Kembali ke konten utama
Sekolah Pemburu Sakinu Persembahan untuk Kecerdasan Suku Adat Asli
2022-11-21

“Ruang pemburu” bagi kaum pria.

“Ruang pemburu” bagi kaum pria.
 

Penulis buku “The Sage Hunter”, “Wind Walker” dan “Grandpa’s Ocean”, Ahronglong Sakinu, adalah seorang penulis literatur suku adat asli Taiwan yang sempat mendapatkan berbagai penghargaan sastra, namanya kerap muncul dalam buku pelajaran sekolah. Karena karyanya ditunjuk oleh Harvard University dan Columbia University sebagai buku bacaan wajib jurusan pendidikan terkait Mandarin, ia pun terkenal dari luar hingga kembali ke dalam negeri Taiwan.

 

Sakinu yang adalah seorang petugas kepolisian kehutanan, bertahun-tahun aktif dalam dunia budaya dengan status sebagai penulis suku adat asli. Budaya suku Paiwan menjadi keyakinan dirinya selama lebih dari 20 tahun sampai sekarang. Saat kembali ke kampung halaman, selain mendirikan asosiasi perkampungan pemuda, ia juga pendiri sekolah pemburu perdana, mencoba membuka sebuah jalan baru.

Di salah satu malam di bulan empat dalam penanggalan kalender Imlek, tidak biasanya terlihat rombongan manusia yang memasuki perkampungan Lalaulan di Desa Taimali, Kabupaten Taitung. Dengan girang, mereka bergerak menuju rumah kediaman Ahronglong Sakinu, seakan telah bersekongkol lama demi sebuah kegiatan besar.

Melihat lebih cermat, tampak tiga bangunan kayu telah didirikan di samping rumah Sakinu. Ternyata ini adalah ruang kumpul klan “Tepes” yang dipimpin oleh Sakinu. “Rumah primitif” ini digunakan untuk perkumpulan seluruh keluarga klan dan kegiatan publik lainnya. “Pondok pemburu” digunakan sebagai tempat latihan dan berkumpul bagi kaum pria. Selain itu “Loka karya perempuan” yang hanya mengizinkan kaum perempuan untuk masuk, juga dipadukan dengan kantor Sekolah Pemburu. Besok adalah hari yang sangat penting, karena akan digelar ritual pembukaan klan baru dan perayaan terselesaikannya konstruksi bangunan.

Uniknya, anggota keluarga Sakinu tidak dibatasi harus yang sedarah, sebaliknya malah berasal dari berbagai tempat, selain suku Paiwan, masih ada Puyuma, Amis, Truku, dan banyak juga suku Han, bahkan ada orang Australia yang menikah ke sana. Total ada 7 keluarga dan 5 orang yang belum menikah.

“Beberapa hari lalu, saya duduk di ruang kumpul sembari memandang ukiran dalam rumah, terlihat gelap di sekelilingnya, kebetulan ada sinar yang memancar dari pintu. Mendadak air mata menetes tanpa dapat terbendung, seperti dirasuki oleh roh”, ujar Sakinu kepada keluarganya. “Saya tertawa cekikikan, berkata pada diri sendiri, kamu telah berhasil! Walau tidak ada orang yang dapat memahami, tetapi yang penting kamu memahami diri sendiri!”
 

Rumah yang dibangun oleh Sakinu juga dihiasi oleh ukiran kayu hasil karyanya sendiri.

Rumah yang dibangun oleh Sakinu juga dihiasi oleh ukiran kayu hasil karyanya sendiri.
 

Kesadaran Suku Adat Asli

“Yang penting adalah memahami diri sendiri”, ini adalah kutipan terbaik dari Sakinu untuk kisah perjalanan hidupnya selama 20-an tahun.

Pada umumnya orang-orang mengenal Sakinu sebagai penulis suku adat asli, namun selain penulis, ia memiliki ambisi utopia yang jauh lebih besar, dan berharap dapat diwujudkan.

Ambisi seperti demikian berawal dari latar belakang pertumbuhan dirinya yang unik. Karena perkampungan Lalaulan tempat ia dibesarkan pernah direlokasi pada masa pendudukan Jepang, suku Amis dan Paiwan hidup bersama di sini. Karena berada dalam situasi lebih rentan, ditambah dengan pencampuran dengan suku lain, mengakibatkan budaya Paiwan dengan cepat menghilang. Meskipun para tetua dapat berbicara bahasa Paiwan, tetapi mereka mengenakan pakaian suku Amis dan merayakan festival tradisional suku Amis bersama, bahkan banyak orang yang tidak tahu jika mereka adalah suku Paiwan.

Era tahun 1990-an, gerakan suku adat asli bergelora, Sakinu yang baru lulus dari sekolah kepolisian dan bekerja di Taipei, ikut dalam arus sosial ini dan mulai merasa ingin tahu akan jati diri. Selain belajar sendiri, ia juga mengandalkan kisah cerita yang diungkapkan oleh ayah dan para tetua, mengeksplorasi sendiri, ditambah dengan aktif berinteraksi dengan para pelaku budaya suku adat asli. Dengan asal sumber yang beragam, secara perlahan ia merekonstruksi kisah cerita kehidupan suku sendiri.

 

Penglihatan Anak Sang Pemburu

Dalam prosesnya, Sakinu dengan cepat menyadari bahwa esensi budaya tradisional suku adat asli, seperti kerendahan hati dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup, interaksi dan komunikasi dengan alam, dan kinerja bahasa tubuh saat berburu, tidak saja merupakan kekurangan dari masyarakat modern, tetapi juga memiliki nilai-nilai universal yang sangat berharga.

“Apa nilai inti Taiwan?” Sakinu kerap suka mengajukan pertanyaan ini kepada orang lain. Jawaban yang diperoleh sangat bervariasi, dan ia telah mendapat jawaban dari budaya leluhurnya.

“Pertama, bersikap baik kepada orang lain.” ujarnya, memiliki pikiran dan kehendak hati yang baik adalah pangkal dari segalanya. Untuk itu, ia memperlakukan orang lain bagaikan memperlakukan dirinya sendiri.

“Kedua, harus memiliki estetika.” Yang dimaksud oleh Sakinu bukanlah merujuk kepada benda seni, tetapi manusianya sendiri, dengan nilai karakteristik martabat jiwa manusia yang ditunjukkan dari setiap aksi gerak, layaknya ksatria Eropa abad pertengahan atau Bushido Jepang.

“Terakhir, memiliki konsep untuk tanah dan lingkungan.” 70% daratan di Taiwan adalah pegunungan, masyarakat gemar mendaki gunung, tetapi hati tidak dekat dengan gunung, minim akan interaksi dengan alam semesta. Namun Sakinu menyebutkan sikap terhadap alam berkaitan dengan “style, sense, class” orang Taiwan.

Wawasan tersebut tidak hanya menjadi nutrisi bagi jiwanya, tetapi juga terakumulasi menjadi esensi budaya melalui praktik dalam kehidupan. Ia juga berharap, dapat mewariskan aset ini kepada dunia.

Khususnya selaku anak dari klan pemburu, memiliki mentalitas demikian adalah hal yang wajar. Kakek dari Sakinu sempat menjadi ketua kelompok suku pemburu, bertanggung jawab besar untuk hal penyediaan daging bagi kebutuhan seluruh kampung. Dia mengatakan, “Sejak kecil kami telah mengetahui, pengetahuan pemburu ditempatkan pada posisi kedua, yang pertama adalah belajar untuk berbagi.”
 

Sebagai anak dari seorang pemburu, Sakinu hendak berbagi semangat dari seorang pemburu secara penuh.

Sebagai anak dari seorang pemburu, Sakinu hendak berbagi semangat dari seorang pemburu secara penuh.
 

Dari Sebuah Buku Hingga Sebuah Sekolah

Oleh karena itu, selain menjadikan diri sebagai contoh, Sakinu tanpa ragu mengabdikan dirinya dalam tugas kebudayaan.

Buku kedua karya Sakinu, “Wind Walker”, dirilis tahun 2002. Buku ini menuliskan ceritanya kembali mengikuti jejak ayahnya, seorang pemburu, dan kembali berburu di pegunungan. Buku tersebut kemudian tidak saja dianggap sebagai mahakaryanya saja, tetapi juga menjadi landasan pendirian sekolah pemburu, mengantarkannya memasuki tahap tugas selanjutnya.

Apa yang dipelajari di sekolah pemburu? Sakinu dan siswanya enggan untuk membocorkannya terlalu banyak. Yang dapat diketahui hanya 4 tahapan pelajaran, mulai dari yang mudah hingga yang sulit, dengan waktu pembelajaran antara 3 dan 5 hari pada musim dingin. Untuk lokasi kelas pembelajaran, yang terdekat adalah kawasan sungai di Desa Taimali, yang terjauh adalah pegunungan di wilayah Hualien dan Taitung.

Untuk metode pengajaran, berbeda dengan pendidikan pada umumnya yang menekankan pada penanaman ilmu pengetahuan, sebaliknya ia beralih ke pelatihan spiritual. Sebagai contoh, pelajaran tahap pertama adalah membiarkan siswa belajar berjalan dalam kegelapan, seperti konten dalam "Wind Walker", saat Sakinu mengikuti ayahnya ke lokasi perburuan, ia memulainya dengan belajar berjalan. Melalui latihan seperti demikian, juga membantu mengatasi rasa takut dan membangkitkan potensi yang selama ini terpendam. Berkenaan dengan hal yang biasanya menjadi perhatian umum, misalnya cara membedakan tanaman dan keterampilan hidup di alam liar, semuanya tentu dipelajari secara alami saat menjalankannya.

 

Perkampungan Dalam Perkampungan

Sepuluh tahunan ini, lebih dari 100 orang telah mengikuti pelajaran di sekolah pemburu, dan sekitar belasan orang yang menyelesaikan 4 tahap pelajaran. Tidak sedikit orang yang mengakui filosofi Sakinu dan berada di sisinya, membangun hubungan dekat yang berjangka panjang. Mereka memanggil Sakinu sebagai kakak, dan Sakinu menyebut mereka sebagai adik laki-laki dan adik perempuannya.

Setelah melewati masa pelatihan yang panjang, para siswa mulai berkembang menjadi anggota inti organisasi. Juga karena adanya kecocokan, di bawah pimpinan Sakinu, jalinan hubungan menjadi semakin erat. Mereka bersama-sama turut berpartisipasi dalam berbagai gerakan suku adat asli, misalnya “Aksi pemburu 28 Februari”, “Sing for Taiwan”, mengikuti “Cordillera Day” yang digelar setiap tahunnya di Pulau Luzon Filipina, serta melakukan pertukaran antar suku Austronesia di Asia Tenggara.

Bagi pihak luar, banyak yang melihat sekolah pemburu bagaikan sebuah organisasi saja, tetapi karena adanya aspirasi spiritual yang senada, memperkuat korelasi yang ada, bagaikan terciptanya sebuah perkampungan baru di dalam perkampungan.
 

Sakinu, yang menekankan konsep lingkungan dan ekologi, baru-baru ini menanam lebih dari 100 pohon di lahannya sendiri, berharap selang puluhan tahun dapat menghasilkan sebidang hutan.

Sakinu, yang menekankan konsep lingkungan dan ekologi, baru-baru ini menanam lebih dari 100 pohon di lahannya sendiri, berharap selang puluhan tahun dapat menghasilkan sebidang hutan.
 

Jalan Suku Adat Asli Modern

Banyak orang akan keliru ketika melihat rangkaian tindakan Sakinu yang didasarkan pada rekonstruksi tradisi, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Sama seperti keluarganya, terhubungkan oleh konsep spiritual, bukan oleh darah. Misalnya, tiga bangunan kayu ruang kumpul klannya bukan rumah batu tradisional suku Paiwan, tetapi perpaduan gaya Jepang dan Filipina, dengan turut mempertimbangkan fungsi dan estetika. Contoh lain, sekitar sepuluh tahun silam, ia pertama kali mengusulkan konsep "Sekolah Pemburu", menekankan pelatihan bagi perempuan, dan mengadopsi ide memodifikasi pakaian siswa berdasarkan pakaian tradisional orang Paiwan, tapi mengubah bagian yang megah dan berat menjadi ringan dan sederhana. Apa yang dilakukan oleh Sakinu adalah jalan baru yang tidak berani dibayangkan atau dijalani oleh siapa pun.

Klan “Tepes” Sakinu resmi didirikan pada 26 Mei,. Nama “Tepes” diberikan oleh sang ayah, dalam bahasa Paiwan memiliki makna “Tempat kaya akan tanaman, dengan akar yang menyatu dengan bumi, tanah yang subur, tempat yang dipertarungkan oleh banyak orang.” Namun tempat baru yang indah dan subur ini, Sakinu tidak berniat menyembunyikannya sendiri, sebaliknya ia hendak mengimplementasikan secara penuh semangat berbagi dari seorang pemburu.

“Saya hanya seorang penulis, polisi, jika hal yang Anda lakukan adalah hal yang luar biasa, maka Anda bisa melihat nutrisi yang Anda berikan, mampu menciptakan energi yang berlimpah, mampu memberikan sebuah hadiah yang sangat penting bagi Taiwan”, ujar Sakinu.

 

MORE

Sekolah Pemburu Sakinu Persembahan untuk Kecerdasan Suku Adat Asli