Kembali ke konten utama
Di Lereng Gunung Jiujiu Museum Seni Yu-Hsiu
2021-08-23

Sentuhan tangan seniman Janet Laurence menampilkan makna puitis tanaman lokal Taiwan.

Sentuhan tangan seniman Janet Laurence menampilkan makna puitis tanaman lokal Taiwan.
 

Sepasang suami-istri pebisnis yang memiliki sebuah harapan “melakukan satu hal yang berarti semasa hidup” bertemu dengan seorang seniman yang tidak pernah takut mengejar impiannya, mereka bersama-sama membangun sebuah museum yang menakjubkan. Museum yang menghidupkan persepsi dan cita rasa keindahan, memberikan hadiah yang tak ternilai bagi masyarakat Taiwan dan merupakan perwujudan nyata dari keindahan langit dan bumi.

 

Beberapa tahun lalu, tiba-tiba tersebar kabar munculnya sebuah museum berlokasi di pedesaan yang sulit dijangkau di antara para pencinta seni di Taiwan. Bertolak belakang dengan akses jalan yang sulit dan berliku-liku, bagi orang yang penah mengunjungi museum ini pasti tidak akan pernah melupakannya dan berharap suatu hari nanti dapat berkunjung lagi.

Sebenarnya apa daya tarik museum ini sehingga dapat memikat hati? Arsitektur yang megah dan indah atau koleksi menarik dan unik yang dipamerkan? Tinggalkan hiruk pikuk kota dan datanglah ke gunung Jiujiu yang sunyi di Caotun, Nantou, agar dapat mengeksplorasi pesona museum ini.

 

Museum di Pegunungan

Museum yang berletak di Pinglin, Caotun dengan kepadatan penduduk hanya 400 kepala keluarga ini, dari kejauhan terlihat berbaur dengan pegunungan yang dihiasi dengan rumah-rumah petani, pepohonan anggur dan leci di atas tanah yang subur, dan museum ini berada di salah satu ujung jalan kecil desa.

Jumlah pengunjung dibatasi maksimal per hari hanya 180 orang saja, itupun harus membuat reservasi terlebih dulu. Metode pengaturan yang rumit ini adalah untuk menjaga kualitas, memberikan yang terbaik bagi pengunjung. Terlebih dulu kami melewati jalan kecil yang berkelok-kelok di hutan bambu hingga di penghujung baru kami tiba di tempat yang cerah, seiring dengan langkah naik, penglihatan kami perlahan-lahan meninggi, dan akhirnya terlihatlah bangunan utama museum yang digunakan sebagai ruang pameran. Bangunan-bangunan di sepanjang lereng bukit ini, kecil dan bersahaja, konon dikabarkan karakteristik ketenangan ini bersumber dari pendiri museum ── Ibu Ye Yu-hsiu.

Warna abu-abu pada bagian luar bangunan sederhana tetapi memiliki citra modern, walaupun bersahaja tetapi detail halus terlihat pada setiap sudut bangunan. Dari total lahan seluas 3.000 ping (setara dengan 9.915 meter persegi) hanya memanfaatkan 1.000 ping (3.305 meter persegi) sebagai lahan bangunan, selebihnya dipenuhi dengan tanaman hijau. Hamparan pemandangan lembut dan menyenangkan ini, layaknya masuk dalam Negeri Rampaian Bunga Persik (sebuah fabel mengenai kemungkinan penemuan sebuah utopia indah di mana orang-orang menjalani eksistensi ideal selaras dengan alam karya Tao Yuanming pada tahun 421), rumah spiritual yang didambakan oleh semua orang. 

 

Lee Chu-hsin vs Ye Yu-hsiu

Kekosongan kurator Museum Yu-Hsiu yang tidak digantikan sudah selama setahun lebih, sepertinya untuk mengenang Lee Chu-hsin.

Lee Chu-hsin adalah seorang pelukis, seorang pengajar, juga pemimpi yang melahirkan museum ini. Dengan terlebih dulu membeli tanah di dusun Pinglin, Caotun Nantou untuk dijadikan tempat kerjanya pada tahun 2010. Pemukiman yang tenang ini tidak saja menarik Lee Chu-hsin melainkan juga menarik banyak seniman lain untuk datang dan bermukim di sini. Sedikit demi sedikit sumber yang terkumpul akhirnya menjadi ide memilih tempat ini untuk membangun museum.

Awal pertemuan Lee Chu-hsin dan Ye Yu-hsiu adalah di kelas melukis klub rotary, pada saat itu hubungan mereka adalah guru dan murid. Karena demikian, ia mengenal pasangan suami-istri pengusaha Hour Ing-ming dan Ye Yu-hsiu yang telah sekian lama mensponsori kegiatan seni. Lee Chu-hsin dengan berani menggagaskan apa yang tidak berani dipikirkan orang, ia mengusulkan kepada Ye Yu-hsiu, “Kita bangun sebuah museum?” dan ternyata ditanggapinya.

Setelah pembelian lahan, sepotong demi sepotong bata dibangun menjadi museum, sayangnya perubahan yang terjadi kerap tidak terduga. Lee Chu-hsin divonis mengidap kanker dengan kondisi tidak optimis di saat museum baru beroperasi 2 tahun. Museum dibuka pada tahun 2016 dan Lee Chu-hsin meninggal pada tahun 2019.

Pembangunan museum ini menjadi jerih payah terakhir dalam hidup Lee Chu-hsin, untuk itu Ye Yu-hsiu berjanji akan tetap terus mempertahankannya “selama sisa hidupnya”. Kurator sudah tiada, tetapi museum tetap berjalan seperti sebagaimana mestinya, penyelenggaraan pameran-pameran tingkat internasional silih berganti, selain pameran juga ada kegiatan pendidikan kesenian, tanpa mengenal lelah. Semangat Lee Chu-hsin tetap melekat dan tidak pernah meninggalkan museum ini.

 

Melangkah Masuk Museum

Memasuki tempat pameran yang pada saat itu tengah menampilkan pameran tunggal “Janet Laurence’s Entangled Garden for Plant Memory” seorang seniman asal Australia. Proses kuratorial yang memakan waktu selama 2 tahun mendapat dukungan besar dari kurator dan museum serta membuahkan pameran seni instalasi. Dengan kayu, batu, tumbuhan, satwa yang diawetkan dan bahan-bahan lainnya, selain sebagian kecil yang didatangkan dari Benua Australia ke Taiwan oleh sang kurator, kebanyakan bahan menggunakan bahan lokal Taiwan, semua bahan ini diolah menjadi karya kreatif.

Alasan mengapa pameran di Yu-Hsiu begitu menarik dan menyentuh hati, pertama-tama harus mengaitkan dengan sifat terbuka dari Ye Yu-hsiu yang bersedia memberikan tempat bagi para seniman dan pengunjung. Alasan lainnya berkaitan dengan visi Lee Chu-hsin mempromosikan museum menjadi pusat seni “realisme kontemporer”.

Seni realisme tidaklah sesempit, seklasik juga tidak sesederhana apalagi sekuno seperti yang dibayangkan orang pada umumnya. Seni realisme adalah keterampilan  dasar seni yang juga mencerminkan langsung spiritual dari pemandangan. Khususnya bagi pengunjung, karena seni realisme berhubungan langsung dengan kehidupan, berkaitan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan, lebih mudah terbaca dan dipahami orang, daripada seni abstrak dan seni konseptual yang biasanya tidak jelas dan terfragmentasi.

Berlandaskan dasar yang begitu baik, ditambah dengan visi misi tim yang kuat, “Meskipun kami kecil, tetapi berkomitmen untuk memperbesar potensi dari setiap area di tempat ini.” demikian ujar Huang Hsiang selaku Direktur Museum Yu-Hsiu.

Walaupun Museum Yu-Hsiu tergolong museum kecil menengah, tetapi memiliki ambisi yang tidak kecil. Seniman yang diundang untuk pameran adalah seniman pilihan terbaik dalam dan luar negeri. Persiapan kuratorial dilakukan dengan sangat teliti sehingga memakan waktu lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Penataan ruang pameran disesuaikan dengan keinginan sang seniman agar karya seni dapat menyatu dengan ruang pameran.

Pameran Janet Laurence’s Entangled Garden for Plant Memory yang berlangsung saat itu merupakan sebuah pameran yang paling menguras tenaga dalam sejarah Museum Yu-Hsiu. Setahun sebelum pameran digelar, sang seniman terlebih dulu datang ke Taiwan untuk survei lapangan, sekembalinya ke Australia tim kuratorial membuat daftar bahan-bahan yang dibutuhkan dan meminjam barang-barang yang dibutuhkan pada museum satwa, National Taiwan University Museum (NTU Museum), TAI Herbarium, Geo-specimen Cottage dan Endemic Species Research Institute. Sang seniman baru kembali datang ke Taiwan untuk proses kuratorial pameran dua pekan sebelum pameran berlangsung. Tantangan yang berisiko tinggi seperti itu akhirnya bisa berhasil dengan karya yang gemilang.

 

Aksi Pendidikan Seni

Visi lain yang jarang diketahui orang dari Museum Yu-Hsiu adalah mempromosikan pendidikan seni ke sekolah-sekolah di pedesaan.

Ini juga yang menjadi visi yang diwariskan oleh Lee Chu-hsin. “Pergi dan tanamlah pohon, taburkan benih seni di hati setiap anak, mungkin pada suatu hari nanti akan bertunas.” Keinginan Lee Chu-hsin ini ditemukan di salah satu manuskrip yang ditinggalkannya. Keinginan inilah yang memprakarsai program “kelas seni di museum”.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang, perjalanan panjang dari tim untuk meneruskan gaya dari museum yang halus, konsisten dan telah berakar mendalam. Untuk itu, dari perencanaan program pengajaran, bagaimana dapat menyesuaikan dengan pameran pada saat itu, mendatangi dan berkomunikasi dengan pihak sekolah, mendapatkan pelatihan untuk memenuhi kriteria pengajar dan pemandu relawan, setelah itu melakukan kontak agar hubungan dapat tetap berkelanjutan, setiap tahapan dilaksanakan dengan baik.

Tim yang berharap agar anak-anak dapat memahami perlunya etiket berkunjung ke museum, juga berharap melalui bimbingan yang tepat dan benar, anak-anak dapat merasakan daya tarik dari karya seni, bersamaan dengan itu juga menyadari, “Ternyata berkunjung ke museum sangat menyenangkan.” Sejak kecil mereka mulai bersentuhan dengan benda-benda seperti ini untuk  menanamkan kecintaan akan seni. “Bukan apa yang ingin diberikan pada anak, melainkan membiarkan mereka menemukan apa yang ada di sini.” tutur Liu Hsin-yun selaku Spesialis Bagian Promosi Program Pendidikan sambil mengungkapkan filosofinya.

Seperti satu ajang pameran “Tranquil Vastness: From Memory to History” hasil karya Yang Pei-chen, seniman ukir kayu yang menampilkan ukiran kayu tas Boston, buku kuno, jaket kulit yang terlihat sangat mirip dengan barang orisinal. Simulasi benda-benda tua yang tercuci oleh waktu memancarkan kejayaan yang lembut, sambil menyiratkan perasaan mendalam antara benda dan manusia yang sulit dilukiskan dalam kata-kata.

Setelah selesai melihat pameran ini, guru membimbing murid-murid melakukan pengamatan, mengajak mereka berpikir, “Siapa yang punya tas seperti ini?”. Melalui lontaran pertanyaan demi pertanyaan untuk merangsang mereka berimajinasi, mendorong anak-anak melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari, bebas berimajinasi lalu ditransformasi menjadi motivasi untuk berkreasi. Dari “pengamatan” kemudian memicu “imajinasi” dan akhirnya terwujud dalam “kreasi” demikianlah proses lahirnya seni.

Kelas seni di museum, merupakan visi awal pendirian Museum Yu-Hsiu yang berkeinginan untuk memberitahukan semua orang: menikmati karya seni tidaklah sulit.

Indah, bersumber dari mengamati kehidupan yakni paham untuk menikmatinya dan pada akhirnya akan memperkaya kehidupan kita.