Kembali ke konten utama
Koleksi Alam Semesta Museum Budaya Hutan Sazasa
2021-08-16

Menggunakan tangan dan kaki secara bersamaan, memanjat pohon beringin putih setinggi bangunan dua lantai, merasakan langsung keajaiban alam.

Menggunakan tangan dan kaki secara bersamaan, memanjat pohon beringin putih setinggi bangunan dua lantai, merasakan langsung keajaiban alam.
 

Kurator: Aliman Madiklan

Pameran: “Pohon berjalan”, menanam sebatang pohon

Tema: Sehari Bersama Bunun, Kehidupan dan Etika, Pendidikan Lingkungan, Jalan Setapak sang Pemburu

Lokasi: Pedalaman Suku Adat Asli Sazasa, Desa Yanping Kabupaten Taitung

Waktu: dengan reservasi

 

Kata Kunci: Uninang

Sebelum melakukan kunjungan ke Museum Budaya Hutan, pemandu Long memberikan penjelasan proses kunjungan. Karena kita akan menghabiskan waktu sehari mengenal suku Bunun, ia memberikan penjelasan tentang suku Bunun, “Pria suku Bunun harus memenuhi 3 kriteria. Pertama harus memiliki kekuatan untuk melindungi rumah dan komunitas sendiri, kedua otot paha bawah harus tebal, barulah dapat mendaki gunung dan berburu, dan ketiga yang terpenting adalah tegas! Oleh sebab itu bentuk tubuh yang ideal adalah yang seperti saya, baik dari depan maupun dari samping, sama-sama bidang.”

Ucapannya membangkitkan suara tawa, Long yang menyelipkan sebilah pisau berburu di pinggang sambil berkata, “Jangan memandang remeh, saya juga sering berburu, namun setiap kali berburu selalu dikejar oleh babi hutan. Hal ini bukan karena saya dan babi adalah sejenis, namun karena sang babi berpikir jika saya adalah babi betina. Walau saya tidak mampu berlari dengan cepat, tetapi akan mencari jalan menurun, dengan berguling akan jauh lebih cepat.”

“Hendak minum anggur millet atau minuman isotonik suku adat asli (teh kesehatan), maka harus mengucapkan kata kunci.” Ia mengajarkan penyebutan terima kasih dalam bahasa suku Bunun, yakni “uninang”. Kemudian bagaimana dengan kata “Apa kabar?” Long menyebutnya dalam bahasa Inggris “Adalah how are you?” sehingga membuat semua yang hadir tertawa. Dalam bahasa suku Bunun, apa kabar diucapkan sebagai “mihumisang”.

“Jika datang kemari, hendaklah mengenal orang yang satu ini, ia adalah lulusan universitas pertama dari pedalaman suku adat asli Sazasa”, Long melanjutkan, “17 tahun silam, takkala ia mendengar ada perusahaan besar yang hendak membeli lahan ini untuk membangun rumah abu, kelenteng, membangun resor wisata, ia segera meminjam dana dan merebut membeli lahan ini dari perusahaan tersebut, yang akhirnya digunakan sebagai tempat pembelajaran komunitas suku Bunun. Jika mengitari koridor habitat ini, maka dapat diketahui mengapa Aliman Madiklan hendak melindungi hutan ini.”

 

Kurator: Aliman Madiklan

Tidak seperti Long yang humoris dan berbaur dengan pengunjung, Aliman dengan rendah hati dan bersahaja mengelilingi taman, memilih duduk di kursi kayu “palihansiap” (ruang pertemuan) dengan serius mengamati setiap kegiatan pengunjung.

Kata “palihansiap” dalam bahasa suku Bunun mengandung makna diskusi, koordinasi, dan boleh dikatakan ini adalah rumah jerami terbesar di Taiwan, yang dibangun bersama oleh Aliman dan yang lainnya pada masa di mana kunjungan wisatawan berkurang drastis saat pandemi COVID-19 datang melanda pada Maret 2020. Ia mengatakan, “Dulu kami suku Bunun siap bertempur, kini menjadi pekerja bangunan, kami selalu menggunakan sikap palihansiap saat menjalaninya, berguru dengan para sesepuh.”

Tesis yang ditulis oleh Aliman saat mengambil Strata 2 di Department of Ethnic Relations and Cultures di National Dong Hwa University, adalah studi informasi yang diperoleh langsung dari para sesepuh. Ia memiliki    pemahaman akan sejarah yang sangat mendalam, ditambah dengan pengalaman bekerja sebagai seorang reporter untuk Taiwan Indigenous TV, asisten peneliti di Pusat Pendidikan Lingkungan National Taitung University, dan ahli budaya di Austronesian Community College. Melihat banyak penduduk adat asli setempat yang tergoda untuk menjual tanah mereka, dan pada akhirnya tidak memiliki apa-apa. Ada pengusaha kontruksi yang dengan kejam menggali lahan tanah berpasir setempat. Oleh sebab itu, 17 tahun yang lalu, begitu ia mengetahui ada perusahaan yang berkunjung dengan membawa insinyur dan ahli fengshui menjelajahi tanah sekitar. Karena tidak ingin sejarah terulang kembali, maka ia meminjam dana kredit dari Asosiasi Petani Luye, Taiwan Business Bank, lalu membeli lahan untuk Museum Budaya Hutan ini

 

Asal Mula Museum Budaya Hutan

Maksud Aliman menyelamatkan hutan awalnya adalah hendak menjadikannya sebagai tempat edukasi budaya suku Bunun yang mulai meredup.

Tahun 2004, Taiwan Ecological Stewardship Association yang hendak menggelar kelas edukasi ekologi, mengirimkan dana terlebih dahulu, dan meminta Aliman untuk dapat mempersiapkan sajian makanan. Hal ini memberikan inspirasi bagi Aliman untuk membangun museum hutan, yang mungkin dapat menjadi sebuah jalan keluar dalam menyelesaikan masalah keberlangsungan hidupnya. Dengan menyusuri jalan setapak kuno, wisata edukasi pedalaman suku adat asli, mampu memikat dukungan dari The Taiwan Permaculture Institute, The Shumei Natural Agriculture Network dan The Taiwan Environmental Information Association. Dana dukungan tersebut secara perlahan mampu mengatasi masalah krisis keuangan yang dihadapinya. Terlebih-lebih ada universitas dari negara bagian Amerika, Pennsylvania, yang menjadwalkan kunjungan mahasiswa selama 4 hingga 5 hari ke taman ini setiap tahunnya, menikmati “kearifan tanpa listrik, keberadaban tanpa tulisan” yang disajikan oleh Museum Budaya Hutan.

Aliman bersikeras untuk tidak menaruh penunjuk jalan, membatasi keterbukaan. Saat membayar hutangnya, ia juga terus melakukan introspeksi diri dan berhati-hati, “Kekayaan duniawi yang sebenarnya adalah dapat membantu orang lain.” Seperti anak-anak sukunya, ada yang putus sekolah, ada yang dikeluarkan oleh pihak sekolah, Aliman meminta mereka datang bekerja, menjadikan mereka sebagai guru yang memberikan penjelasan dan dihormati. Museum Budaya Hutan selain menjadi platform yang mengisahkan budaya suku Bunun, juga dapat membangun rasa percaya diri, dan sebagai tempat untuk membentuk nilai kehidupan.

 

Ruang Pameran 1: Pohon Berjalan

Bagi pengunjung yang berkunjung sehari ke Museum Budaya Hutan, spot pertama adalah pohon berjalan, pohon berdaun besar dari jenis Moraceace, atau yang juga dikenal sebagai pohon beringin.

Semua pasti terkejut saat pertama kali melihat pohon beringin raksasa, sebatang pohon terkesan menjadi hutan. Akar yang melambai dalam udara, tumbuh cepat menjuntai ke tanah, dan sebegitu menyentuh tanah maka perlahan-lahan akan membesar menjadi sebatang akar kuat, dan akar-akar terus bertumbuh dan bercabang meluas ke berbagai arah, sehingga kerap disebut sebagai pohon yang dapat berjalan.

 

Ruang Pameran 2: Hutan Avatar

Usai menikmati hidangan penyambutan berupa daging panggang dan minum ramuan tradisional yang terbuat dari tebu, kunyit, jahe dan daun kayu manis, sebelum memasuki hutan pohon Ficus dan Machilus raksasa pada ketinggian menengah hingga rendah yang paling terpelihara di seluruh Taiwan, sebagai tamu yang sopan, pengunjung akan berdiri dengan hormat di depan altar yang dipenuhi dengan tengkorak babi hutan, memberi hormat kepada arwah leluhur dengan sebotol anggur beras dan sekantong buah pinang.

Jalan dengan kemiringan yang sangat curam di depan mata merupakan tantangan pertama, di mana kita harus berjalan melangkahi akar pohon yang keras bagaikan batu, dan melintas di antara cabang-cabang pohon yang kuat terjuntai dari atas ketinggian. Berikutnya adalah berjalan menyamping melewati celah langit, yang ada di antara dua bongkah batu besar yang saling bertindihan, menyaksikan lempengan Filipina yang naik dari dasar laut dan topografi pegunungan pesisir yang unik.

Melewati bongkahan batu, di tengah kelompok pohon beringin, terlihat lagi pohon beringin putih yang menjulang ke langit di depan mata. Pegang kuat tali dan gunakan tangan serta kaki secara bersamaan untuk memanjat pohon beringin putih, yang memiliki ketinggian dua lantai dan menikmati keseruan memanjat tebing.

 

Pelajaran 1: Etika Kehidupan

Usai menyelesaikan jalan setapak pemburu, tamu yang telah kelaparan, harus mengikuti kelas etika kehidupan terlebih dahulu.

Guru pemandu Long menegaskan, “Kami suku Bunun sangat menghormati 4 perempuan, yang pertama adalah harus mendengarkan perkataan nenek, karena nenek akan mewariskan kisah cerita dan tradisi keluarga. Yang kedua adalah harus berbakti kepada ibu, karena tidak ada seorang pun di dunia yang dapat menggantikan posisi sang ibu. Yang ketiga adalah harus mencintai istri, dan siapakah yang keempat?”. Ada yang menebak, anak perempuan. Sembari menghela nafas, Long dengan berat hati mengatakan, “Setelah menikah dan meninggalkan rumah, anak perempuan tidak akan kembali lagi. Oleh sebab itu, para senior di sini, harus menghormati menantu perempuanmu, perempuan keempat ini bukan berasal dari keluarga sendiri, melainkan putri orang lain, maka kita harus memperlakukannya dengan baik.” Untuk itu sebagai seorang pria dewasa yang baik, harus mampu dengan dibarengi senyuman di wajah memberikan pelayanan dan menghidangkan makanan bagi kaum perempuan.

Setiap orang yang berkunjung ke Museum Budaya Hutan, selain harus mempersiapkan peralatan makan sendiri, juga dilarang keras untuk membuang sampah, hal ini juga menandakan prinsip etika dan penghormatan kepada orang lain. Melalui pelayanan mengambilkan nasi, menyajikan makanan, maka kebaikan tersebut akan meresap ke dalam hati setiap insan manusia.

 

Pelajaran 2: Etika Lingkungan

Akhirnya tiba juga saatnya untuk mencicipi kelezatan makanan suku Bunun, daging babi yang digodok dengan anggur merah dari tumbuh-tumbuhan sejenis Lardizabalaceae, yang dapat menghasilkan warna alami tanpa perlu menambahkan kecap. Jamur Enokitake yang dibungkus dengan daun sintrong (Crassocephalum crepidioides) dan digoreng, memberikan kerenyahan tersendiri. Abai yang terbuat dari bulir milet ditambah dengan daging babi, kemudian dibungkus dengan daun khasya (Trichodesma calycosum), merupakan sajian saat ritual perayaan. Selain itu masih ada mie instan goreng dengan daun longxizhai (Gracilaria lemaneiformis), yang merupakan sajian sederhana dan kerap disantap saat bekerja di atas pegunungan. Salad plum musiman, mentimun besar dicampur dengan markisa, labu siam dan waluh, Aliman menekankan, “Hutan adalah kulkas bagi kehidupan kami orang Bunun. Setiap suap makanan yang masuk ke dalam perut adalah hadiah yang diberikan atas kemurahan hati dari tanah di bawah kaki kita.”

Berhubung Aliman bersikeras untuk tidak memasang listrik atau gas di taman, maka para staf pekerja akan mulai memotong kayu untuk membuat api pada jam 7 pagi. Setiap nasi putih yang dimasak dan sayuran yang direbus dengan api kayu, dapat menghadirkan cita rasa alam yang nyata.

Pengunjung telah menjadi saksi budaya Bunun dari rasa makanan dan pengalaman jejak pemburu. Sebelum pergi, semua orang bersama menanam sebatang pohon, saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu “Pasibutbut” (lagu musik ritual tradisional suku adat asli Bunun) mengiringi doa bagi pohon kecil tersebut. Suara nyanyian pun akan bergema di sekeliling hutan. Perjalanan ke museum yang dekat dengan hutan ini, akan meninggalkan kenangan yang sulit terlupakan.