Kembali ke konten utama
Penuturan Sang Pemandu Wisata Mengenal Permasalahan Lokal Melalui Permainan
2020-04-20

Perintis organisasi Clubon, Ansley Wu Ya-hsuen (kanan) dan Lin Chih-yu.

Perintis organisasi Clubon, Ansley Wu Ya-hsuen (kanan) dan Lin Chih-yu.
 

Mengadopsi “permainan” sebagai konsep pendidikan terjadi pada masa awal perubahan pendidikan Taiwan tepatnya di sekitar tahun 2015. Hal tersebut mulai menarik perhatian umum dan menjadi cara baru dalam penyampaian pengetahuan.

Setelah tren ini menyebar luas ke komunitas masyarakat, beragam jenis permainan atas meja dan permainan online tematik tak henti-hentinya bermunculan. Sementara permainan realitas di lapangan, jika dibandingkan dengan jenis permainan lainnya, maka permainan ini memiliki lebih banyak pengalaman sensorik yang mampu membawa pemain merasakan kesan bertualang yang mendalam.

 

Ketika mengunjungi tim perancang permainan realitas dan mencoba karya organisasi Clubon dengan permainan “Through the Photo Studio” dan hasil kreasi dari organisasi Homeless Taiwan dengan permainan “Hitting the Streets of Bangka”, kami mengamati bagaimana desain permainan ini mampu menarik minat dan rasa penasaran pemain sehingga selama bermain mereka dapat mengenal sejarah kota; atau bertualang di jalan selama satu hari, untuk memahami topik permasalahan dan cerita dari tuna wisma.

 

Berawal dari Mengenal Sejarah Kota

Latar belakang permainan “Through the Photo Studio” dirancang terjadi di sekitar kuil Jingfu Taoyuan, karakter utamanya adalah seorang pria muda SMA dan satu orang tua yang mengitari jalan tua, setelah kedua orang ini menghilang dan yang tertinggal hanya sebuah buku harian milik pria muda, di dalam buku harian tersebut tertulis orang tua itu memiliki sebuah kamera waktu yang dapat menerobos ke masa lalu, hal ini diketahui oleh lima orang yang telah lama menetap di jalan tua. Misi dari pemain adalah mencari petunjuk dari kelima karakter tersebut dan dikumpulkan untuk memecahkan misteri dan mencari penyebab menghilangnya anak muda dan orang tua.

Sekelompok pemain yang berusia tidak lebih dari 30 tahun, berjalan menuju ke pasar retail Yonghe yang sepi. Pasar ini tidak beroperasi pada sore hari, lampu penerang padam dan pasar berada dalam keadaan gelap gulita, tetapi terlihat ada seorang wanita bergaun dengan dandanan yang mencolok sedang bersandar di samping elevator menjajakan aneka makanan ringan. Wanita yang disapa sebagai kakak Yao ini bertanya, “Untuk apa kalian datang ke sini?” sambil memandangi sekelompok “pendatang asing ini”. Para pemain kewalahan dan terus melontarkan pertanyaan terkait dengan cerita permainan sampai pada akhirnya mereka melanjutkan misi permainan dan memasuki basemen gedung pasar.

Mereka turun ke basemen dengan menggunakan eskalator yang tidak berfungsi, lubang hidung dibombardir dengan berbagai bau yang tidak sedap. Demi mencari poster iklan yang tertempel di dinding, para pemain mengitari pasar satu putaran, dengan hati-hati berjalan di lantai yang basah sambil mengamati setiap sudut dengan cermat. Para pemain membagi tugas sehingga berhasil mengumpulkan petunjuk dengan cepat, akhirnya informasi penting untuk tahap selanjutnya yang didapat dari isyarat kakak Yao adalah “sungai mengalir tiada henti”.

 

Mendengar Cerita, Mengamati Lingkungan

Kakak Yao melihat petunjuk yang ada di tangan pemain, dengan perlahan-lahan menceritakan kisah tentang dirinya. Departemen store Tiantian yang letaknya tidak jauh dari tempat ini dibangun pada tahun 1980, dalam bangunan sembilan lantai tersebut terdapat bioskop tempat dia berkencan di masa lalu, tetapi kini keramaian dari pusat perbelanjaan ini telah pudar, hanya lantai satu yang difungsikan sebagai tempat parkiran yang gelap, sementara lantai lainnya telah terabaikan. Pemain mulai melontarkan satu demi satu pertanyaan, memotong pembicaraan kakak Yao yang ingin menjelaskan pasar Yonghe lebih lanjut. Kakak Yao memerhatikan para pemain hanya ingin memperoleh petunjuk saja dan tidak tertarik dengan sejarah lokal, maka dengan ketus Kakak Yao mengatakan, “Pasar Yonghe ini akan segera dihancurkan dan kalian tetap tidak peduli.” Sebenarnya apa yang disampaikan oleh kakak Yao tidak semata-mata menjadi faktor penting untuk memecahkan misteri permainan, melainkan mencerminkan wajah kota Taoyuan yang tengah bertransformasi. Pemain membawa foto tua yang diberikan oleh kakak Yao lalu bergerak menuju tepi sungai Dongmen di taman Chaoyang Forest untuk mencari nenek Nakashi. Di sana banyak orang tua berjalan santai, membawa anjing peliharaan jalan-jalan, nenek Nakashi duduk di bangku panjang berbaur dalam ritme suasana taman dengan santai memainkan instrumen akordeonnya. “Apa kabar nenek?” Para pemain tidak lupa dengan nasihat kakak Yao untuk menghormati warga lokal dan mendengar mereka bercerita, maka kali ini para pemain tidak lagi bertanya terus, sebaliknya berkonsentrasi penuh mendengar pemain akordeon bercerita.

Kemudian secara berturut-turut para pemain bertemu dengan puteri laut yang berada di kuil Zhenfu pada area jalan setapak tepi sungai Dongmen dan penyair di jalan tua Xinmin. Setiap karakter cerita memiliki banyak memori kenangan tersendiri. Ketika berdialog dengan mereka sepintas kami dapat merasakan kehidupan masa lalu di  Taoyuan yang sederhana, dengan masyarakat yang bersahabat.
 

Para pemain melakukan aksi “mendayung” di jalan setapak sungai Dongmen, merasakan kehidupan masa lalu ketika warga harus berperahu untuk melintasi sungai.

Para pemain melakukan aksi “mendayung” di jalan setapak sungai Dongmen, merasakan kehidupan masa lalu ketika warga harus berperahu untuk melintasi sungai.
 

Permainan yang Menghasilkan Kenangan dan Pemahaman

Setelah permainan usai, para pemain berkumpul dan pihak penyelenggara akan memberikan jawaban permainan. Namun kelihatannya mereka tidak tertarik lagi dengan jawaban permainan ini, karena sibuk membahas dan berinteraksi dengan para karakter cerita. Selama permainan berlangsung, ada dialog antara karakter permainan dengan tim pemain, dan mereka juga dapat mendengar kisah tentang sejarah Taoyuan yang belum pernah mereka dengan sebelumnya. Semua ini adalah pencapaian nyata yang mereka peroleh. Berkat permainan ini, kawasan kuil Zhenfu di Taoyuan tidak lagi menjadi tempat yang asing bagi para pemain, mereka bisa memperoleh wawasan bahwa kuil tersebut merupakan bagian dari sebuah kota yang tumbuh dan berkembang bersama Sungai Dongmen. Sementara perkembangan dan transformasi dalam kota juga mengingatkan pemain untuk merenungkan “Wajah kota seperti apakah yang kita inginkan ketika kota terus bertransformasi?”

Perintis organisasi Clubon, Lin Chih-yu menjelaskan, data lapangan dan pengalaman pribadi dalam permainan dapat membantu masyarakat memahami isu-isu sosial dan sejarah secara lebih mendalam, daripada hanya sekedar menggunakan tulisan, “cara ini berbeda dengan aktivitas membaca”. Pemain akan diminta untuk melakukan tindakan tertentu selama permainan, yang bertujuan agar pemain menemukan sudut area kota yang terabaikan.

“Kami ingin melakukan pendekatan yang berbeda untuk pembahasan topik ini,” ujar salah satu pendiri Ansley Wu. Konsep awal dari kedua pendiri adalah menghasilkan topik permasalahan yang lebih akrab dengan masyarakat, serta membuat masyarakat mendapati cerita asing tersembunyi di tengah lingkungan yang familiar. Ketika membahas jenis permainan berikutnya, mereka berdua tertawa dan secara kompak berkata, “Banyak sekali!” Sama seperti tulisan “Our city, our duty” (artinya: kota kami, tanggung jawab kami) yang terpasang pada dinding studio kerja, karena mereka memiliki semangat yang terus berkobar terhadap topik permasalahan yang terjadi di kota Taiwan.

 

Permainan Merefleksikan Realitas Kehidupan

Ide dari permainan “Hitting the Streets of Bangka” bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sosial, yaitu jarak yang terdapat antara masyarakat dan kaum tuna wisma. Cindy Tseng seorang pencetus permainan ini, semula hanya ingin meluncurkan program “jalan-jalan”, membina kaum tuna wisma menjadi pemandu wisata, memanfaatkan pengalaman mereka selama hidup di jalanan serta membawa masyarakat melihat sisi lain kota Taipei. Cindy Tseng mendapati, meskipun beberapa masyarakat yang ikut serta dalam program “jalan-jalan” tertarik dengan topik permasalahan tuna wisma, tampaknya mereka merasa bosan selama mendengar panduan wisata. Hal ini membuat Cindy Tseng berintrospeksi bahwa kurang adanya interaksi dalam perjalanan panduan wisata yang panjang, selain membosankan juga tidak menyentuh hati partisipan untuk merasa simpati dengan kehidupan para tuna wisma, maka dari itu Cindy Tseng bekerja sama dengan desainer permainan Taipei Legend Studio meluncurkan permainan “Hitting the Streets of Bangka” agar warga bisa merasakan pengalaman hidup di jalanan.

Dalam permainan ada 11 karakter yang diambil dari tokoh nyata, di antaranya sembilan orang tuna wisma dan dua orang pekerja sosial. Misi permainan ini adalah untuk memperoleh nominal uang tertentu melalui pencapaian sasaran dari masing-masing karakter.

Misi permainan sangat beragam seperti: mengusung papan, kebersihan, mengumpulkan daur ulang, pekerjaan berat dan lain-lain, setiap tugas memerlukan kondisi dan kekuatan fisik yang berbeda dan upah bayaran pun tidak sama. Selama permainan, pemain akan mengumpulkan kartu intelijen, memperoleh informasi perubahan kehidupan seperti: makan malam gratis, angpao dari yayasan amal atau peluang bekerja ilegal, suatu pilihan yang berbeda mampu memengaruhi arah kehidupan. Selain pilihan pribadi, kartu nasib yang tidak bisa dihindari juga akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan sang pemain, barang kali keberuntungan berada di pihaknya ketika mendapat nasi kotak dan pakaian yang diberikan oleh orang yang berbudi, namun ada kemungkinan kondisi memburuk dikarenakan udara dingin, kecelakaan kerja atau cedera akibat dikeroyok.

 

Realisasi Permainan, Menyikapi Kehidupan

Misi permainan cukup mudah, hanya berupa pekerjaan secara simbolis dan sama sekali tidak meminta pemain mempraktikkan pekerjaan secara nyata, akan tetapi selama permainan berlangsung, para pemain akan mengalami rasa cemas karena tak kunjung mendapat pekerjaan, merasa lelah menelusuri jalan, mengalami perubahan dadakan karena nasib maupun terjerat dalam perjudian lotre Mark Six, semua kejadian yang membuat tak berdaya menjadi hal biasa bagi tuna wisma tetapi bukan keinginan mereka terpuruk dalam kesulitan ini. Sebelum permainan dimulai, para pemain sebelumnya wajib memahami cerita tuna wisma, barang kali tuna wisma terluka karena kecelakaan kerja, pengangguran di usia paruh baya atau masalah keluarga yang menyebabkan kehidupannya hancur dan sulit pulih kembali. Pemahaman menjadi langkah pertama dalam permainan ini sekaligus juga sebagai nilai inti dari permainan.

Akhir permainan, pemain akan menghitung upah perolehannya, ada beberapa orang yang berhasil menggapai sasarannya, sebagian lainnya masih terus melanjutkan hidup berkeliaran di jalanan, tidak semua orang berhasil dengan akhir cerita yang indah, sama halnya dalam kehidupan jalanan yang nyata. “Ini sebenarnya menunjukkan bahwa jaringan keamanan dalam komunitas sosial telah terkoyak sehingga mereka yang terjatuh akan terpuruk ke jalanan.” Bagian ini menjadi teks dialog pekerja sosial dalam permainan, juga menjadi refleksi dari para partisipan berada di garis terdepan berhadapan langsung dengan tuna wisma dalam kehidupan nyata.

Melalui permainan realitas outdoor ini, pemain wajib mengubah statusnya untuk sementara waktu, kemudian bertualang dan memahami beragam latar belakang permasalahan yang terjadi dan kesulitan yang dihadapi oleh protagonis; program demikian menyamakan konsep antara permainan dan kehidupan manusia, dan menemukan titik persimpangan karena manusia telah merasakan hal riil dalam permainan dan hal yang belum diketahui dalam kehidupan nyata.