Kembali ke konten utama
Filosofi Hidup di Kaki Gunung Proyek Rehabilitasi 100-Tahun CMP Village
2021-08-09

Berdiri di tengah hutan, kami segera merasakan betapa kecilnya manusia di alam semesta. Belajarlah filosofi hidup dari alam!

Berdiri di tengah hutan, kami segera merasakan betapa kecilnya manusia di alam semesta. Belajarlah filosofi hidup dari alam!
 

Terletak di Zaoqiao, Miaoli, taman rekreasi Shangrila Paradise pernah menjadi tempat yang ramai dikunjungi, berbagai wahana di dalamnya adalah kenangan indah bagi banyak orang. CMP Group mengambil alih dan meluncurkan “CMP Village” (Desa CMP) pada 2016, yang bertujuan untuk menggabungkan alam dengan estetika kehidupan. Suara serangga, nyanyian katak, simfoni embusan angin dan suara canda tawa manusia pun bersemi kembali.

 

Perjalanan dengan taksi dari Stasiun THSR Miaoli ke Shangrila Paradise hanya sekitar 10 menit. Di bawah bimbingan CEO CMP Village Jonas Ho, kami melewati sebuah dinding pagar yang terlihat biasa saja, lalu tiba di sebuah halaman rumput luas terbuka yang dikelilingi oleh hutan. Di sini kami menemukan sebuah instalasi anyaman bambu besar dan belasan tenda yang disusun menjadi setengah lingkaran. Rupanya pagar ini adalah sebuah perbatasan antara taman rekreasi lama dan baru yang menjadi pemisah duniawi dan alami, melambangkan pelaku perjalanan telah memasuki Shangri-La modern.

 

Menciptakan Titik Terang di Tengah Kejamakan

CMP Group mengakuisisi Shangri-La Paradise yang popularitasnya telah menurun pada 2012. Taman seluas 40 hektar yang terletak di kaki bukit pada ketinggian 50-100 meter di atas permukaan laut ini adalah sebuah kombinasi hutan alamiah dan artifisial. “Pemandangan yang biasa-biasa saja, bisa ditemukan di banyak tempat di Taiwan,” demikian kesan pertama direktur taman rekreasi Shangrila Paradise saat ini, Mai Sheng-wei.

CMP awalnya bekerja sama dengan sebuah firma arsitektur ternama di dunia, yang setelah mendesain sepanjang dua tahun menghadirkan konsep untuk membangun sebuah resor internasional, lengkap dengan taman, kolam dan villa. Manajemen eselon tinggi CMP semuanya berpendapat, “Sangat indah menawan, tetapi kurang kearifan lokal,” maka ia menolak konsep sanggraloka tersebut. Kembali ke titik semula, tim manajemen baru direkrut dari CMP Group sendiri dan tugas transformasi Shangri-La Paradise diserahkan kepada Jonas Ho, Direktur Eksekutif CMP PUJEN Foundation for Arts and Culture.

Jonas Ho menghabiskan 2 – 3 tahun untuk mencari identitas baru bagi taman tersebut, merekrut arsitek Jepang Hiroshi Nakamura yang terkenal akan kemahirannya membaurkan unsur alamiah dan budaya lokal. Jonas Ho mengajak Hiroshi Nakamura untuk melihat arsitektur Hakka dan kerajinan lokal di Miaoli, dan setelah berkali-kali berdiskusi, akhirnya Hiroshi Nakamura mengajukan tiga prinsip panduan utama untuk masa depan taman: semangat keterampilan, ekologis berkesinambungan, filosofi kehidupan. “Kedengarannya agak muluk-muluk dan sulit dimengerti, tetapi untuk memahaminya kita perlu mempraktikkannya!” kata Jonas Ho sambil tersenyum malu.

Jonas Ho mengajukan ide glamping (singkatan dari glamorous camping), membongkar taman bergaya Eropa khas Shangrila Paradise dan menggantikannya dengan halaman rumput, lalu mencari seniman lanskap Wang Wen-chih untuk merancang instalasi “Langit Anyaman Bambu.” Wang bersama para staf taman menghabiskan waktu selama 40 hari, menggunakan lebih dari 5.000 batang bambu untuk menenun dua kubah bambu berukuran besar dan sebuah lorong yang menghubungkan mereka. Kubah bambu sebagai simbol kekuatan cinta sejati tim dan juga ketulusan hati untuk mempromosikan budaya lokal. Diberi nama berdasarkan pelafalan istilah Hakka untuk desa pegunungan, “Shan Na Village” (Desa Shan Na) menjadi bagian pertama program CMP Village yang diselesaikan.

Saat memasuki desa CMP, tidak saja terdapat tenda-tenda mewah yang apik dengan fasilitas peralatan lengkap dan desain yang menarik, mereka juga telah menyiapkan berbagai program menarik yang dirancang dengan cermat. Misalnya, “Department Store in the Hills” (pusat perbelanjaan di perbukitan) memanfaatkan lingkungan alam taman untuk membuat pengganti barang-barang konsumen yang ditemukan di toko serba ada, antara lain mengubah jarum pinus menjadi kertas tisu, batang seledri menjadi sedotan minuman dan daun palem menjadi kipas. Berpetualang mengikuti peta, alam menjadi sebuah pusat perbelanjaan yang luar biasa.

Daya tarik taman rekreasi berbasis perlengkapan mesin wahana akan lebih mudah memudar dari waktu ke waktu, “Alam dan budaya malah menjadi lebih menarik seiring berjalannya waktu, dan inilah logika yang kami gunakan dalam membangun CMP Village.” Demikian tutur Jonas Ho yang juga menambahkan bahwa permainan kata “CMP” sendiri sebenarnya bisa berarti CMP belajar dari budaya lokal, juga berarti estetika rajin yang dimiliki orang Hakka.

 

Tarian Anak-anak Gunung

Proyek kedua CMP Village adalah membangun “Sweet Dream Village” (Desa Impian Indah). Desa ini terdiri dari tenda glamping dengan desain khas ditambah dengan tiga rumah pohon yang terbuat dari kayu cedar Jepang (Cryptomeria japonica) yang ditanam di Taiwan. Desain rumah kayu ini mengombinasikan industri arang Miaoli yang perlahan-lahan punah, di mana bahan kayu yang dipakai dikarbonisasi dengan tingkat yang berbeda, menghasilkan warna berlapis dan tahan serangga, memperpanjang masa pakainya sambil menaruh perhatian pada sejarah lokal.

Menurut Jonas Ho, fokus Shan Na Village adalah hubungan antara manusia dan alam, sedangkan Sweet Dream Village lebih menegaskan koneksi antar manusia. Sebuah pengalaman perjalanan yang lebih mendalam dirancang khusus, dan mengundang para pengunjung untuk berkumpul dan memasuki gunung di sore hari. Dilengkapi dengan earphone, mereka dapat menikmati pengalaman seperti berada dalam sebuah skenario, sambil menjelajahi setiap sudut taman. Untuk makan malam, para tamu menikmati hidangan lokal yang lezat di bawah bintang-bintang di langit. Untuk sarapan, mereka mengumpulkan bahan-bahan dari dalam taman sebelum memanggang pizza dalam oven berbahan bakar kayu. Suasana laksana fantasi di Sweet Dream Village menghidupkan kembali kenangan masa kecil dalam nurani orang dewasa. Mereka memanjat dan bermain di rumah pohon, dan menembakkan buah pohon tung dengan ketapel di bungker pemburu. Pekik kegirangan pun terdengar di mana-mana.

CMP Village menginterpretasi kembali cara manusia mendekati alam. “Kami ingin mengembalikan tanah ini ke tampilan alami aslinya, pada saat yang sama menghadirkan estetika kontemporer.” Bagi Jonas Ho, sangat penting untuk membaurkan estetika kehidupan sambil menyampaikan prinsip-prinsip konservasi dan perlindungan lingkungan, tapi tak banyak orang akan tetap antusias jika lingkungannya sangat buruk, misalnya  digigit nyamuk, hal ini sulit diterima oleh kebanyakan orang. Resonansi dari kebanyakan orang hanya akan diperoleh jika dikombinasikan dengan estetika, kegiatan seni dan budaya, serta kesempatan untuk berfoto dan check-in di media sosial.

 

Biarkan Seni dan Budaya Bergema di Hutan

Berbeda dari kemeriahan di Shan Na Village dan Sweet Dream Village, “The Forest BIG” yang berada di bagian terdalam taman sedang diam-diam memprakarsai banyak eksperimen. Jonas Ho memilih nama itu untuk menekankan betapa kecilnya manusia di alam semesta, dan berharap orang-orang yang datang ke sini dapat belajar untuk hidup berdampingan bersama alam dengan rendah hati.

Sebelum memasuki The Forest BIG, staf membawa para tamu untuk memberi penghormatan kepada patung besar Bodhisattva Guanyin. Harapannya adalah upacara itu dapat memberitahu hutan “Kami telah datang,” juga untuk menenangkan semangat peserta dan memperlambat langkah mereka. Sepanjang perjalanan kami melewati  jalan pegunungan kecil yang hanya memungkinkan satu orang untuk lewat,  pengunjung akan didampingi suara serangga, sementara tanah lunak di bawah kaki mereka menunjukkan bahwa tikus mondok Taiwan pernah lewat dari bawah tanah. Saat menemukan jaring laba-laba, Jonas Ho dengan rendah hati meminta maaf sambil dengan lembut memindahkan jaring laba-laba tersebut ke samping. “Berusaha meminimalkan gangguan yang ditimbulkan, itulah etos The Forest BIG,” katanya. Hanya dalam kurun waktu lima menit, lanskap hutan telah berubah. Tumbuhan pesisir muncul di pegunungan. Rupanya tempat ini adalah tepi laut pada 300.000 tahun yang lalu, sehingga memiliki karakteristik tanah gumuk pasir. Ini adalah kejutan yang ditemukan di sepanjang  penelitian ekologi di taman.

Menyatukan seniman dengan alam untuk memicu inspirasi telah menjadi arahan The Forest BIG sejak awal. Para ahli dari bidang-bidang seperti seni bunga, kuliner, aroma, arsitektur dan lainnya, telah menunjukkan kreativitas mereka di sini. Berdasarkan kumulatif pengalaman di masa lalu, CMP Village meluncurkan The Forest BIG 2.0 pada 2020, mempertemukan pakar ekologi dengan tokoh seni, mengharapkan pertukaran yang bisa merangsang lebih banyak eksperimen.

 

Cetakan Biru Rehabilitasi Hutan 100-Tahun

Tiga program CMP Village yang telah diluncurkan hanyalah pemanasan untuk masa depan taman tersebut, yakni suatu format pariwisata baru yang menggabungkan alam, estetika dan budaya lokal. Jonas Ho menerangkan cetakan birunya untuk masa depan taman, “Target akhir adalah memulihkan bentuk alam di sini.” Berbicara tentang program hutan berjangka satu abad ini, Jonas Ho mengutip contoh Kuil Meiji di Tokyo yang seabad lalu masih merupakan lahan pertanian, tetapi hari ini telah menjadi hutan kota yang berharga. Jonas Ho mengungkapkan, lagipula rehabilitasi hutan tidak hanya semata membiarkannya selama 100 tahun, para desainer mengategorikan sepuluh tahun sebagai satu tahapan, mengimajinasikan hubungan antara manusia dan tanah, agar dapat menggunakan metode manajemen yang berbeda pada titik waktu yang berlainan, dengan demikian baru dapat dioptimalkan menjadi gaya hidup modern.

Setiap kali ditanyakan tentang rencana pengembangan taman, Jonas Ho selalu sambil bercanda mengatakan, “Karena malas, kami merujuk foto udara dari 30 tahun yang lalu, sebelum ada satu pun taman rekreasi, kemudian menghitung rasio pengembangan yang sesuai berdasarkan populasi Taiwan dan kepadatan hutan.” Dengan arsitektur berkelanjutan

Bagi pihak pengusaha, untuk membangun sebuah Shangri-La berdasarkan prinsip kesinambungan pragmatis dan estetika kehidupan bersama seniman dan profesional lain, waktu adalah uang. Tapi di CMP Village, waktu adalah katalis untuk membangun taman menjadi tempat yang lebih kaya, dan semuanya percaya, masa muda yang dihabiskan untuk hidup, membangun danau dan menanam pohon di sini, akan mendapat balasan dari alam.