Kembali ke konten utama
Jalan-jalan di Formosa Temui Keyakinan Budaya Taiwan
2021-01-18

Rumah tua “Sanjinjiewu” (rumah tua di pinggir jalan) di jalan Dihua, di dalamnya didesain halaman rumah terbuka menambah suasana hijau dan asri.

Rumah tua “Sanjinjiewu” (rumah tua di pinggir jalan) di jalan Dihua, di dalamnya didesain halaman rumah terbuka menambah suasana hijau dan asri.
 

Bagaimana pengucapan untuk kata “teh” dalam budaya Anda? Apakah disebut “cha” atau “teh”? Seorang pemandu wisata “Jalan-jalan di Formosa” (Walk in Taiwan), James Shih sering kali mengunakan pertanyaan ini sebagai pengantar ketika memberi penjelasan kepada pengunjung asing, ia menjelaskan budaya teh yang dimulai dari kalangan masyarakat Tionghoa, lalu disebarluaskan hingga ke seluruh penjuru dunia. Bagi negara yang menyebutnya dengan “cha”, menandakan pada masa tersebut teh disebarkan melalui jalur darat (atau jalur sutra), jika diucapkan sebagai “teh” maka penyebaran teh melalui jalan laut, yang diekspor oleh pedagang Belanda dan Inggris dari Fujian dan Taiwan hingga ke Eropa, karena mendapat pengaruh dari dialek etnis Minnan yang menyebut teh sebagai “te”.

 

Menggunakan “teh” sebagai topik umum pembuka pembicaraan antara masyarakat Taiwan dengan warga asing, kami ingin menunjukkan sesungguhnya terdapat perbedaan tetapi ada kemungkinan dapat menemukan hal-hal umum dari keindahan fragmen-fragmen peninggalan bersejarah.

Program “Jalan-jalan di Formosa” menjadi merek panduan budaya yang dirintis oleh Chiu Yi, generasi ke-5 dari keluarga yang menetap di wilayah Dadaocheng, Taipei. Ia memandu warga menelusuri kisah dari setiap sudut kota dengan berjalan kaki, program ini juga menjadi perjalanan keliling “mengenal jati diri”.

 

Jalan-jalan Mengenal Sekitar, Eksplorasi Kisah Lokal

Pandemi COVID-19 merebak di seluruh dunia pada tahun 2020, setiap negara terpaksa memberlakukan lockdown atau menutup pintu masuk ke negaranya, sementara program “Jalan-jalan di Formosa” malah menyerukan “tidak perlu ke luar negeri, mari kita jalan-jalan di negeri sendiri!” Karena tidak bisa ke luar negeri maka jalan-jalan di Taiwan saja untuk semakin mengenal diri sendiri.

Sebenarnya, program “Jalan-jalan di Formosa” menjadi “wisata di negeri sendiri” telah berlangsung beberapa tahun. Sejak tahun 2012, diawali dengan panduan wisata kawasan blok di Dadaocheng, program “Jalan-jalan di Formosa” membawa pengunjung menelusuri ke gang dan lorong jalan, memberitahukan kepada mereka tentang masa kejayaan teh Taiwan, mengamati kehidupan lorong jalan didampingi dengan rumah kuno yang direstorasi dan toko kreatif, masih ada jajanan kudapan di sekitar kuil Cisheng, humaniora pada kawasan Dadaocheng, warisan budaya yang berlimpah, inovasi baru melanjutkan warisan kuno, menjadikan perjalanan ini semakin menyenangkan bahkan tidak akan pernah bosan walau ribuan kali dikunjungi.

Dengan kecepatan yang tidak tergesa-gesa, program “Jalan-jalan di Formosa” diperluas hingga lebih dari 400 jalur wisata budaya dan wisata jalur kecil. Mereka pernah menyambangi pasar grosiran pada pukul 3:30 subuh untuk menyaksikan serta merasakan gerakan tangan yang samar-samar di tengah transaksi lelang, atau mengikuti ritual arakan tandu dewa kuil Qinghsan dari distrik Bangka. Mereka juga bekerjasama dengan perpustakaan penyedia buku-buku Asia Tenggara “Brilliant Time” untuk memandu pekerja migran asal Indonesia berkeliling dan menghadirkan Stasiun Kereta Api Taipei yang berbeda. Di balik beberapa obyek wisata dan peristiwa,  program “Jalan-jalan di Formosa” menjadi isu yang menarik perhatian masyarakat, seperti  pelestarian warisan budaya, revitalisasi bangunan kuno, topik LGBT, kesetaraan budaya dan lain-lain. “Berpegang pada prinsip pemahaman menjadi langkah pertama dalam pertukaran”, ujar Kepala Eksekutif Pemasaran, Suni Yen yang mengharapkan agar dapat semakin mengenal, memahami serta menstimulus diskusi masyarakat sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, program “Jalan-jalan di Formosa” merambat hingga ke beberapa lokasi seperti di Keelung, Yilan, Hsincu, Chiayi, dan lainnya serta berkoordinasi dengan pegiat sejarah lokal dan membangun kerjasama industri, melalui perjalanan wisata membuat warga lokal menemukan keunggulan budaya yang dimilikinya, berbaur dalam konsep “wisata berkesinambungan” untuk saling berbagi keunggulan tanah pertiwi.

“Sebagian besar partisipan program “Jalan-jalan di Formosa” adalah orang dewasa yang berkeinginan untuk mencari tahu siapakah dirinya”, jelas Suni Yen. Program “Jalan-jalan di Formosa” membuat partisipan menyadari perlu adanya edukasi sejak dini yang diterapkan kepada anak-anak, membimbing anak-anak untuk mengenal sekeliling lingkungan kota tempat tinggalnya agar semakin banyak orang mengetahui Taiwan adalah pulau yang memiliki kisah cerita.

Sebenarnya, kota tempat kami tinggal tidak pernah kehabisan cerita, tetapi di tengah perjalanan hidup, di saat kita terus belajar malah kurang berkesempatan untuk mengenal lingkungan sendiri dengan baik. James Shih juga bermula dari mengikuti program “Jalan-jalan di Formosa”, mendapat pelatihan hingga menjadi pemandu wisata, ia mengenang kembali dan berkata, “Seusai mengikuti panduan wisata Dadaocheng yang pertama kali, hal yang terlintas dalam benak pikiran saya adalah saya akan kembali lagi, saya ingin mengajak teman-teman untuk mengunjungi Dadaocheng dan bercerita kepada mereka tentang kisah yang saya dengar.”

 

Kostumisasi Panduan Wisata, Bangkitkan Resonansi Budaya

Program “Jalan-jalan di Formosa” tidak hanya mengajak warga lokal mengenal jati diri, tetapi juga memperkenalkan Taiwan kepada orang asing.

James Shih kerap kali mengantar tamu asing dari Kementerian Luar Negeri (MOFA) dan Kementerian Pendidikan (MOE), ia sangat mahir memanfaatkan rincian petunjuk-petunjuk kecil untuk menarik perhatian tamunya, berinteraksi melalui tanya-jawab yang membangkitkan resonansi budaya antara kedua belah pihak. James Shih secara khusus mengamati sistem penyewaan “sharing” sepeda di Polandia, saat melewati kios sepeda YouBike, ia pun membagikan sistem di Taiwan kepada para tamu asal Polandia. Ketika berbicara tentang pelestarian bangunan tua di jalan Dihua, pertama-tama James Shih mengangkat Kota New York yang merupakan kota pertama di dunia yang menggunakan “hak pembangunan yang dapat dialihkan” sebagai upaya pelestarian bangunan peninggalan sejarah, ia menjelaskan pemerintah Taiwan juga mengadopsi beberapa konsep ini, dengan mengadakan regenerasi perkotaan (Urban Regeneration Station, URS) yang berbasis pembaharuan lahan, membangkitkan hobi kesenangan mereka serta mendorong mereka untuk saling berbagi pengalaman pelestarian bangunan kuno dari kedua tempat tersebut.

Isi rancangan program “Jalan-jalan di Formosa” disesuaikan dengan permintaan konsumen dan menitik berat pada pelayanan pelanggan (costumer service). James Shih bercerita bahwa selama proses pelatihan, ada satu agenda materi pembinaan bibit pengajar tentang cara pemikiran translokasi saat menghadapi dan memberikan layanan kepada konsumen yang berbeda. Melalui pemahaman, pemandu wisata mengadopsi petunjuk umum untuk menjembatani dialog yang akan dilakukan pada awal pertemuan.

Setiap putaran untuk misi panduan wisata tamu asing yang diterima oleh James Shih, sebelumnya ia akan mencari tahu melalui YouTube dan Wikipedia mengenai latar belakang, kewarganegaraan, tempat lahir dari tamu asing, maupun sekolah dan jurusan akademi yang mereka tekuni. James Shih pernah memandu seorang ilmuwan dari Afrika Selatan, ia mengenyam pendidikan jurusan agama Katolik dan mendalami isu remaja dengan kebiasaan merokok. James Shih membawanya berkunjung ke kuil Dewa Xia-Hai dan menunjuk dua penjaga Dewa Cheng Huang Ye, yang menjadi simbol semangat akan “keyakinan dan kebenaran”. Setelah mendengar penjelasan dari James Shih, ilmuwan ini merespons dalam gereja juga memiliki patung dan lukisan untuk menyampaikan nilai positif kepada penganut yang buta aksara. James Shih bersama tamu pengunjung saling berinteraksi, maka saling berbagi menjadi awal mula perkenalan, juga merupakan awal mula suatu pertukaran.

Setiap kali mendapat tawaran dari Kementerian Luar Negeri (MOFA), maka penyajian program “Jalan-jalan di Formosa” sebagai panduan wisata yang menghabiskan waktu antara 1-2 jam, dengan berbagai cara diadopsi untuk menghubungkan budaya dari kedua belah pihak, agar para pengunjung memiliki kesan yang mendalam tentang Taiwan. James Shih mengatakan, “Karena hanya dengan korelasi budaya maka tamu asing baru bersedia untuk datang kembali ke Taiwan atau mendukung dan menyuarakan Taiwan sesuai dengan bidangnya sendiri. Kekuatan teknologi, tingkat kebebasan demokrasi, semua ini hanyalah data kuantitatif dan satu-satunya cara adalah menciptakan hubungan interelasi antara Taiwan dengan kebudayaan yang mereka miliki, ketika hati pengunjung tersentuh dan merasa dapat diandalkan, maka sasaran dari program “Jalan-jalan di Formosa” telah tergapai”.

 

Bertemu Keyakinan Budaya Taiwan

Program “Jalan-jalan di Formosa” terus bergulir dengan ide perkembangan metode panduan wisata, misalkan “Museum Dadaocheng” yang menerapkan konsep open house seperti di luar negeri, membuka lahan yang semula “tertutup untuk umum” kini memberi lingkup kepada pemiliknya untuk berbicara. Mereka mengundang beberapa pemilik toko seperti pelaku usaha obat herbal tradisional Tionghoa dan toko-toko tua lainnya untuk bercerita tentang kisah mereka, hak berbicara diserahkan kepada warga lokal agar para pengunjung bisa merasakan kekuatan konten cerita yang dibagikan oleh tuan rumah. Pada tahun pertama saat perencanaan program Museum Dadaocheng berjalan, rekan kerjanya harus berkeliling dari pintu ke pintu untuk memohon dukungan dari pemilik-pemilik toko di kawasan ini, dan baru berhasil setelah Chiu Yi, sang perintis program ini turun tangan. Pada tahun ke-2 malah sebaliknya, menjelang hari-hari berlangsungnya program ini, beberapa pemilik toko tua dengan inisiatif sendiri mengingatkan bahwa program ini berlangsung cukup sukses, dan bertanya apakah akan diteruskan untuk tahun selanjutnya.

“Terlebih dahulu diperhatikan, dikagumi baru ada motivasi untuk menunjukkan jati diri”, ujar James Shih, memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengamati dan belajar dari lingkungan sekitar. Anak-anak yang dibesarkan di rumah tua berusia ratusan tahun menyaksikan ayah mereka membawa tur wisata, dengan bangga menceritakan perkembangan sejarah keluarganya. Hal ini menjadi sebuah potret yang barangkali dapat memberikan sentuhan kepada generasi berikutnya dan memberikan kebanggaan atas usaha keluarganya. “Para pengunjung dapat menyaksikan sikap warga yang yakin akan budaya Taiwan, inilah tujuan dasar dari program “Jalan-jalan di Formosa”, kata James Shih.

Ketika semakin banyak yang Anda dalami dan ketahui, maka Anda akan menyadari budaya Taiwan tidak homogen, sebagai contoh di Dadaocheng Anda bisa menyaksikan bangunan kuno dari era dinasti Qing, masa kolonialisasi Jepang, maupun era pasca perang dunia II, setiap gedung bangunan memiliki kisah tersendiri. Dengan antusias James Shih mengatakan, “Yang saya banggakan adalah sesuatu yang menarik darinya, dan apa yang kami punyai belum tentu adalah yang terbaik. Kebanggaan saya berasal dari “saya memiliki kisah cerita” yang dapat dibagikan kepada semua orang.”

James Shih melanjutkan dengan mengangkat contoh lainnya yakni cerita panduan wisata dari salah seorang pelajar sekolah menengah di distrik Xizhi, usai ia menjelaskan sejarah Dadaocheng, lalu menunjukkan selembar foto zaman dulu, potret tentang bangunan ala barat yang indah dan jalan tua. Para pelajar mengenali potret yang ditunjukkan adalah lokasi Xizhi, sambil menganggukan kepala James Shih mengatakan, Xizhi dan Dadaocheng memiliki latar belakang yang serupa. Kembali ke masa lalu, perahu berukuran sedang, berlayar di sepanjang sungai Keelung hingga ke Xizhi yang menjadi tempat menanam teh dan pusat distribusi daun teh untuk kawasan sekitarnya, juga pernah menjadi kota yang makmur berkat transaksi perdagangan teh. James Shih mengharapkan setelah para pelajar mendengarkan kisah cerita dengan metode pendekatan dari “Jalan-jalan di Formosa”, dan sekembalinya ke rumah bisa mencari tahu kisah tentang Xizhi serta berbagi cerita tentang kampung halaman sediri.

Selain memperlihatkan keyakinan terhadap budaya Taiwan kepada orang asing,  hal ini juga membuat masyarakat Taiwan semakin terhubung dengan Taiwan yang memiliki keyakinan terhadap budayanya sendiri. Tidak ada kata terlambat untuk mengikuti program “Jalan-jalan di Formosa” yang memberikan pengenalan tentang Taiwan, mengenal jati diri, “berwisata, berkencan dengan tanah pertiwi”.