“Mama lihat, itu mesin penggali tanah!” ujar sang bocah dengan mata berbinar-binar saat berada di lokasi konstruksi bangunan, bahkan para tukang bangunan yang keringatan terlihat bagaikan pahlawan baginya. Namun setelah sang bocah tumbuh dewasa, rasa ingin tahu tentang apa yang berada di balik pagar sudah tidak ada lagi, kehidupan dunia di dalam dan luar pagar tampaknya berada dalam waktu yang paralel. Untungnya kita masih dapat merasakan dan menjelajahi vitalitas kehidupan di lokasi konstruksi bangunan melalui buku, drama sinetron dan pameran.
Suatu sore di musim panas, kita mengikuti perjalanan pemandu “Jalan-jalan di Formosa” (Walk in Taiwan) yang kali ini bertema “Pekerja Plus, Bangka di Balik Pagar Papan Besi” menuju Distrik Wanhua, Taipei. Berjalan menelusuri jalan-jalan dan gang-gang, mendengarkan penjelasan sang guru, mengapa para pekerja tukang suka minum teh herbal, dan bagaimana perubahan upah gaji buruh memengaruhi eksterior sebuah bangunan, seolah-olah semakin dekat berada dengan para pekerja.
Survei Perdana ke Kawasan Konstruksi
Guru pemandu Lin Ya-qing adalah seorang penulis cerita kehidupan para buruh dari sudut pandang seorang pengawas lokasi konstruksi.
Buku “We, the Laborers” yang ditulis oleh Lin Ya-qing dipublikasikan tahun 2017, menyiratkan kehidupan sesungguhnya akan seorang pekerja tukang yang ia saksikan sendiri, dan berhasil terjual sebanyak 40 ribu eksemplar di tahun pertama. Pada tahun berikutnya, ia meluncurkan buku “The Laborers’ Lives”, memasukkan kisah kehidupan para pekerja di delapan sektor usaha hiburan, wanita penjaja minuman beralkohol, pekerja yang mengalami kecelakaan. Kritikan dan kejutan yang ada di dalamnya bahkan lebih tajam lagi.
Lin Ya-qing mulai menulis artikel di Facebook sejak tahun 2012. Awalnya sama dengan orang biasa, ia menulis kisah sepele yang ditemukan di tempat kerja, sehingga jarang mendapat perhatian publik. Seiring dengan semakin lamanya bekerja di lokasi konstruksi, ia pun berbaur dalam kehidupan pekerja tukang, meminjamkan uang kepada mandor tukang di saat darurat, berbicara jujur lugas saat polisi mengeluarkan surat tilang. Semakin banyak ia melihat, maka keinginan untuk melindungi kawanan pekerja tukang pun semakin besar. Tidak berdaya mengubah sistem dan prasangka masyarakat yang selalu memenuhi pikirannya, kerap membuat Lin Ya-qing tidak bisa tidur kala malam tiba. Menulis cerita tentang mereka, agar publik berkesempatan untuk lebih memahaminya, adalah hal yang dilakukannya, sekaligus menjadi solusi untuk dapat tidur nyenyak. Akibatnya, artikel Lin Ya-qing menjadi semakin panjang, dan semakin mendalam. Ia mengamati dengan seksama golongan yang kerap dikritik oleh kaidah kehidupan umum, dan menulis kehidupan yang belum pernah dilihat oleh publik sebelumnya. Menggunakan pena untuk menyuarakan pekerja tukang yang tersisihkan dari kehidupan, sehingga menarik perhatian perusahaan penerbit buku, dan Lin Ya-qing menjadi penulis pertama di Taiwan dengan latar belakang mandor tukang.
Adaptasi Perfilman Mengena di Hati Manusia
Tahun 2017, buku “We, the Laborers” membuat sensasi di pasar buku. Jayde Lin terharu akan cerita kehidupan di dalamnya, dan membeli hak cipta pembuatan film drama. Khususnya untuk artikel “Perjalanan pengelasan”, yang bercerita tentang kecelakaan kerja yang dialami oleh tukang las, pancaran cahaya yang kuat saat pelumeran logam dengan suhu yang tinggi, gas buangan dan pembakaran mengakibatkan rabun senja, fibrosis pada paru-paru dan pengelupasan kulit yang parah. Lingkungan kerja buruk, tetapi tidak akan ada penghasilan jika tidak bekerja, penyakit fisik membuat sebagian pekerja memilih menggunakan narkoba untuk melumpuhkan penyakit fisiknya, sehingga dapat menyeret tubuhnya untuk terus bekerja.
Artikel tersebut benar-benar menggambarkan kehidupan para tukang besi, dan juga menuliskan bahwa setelah sang kakak terserang stroke, agar tidak membebani keluarganya, akhirnya ia memelas pada sang adik agar bisa membuatnya meninggal dunia dengan cara menyuntik dirinya sendiri dengan narkoba sampai overdosis. Emosi antar saudara dan ketidakberdayaan kehidupan pekerja, semuanya terangkum di setiap kata dan kalimat.
Jayde Lin dan sutradara Cheng Fen-fen mengikuti Lin Ya-qing ke lokasi konstruksi besar dan kecil, serta kedai makanan yang disukai para pekerja. Mereka bertemu dengan beragam jenis pekerja tukang. “Kami merasakan vitalitas dalam diri mereka, harapan yang dimiliki untuk bekerja keras demi keluarga.” Optimisme dan berserah pada nasib tetapi semangat untuk tidak menyerah, melekat di hati Jayde Lin dan Cheng Fen-fen, juga memperkuat tekad mereka untuk menggunakan alur komedi dalam film tersebut.
Seberkas Cahaya di Balik Badan Pekerja Tukang
Selang setahun lebih survei dan penyesuaian di lapangan, penyuntingan film “Workers” dimulai pada tahun 2019, kemudian dirilis di channel HBO ASIA di lebih dari 20-an negara di dunia pada tahun 2020.
Drama ini didasarkan pada sepasang kakak adik tukang besi dengan kepribadian yang berbeda. Kakak laki-laki Ah-Qi berkepribadian optimis, suka bermimpi, sementara adik laki-laki Ah-Qin berwatak pendiam dan keras, selalu membantu kakak menyelesaikan masalah. Berbeda dengan penitikberatan karya semula, episode diawali dengan impian Ah-Qi untuk menjadi kaya, seperti membangun candi untuk Phra Phrom, memelihara buaya di lokasi konstruksi dan lain sebagainya, Ia tidak saja menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri, tetapi juga menyeret rekan kerja dan keluarganya. Dengan plot yang penuh fantasi dan konyol, mampu membuat penonton menjadi berang namun juga tertawa lucu akan peran Ah-Qi. Atau mungkin juga ada sebagian orang yang berpikir jika impian Ah-Qi menjadi kaya dan membeli lotere, sangat tidak realistis, namun dalam kenyataan di mana menghadapi dilema tanpa memutarbalikkannya, tidak peduli seberapa keras ia berusaha tetap tidak mampu membeli rumah dalam proyek konstruksi tersebut… “Ini barangkali adalah cara yang paling memungkinkan dalam dunianya untuk bisa bangkit berdiri,” jelas Lin Ya-qing.
Setelah film ditayangkan, anak-anak para pekerja tukang, mulai menulis cerita mereka sendiri di internet. Ada juga penonton yang berbagi pengalaman dan memori sendiri dengan Jayde Lin, di mana dalam ingatan mereka, ayah pulang rumah selalu dalam kondisi bau dan kotor, sehingga tidak suka berinteraksi dengan sang ayah. Namun karena adanya film ini, kini telah terdapat kesamaan topik dengan sang ayah. Film “Workers” tampaknya melonggarkan simpul hati di antara manusia, sehingga memungkinkan semua orang menemukan kehangatan dalam film tersebut, sama seperti yang dikatakan Cheng Fen-fen di saat penayangan khusus, “Saya berharap usai menonton, semua orang dapat peduli kembali dengan orang yang berada di sekelilingnya, mampu melihat seberkas sinar dari setiap peran yang ada.”
Membuka Pagar, Menyatukan melalui Desain
Selama ada niat, dengan menggunakan kemahiran dalam tata desain seni, juga mampu membawa perubahan bagi kehidupan di lokasi konstruksi.
The Kong-Ke Museum yang berada di Taichung adalah tempat seni pertama Taiwan dengan tema budaya lokasi konstruksi. Tempat ini awalnya adalah CMP Block Museum of Arts, museum dengan kawasan jalanan eksperimental, yang didirikan oleh CMP Pujen Foundation for Arts and Culture. Pada tahun 2018, usai CMP Block Museum of Arts menjalankan misinya, lokasi tersebut diubah menjadi museum seni permanen. Selama masa konstruksi, dengan konsep penghormatan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa di lokasi, yayasan memulai program The Kong-Ke Museum dalam bentuk kantor kerja di sebelah lokasi konstruksi. Kantor kerja atau kantor konstruksi adalah kantor lokasi konstruksi dan tempat para pekerja tukang makan dan beristirahat, biasanya dibangun berbentuk rumah panel modular. Dengan konsep ramah bagi pekerja sebagai titik awal, yayasan merekrut sepuluh kelompok desainer dan seniman untuk membangun jenis kantor konstruksi baru. Bagian luarnya berupa bangunan transparan dua lantai. Pada lantai pertama terdapat restoran dan taman luar ruangan yang dibangun berpadu dengan pohon beringin tua, dan lantai dua merupakan ruang bersama untuk para pekerja tukang dan ruang publik.
Di hari biasa, ruang lantai dua tertutup untuk umum sebelum pukul dua siang, dan hanya diperuntukkan bagi para pekerja tukang untuk istirahat siang, dan setelah pukul dua, barulah dibuka untuk umum. Untuk mengurangi kesan jarak antara pekerja tukang dan ruang seni budaya, desainer menggunakan bahan yang kerap dijumpai di lokasi konstruksi, seperti papan bergelombang dan perancah sebagai bagian dekorasi, sehingga turut memberikan nuansa industri kasar pada The Kong-Ke Museum. Alas tidur khusus yang terinspirasi dari kantong semen juga dapat ditemukan di sini, sehingga para pekerja tukang dapat dengan leluasa mengkreasikan ruang istirahat siangnya sendiri. Mengingat para pekerja tukang tidak menyukai kondisi harus keluar masuk dari ruangan ber-AC, guna menghindari ketidaknyamanan fisik akibat perbedaan suhu yang besar, maka dipasanglah kipas angin. Detail yang penuh perhatian ini, mampu memberikan rasa nyaman dan santai bagi para pekerja tukang saat berada di dalam museum.
Setitik demi Setitik Mengurai Jarak
Sejak museum dibuka untuk umum pada tahun lalu, The Kong-Ke Museum merekrut seniman yang menggunakan budaya lokasi konstruksi sebagai bagian dari bahan kreativitas. Ada yang menggunakan orang-orangan pengatur lalu lintas yang kerap ditemukan di lokasi konstruksi, diubah menjadi patung dewa pembawa berkah. Ada yang menggunakan tatami menjadi perangkat kepala mobil truk. Turut diundang adalah desainer Angus Chiang, yang mengubah kalimat bahasa dalam lokasi konstruksi untuk digunakan sebagai slogan yang dicetak pada bantal, papan reklame dan lain sebagainya, dengan menggunakan ragam warna untuk menunjukkan vitalitas kehidupan lokasi konstruksi.
Pada jalan di luar lokasi konstruksi, kerap diadakan kegiatan seni budaya terkait lokasi konstruksi pada hari libur, misalnya drama aksi bertema lokasi konstruksi, perkusi dengan bahan peralatan dari lokasi konstruksi. Dengan ragam cara membuat khalayak umum dapat menyaksikan bagaimana museum seni dapat berangsur terbentuk di masa depan, berkat upaya dan kerja keras para pekerja tukang. “Diharapkan The Kong-Ke Museum dapat memecahkan bentuk keterasingan yang ada di kota,” ujar CEO Jonas Ho.
Sejak The Kong-Ke Museum dibuka hingga saat ini, telah banyak perusahaan konstruksi yang datang berkunjung, bahkan kantor konstruksi yang awalnya berada di sampingnya, juga terinspirasi oleh museum seni, sehingga turut memperpanjang desain atap, menambah area tempat duduk, memperbaiki lingkungan istirahat secara bertahap. Melalui reinterpretasi budaya lokasi konstruksi, turut membuka kesempatan bagi masyarakat untuk lebih mengenal para pekerja tukang, dan barulah memungkinkan peningkatan kenyamanan pada lingkungan kerja di masa depan. Dengan lebih banyak pemahaman dan kelembutan, menyampaikan terima kasih atas kontribusi dari para pahlawan tanpa tanda jasa ini.