Kembali ke konten utama
Cita Rasa Toko Tua Toko Es Longquan Madou & Charng Mei Qishan
2021-06-14

Mesin pembuat es loli milik Michel Kuo diubah menjadi semi otomatis, tetap membutuhkan pengalaman untuk mengawasi pembuatan es.

Mesin pembuat es loli milik Michel Kuo diubah menjadi semi otomatis, tetap membutuhkan pengalaman untuk mengawasi pembuatan es.
 

Tjung Seha yang berasal dari perkampungan Hakka di Kalimantan, setelah menikah datang ke Taiwan, dan mulai belajar membuat keramik dari ayah mertua bernama Hsieh Fa-chang, seorang perajin keramik tanah liat Taiwan. Tjung sangat bertalenta, karena mempelajari teknik pembuatan gentong keramik besar dari ayah mertua hanya dengan mengamati dari samping saja. Ini membuat Tjung yang berjiwa rajin dan optimistik, dapat menghidupkan kembali usaha keramik keluarga suami yang semula nyaris gulung tikar.

 

Sarapan Es di Pukul 7 Pagi

Matahari terbit lebih awal pada musim panas, suami Zhu Shu-mei adalah anak generasi ketiga pemilik toko es Longquan, Zhu Shu-mei sudah mulai menyiapkan bahan-bahan pelengkap minunan es sejak pukul 6 pagi. Saat petani sedang sibuk bercocok tanam, pukul 7 pagi sudah ada konsumen yang datang ke toko untuk menyantap minuman es. Karena para petani sudah di ladang pada pukul 5 pagi, selesai bekerja pada pukul 8 pagi, bertepatan dengan saat sinar matahari sedang terik-teriknya, sangat pas sekali untuk menyantap semangkok es jeli aiyu dan hunkwe di Longquan, selain dapat melepas dahaga juga membuat perut terasa kenyang, seperti menyantap sarapan siang (brunch). Pelanggan gelombang kedua adalah ibu-ibu rumah tangga yang berbelanja di pasar, mereka membeli jeli aiyu dan hunkwe untuk dibawa pulang lalu diracik sendiri menjadi minuman manis.

Sambil tangan tidak berhenti memasak kacang merah dan talas, Zhu Shu-mei berkata, “Hunkwe ditambahkan dengan gula merah, ini sangat bermanfaat bagi para petani yang bercucuran keringat karena bekerja di bawah panas terik matahari, juga berfaedah untuk meredakan panas dalam. Hunkwe gula merah kami terbuat dari gula merah produksi Kecamatan Baoshan, Hsincu, berbahan dasar 100% tepung ubi jalar, tidak seperti toko lainnya yang menambahkan bahan aditif atau tepung singkong, inilah adalah resep rahasia agar hunkwe lembut dan terasa kenyal.”

Ketika pelanggan lama masuk ke toko es ini mereka selalu berkata, “Tambah bubuk”. Tambah bubuk? Ternyata yang dimaksud adalah meminta es serut atau ronde diberi bubuk mien cha (tepung terigu yang sudah disangrai hingga wangi). Ini juga menjadi ciri khas toko es Longquan yang dilengkapi dengan cita rasa tradisional yang kental, banyak bahan pelengkap es serut yang terbuat dari tepung, Zhu Shu-mei menjelaskan, “Masa lalu, zaman di mana serba kekurangan akan sandang dan pangan, tidak ada bahan makanan apapun, yang paling banyak adalah ubi jalar, memanfaatkan tepung ubi jalar dibuat menjadi hunkwe, atau hunkwe berbentuk bulir memanjang, menggunakan tepung terigu dibuat menjadi bubuk mien cha, bahan-bahan ini dijadikan sebagai pelengkap es serut. Bagi mereka yang bercocok tanam menyantap es bisa melepas dahaga sekaligus mengenyangkan.”

 

Tinggalkan Karir, Teruskan Bisnis Keluarga

Usia toko es Longquan hampir mencapai seratusan tahun, pemilik toko generasi pertama Yang Jing, semasa mudanya mengikuti tim opera yang berkeliling  ke setiap pelosok pedesaan sambil mengusung pikulan menjajakan es serut polos, setelah menikah dan melahirkan 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan, maka ia mengubah cara berjualan dengan membuka kios es serut di depan pasar jalan Guangfu di Madao. Pada tahun 1951, pemerintah membangun Pasar Sentral Madou, kemudian Yang Jing membuka toko es di dalam pasar sentral. Karena pada masa tersebut dia tinggal di Longquan, Madou maka tokonya diberi nama “Longquan”.

Yang Jing berkeinginan untuk pensiun pada tahun 1956, toko es ini diwariskan kepada anak pertama Yang Qing-gui. Anak keduanya Yang Qing-fa membuka toko es lain di dalam pasar dengan meminjam uang pada kakak pertamanya. Namun hutang melilit Yang Qing-fa, dengan berbaring di atas ranjang tidurnya, ia berkeluh kesah pada anaknya Yang Hai-long yang saat itu baru saja lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), mengangkat salah satu tangan dengan kelima jari tangan terbuka menunjuk “lima”, mengharapkan agar anaknya membantu usaha keluarga setidaknya selama 5 tahun.

Yang Hai-long akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan sekolah demi membantu ayah melunasi hutang, berpegang pada tekad “pasti harus berhasil”. Dia bekerja dengan giat, pada pukul 4 subuh ia sudah  bangun membantu ibu mencuci biji-biji aiyu dan memasak hunkwe demi menyekolahkan adik-adiknya sampai ke jenjang perguruan tinggi dan agar toko es mereka semakin maju dan berkembang.

 

Toko Tua, Cita Rasa Otentik

5 tahun berlalu, Yang Hai-long tidak hanya membantu usaha keluarga tetapi juga melunasi hutang, dia juga bekerja di perusahaan telekomunikasi Chunghwa. Yang Hai-long seorang anak yang berbakti, selalu bangun pagi untuk menyiapkan bahan-bahan, lalu pukul 7 pagi berangkat kerja, setelah pulang kerja masih membantu ibu menyangrai bubuk mien cha.

Keuletannya tercermin dari bahan-bahan yang dibuat dan digunakan, misalnya buah aiyu yang dipilihnya adalah aiyu produksi dari Alishan (gunung Ali), walaupun harganya lebih tinggi tetapi kualitas jeli aiyu lebih terjamin. Setelah proses pencucian, Yang Hai-long bersikeras menggunakan metode pembuatan yang diwariskan dari generasi pertama, hanya menggunakan beras ketan Taiwan dalam membuat ronde, mulai dari mencuci beras ketan, lalu dimasak menjadi bubur ketan, proses pengeringan sampai menjadi adonan kering (yang disebut dengan kwe chui atau bongkahan kwe).

Ditambah lagi penyangraian mien cha harus dikerjakan dengan telaten, secara perlahan memasukkan mien cha ke panci untuk digoreng, proses penyangraian membutuhkan waktu 4-5 jam. Beberapa tahap pembuatan bahan pelengkap ini sangat memakan waktu, setiap hari selalu mengulangi setiap rincian pekerjaan, dilakukan berulang kali baru bisa menyajikan bahan tulen dengan rasa yang segar dan lezat. Sikap ulet dan rajin menjadi resep agar toko tua ini selalu awet dan berkelanjutan.

Empat tahun yang lalu, Yang Hai-long pensiun dari perusahaan telekomunikasi Chunghwa, dan toko es secara bertahap diserahkan kepada anaknya Yang Jun-xiang. “Anak saya bagaikan pengawas sanitasi keluarga, selama masa pandemi ia mewajibkan pelanggan yang masuk ke toko untuk mengenakan masker.” Yang Hai-long yakin bahwa sang anak telah  siap melanjutkan usaha toko es tua.

 

Toko Es Charng Mei Berbahasa Prancis dan Italia

Bangunan dari toko es Charng Mei beratap genteng merah bersinar di bawah terik sinar matahari, terletak di kawasan lingkungan bersejarah di Distrik Qishan, Kaoshiung. Seorang pekerja migran asal Indonesia menemani majikannya berkunjung ke toko ini untuk menikmati es, pemilik toko generasi kedua Michel Kuo asyik mengobrol dengan pekerja migran Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bangunan “Meinong’s Yellow and Black Guesthouse” sangat direkomendasikan bagi pesepeda asal Prancis untuk menyambangi toko es ini, dan saat memesan minuman tidak perlu menggunakan bahasa tubuh, karena pemilik toko es ini bisa berbahasa Prancis. Ternyata putri pemilik toko generasi ketiga fasih berbahasa Italia, membuat pastor dari Gereja Katolik St. Joseph yang berkewarganegaraan Italia juga senang berkunjung ke toko ini. Untuk bahasa Inggris juga tidak menjadi masalah, toko es Charng Mei juga pernah meraih penghargaan “Lencana Layanan Bahasa Inggris” dari Yuan Eksekutif. Toko es yang terletak di desa mampu membuat wisatawan asing terkejut dan kagum, kok bisa go-internasional!

Ternyata pemilik toko generasi kedua, Michel Kuo seorang lulusan jurusan Bahasa Prancis dari Chinese Culture University. Ia pensiun dari perusahaan maskapai penerbangan China Airlines pada 18 tahun lalu dan meneruskan usaha toko tua ini. Saat bekerja di maskapai penerbangan China Airlines, ia pernah diutus dan menetap di Indonesia, pernah ke negara yang terpanas Saudi Arabia hingga ke tempat terdingin Alaska, Michel Kuo sangat kaya akan pengalaman hidup. Sementara yang menguasai Bahasa Italia adalah putrinya, Kuo Yi-ling yang pernah belajar desain di Milan

Michel Kuo pensiun lebih awal pada saat berusia 54 tahun, ia sedang bertugas di Anchorage, Alaska saat ayahnya meninggal dunia, ia sangat menyesal karena tidak keburu pulang dan tidak sempat bertemu dengan ayah untuk terakhir kalinya. Saat libur dan kembali ke kampung halaman, Michel Kuo merasa tidak tega melihat ibu dan adik perempuannya bekerja keras menjaga toko tua ini. Ia menyadari bahwa “Seberapa banyak uang yang dihasilkan tidak ada gunanya lagi”, maka ia memutuskan untuk kembali membantu usaha keluarga di kampung halaman.

 

Melunasi Hutang, Usaha Keluarga Berlanjut 3 Generasi

Michel Kuo mengungkapkan, semula ia berkeinginan kembali membantu usaha keluarganya, tapi malah sebaliknya dirinya yang dibantu oleh ibunya Kuo Li Charng-mei yang telah berusia 94 tahun. Setiap hari ibu selalu mempersiapkan bahan lebih awal, seperti memasak kacang merah, talas dan membantunya berjualan es. Sambil tertawa, nenek bermotivasi dan berotak bisnis yang luar biasa, menjelaskan, “Dulu sempat berpikiran pensiun dan berwisata, tetapi mana mungkin satu tahun 365 hari selalu berwisata!” sepertinya berjualan es lebih realistis. Dikarenakan kehidupan serba kekurangan pada masa lalu, demi mengais rezeki Kuo Li Charng-mei memulai usaha toko kelontong pada tahun 1945, di toko ini tersedia uang arwah (Jinzhi), minyak wijen, bumbu miso sekaligus berjualan minuman segar seperti teh merah, teh kundur dan lainnya.

Pada tahun 1982, Kuo Li Charng-mei dengan berani berinvestasi, mengucurkan dana ratusan ribu dolar Taiwan untuk membeli mesin pembuat es krim, bahkan ia mengembangkan ragam pilihan rasa es loli hingga 16 macam. Kini pada dinding toko tertempel lebih dari 30 macam produk es, semuanya adalah hasil pengembangannya.

 

Toko Tua Terus Berkembang Maju

Toko es Charng Mei pada tahun 2003 mendapat dana bantuan dari Uni-President Enterprises Corporation’s Good Neighbor Foundation dalam program renovasi toko tua. Toko tua direnovasi, setelah dipublikasikan oleh media membuat toko tua ini semakin populer di seluruh Taiwan. Malah sebaliknya pemilik toko generasi kedua Michel Kuo yang telah melanglang buana, kembali untuk menjaga dan melanjutkan resep ibu, tidak mengubah proses pembuatan, hanya mengikuti perkembangan teknologi dengan mengubah mesin pembuatan es loli menjadi semi otomatis, mesin pengganti tenaga manusia ini berfungsi untuk mengisi dan mencabut es batangan. Michel Kuo mengatakan, “Masa lalu ibu saya mengangkat ember es krim dengan kedua tangannya, hal ini dilakukan selama bertahun-tahun, sehingga bagian jari yang mengeluarkan tenaga kuat seperti jari telunjuk dan jempol telah berubah bentuk. Berkat ide dari anak laki-laki Kuo Ren-hao memodifikasi ember es krim dengan ditambahkan pegangan, desain yang sederhana selain hemat tenaga juga mempermudah proses pembuatan.”

Pada tahun kelulusan Kuo Ren-hao di Tainan National University of The Arts tahun 2009, Distrik Qishan tertimpa bencana banjir akibat badai Morakot, menyebabkan genangan air hingga setinggi lutut. Kuo Ren-hao yang menguasai pembuatan film dokumentasi, kembali mengenang dan berkata, “Hal pertama yang dilakukan bukan tindakan penyelamatan, tetapi mengambil kamera untuk mengabadikannya.” Karena letak cabang toko yang berseberangan dengan kantor pos yang tergenang air dan keluarga sangat memerlukan bantuan, inilah yang membuat Kuo Ren-hao memutuskan tetap tinggal di Qishan dan melanjutkan usaha keluarga. Kuo Ren-hao dan kakak perempuan Kuo Yi-ling memanfaatkan gambar ikon nenek menyekop es, menuangkan elemen desain dan merenovasi toko tua. Ketika duduk di toko tua, menyantap semangkok es polos yang lembut dan manis, merasakan atmosfer pedesaan yang santai, seakan-akan waktu terhenti di sini.