Kembali ke konten utama
Hari Esok Pekerja Migran yang Lebih Baik Pameran Hak Asasi Migran
2022-01-10

Hari Esok Pekerja Migran yang Lebih Baik

 

Banyak yang tidak paham akan kondisi kehidupan para pekerja migran yang berada di Taiwan, sehingga eksistensi mereka seakan-akan tidak terlihat di dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada tahun ini (2021), Museum Hak Asasi Nasional (National Human Rights Museum, NHRM) mengajak 15 organisasi non pemerintah (NGO) untuk bersama-sama menggelar sebuah pameran tentang hak asasi para imigran, menyibak tirai kondisi kehidupan para pekerja migran. Hanya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia secara menyeluruh, barulah terbuka kesempatan untuk mendorong jalannya misi akan hak asasi pekerja migran, sehingga mampu bergerak maju sesuai dengan harapan masyarakat luas.

 

Federation of International Human Rights Museums–Asia Pacific (disingkat menjadi FIHRM-AP) terbentuk pada tahun 2019 di bawah naungan NHRM di Taiwan, dan mengakui upaya Taiwan dalam hal perkembangan hak asasi, yang mana sekaligus menjadi sebuah platform penting bagi Taiwan dalam mengimplementasikan perkembangan hak asasi manusia secara nyata. Museum Hak Asasi Nasional  bertanggung jawab untuk mempertimbangkan isu-isu mengenai hak-hak asasi manusia kontemporer di kawasan Asia Pasifik, memprogramkan jalinan antar museum di dalam dan luar negeri, organisasi LSM, dan pegiat hak asasi manusia, untuk menciptakan lanskap budaya hak asasi manusia melalui pameran, seminar, dan kegiatan seni.

Menanggapi tema Hari Museum Internasional tahun 2020, “Museums for Equality: Diversity and Inclusion” (Kesetaraan Museum: Keberagaman dan Toleransi) , berbagai etnis telah saling berinteraksi karena bermigrasi, dan “Mobilitas hak asasi manusia” telah menjadi isu pertama yang harus diikutsertakan NHRM di dalam kerangka FIHRM-AP. NHRM berfokus pada pekerja migran yang memiliki hubungan dekat dengan Taiwan namun kerap terabaikan, mempertimbangkan bagaimana menggunakan peran museum untuk mengarahkan publik menemukan dan mengatasi prasangka.

 

Sosok Umum Pekerja Migran

Pada tahun 2020, NHRM mengundang 15 museum domestik dan 15 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama bertahun-tahun bersuara bagi pekerja migran, seperti Asosiasi Buruh Internasional Taiwan (TIWA), Asosiasi Layanan Publik Kota Taoyuan, Pusat Kebudayaan Yue Zai Jia, 1095 Cultural History Studio, dan lain sebagainya, untuk saling berbagi aspek-aspek pekerja migran yang mendapat sorotan, mencari cara untuk berlatih bersama, memulai perjalanan belajar bersama, dan mengadakan pameran khusus hak asasi imigran pada tahun ini, bersama-sama memikirkan kemungkinan akan komunikasi sosial, sehingga suara pekerja migran dapat didengar lebih banyak orang.

Melanjutkan semangat co-learning, NHRM meninggalkan cara masa lalu di mana peneliti atau kurator harus melakukan penelitian lapangan, kemudian tim produksi merujuk kepada desain yang disesuaikan dengan rencana kurator. Pameran HAM kaum migran “Lokakarya Kuratorial”, mengembalikan hak berbicara kepada kelompok LSM, yang diprakarsai oleh Hide and Seek Audiovisual Art (HSAA), dengan mewawancarai LSM satu per satu, kemudian mengumpulkan lebih dari 100 kata kunci dan merancangnya menjadi sebuah lokakarya untuk didiskusikan oleh LSM. Seiring dengan kerja keras yang dilakukan oleh LSM selama bertahun-tahun, maka setiap lokakarya yang digelar selalu menyediakan ragam materi diskusi pembahasan yang menarik, yang kemudian dikumpulkan oleh kurator Chen Wei-lin dan tim Hide and Seek Audiovisual Art. Setelah melalui pembahasan lokakarya berulang kali, akhirnya pameran dirancang menjadi kebutuhan sehari-hari orang Taiwan, memasuki ruang perburuhan pekerja migran, kebutuhan dasar pekerja migran sebagaimana halnya dengan kebutuhan manusia biasa, mekanisme perekrutan dan pengelolaan pekerja migran. Peran “cadangan” LSM, telah mampu menjadi sebuah alur jembatan penyelesaian dilema pekerja migran.

Pihak Hide and Seek Audiovisual Art menjelaskan desain awal adalah memadukan gambaran kehidupan para pekerja migran, namun seiring dengan berjalannya hasil diskusi, maka diambil tajuk “supaya masyarakat Taiwan melihat rupa bayang keseharian para pekerja migran”, yang dianggap lebih mampu mendekati visi pameran. Rumah, panti jompo, gunung, pabrik, laut lepas… di mana-mana ada sosok pekerja migran. Makanan laut segar di atas meja, chip telepon gengam, gedung tinggi, MRT, semua merupakan bagian dari kontribusi para pekerja migran, yang mengisi kekosongan akan SDM yang bergerak dalam industri 3 K (kotor, bahaya dan berat), sehingga masyarakat Taiwan dapat menikmati kemudahan dalam kehidupan kesehariannya. Oleh sebab itu, pihak panitia menggunakan sistem grafik berskala besar untuk menekankan keberadaan PMA di setiap hal dalam kehidupan masyarakat Taiwan. Berjalan di sekeliling ruang pameran, dapat terlihat konten gambaran kehidupan para pekerja migran, mulai dari kebutuhan hidup, lingkungan kerja sampai ke mekanisme kebijakan dan kategori lainnya. Miniatur kehidupan pekerja migran ditampilkan dari dekat lalu menjauh, membuat pameran khusus ini semakin mendekati poros utama pameran yang ada. “Agar bagian sosok pekerja migran yang semula terlihat kabur, secara perlahan terfokus menjadi jelas”, jelas Lin Chen-wei.

 

Bersama Menyalakan Harapan

Membangunkan sikap introspeksi diri dan kepedulian masyarakat Taiwan adalah tujuan dari digelarnya pameran kali ini, panitia pelaksana berupaya menggunakan rasa simpati yang ada, agar dapat mencerna isu HAM pekerja migran asing yang begitu pelik namun nyata. Sembari tertawa, Chang Wen-hsin menyampaikan bahwa setiap LSM laksana ‘pendekar’, mampu menggunakan daya imajinasi pameran, menyajikan hal yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat, sehingga dapat memahami berbagai isu dan mara bahaya yang mungkin dihadapi oleh para pelerja migran, atau menggunakan sebuah kontainer kargo yang diisi penuh dengan ragam mainan dan pakaian, mengungkapkan kerinduan pekerja migran terhadap sanak keluarganya. Dengan memadukan ragam benda yang dipamerkan, menjalin hubungan antara masyarakat Taiwan dan pekerja migran, sehingga dapat lebih memahami jika pekerja migran juga adalah manusia, yang memiliki hak asasi sebagaimana mestinya yang dinikmati oleh masyarakat Taiwan.

Setelah adanya kepedulian, atau berkembang menjadi sebuah aksi, maka akan mendatangkan kemungkinan untuk perubahan. Misalnya Allison Lee, usai meninggalkan pekerjaannya dari Departemen Ketenagakerjaan, ia terjun ke dalam serikat nelayan nirlaba tanpa gaji, hanya dikarenakan dirinya melihat banyaknya kelemahan dan ketidak-berdayaan yang dialami oleh para pekerja migran saat hendak menuntut upahnya sendiri. Ia sendiri juga pindah dari Taoyuan ke Yilan, membentuk serikat nelayan dengan beranggotakan anak buah kapal (ABK) asing pertama, tanpa rasa takut menghadapi tekanan yang diberikan dari berbagai pihak setempat, menemani pekerja migran untuk mendapatkan apa yang selayaknya menjadi hak mereka. Andi Kao yang berasal dari Cornell University, saat membaca artikel tentang Allison Lee di situs internet, segera mengutarakan keinginannya untuk dapat magang di Taiwan. Sebelum tiba di Taiwan, ia juga menyempatkan diri untuk mempelajari Bahasa Indonesia, selain membantu urusan administrasi di dalam serikat buruh tersebut, Andi juga mendatangi pelabuhan di Keelung, makan bersama dengan para ABK, membantu para ABK untuk membentuk Serikat Buruh Nelayan Kota Keelung. Terbentuknya serikat buruh yang ke dua,  memberikan kesempatan bagi Yilan Migrant Fishermen Union untuk bergabung dalam International Transport Workers' Federation (ITF), sehingga isu terkait ABK asing bisa mendapatkan dukungan dari dunia internasional.

Lin Chen-wei berbagi pengalamannya saat tinggal di pedesaan di negara-negara Asia Tenggara beberapa tahun yang lalu, melihat papan nama perusahaan agensi yang berbaris di pinggir jalan. Setelah sopir taksi mengetahui ia berasal dari Taiwan, sopir tersebut langsung memberitahukan bahwa kerabat dan saudaranya ada yang bekerja di Taiwan, ada yang bekerja di pabrik di Taichung, di Keelung dan lainnya. Pembicaraan ini menjadi penghubung antara dirinya dan sopir taksi, bahkan pengetahuan geografis Lin Chen-wei pun terdekonstruksi. Bagi masyarakat di Asia Tenggara, Taiwan sudah jauh dikenal, namun ini juga menjadi sebuah pembiasan pemikiran baginya mengapa masyarakat Taiwan justru tidak begitu memahami kehidupan Asia Tenggara.

Pada paruh akhir tahun ini digelar pameran khusus HAM, selain di Taiwan, pihak museum juga berharap dapat menggunakan fungsi peran FIHRM-AP untuk berkomunikasi dengan organisasi luar negeri. Jika dulu para pekerja migran memilih datang ke Taiwan untuk bekerja, yang terlihat adalah ada orang dari kampung halaman yang merantau ke Taiwan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, ditambah lagi dengan kebiasaaan pekerja migran yang hanya berbagi berita baik, jarang yang mengeluarkan keluh kesah akan betapa beratnya kehidupan di Taiwan, banyak informasi yang tidak sempurna, mereka juga tidak mengetahui kenyataan yang harus dihadapi setelah tiba di Taiwan. Oleh sebab itu, Museum HAM berharap pameran tersebut,  mampu mengantar pengunjung ke kampung halaman para pekerja migran, memiliki kesempatan untuk mendiskusikannya, agar lebih banyak lagi yang berjalan masuk ke dalam kehidupan pekerja migran, sehingga  dapat mengubah pemikiran yang ada.