Kembali ke konten utama
Firdaus Ekologi di Kota Pelabuhan Penjelajahan Taman Nasional Shoushan
2022-06-20

Monyet Taiwan di Gunung Shoushan tidak takut dengan manusia, selalu terlihat santai di mana saja di dalam kawasan taman.

Monyet Taiwan di Gunung Shoushan tidak takut dengan manusia, selalu terlihat santai di mana saja di dalam kawasan taman.
 

Sejak pelabuhan pertama dibuka di Taiwan untuk jalur perdagangan pada pertengahan abad ke-19, Shoushan, yang berada di Kaohsiung, telah menarik perhatian para naturalis dan penjelajah Barat untuk datang berkunjung, seperti konsul dan ornitologis Inggris Robert Swinhoe, penjelajah yang juga seorang penerjemah Inggris William Alexander Pickering, dan fotografer pariwisata John Thomson. Mereka telah meninggalkan materi sejarah yang sangat berharga untuk ekologi alam Shoushan melalui karya taksidermi, catatan tertulis, dan karya fotografi.

 

Taman Alam Nasional Shoushan didirikan pada tahun 2011 dengan area mencakup Gunung Banpingshan, Guishan, Shoushan, dan Qihoushan. Keempat gunung ini terbentuk saat terangkatnya kerak bumi 300 ribu tahun lalu, menjadi dataran tinggi batu karang. Setiap gunung memiliki karakteristik yang berbeda, misalnya Banpingshan sebagai lokasi terbaik untuk melihat burung elang, Guishan adalah desa penting untuk strategi politik dan militer pada era yang berbeda, Shoushan memiliki  keragaman ekologis, dan Qihoushan memiliki ekologi pesisir pantai serta jejak peninggalan militer. Taman yang bertetangga dengan kota ini memungkinkan penduduk setempat untuk menikmati ketenangan dan keasyikan alam, tanpa harus bepergian dan berkendara dalam jarak yang jauh dan melelahkan.

 

Kisah di Balik Nama Shoushan

Pemandu senior Huang Ya-ting bekerja di Taman Alam Nasional Shoushan tidak lama setelah taman nasional ini didirikan, ia bergabung dalam tugas pengelolaan, mengenal gunung Shoushan hampir satu dekade. Ragam ekologi dan kekayaan sejarah, menarik perhatiannya untuk meneliti lebih mendalam. Layaknya perspektif dari Bapak Taman Jepang, Seiroku Honda, ia berpendapat jika aspek hutan di kawasan Shoushan telah mencerminkan sejarah budaya setempat.

Shoushan berada di Kota Kaohsiung, dulu sempat diberi nama “Takow” (memukul anjing), karena daerah setempat adalah lahan yang kaya bambu duri, sehingga suku adat asli Makatao menyebutnya “Takow”, yang senada dengan kata “Memukul anjing” bagi suku Han. Oleh sebab itu, Shoushan awalnya diberi nama “Takowshan”. Hingga pada masa pendudukan Jepang, Kantor Gubernur menilai jika kata memukul anjing tidak sopan, sehingga menggantinya dengan nama Kaohsiung (たかお) merupakan salah satu nama daerah di Jepang, yang pelafalan dalam Bahasa Jepang mirip dengan “Takow”. Saat Putra Mahkota Jepang Hirohito berkunjung ke Kaohsiung di tahun 1923 dalam rangka merayakan ulang tahunnya, Gunung Takow diubah namanya menjadi Shoushan.

Namun, banyak penduduk setempat yang masih menyebut Shoushan dengan sebutan “Chaishan” atau Gunung Kayu Bakar, karena sebelum masa pendudukan Jepang, gunung ini merupakan tempat warga sekitar menebang kayu bakar dalam jumlah yang sangat besar, sehingga berdampak buruk bagi langskap setempat. Dari foto bertajuk “Pintu masuk pelabuhan Takow” yang diambil oleh John Thomson pada tahun 1871, terlihat Gunung Shoushan yang gundul. Ada juga orang Barat yang berkunjung ke Shoushan kala itu, dan menamakannya “Houshan” atau Gunung Monyet. Dari catatan ornitologis Amerika, Joseph Beal Steere, pada tahun 1873, “Ada sekawanan Monyet abu-abu berkeliaran, dan sepertinya nama Gunung Monyet berawal dari ini.”
 

Kantor konsulat dan kediaman Inggris kala itu berada di kawasan Shaochuantou, dari tempat kediaman di atas gunung dapat langsung terlihat pelabuhan pertama di Taiwan─Pelabuhan Kaohsiung.

Kantor konsulat dan kediaman Inggris kala itu berada di kawasan Shaochuantou, dari tempat kediaman di atas gunung dapat langsung terlihat pelabuhan pertama di Taiwan─Pelabuhan Kaohsiung.
 

Ragam Perubahan Shoushan

Seiring dengan perubahan zaman, tidak hanya nama Gunung Shoushan yang berubah, hutannya juga berubah dari jarang menjadi lebat. Selama masa pendudukan Jepang, untuk melestarikan sumber air dan hutan, Kantor Gubernur mendirikan hutan lindung pertama Taiwan di Gunung Shoushan dan Gunung Qihoushan, melarang penduduk menebang pohon. Mereka juga menggunakan pohon berjenis cepat tumbuh untuk penghijauan, misalnya Formosa akasia (acacia confuse), beringin China (Ficus micro carpa), cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan lamtoro (Leucaena leucocephala). Pada tahun 1925, Kantor Gubernur mengundang Bapak Taman Jepang Seiroku Honda ke Taiwan untuk mendesain “Taman Peringatan Shoushan”, menanam banyak spesies pohon bunga hias di selatan Gunung Shoushan.

Hingga tahun 1937, saat perang terjadi antara Daratan Tiongkok dan Jepang, Kaohsiung menjadi pusat komando ‘berbenteng’ pada masa itu, karena dari titik tinggi Gunung Shoushan dapat terlihat Pelabuhan Wandan (kini adalah Pelabuhan AL Zuoying) dan Pelabuhan Kaohsiung, oleh karena dikategorikan sebagai kawasan militer, Program Taman Shoushan semula pun dihentikan.

Huang Ya-ting menjelaskan hutan Shoushan telah mengalami perubahan besar. Di utara Gunung Shoushan yang sebagian besar merupakan kawasan militer, terdapat banyak ragam jenis pohon yang ditanam sebelumnya, dengan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi. Bagian tengah Gunung Shoushan adalah hutan murni yang dipenuhi dengan tumbuhan jenis lamtoro. Selatan Gunung Shoushan adalah kawasan utama pembangunan hutan di era pendudukan Jepang, jumlah tanaman yang didatangkan dari luar sangat banyak, merusak evolusi ekologi semula, sehingga keragaman hayati menjadi sedikit. Oleh sebab itu, Huang Ya-ting merekomendasikan kawasan utara Gunung Shoushan sebagai pintu masuk bagi warga yang hendak mendaki gunung sehingga dapat menikmati keragaman ekologi setempat.

 

Tanaman Taiwan Masuk ke Kancah Internasional

Mata air Longyan Yiquan berada di depan pintu masuk pendakian di bagian utara Gunung Shoushan, airnya akan terus mengalir pada saat musim hujan. Huang Ya-ting menjelaskan jika air hujan yang jatuh pada batu karang tinggi, saat berhadapan dengan lapisan bawah tanah yang kedap air, maka air akan keluar dari rongga batu. Pada masa Dinasti Qing, pemandangan unik tersebut terpilih masuk ke dalam “Delapan Pemandangan Unik Fengshan” (Pada zaman Dinasti Qing, Gunung Shoushan dikategorikan masuk dalam kawasan Kabupaten Fengshan).

Tidak lama setelah berjalan di jalan setapak, akan terlihat monyet Taiwan duduk di tangga batu sembari bermain, menggaruk, atau bercanda satu sama lain. Huang Ya-ting memaparkan, “Mengamati monyet adalah hal yang menarik, dan tidak membosankan.” Ia dan tim pendidikan lingkungan juga menulis materi pengetahuan tentang monyet Taiwan di akun Facebook, menjelaskan ragam ekspresi monyet yang mencerminkan emosinya. Ia mengingatkan, jika monyet Taiwan memiliki banyak zoonosis (penyakit pada hewan yang dapat ditularkan kepada manusia secara langsung atau ditularkan melalui serangga), oleh karena itu, pengunjung diminta untuk tidak memberi makan atau bersentuhan dengan monyet. Jika ada monyet kecil yang melompat ke badan manusia, juga tidak perlu panik atau berteriak, cukup berjongkok perlahan ke samping pohon sekitar, maka mereka akan melompat kembali ke atas pohon.

Status monyet Taiwan dalam dunia internasional berawal dari pengiriman kembali spesimen monyet ke British Museum oleh Konsul Inggris pertama di Taiwan, Robert Swinhoe, setelah melalui perbandingan dan dipastikan sebagai spesies unik Taiwan. Selain itu, tanaman Chinese yam (Dioscorea doryphora) dan dye fig (Ficus tinctoria) yang kerap terlihat di Gunung Shoushan, juga dikumpulkan olehnya dan dikirim kembali ke The Royal Botanic Gardens, Kew untuk dikoleksi. Selama berada di Taiwan, Robert Swinhoe telah mengumpulkan lebih dari 200 jenis tanaman, lebih dari 200 spesies unggas, lebih dari 400 spesies serangga, siput dan kerang, membuka studi penelitian sejarah alam Taiwan.

Salah satu kolektor lain yang berhasil mengumpulkan banyak koleksi adalah Augustine Henry dari Inggris. Saat masih bertugas sebagai dokter di bea cukai Takow, Augustine Henry mengoleksi 94 jenis tanaman dari Gunung Shoushan, termasuk tanaman konnyaku Taiwan, yang masa berbunganya sangat singkat dan sulit dikoleksi. Nama ilmiah tumbuhan ini menggunakan namanya, sementara terjemahan dalam bahasa Mandarin menggunakan “Konjak gaya Henry” (Konjak adalah nama lain untuk tanaman konnyaku). Saat bunga mekar di bulan April-Mei, akan mengeluarkan bau yang tidak sedap, sehingga dapat menarik serangga dan lalat untuk membantu penyerbukan (entomofili).

Berjalan di jalan setapak bagian utara Gunung Shoushan, bagaikan sebuah perjalanan menembus waktu. Huang Ya-ting memandu perjalanan, mengajak kami   melihat ragam tanaman dan kisah di era masa itu. Pohon beringin China (Ficus micro carpa) di Gunung Shoushan telah ada sejak Dinasti Qing, yang juga merupakan spesies pohon dominan di Gunung Shoushan. Ketika akar udara yang bergelantungan menyentuh tanah, maka akan terbentuk akar pilar, bagian ujung akar akan mengeluarkan asam rizoid, yang mampu menembus batu gamping yang tebal. Dengan akar udara, pohon beringin China terus memperluas areal pertumbuhannya, sehingga juga dinamakan “Pohon berjalan”. Selain itu, naturalis Barat Charles Wilford juga mengumpulkan tanaman Naves’ ehretia (Ehretia resinosa), yang berciri khas bunga kecil berwarna putih dengan kulit pohon yang tebal, pada masa lalu tanaman ini adalah sumber kayu bakar bagi penduduk setempat. Sementara yang tumbuh menjulang tinggi, bergoyang dan berderak saat ditiup angin adalah bambu duri, yang juga menjadi asal usul penggunaan kata Takow untuk penyebutan nama setempat. Di masa lalu, suku adat asli Makatao menggunakan bambu duri sebagai pagar untuk mencegah serangan dari bajak laut.

Namun setelah Gunung Shoushan menjadi taman alam nasional, warga sepenuhnya dilarang melakukan penebangan atau pemangkasan tanaman, untuk dapat melestarikan sumber daya alam.
 

Banyak karya fotografi dari para petualang barat saat ke Taiwan yang dipajang dalam tempat kediaman resmi Inggris, mencatat berbagai pemandangan saat itu, khususnya setelah dibukanya pelabuhan di Taiwan untuk jalur perdagangan abad ke-19.

Banyak karya fotografi dari para petualang barat saat ke Taiwan yang dipajang dalam tempat kediaman resmi Inggris, mencatat berbagai pemandangan saat itu, khususnya setelah dibukanya pelabuhan di Taiwan untuk jalur perdagangan abad ke-19.
 

Topografi Batu Gamping yang Megah

Untuk paruh berikut pada jalan setapak di utara Gunung Shoushan, pemandangan pada kedua sisi berubah dari hutan menjadi dinding batu gamping yang curam. Lokasi wisata pemandangan “Langit Satu Garis" adalah celah retakan yang terbentuk dari dataran tinggi batu karang, dampak tekanan dari patahan Gunung Shoushan. Seiring dengan berjalannya waktu, celah retakan semakin lama semakin lebar, dan akhirnya membentuk ngarai besar. Selanjutnya, dapat berjalan sedikit ke depan, menarik tali untuk memanjat ke pinggir lereng dan mencapai lembah batu gamping tinggi yang menyatu baik dengan permukaannya.

Lokasi wisata populer berdekatan lainnya, "Dream Curtain", adalah akar udara dari tanaman rambat Princess Vine (Cissus verticillata), membentuk panorama bagaikan tirai, mampu menciptakan nuansa misterius di bawah terpaan sinar matahari. “Namun sesungguhnya tanaman Princess Vine adalah spesies yang eksotis yang didatangkan dari luar kawasan, terkadang perlu menggunting rambutnya agar tidak bertumbuh hingga ke tempat lain”, ujar Huang Ya-ting. Untuk mencapai keseimbangan antara konservasi ekologi dan pariwisata, pihak kantor administrasi memilih menggunakan konsep kendali tanaman Princess Vine, yakni dengan batasan tertentu, sehingga pengunjung masih tetap dapat menikmati pemandangan yang unik ini.

Titik tertinggi untuk jalan setapak adalah Paviliun Yazuo. Di sini kita dapat mengamati tingkah laku unik monyet Taiwan, kemudian merasakan keramahan dari para pendaki gunung yang telah bersedia memikul 20 kg air minum ke paviliun, sehingga tamu yang tengah beristirahat juga dapat melegakan rasa haus. “Warga yang tinggal di sekitar sini sangat ramah, bisa menyediakan teh herbal saat musim panas, menyeduh air jahe saat musim dingin, menerapkan nilai kearifan akan budaya ritual teh semaksimalnya”, tambah Huang Ya-ting.

Menurut Huang Ya-ting, keunggulan yang dimiliki Gunung Shoushan adalah “Bersahabat dengan penduduk”. Ia yang sempat mendapatkan pelatihan di Grand Canyon National Park Amerika, menjelaskan meskipun skala Gunung Shoushan lebih kecil, tetapi pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk atau menghabiskan dana untuk belanja perlengkapan mendaki gunung. Pengunjung dapat langsung menikmati keanekaragaman habitat dan berwisata, di mana ini juga adalah sebuah ekosistem gunung rendah (dengan ketinggian tidak mencapai 800 meter dari permukaan laut), yang sulit ditemukan di Taiwan.

Mulai dari naturalis barat di abad 19, Bapak Taman Jepang di abad 20, hingga kini adalah staf pemandu, semua menggunakan kehangatan dan profesionalisme dalam bidangnya masing-masing, sehingga keindahan Gunung Shoushan baru dapat terlihat. Misalnya bagian kata penutup dalam karangan skripsi yang ditulis oleh Huang Ya-ting menyebutkan, “Keanekaragaman Gunung Shoushan saat ini, berasal dari alam dan bantuan tenaga budaya dari setiap orang yang berkecimpung di dalamnya di waktu yang berbeda. Keindahan Gunung Shoushan tidak semata hanya pada ekologinya saja, tetapi juga mengandung banyak kisah cerita yang dituliskan oleh “Para pahlawan di balik layar” selama 200 tahun ini.”

 

MORE

Firdaus Ekologi di Kota Pelabuhan Penjelajahan Taman Nasional Shoushan