Kembali ke konten utama
Dari Mana Asal Usul Nama Kerajaan Kuliner? Jelajah Sejarah Kuliner Tsao Ming-chung & Kaim Ang
2024-02-12

Mi sapi bumbu angkak

Mi sapi bumbu angkak
 

Bagi kaum senior yang mengalami zaman industri pertanian, mengasup nasi jauh lebih mengenyangkan perut daripada mi. Seperti pepatah “Yang cocok di lidah yang berharga”, situasi seperti ini menggambarkan karakteristik dari “kemampuan mengasup dan mencerna”, sebab manusia terbiasa dengan pangan yang diasup sejak kecil, yang kemudian berkembang menjadi suatu kesukaan dan kebiasaan dalam kuliner.

Bagaimana terbentuknya selera orang Taiwan? Dan apa ciri khasnya? Untuk memecahkan misteri ini, penulis resep kuliner Tsao Ming-chung, bersama dengan peneliti paruh waktu dari Institut Penelitian Sejarah Taiwan di Academia Sinica, Kaim Ang, bekerja sama untuk menelusuri evolusi kuliner Taiwan.

 

Tsao Ming-chung yang dilahirkan di Keelung, suatu kota yang kaya akan budaya kuliner, menuturkan bahwa menyantap hidangan berkelas tinggi di hotel berbintang sama nikmatnya dengan kuliner jalanan, tidak ada perbedaan.

Kudapan tidak harus makanan sehari-hari, tetapi melekat menjadi dambaan setiap insan di Taiwan, karena begitu merakyat, sederhana dan merasuk dalam hati sanubari, demikian pula menjadi ikon penting Taiwan untuk mencuri perhatian para wisatawan asing.
 

Penulis sejarah budaya Tsao Ming-chung, satu tangan memegang wajan, tangan lainnya memegang pena.

Penulis sejarah budaya Tsao Ming-chung, satu tangan memegang wajan, tangan lainnya memegang pena.
 

Karakter Imigran Terselubung Dalam Kudapan

Situs CNN Travel pernah merekomendasikan 40 macam kudapan khas Taiwan, dan menyebut ini adalah suatu “keluarbiasaan Taiwan mempunyai begitu banyak kudapan”. Harian pagi Singapura Lianhe Zaobao dalam laporan khusus “Kharisma Kudapan”, memperkenalkan makanan Taiwan yang disebut sebagai penerusan dari “soft power Taiwan”.

 Kudapan menjelaskan latar belakang imigrasi, tidak sedikit kudapan yang klasik di Taiwan dibawa masuk oleh imigran dari Fujian dan Guangdong di zaman dahulu kala. Leluhur Tionghoa terkenal dengan citra hanya menggunakan andalan “tiga pisau dapur” sudah dapat menghidupi keluarga, mereka tanpa sengaja telah membaurkan makanan dari berbagai penjuru menjadi suatu budaya kuliner baru. 

Di mana banyak orang berkumpul mengisyaratkan arus uang masuk, maka tempat-tempat orang banyak berkumpul seperti di jalan tua, pasar, terminal dan pelabuhan menjadi pilihan utama untuk membuka usaha kuliner di sana, begitulah asal usul dimulainya kuliner atau pasar malam di depan kuil Dianji, Keelung, sejak zaman dinasti Qing, selangkah demi selangkah berkembang menjadi skala pasar malam sekarang ini.

Sama seperti warga Keelung lainnya, menghadapi begitu banyak pilihan, Tsao Ming-chung sudah paham betul dengan toko-toko dan jalan-jalan yang ada, serta mempunyai daftar pilihan tersendiri, apalagi pekerjaan sebelumnya, membuat ia memiliki kesempatan untuk mewawancarai setiap penjual makanan di sana, maka ia menguasai betul seluk beluk para pengusaha kuliner jalanan di Keelung.

Bagi Tsao Ming-chung, surga kuliner para wisatawan ini adalah panggung pagelaran berbagai budaya antar suku. Kota Keelung adalah pelabuhan penting di masa jaya lalu-lintas kemaritiman, menjadi pintu gerbang di zaman kolonial Jepang, berbagai suku bangsa berlalu-lalang, ketika sebagian besar telah meninggalkan Keelung, yang tinggal menetap adalah suku Han, walau sejarah sudah mulai sirna, tetapi ingatan kuliner lekat terpatri.

 

Interaksi Sejarah Imigran dengan Produk Lokal

Sesuai dengan susunan populasi yang terbentuk di Keelung, maka ada tiga kelompok aliran kuliner di pasar malam Miaokou Keelung yang berarti kuliner di depan kuil tersebut, masing-masing adalah Fuzhou, Quanzhou dan Zhangzhou, bersamaan dengan itu, juga tersirat dampak budaya negara lain seperti Jepang, Amerika dan lainnya.

Tsao Ming-chung mengatakan, “Makanan kecil Keelung adalah hasil interaksi para imigran turun temurun dengan produk lokal.” Sebagai contoh, ia menyebutkan sebuah bahan masakan yang sangat sering dijumpai yaitu angkak, yang berasal dari kuliner provinsi Fujian.

Angkak berwarna merah cerah, dan beraroma manis hasil fermentasi beras putih menjadi “angkak merah”, masyarakat Taiwan sering menyingkat sebutannya sebagai “angsio”, suatu bahan pewarna alami dan bumbu yang sering dipakai orang Fujian. Di di Miaokou Keelung mudah sekali kita temukan kuliner ikan belut masak angkak merah, sampai-sampai “bawan” kudapan khas Taiwan asli ciptaan orang Taiwan pun, isinya telah dibubuhi dengan angkak untuk memerahi adonan isi bawan, Tsao Ming-chung mengatakan, “Dapat terlihat bahan makanan ini telah merambah ke dalam masakan lain.”

 Ada satu kudapan lain yaitu sup kental mi kacang putih “Dòu Qiān Geng”. Dou Qian adalah mi yang terbuat dari kacang putih, kudapan yang terkenal di Anxi Quanzhou. Menurut Tsao Ming-chung, di Anxi tempat asal sup kental mi kacang putih ini sering dimasak bersama sayur oyong, lalu setelah dibawa ke Keelung yang berdekatan dengan laut, sup ini menjadi meriah karena ditambahi dengan bahan produk lokal seperti tiram, udang dan sotong serta aneka hasil laut.

Kudapan populer lainnya yaitu roti lapis bernutrisi. Adonan roti yang terbuat dari tepung terigu gluten tinggi, setelah digoreng, dibelah untuk mengapit isi daging ham, telur kecap, irisan tomat dan bahan-bahan lainnya, bagian teratas disiram dengan saus mayones. Suguhan nostalgia ini diciptakan oleh seorang penjual senior yang mendapat inspirasi dari majalah Jepang, dan dikombinasikan dengan salad boat kudapan Amerika, menyontek roti goreng ala Jepang, dan dilengkapi dengan saus mayones versi Taiwan (saus mayones original hanya terbuat dari kuning telur, tetapi mayones yang versi Taiwan menggunakan putih dan kuning telur, ditambahi dengan gula yang banyak sehingga rasa asam berkurang), memperlihatkan bahwa Taiwan membuka tangan terhadap budaya asing dan dibaurkan menjadi satu dalam budaya Taiwan.
 

Kuliner Fuzhow berbumbu angkak, mengalami adaptasi Taiwan lokal, urutan foto: belut angkak, daging goreng angkak, mi sapi bumbu angkak.

Kuliner Fuzhow berbumbu angkak, mengalami adaptasi Taiwan lokal, urutan foto: belut angkak, daging goreng angkak, mi sapi bumbu angkak.
 

Ilmu Sejarah Aneka Cita Rasa

Salah satu penyebab Tsao Ming-chung terlena dalam pekerjaan menggali sejarah budaya kuliner adalah betapa menariknya aneka cita rasa yang terkandung. Dalam kesehariannya, Tsao Ming-chung suka berbelanja di pasar tradisional dan memasak. Usai purnabakti dua dasawarsa sebagai wartawan budaya, ia menjadi penulis dan menekuni penelitian sejarah resep kuliner Taiwan.

Pada tahun 2021, Tsao Ming-chung bersama pakar sejarah Kaim Ang berkolaborasi menyelesaikan sebuah buku berjudul “Sejarah Kuliner Taiwan”, mengupas proses pembentukan dan keistimewaan budaya kuliner Taiwan. Tsao Ming-chung yang sangat berpengalaman dalam kuliner bertugas memegang “kendali utama”, bertanggung jawab mencari inspirasi dan menuangkannya ke dalam tulisan. Kaim Ang berperan sebagai “asisten kendali utama” bertugas memberikan dukungan data ilmiah sejarah, dan mengandalkan kepiawaiannya dalam bidang multi bahasa seperti Holo, Jepang, Belanda, Inggris dan bahasa asing lainnya, menggali jejak evolusi kuliner dari tumpukan buku-buku kuno.

Keelung adalah suatu tempat yang dilalu-lalangi banyak orang, demikian pula Taiwan negeri pulau ini, etnis yang berbeda budaya mendarat di Taiwan dalam periode waktu yang berbeda. Buku “Sejarah Kuliner Taiwan” tidak berpatokan pada kelompok etnis tertentu atau kuliner tertentu, melainkan membahas seluk beluk bahan, makanan dan ciri khas kuliner.

Menurut Tsao, gaya penulisan seperti ini dapat menghindari keterbatasan akibat terlalu menonjolkan etnis tertentu, sekaligus mengangkat Taiwan ke tingkat standar dunia, ini juga sama dengan konsep “Sejarah Pulau Taiwan” yang dicanangkan sejarawan Tsao Yung-ho.

 

Selera Orang Taiwan

Pada bagian pembuka buku bertuliskan, “Keunikan geologi, topografi dan letak geografis Taiwan, membuat Taiwan menjadi pulau yang mengandung ‘keanekaragaman hayati dan budaya’ sehingga kaya akan sumber daya kuliner di laut maupun darat.” Namun, aset kuliner dan budaya yang berlimpah ini kurang diabadikan dalam catatan sejarah mengingat budaya kuliner tidak mendapatkan tempat penting dalam tradisi kebudayaan Tionghoa, apalagi setelah mengalami banyak kali pergantian penguasa dan perbedaan etnis, meninggalkan banyak misteri yang tidak kita ketahui penyebabnya.

Kaim Ang dengan nada pasrah mengatakan “Banyak bagian dari sejarah Taiwan yang orang Taiwan sendiri tidak mengetahuinya”. Serangkaian pertanyaan seperti: Mengapa Taiwan menjadi kerajaan kuliner? Mengapa populasi vegetarian di Taiwan begitu besar? Mengapa orang Taiwan tidak suka pedas? Berdasarkan apa Taiwan bisa menciptakan kuliner seperti nasi daging kecap “lu rou fan” dan teh susu mutiara?

Pertanyaan-pertanyaan ini menanyakan proses terbentuknya “selera” orang Taiwan.

Meskipun data sejarah peninggalan di masa kolonial Jepang sangat sedikit, tetapi Kaim Ang beranggapan, Taiwan bukanlah suatu tempat yang tertutup, kalau dikaji dari sudut “struktur” sejarah, hubungan interaksi antara “lingkaran budaya Zhangzhou-Quanzhou-Chaozhou” dan “lingkaran budaya Austronesian” tidak pernah berhenti.

Melalui perbandingan dengan data-data sejarah, dokumen dan fenomena budaya negara lain, dan mengandalkan cara penelitian etimologi, penulis telah menemukan banyak fenomena dan memperoleh penjelasan yang masuk akal.
 

Roti lapis bernutrisi merupakan rangkuman budaya kuliner dari Amerika, Jepang dan Taiwan.

Roti lapis bernutrisi merupakan rangkuman budaya kuliner dari Amerika, Jepang dan Taiwan.
 

Tradisi dalam Inovasi

Tsao Ming-chung dan Kaim Ang menyetujui bahwa pembentukan budaya kuliner mengalami suatu proses yang panjang. Dari sesuatu yang “tidak ada” menjadi “ada”, tidak bisa mengandalkan perjuangan satu orang atau satu toko saja untuk meraih keberhasilan.

Begitu pula dengan teh susu mutiara yang sudah populer di dunia internasional, jasa ini selain berasal dari orang pertama yang memasukkan bola mutiara ke dalam teh hitam dan teh susu, juga harus memperhitungkan jasa inovasi bubble tea minuman dingin zaman 1980 an, dan bola mutiara yang sudah hadir dalam tradisi kudapan rakyat Taiwan sejak zaman dulu.

Sejarah minum teh kalangan Tionghoa sudah sangat lama, tetapi hanya terbatas pada seduhan teh panas, para leluhur yang datang ke Taiwan beriklim panas ini menciptakan minuman dingin untuk mengatasi kegerahan. Bola-bola mutiara Taiwan adalah produk inovasi yang terinspirasi dari minuman Asia Tenggara. Di zaman Belanda, ada orang Tionghoa membawa sagu mutiara ke Taiwan. Pasca abad ke-18, kudapan ini berkembang menjadi “fen yuan” yaitu bola mutiara yang terbuat dari tepung ketela atau tapioka.

Membicarakan sejarah pangan yang “sangat dalam”, tidak ada satu pun makanan muncul secara tiba-tiba, sebab ada banyak proses pewujudan yang tidak diketahui banyak orang. “Kuliner adalah suatu hasil pembentukan proses yang panjang, daripada mengatakan orang tertentu yang membawa makanan tersebut masuk ke Taiwan, akan lebih cocok jika mengatakan itu semua adalah hasil inovasi berkelanjutan oleh para pahlawan tanpa nama.” Demikian tutur Kaim Ang.

Mengkaji sejarah perkembangan kuliner Taiwan, dengan singkat Tsao Ming-chung mengatakan, “Kuliner tradisional Taiwan adalah ‘tradisi dalam inovasi’”. Keterbukaan dalam menyerap yang datang dari luar, ditambah dengan ketegaran penuh dinamika sehingga tercipta suatu hasil inovasi yang menakjubkan, membawa Taiwan selangkah demi selangkah menjadi kerajaan kuliner.

Dinamika ini bertahan terus hingga sekarang, jika Anda berkunjung ke pasar malam di Taiwan, Anda menemukan ayam goreng jipai dengan taburan bubuk nori, bubuk wasabi, sembari diolesi dengan saus rasa madu, mengapit potongan keju; selain itu, martabak daun bawang yang dibubuhi dengan daun kemangi, daging ham dan sayur asin; juga ada kudapan kue krep mengapit irisan daging dada bebek, daging keong dan marshmallow manisan kenyal. Kuliner jalanan ini setelah mengalami tambal sulam perkembangan zaman, akan berkemungkinan menjadi karya klasik berikutnya yang tercatat dalam sejarah.

Meskipun terasa masih kurang sesuatu, tetapi menurut Kaim Ang “Kurang istimewa sebenarnya sudah merupakan suatu ciri keistimewaan.”. Ia berpendapat, budaya kuliner Taiwan masih berkembang, seperti ratusan tahun perjalanan yang ditempuh, berguncang dalam perubahan, mencari jati diri dalam perjalanan baru.

 

MORE

Dari Mana Asal Usul Nama Kerajaan Kuliner? Jelajah Sejarah Kuliner Tsao Ming-chung & Kaim Ang