mendirikan “Sunny BuHouse”. Mereka menemukan jati diri yang berbeda di pedesaan.

Zhang Nian-yang dan Chen Ci-bu yang pindah ke Changbin, membeli tanah kemudian mendirikan “Sunny BuHouse”. Mereka menemukan jati diri yang berbeda di pedesaan.
 

Kawasan Hualien dan Taitung dikelilingi oleh Pegunungan Sentral, Pegunungan Pesisir Pantai dan Samudera Pasifik. Di Taiwan, kawasan ini juga sering disebut sebagai “Balik Gunung”, yang diberkahi dan dirangkul oleh kekayaan alam yang berlimpah. Di sini, seluruh warga yang berasal dari berbagai kalangan, menemukan kampung halaman masing-masing, yang menjadi tempat bagi mereka untuk bersandar dan menetap.

Di Taiwan Provincial Highway 11, kami memulai perjalanan dari Dulan menuju ke utara. Akhirnya berhenti di Changbin, yang mengumandangkan kisah penduduk suku adat asli dan keluarga imigran baru.

 

Saat tiba di Dulan, terlihat orang yang tengah bersiap-siap ke pinggir pantai sambil membawa papan selancar. Studio para seniman berada di gang-gang. Cerminan gaya hidup masyarakat Suku Amis sangat dekat dengan alam. Hal inilah yang menjadi alasan bagi pemilik toko sabun “9dolan”, Avi (Nama Suku Adat Asli), akhirnya memutuskan untuk pindah ke Dulan.
 

Meja panjang ini memiliki banyak kisah. Ragam cerita kehidupan bertemu di meja ini. Jendela besar yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik, menjadi remedi bagi suasana hati.

Meja panjang ini memiliki banyak kisah. Ragam cerita kehidupan bertemu di meja ini. Jendela besar yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik, menjadi remedi bagi suasana hati.
 

9Dolan: Penuhi Masa ‘Bermain’ Anak-Anak

“Alasan pindah adalah demi membesarkan anak-anak di lingkungan alam”, kata Avi. Pada awalnya Avi memang menyukai anak-anak, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berkeluarga dan melahirkan anak sendiri. Di hari kerja, anak-anak harus dititipkan di rumah pengasuh, dikarenakan ritme kesibukan yang ada. Yang akhirnya, membuat Avi harus menyandang status “Orang tua di akhir pekan”.

Tidak dapat menahan diri, Avi bertanya, “Apakah ini yang kita inginkan untuk anak-anak?”. Sebelum putrinya bersekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD), Avi dengan suaminya, Dagula (Nama Penduduk Asli), memutuskan untuk meninggalkan Taipei dan menetap di Dulan.

Pasangan suami istri tersebut menata ulang hidup mereka, yang awalnya memprioritaskan uang, saat ini mereka lebih mengutamakan keluarga. Sebelumnya, Dagula pernah belajar membuat sabun handmade, dari seorang guru di Nam­chow Chemical Industrial Company. Selama 2 tahun, ia belajar mengombinasikan metode dingin dengan panas, dan mengembangkan teknik yang dipatenkannya sendiri. Menggabungkan konsep dari sang istri, dengan menyaring sari buah pinang, tembakau dan jawawut, yang akhirnya disertakan dalam produk sabun. Produk khas mereka, juga mengintegrasikan esensi budaya Penduduk Asli. Merek “9Dolan” memiliki makna khusus, yakni 1 keluarga yang telah pindah ke Dulan.

Dalam budaya Suku Amis, buah pinang, tembakau dan jawawut adalah tanaman sakral yang berkaitan dengan leluhur mereka. Namun sayangnya, substansi dari tanaman sakral tersebut harus ternoda oleh stigma sosial. Demi mengembalikan stereotip buah pinang, tembakau dan arak; Dagula menguji coba produk sabunnya. Sabun buatan tangan tersebut, ternyata dapat diserap dan diurai langsung oleh tanah, menjadikannya sebagai produk ramah lingkungan. Buah pinang dan tembakau berkhasiat membunuh kuman; sedangkan jawawut dapat memelihara, memutihkan dan mengobati masalah kulit banyak orang. Khasiat yang telah terbukti ini, membuat Avi merasa puas, ketika memberikan penjelasan tentang produk mereka. “Bahan-bahan lokal membuat kami lebih percaya diri”, lanjut Avi. 

Hingga hari ini, seluruh anggota keluarga lebih menikmati hidup daripada rajin bekerja. “Sebenarnya, kami tidak terlalu serius dalam mengelola toko”, kata Avi sambil tertawa. Beberapa hal yang menjadi prioritas mereka saat ini; di antaranya membawa anak-anak berselancar, menyelami komunitas lokal dan memahami kebudayaan penduduk asli.

Keputusan untuk kembali ke kampung halaman, telah menciptakan suatu jalan hidup yang berbeda. Dagula mengatakan, “Saya berterima kasih atas rasa frustrasi yang terjadi di masa lalu, sehingga saya memperoleh kunci keberanian”.

“Saya bisa memuji diri sendiri dengan mengatakan, garapannya bagus sekali!”, lanjut Avi dengan penuh perasaan. Bersyukur kepada diri sendiri karena telah berani berubah di kala itu, dan bekerja keras.
 

Atmosfer santai di Pesisir Pantai Taiwan, membuat para pelancong menghentikan langkah mereka dan menemukan citra kampung halaman.

Atmosfer santai di Pesisir Pantai Taiwan, membuat para pelancong menghentikan langkah mereka dan menemukan citra kampung halaman.
 

Siki Sufin: Sepasang Sayap Membawa Pulang Warga Suku

Turun dari jalan kecil di depan toko “9Dolan”, kami tiba di pabrik gula merah yang dibangun di era pendudukan Jepang, yakni Sintung Sugar Factory. Kami juga mengunjungi seniman ukir kayu Suku Amis, Siki Sufin.

Kisah Siki adalah rasa tanggung jawab dan kekonyolan fakta sejarah.

Sebelumnya, Siki pernah menimba ilmu sesaat dengan pematung penduduk suku adat asli, Rahic Talif. Setelah Siki kembali ke Dulan, ia menekuni kreativitasnya sambil bekerja. Dengan bertemakan bahan pungutan limbah kayu laut, Siki menyalurkan kisah legenda dari Suku Amis.

Karya Siki, apa adanya, sebagian besar tidak diproses lagi. “Saya suka dengan bekas gergaji yang tertinggal di atas kayu”. Konsep karya seni tersebut dapat langsung membekas di mata setiap penonton.

Ketika kembali ke kampung halaman, ia melihat banyak orang tua yang memiliki paras Suku Amis, tetapi mereka berbicara dalam Bahasa Mandarin. Kejanggalan seperti ini membuat Siki bertanya-tanya. Setelah mencari jawaban ke sana ke mari, barulah ia berhasil mengungkit kembali sejarah Takasago Volunteers yang telah terkubur lama. Seiring dengan bergantinya tampuk kekuasaan, penduduk suku adat asli direkrut sebagai penguasa untuk ditempatkan di garis depan medan perang. Namun ironinya, setelah perang berakhir mereka dicampakkan begitu saja. Manusia tidak pernah belajar dari pengalaman sejarah, kisah yang sama juga menimpa veteran senior Taiwan yang berada di dalam pemukiman.

Terlalu sedikit orang yang mengetahui kisah sejarah ini. Oleh karenanya Siki membuat film dokumenter dan membentuk kelompok teater, untuk mengingatkan kembali ingatan lebih banyak orang. Mengutip sajak mitos Suku Amis: bagi anggota suku yang meninggal di negeri asing, dapat meminta sepasang sayap kepada leluhur, yang akan membawa jiwamu kembali pulang. Siki mengukir sepasang sayap di atas limbah kayu laut, agar anggota suku yang meninggal di negeri orang dapat kembali ke rumah mereka.

Seniman mengabdikan seluruh hidupnya, dengan harapan dapat menarik perhatian dan membangkitkan refleksi masyarakat. “Jika memungkinkan, saya ingin membantu mereka membangun sebuah monumen. Agar mereka dapat beristirahat bersama di Dulan”, lanjut Siki.
 

Sayap merupakan simbol penting dalam karya Siki Sufin.

Sayap merupakan simbol penting dalam karya Siki Sufin.
 

Panorama di Sepanjang Mengayuh Perjalanan

Sambil bersepeda kami melanjutkan perjalanan menuju utara. Kami pergi ke Sungai Mawuku untuk menyaksikan 2 jembatan Donghe yang memiliki perbedaan mencolok, dengan karakter unik masing-masing. Jembatan baru Donghe memiliki warna merah, yang sarat nilai modernitas. Jembatan lama Donghe dibangun pada tahun 1930. Untuk merespons topografi dari 2 medan di tepi sungai, bagian utara jembatan dirancang dengan struktur melengkung, sedangkan bagian selatan jembatan didirikan dengan penopang tiang jembatan. 2 jembatan memiliki keunikan yang menarik nan kontras.

Tidak jauh dari sana, terdapat jalur sepeda “Baonon Bikeway”, yang merupakan jalur lama dari Taiwan Provincial Highway 11. Sekarang tempat ini telah berubah menjadi jalur sepeda. Saat melintasi kawasan ini, para pencinta sepeda dapat menikmati pemandangan pantai yang menawan. 

Meninggalkan Taiwan Provincial Highway 11, kami pun memasuki permukiman Pisirian yang berada di dekat Sanxiantai. Di sini, kami dapat melihat instalasi seni ‘bellwether goat’, yang pembuatannya dipimpin oleh Rahic Talif. Karya seni ini kembali mengingatkan memori masyarakat dengan panorama peternakan kambing.

Perjalanan diteruskan ke Zhongyong Community Changbin Township. Di sini ada sebuah jalan yang memiliki panorama berbeda di setiap musimnya. Jingang Avenue, mempunyai pemandangan menawan, berhias tanaman padi yang berada di kedua sisi jalan dengan warna kehijauan hingga kuning keemasan. Jalan ini mengarah lurus ke Samudera Pasifik, menawarkan nuansa yang berbeda.
 

Jalur sepeda “Baonon Bikeway” merupakan rute lama dari di Taiwan Provincial Highway 11. Dari sini, para pencinta sepeda dapat menikmati pemandangan pantai yang menawan.

Jalur sepeda “Baonon Bikeway” merupakan rute lama dari di Taiwan Provincial Highway 11. Dari sini, para pencinta sepeda dapat menikmati pemandangan pantai yang menawan.
 

Sunny BuHouse: Menemukan Jati Diri yang Berbeda

Dari Jingang Avenue kami menanjak. Di sebelah tiang listrik di tepi jalan, kami menemukan berkas-berkas sinar matahari kecil dari pagar rendah. Ide yang cerdik dari wisma “Sunny BuHouse”, sepanjang perjalanan mengumpulkan banyak sinar matahari kecil, dan saat tiba di ujung jalan, kami bertukar pendapat bersama para pemilik.

Wisma “Sunny BuHouse” didirikan oleh tuan rumah laki-laki Zhang Nian-yang, dan perempuan Chen Ci-bu. Wisma ini menjadi tempat pemberhentian, setelah mereka kehilangan pekerjaan di usia paruh baya. Zhang Nian-yang mengingatkan kita akan karakter Kakek Tomozou Sakura, dari tayangan anime Jepang Chibi Maruko-chan. Sedangkan Chen Ci-bu yang sangat bersahabat, menjadikannya seperti sosok kakak perempuan yang tinggal di sebelah rumah.

Setelah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama 17 tahun, suatu hari Zhang Nian-yang berpikir “cukup sudah”. Ia mengangkat gagasannya dan mengubah jejak kariernya, dengan bekerja di perusahaan elektronik. Namun dikarenakan lemahnya perekonomian, perusahaan tersebut harus berada dalam posisi yang genting. Delapan tahun kemudian, Zhang Nian-yang resmi menjadi pengangguran di usia paruh bayanya.

Nasib roda kehidupan membawanya pergi ke Changbin. Ia pun membeli tanah dan mendirikan wisma penginapan. Mereka pun mulai berusaha menyelami kehidupan warga setempat.

Setelah menjalankan bisnis wisma ini, pasangan suami istri tersebut memulai “Chang Cheng Project”. “Chang Cheng” mengacu pada Changbin di Taitung dengan rumah lama yang pernah ditinggali sebelumnya di Xindian, yakni Huayuan Xincheng.

Zhang Nian-yang suka menjalin pertemanan, sahabat-sahabatnya pun memiliki talenta yang luar biasa. Keluarga di kawasan pedesaan mempunyai kelemahan ekonomi, sosial dan budaya. Anak-anak sangat sedikit memiliki imajinasi tentang masa depan. Bagaimana jika mengintegrasikan keduanya? Melalui “Chang Cheng Project”, sepasang suami istri tersebut berharap dapat menemani masa pertumbuhan anak-anak, dan  menginspirasi lebih banyak anak di masa mendatang.

Ide seperti ini berhasil menarik perhatian dan partisipasi banyak orang. Atlet ultramarathon, Kevin Lin mengambil inisiatif sendiri untuk menemani anak-anak berlari; Juru Bicara jazz YAMAHA cabang Taiwan, Stacey Wei memindahkan seluruh anggota musik jazz mereka ke Changbin dan menggelar konser musik. Selain itu, masih ada penata rambut kelas dunia dan ahli koreografer yang juga telah berkontribusi untuk Desa Changbin.

Kekuatan spiritual dari “Sunny BuHouse” adalah membuat orang nyaman bagai pulang ke rumah sendiri. Wisma ini memulai dengan sarapan yang dipersiapkan sepenuh hati oleh nyonya rumah. Waktu sarapan biasanya berlangsung 2 hingga 3 jam. Semua orang duduk di meja panjang dan saling berbincang. Meja makan ini penuh dengan kisah-kisah yang diceritakan oleh orang-orang yang bertemu di sini. Zhang Nian-yang mahir mengamati hati setiap orang. Ia akan membiarkan orang lengah dan kemudian mencurahkan unek-unek mereka. Chen Ci-bu selalu menjadi sosok yang dapat menyentuh bagian terlembut dari  hati setiap orang. Tamu-tamu yang datang berlibur sampai dapat menitikkan air mata di sebelah meja.

Setelah pindah ke Changbin selama 10 tahun, Chen Ci-bu menjelaskan bahwa ia merupakan pribadi yang suka menyendiri. Hingga saat ini, ia merasa ‘kesendirian’ merupakan hal yang baik, begitu juga saat berada di tengah keramaian. Sebelumnya, Chen Ci-bu merupakan sosok yang perfeksionis. Saat ini ia sedang belajar untuk dapat bersikap lebih santai dan menerima diri sendiri.

Semenjak kecil Zhang Nian-yang adalah murid berbakat, dengan berbagai pengajaran yang diterapkan kepadanya. Namun demikian, ia masih diselimuti keraguan. Meskipun saat ini hidupnya sudah mapan, namun ia tetap harus ‘sedia payung sebelum hujan’. Hati kecilnya masih bergejolak, apakah ia masih harus bekerja dan menabung lebih banyak uang.

Saat ini, “Sunny BuHouse” beroperasi 5 hari dalam seminggu. Wisma ini tengah berjuang untuk beroperasi 4 hari dalam seminggu. Reservasi kamar yang mencapai 80% sudah merupakan hal yang cukup, demikian ucap pasangan tersebut dengan puas.

Sikap dan suasana hati seperti demikian, sangat cocok dan sejalan dengan roda kehidupan di Pesisir Timur Taiwan.