Kembali ke konten utama
Kampung Halaman Chung Chao-cheng Taman Sastra Longtan
2023-10-23

Dalam bekas kediaman Pak Chung tua terdapat meja tulis yang diukir ulang, membuat pengunjung membayangkan aktivitasnya dalam menulis.

Dalam bekas kediaman Pak Chung tua terdapat meja tulis yang diukir ulang, membuat pengunjung membayangkan aktivitasnya dalam menulis.
 

Meskipun bunga Lupin berasal dari wilayah Mediterania tetapi bunga ini sangat familiar bagi sebagian besar masyarakat Taiwan. Petani teh memanfaatkan tanaman ini sebagai pupuk hijau pada musim dingin. Sebuah novel panjang yang bertajuk “The Dull Ice Flower” merupakan karya pertama dari penulis Chung Chao-cheng (1925-2020) mengetengahkan kisah seorang pemuda yang berbakat dalam melukis, tetapi tidak diterima dalam lingkungan sosialnya, kemudian meninggal karena menderita sakit. Novel ini dijadikan film pada tahun 1989 dan menjadi memori bersama bagi masyarakat satu generasi.

 

Novel “The Dull Ice Flower” karya penulis Chung Chao-cheng (kalangan akademisi memberinya julukan sebagai “Pak Chung tua”) disejajarkan dengan Yeh Shih-tao penulis “An Outline History of Taiwan Literature”, mereka berdua diberi predikat sebagai “Yeh Shih-tao dari Selatan dan Chung dari Utara” dalam kalangan sastra Taiwan. Kampung halaman Yeh Shih-tao di Tainan, sedangkan Chung Chao-cheng berasal dari komunitas kecil perkampungan Hakka di Longtan, Taoyuan. Taman sastra Chung Chao-cheng (Chung Chao-cheng Literary Park) yang diresmikan pada tahun 2019 dibangun dengan berorientasi pada lanskap karya sastra Chung Chao-cheng, kini menjadi titik singgah bagi pelancong saat berwisata di Longtan.

 

Chung Chao-cheng yang Tidak Hanya Memikirkan Diri Sendiri

Sebelum memasuki “Taman sastra Chung Chao-cheng”, Anda harus terlebih dahulu memahami siapa Pak Chung tua.

Ada yang menyebut Chung Chao-cheng sebagai “Ibu Sastra”, ini adalah deskripsi yang diberikan oleh penulis Dongfang Bai. Chung Yen-wei, putra kedua dari Chung Chao-cheng  secara khusus menulis memoir ayahanda yang dituangkan dalam buku bertajuk “Climbing a Mountain” mendeskripsikan sejarah kehidupan menulis Chung Chao-cheng yang panjang, “Malah sebaliknya Pak Chung tua tidak protes, hanya kadang kala menggerutu saja, “Jelas-jelas saya adalah seorang pria, kok bisa-bisanya menjadi ibu!”.

Alasan julukan ini diberikan untuknya karena semasa hidup Chung Chao-cheng sangat rajin dan produktif, karya tulis yang dihasilkannya mencapai lebih dari 20 juta karakter Han, menghasilkan novel roman-flueve seperti “Muddy Water Trilogy” dan “The Taiwanese Trilogy”. Dalam buku kumpulan kritikan sastra bertajuk “When They Were Not Writing Novels: Portraits of Novelists from Taiwan under Martial Law”, penulis Chu Yu-hsun mendeskripsikan judul dan bab yang menarik dan pas sekali tentang “Chung Chao-cheng Tidak Hanya Memikirkan Diri Sendiri”.

Dalam kehidupan sehari-hari, Pak Chung tua terbiasa dengan penggunaan 4 bahasa silih berganti diantaranya Bahasa Hakka, Bahasa Jepang, Bahasa Hokkian dan Bahasa Mandarin, akan tetapi malah Bahasa Mandarin menjadi bahasa yang paling lambat dikuasainya. Ia terlahir pada masa kolonialisasi Jepang, terjadi pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1945 saat ia berusia 21 tahun, kemudian mulai belajar karakter Han dan bersusah payah belajar selama 6 tahun baru mampu mengatasi kendala bahasanya. Setelah mampu menulis Bahasa Mandarin dengan fasih, Chung Chao-cheng mulai mengirim naskah tulisannya ke berbagai penerbit, akan tetapi sempat frustrasi karena berulang kali ditolak. Pada tahun 1957, Chung Chao-cheng mengirim sepucuk surat dari rumahnya di Longtan, mengundang penulis Taiwan untuk membentuk publikasi sastra “Literary Friends Communications” dan mengumpulkan sastrawan dari seluruh provinsi untuk berdiskusi dan mempelajari seni sastra.

Pada tahun 1960, novel “The Dull Ice Flower” dari Pak Chung tua menarik perhatian pimpinan redaksi media United Daily News, Lin Hai-yin dan mulai membuat cerita bersambung pada kolom koran. Sejak itu, mendorong sesama penulis berlomba-lomba merebut lahan sastra ini. Bahkan ada beberapa penulis di bawah dukungan dan pengawasannya berhasil menyempurnakan tulisan mereka diantaranya “Sand in the Waves” karya Dongfang Bai dan trilogi “Wintry Night” karya Lee Chiao.

Tidak hanya memberi dukungan kepada penulis baru namun Pak Chung tua juga menyusun karya pilihan dari penulis Taiwan, kembali merekomendasikan karya penulis senior agar tergali lagi. Chu Yu-hsun mendeskripsikan tentang “strategi merangkak maju untuk menempati panggung, dan segera berbagi panggung dengan lebih banyak penulis Taiwan”, semua ini karena Pak Chung tua tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, maka Chu Yu-hsun menyimpulkan, “hampir Beliau sendiri yang membalikkan sejarah sastra di Taiwan”.
 

Tanaman Lohansung (Buddhist Pine) di depan Longtan Martial Arts Hall tinggi menjulang dan berdiri kokoh, menjadi sudut bagian yang sunyi dan tenang di kota kecil ini.

Tanaman Lohansung (Buddhist Pine) di depan Longtan Martial Arts Hall tinggi menjulang dan berdiri kokoh, menjadi sudut bagian yang sunyi dan tenang di kota kecil ini.
 

Tempat Kelahiran Sastra Taiwan Pasca Perang

Memasuki “Taman sastra Chung Chao-cheng”, di samping Sekolah Dasar Longtan terdapat bangunan berarsitektur Jepang yang merupakan kediaman Chung Chao-cheng ketika ia menjadi guru di SD tersebut.

Tsai Chi-min yang baru saja lulus dari Strata II, ikut serta dalam perencanaan dan implementasi “Taman sastra Chung Chao-cheng”, sambil memandu kami dan menjelaskan, “Sejak tahun 1956 hingga tahun 1967, Pak Chung tua telah menetap di sini selama 11 tahun.” Ada 3 bangunan berarsitektur Jepang yang dilestarikan, bangunan pertama mengadopsi tema kuratorial yang tidak asing bagi telinga masyarakat yaitu “The Dull Ice Flower”, bangunan kedua dijadikan sebagai gedung pameran permanen Chung Chao-cheng yang menyajikan “ulasan retrospektif kehidupan Pak Chung dimetaforakan dengan konsep aliran sungai dan novelnya diumpamakan dengan sungai.”

Pak Chung tua juga seorang seniman kaligrafi ulung, dalam ruang pameran ini juga ditampilkan kaligrafi Chung Chao-cheng versi pindai. Tsai Chi-min menyampaikan, banyak orang yang meminta Beliau menulis dan ia sama sekali tidak pelit untuk memberikan kaligrafinya.

Bangunan ketiga adalah tempat kediaman asli Pak Chung tua, pada masa tersebut beralamatkan “No. 5, Nanlong Road”, inilah alamat dalam karya tulis pentingnya seperti novel “The Dull Ice Flower” dan “Muddy Water Trilogy”, dapat dikatakan sebagai “tempat kelahiran sastra Taiwan pasca perang”. Di dalam ruangan terdapat replika meja tulis berbahan kayu cemara milik Chung Chao-cheng yang mendampingi sepanjang masa hidupnya, juga merupakan meja yang dibeli bersama istrinya Zhang Jiu-mei dengan tabungan hasil jerih payah beternak babi dan burung.

Di sisi lainnya tampak ada mesin stensil yang secara khusus dipajang kurator panitia pameran. Pada masa tersebut Chung Chao-cheng mengorganisir publikasi sastra “Literary Friends Communications”, mengumpulkan pendapat khalayak umum tentang tulisan, mengukir pelat baja mesin mimeograph untuk mencetak buletin “Literary Friends Communications”, memperbanyak salinan untuk dibagikan kepada anggota kelompok ini, demikianlah cara kerja kelompok pembaca.

 

Napas Kehidupan Kota Chung Chao-cheng

Usai memandu kami di tempat kediaman, kami berjalan di sepanjang Donglung Road dan mendapati Gereja Kristen Presbiterian Longtan, Keluarga Chung menganut agama Kristen dan di masa kecil Chung Chao-cheng selalu menjalankan ibadah di tempat ini. Novel panjangnya yang bertajuk “Under the Octagonal Tower” menuliskan, “dan di sana selalu ada pengkotbah tua yang berjanggut menceritakan kisah-kisah yang familiar kepada kami.” Bagian ini mendeskripsikan misionaris pertama Zhang Ya-mei yang pertama berkotbah di Longtan. Melanjutkan tur perjalanan ini, kami mendapati kuil Longyuan yang menjadi pusat praktik kepercayaan penduduk lokal yang menyembah Dewa Tani Wugu Xiandi Shennong, sebagian besar dalam karya Chung Chao-cheng mengetengahkan ritual kuil Longyuan merayakan tahun baru imlek, festival lentera Yuanxiao dan Zhongyuan. Tsai Chi-min juga berbagi, “Meskipun keluarga Chung Chao-cheng menganut agama Kristen, namun ayahandanya pernah menjamu tetangga dan sahabat di depan kuil Longyuan untuk merayakan Chung Chao-cheng genap berusia 1 bulan.”

Kompleks jalan di Longtan tidaklah besar, namun memanjang dan sempit, ketika melewatinya bisa merasakan “jalan tua” yang disebut oleh penduduk lokal. Penduduk lokal membagi jalan Longyuan menjadi 2 bagian yakni bagian depan jalan dan bagian belakang jalan yang dibatasi pasar pertama, jalan ke arah utara sekitar kuil Longyuan disebut sebagai jalan bagian depan, sedangkan jika mengarah ke danau Longtan maka disebut jalan bagian belakang. Buku “The Taiwanese Trilogy” dan “Muddy Water Trilogy” sempat mendeskripsikan situasi jalan depan dan jalan belakang ini.

Kegiatan komersial pada jalan bagian depan relatif lebih ramai, ada toko kelontong yang telah beroperasi lebih dari 100 tahun yakni “Toko Longxing”. Toko minuman es “Song Wu” tempat di mana Pak Chung tua melepas dahaga di masa mudanya, produk minuman seperti es serut tradisional dan sari buah menjadi titik kenangan di Longtan. Masih ada toko obat tradisional “Yuanchun” dengan ruangan yang dipenuhi dengan aroma obat herbal. Sementara warung mie daging sapi “Niurou Xiong” di seberang kuil Longyuan menjadi salah satu warung makan favorit Chung Chao-cheng, ia sering mengajak teman-teman datang dan makan di sini.

Satu demi satu dijelaskan Tsai Chi-min, membawa kami mengenal kehidupan dan area komersial di sini, yang mana juga menjadi kawasan jalan santai bagi Pak Chung tua. Belokan pada jalan berikutnya adalah pasar pertama di Longtan, di tempat ini pernah terjadi kebakaran dan terabaikan, pada tahun 2016 ditransformasi menjadi pangkalan wirausaha “Lingtan Street Creative Hub” tempat penumbuh api-api inovatif kecil, semua mitra wirausahawan Lingtan pun mendapat dukungan dari Chung Chao-cheng.
 

Sebuah puisi “Kampung Halaman Longtan” tentang danau Longtan yang ditulis Chung Chao-cheng, sebelah kanan tampak dari jauh adalah Gunung Rugu yang menjadi ibu gunung bagi warga Longtan.

Sebuah puisi “Kampung Halaman Longtan” tentang danau Longtan yang ditulis Chung Chao-cheng, sebelah kanan tampak dari jauh adalah Gunung Rugu yang menjadi ibu gunung bagi warga Longtan.
 

Lanskap Kampung Halaman

Kembali ke SD Longtan, Tsai Chi-min menunjuk jalan kecil di seberang pintu depan sekolah, “pada masa lalu, ini adalah jalan kecil yang wajib dilalui Pak Chung tua saat pergi dan pulang kerja”.

Di masa lalu, ketika Chung Chao-cheng tidak sedang menulis atau membaca novel maka dia akan mendekam dalam bioskop menonton film, ada bioskop terdekat yang kini sudah tidak beroperasi lagi, ketika ada teman yang datang mencarinya maka mereka akan meminta pihak bioskop memproyeksikan tulisan “ada yang mencari Chung Chao-cheng” ke layar, setelah terjadi beberapa kali maka pihak bioskop beranggapan sebaiknya mereka menyimpan potongan kaca pemberitahuan ini untuk dipakai ulang dan tidak perlu membuat yang baru lagi. Termasuk penulis Chen Ying-zhen dan Lee Chiao pun pernah mencari Pak Chung tua dengan cara demikian.

Berjalan beberapa menit kami tiba di Danau Longtan, pandangan kami menjadi lebih luas dan terbuka. Lokasi ini diberi nama Longtan secara harafiah berarti danau naga karena terdapat sebuah kolam besar, dahulu kala kolam besar ini dipenuhi dengan kacang tanduk kerbau (water caltrops) sehingga disebut “Lingtanpi” atau “Spirit Pond”. Novel Chung Chao-cheng yang bertajuk “Lingtan Heartbreak” mengambil latar belakang di kolam Longtan.

Memandang dari kolam ke arah Barat maka dapat menyaksikan “Gunung Rugu” yang sering disebut dalam novel Chung Chao-cheng, juga merupakan gunung ibu bagi penduduk lokal Longtan. Tsai Chi-min menjelaskan, gunung Rugu bagi warga Yilan sama halnya pulau Guishan bagi warga Yilan, ketika pengembara memandang keindahan rupa gunung dari jauh mereka tahu bahwa mereka telah kembali ke kampung halaman.

Akhirnya Tsai Chi-min membawa kami ke terminal perusahaan Hsinchu Bus di Beilong Road. Tidak ada kereta api yang melintasi Longtan, moda transportasi Longtan mengandalkan bus umum. Ketika Chung Chao-cheng akan pergi ke luar kota, maka terlebih dahulu naik bus antar kota ke stasiun kereta api Chungli baru naik kereta api ke tempat tujuannya. Bisa dibayangkan sesama penulis, Wu Chuo-liu datang ke Longtan mencari Pak Chung tua. Saat turun dari bus dan setelah Pak Chung tua membawa mereka makan mie daging sapi kemudian membahas perkembangan dunia sastra di tempat kediamannya.

Longtan bagi Chung Chao-cheng sama pentingnya Chung Chao-cheng bagi sastra Taiwan, “Ada Chung Chao-cheng maka Longtan menjadi sejarah sastra Taiwan yang takkan pudar”, kalimat pernyataan dari kurator yang menjadi catatan kaki yang paling baik.

 

MORE

Kampung Halaman Chung Chao-cheng Taman Sastra Longtan