Kembali ke konten utama
Limbah Menjelma Jadi Ratna Made Pemahat Kayu dari Ubud Bali
2021-09-27

Made Sukariawan

 

Bagi orang awam, tiang rumah tua, papan kayu cuci baju yang terbuang, sisa-sisa bahan dari pabrik adalah limbah, tapi di mata seniman Made Sukariawan adalah ratna benda-benda berharga. Melalui pisau pahatnya, Made menyulap limbah-limbah tersebut menjadi kreasi seni indah seperti patung bidadari, Ganesha dan lainnya. Guratan alur kayu menjadi keriput lipatan kulit belalai gajah, kulit kayu yang mengering menjadi janggut Dewa Jodoh Yue Lao, Made mengubah bagian-bagian yang cacat menjadi sempurna, menyulap semuanya menjadi benda yang menakjubkan.

 

Tok, tok, tok suara kayu diketok terdengar jelas pada suatu sore di jalan Wufei Tainan, ketika kami mendekat, terlihat seorang pria berbadan tegap besar berkulit sawo matang sedang memahat sebuah kayu yang belum berbentuk. Ketika kami mengambil segenggam serbuk serutan kayu yang tercecer di tanah, tercium harum semerbak kayu kamper. Menengadah ke atas, terlihat pajangan hasil pahatan artistik dalam jumlah besar di dalam rumah, ada singa pedang, burung kuntul putih kecil Jinshan, Ganesha (dewa dalam agama Hindu) dan ikan arwana Asia, bagaikan sebuah galeri seni mini. Inilah lokakarya kayu pahat seniman asal Ubud Bali, Made Sukariawan bersama istrinya Chakra.

 

Kayu Mainan Masa Kecil

Mengenang jodoh dengan kayu pahat, Made mengatakan, “Saya pada umur delapan sudah mulai belajar memahat kayu, kayu selalu menjadi salah satu bagian dalam hidup saya.” Di rumah Made, sejak kecil sudah penuh dengan potongan kayu karena ayahnya adalah seorang tukang kayu. Guratan dan kekukuhan kayu menjadi daya tarik besar bagi Made kecil, ia pun menyampaikan niat untuk belajar seni memahat kayu kepada ayahnya. Melihat tekad yang begitu bulat, sang ayah membawanya berguru ke pabrik dekat rumah, maka dimulailah ikatan jodoh Made dengan kayu pahat.

Tugas Made setiap hari di pabrik adalah mengasah pisau dan merapikan lingkungan kerja. Sebulan  kemudian, ia baru mendapatkan sebongkah kayu untuk mulai belajar memahat. Tutur Made, kayu yang bisa dipakai untuk latihan di masa itu hanya lah kayu cendana hitam yang keras. Sebagai pemula, ia masih belum bisa mengendalikan pisau pahat, dan sering dimarahi karena tidak hati-hati mematahkan pisau. Setelah tekun belajar selama dua pekan lebih, dan lolos seleksi guru, barulah ia bisa mempelajari teknik lebih lanjut. Pada saat orang lain tidak tahan dan menyerah, Made malah semakin bersemangat untuk belajar, bahkan pada hari Sabtu dan Minggu pun, usai menyelesaikan pekerjaan rumah ia bergegas ke pabrik untuk belajar.

Setelah belajar memahat selama satu tahun di pabrik, akhirnya Made menyelesaikan karya pahatnya yang pertama, yaitu patung Rama & Sinta dari kayu cendana hitam, Dewa Cinta dalam agama Hindu. Karyanya ini mendapatkan imbalan Rp. 400 dari sang guru, meskipun nilainya tidak sampai NT$1, Made dengan penuh suka cita berlari pulang untuk berbagi kebahagiaan ini dengan ayah dan ibunya. Sebab pengakuan atas keberhasilannya itulah yang sulit diukur dengan uang.

 

Bersama-sama Menjelajahi Romantisme Dunia.

Setelah beranjak dewasa, Made bekerja di Grup Resor International. Karena berbakat seni, ia ditugasi mengajar melukis di atas kain sutera; selain itu ia juga pernah menjadi pelatih olah raga. Aneka profesi yang dikerjakan di resor merupakan sebuah tempaan baginya, dan akhirnya Made masuk ke bagian katering, menjadi juru masak. 

Meskipun rutinitas keseharian di Grup Resor International membuat Made semakin jauh dengan seni pahat kayu, tetapi ia menemukan pasangan hidupnya di sana, yaitu gadis Taiwan bernama Chakra yang juga bekerja di resor yang sama. Mereka berpacaran dan mengikat janji untuk bersanding seumur hidup.

Chakra menyampaikan, perusahaan resor mereka setiap tahun akan memberikan tugas baru di lokasi yang berbeda. Namun mereka beruntung sekali, karena sejak berpacaran, mereka selalu ditugaskan bekerja di resor yang sama. Sehingga mereka berdua telah menjelajahi pulau Bali dan Bintan di Indonesia, Cherating di Malaysia, serta pulau Ishigaki di Jepang. Bahkan mereka telah mengalami sendiri hantaman tsunami Asia Selatan pada 2004, ketika itu mereka bekerja di pulau Phuket Thailand, “Kami menyaksikan begitu banyak orang berlumuran lumpur dan darah, berlari ke front desk, di mana-mana terdengar suara teriakan histeris, yang terlihat seperti sedang perang,” begitu tutur Chakra mengenang kembali.

Setelah menghadapi pengalaman musibah dahsyat seperti ini, Chakra mengakui pandangan hidup mereka berubah, “Semua terserah pada nasib saja, tidak memaksakan. Kalau itu ditakdirkan untukmu, maka pasti nantinya akan menjadi milikmu.”

Kemudian mereka ditugaskan bekerja di pulau Ishigaki lalu di Maldives, setelah berpetualang selama sepuluh tahun di luar negeri, akhirnya Chakra merindukan kampung halaman. Beruntung sekali ada teman menawarkan pekerjaan untuknya di Taiwan, Made pun memutuskan untuk mengikuti Chakra membuka lembaran hidup baru di Taiwan.

 

Kembali Memahat, Meniti Impian

Setelah menetap di Taiwan, Chakra sering mengajak Made mengunjungi kuil dan museum. Setiap kali berjumpa dengan seniman kayu pahat, Made selalu mengobrol dengan mereka, membicarakan teknik pahat Taiwan, perkembangan industri, dan dari percakapan dengan para artisan senior, Made mengetahui bahwa kawula muda Taiwan tidak berminat pada seni pahat kayu, hal tersebut justru menyulut antusias Made terhadap pahat kayu.

Memori seni pahat kembali bermunculan dalam benak Made, tetapi yang benar-benar membuatnya kembali memahat adalah ayah dan ibu mertua yang menengok mereka di Taipei, mereka sangat menyukai kepala naga Kuil Chih Nan, mereka memfotonya dan meminta Made membuat pahatan yang sama, bahkan mengirimkan kayu ke Made yang berdomisili di Taipei saat itu. Agar tidak mengecewakan ibu mertua, Made mulai memahat di setiap waktu senggangnya, kepala naga selesai dipahat dalam waktu tiga pekan. Sejak saat itu, Made terbenam dalam dunia pahat kayu, dan tidak bisa keluar darinya. Ia memakai semua waktu di luar jam kerjanya untuk berinovasi, dan lama kelamaan mulai ada pesanan serta undangan untuk mengajar seni pahat kayu. Made pun mulai meniti impian masa kecil, selangkah demi selangkah mendirikan Lokakarya Kayu Pahat Made.

 

Limbah yang Spektakuler

Sebagai umat Hindu yang taat, setiap pagi Made selalu menyembahyangi Dewa Ganesha, “Saya berterima kasih kepada Ganesha yang telah memberi kehidupan baik kepada saya.” Setelah itu, Made mulai mengambil kayu-kayu yang belum dipahat maupun yang setengah jadi, layaknya menjaga anaknya, ia menepuk-nepuk mereka, merasakan guratan kayu-kayu, menikmati alur dan bentuk kayu, untuk melihat hari itu berjodoh dengan kayu yang mana, maka kayu itulah yang akan dipahat. Made tidak perlu membuat sketsa terlebih dahulu, dan juga tidak akan memotong kayunya untuk menuruti suatu bentuk, tetapi ia mempertahankan liukan asli dari kayu tersebut, kemudian mencari kreasi terbaik untuk kayu tersebut. Made dengan tertawa mengatakan, memahat kayu itu cepat, yang lamban adalah inspirasi, butuh waktu untuk mewujudkannya.

Kreasi kayu pahat Made berbeda sekali dengan gaya pahat seniman Taiwan tradisional yang condong formal dan memilih kayu berkualitas tinggi, Made lebih memilih kayu-kayu yang tidak disukai orang. Seperti limbah tiang kayu, oleh Made dipasangi papan cuci pakaian buangan di kedua sisinya, dipahat menjadi dua malaikat, satu berwajah kotak-kotak, satunya berwajah bulat, melambangkan konsep hidup menjadi manusia, selalu legawa. Kulit kayu di mata orang awam adalah limbah rongsokan, tapi di mata Made itu bisa dijadikan rambut dan janggut, menghasilkan pahatan bulan sabit yang mempunyai lima indra, dan dinamai “Yue Lao” Dewa Perjodohan. Kayu yang berlubang-lubang karena terpaan usia, dipahat menjadi Dewa Ganesha oleh Made, dengan bermahkotakan kulit kayu. Sedangkan guratan alur kayu yang alami, jatuh pada hidung Ganesha yang seperti belalai gajah, pas sekali bagai kulit berkeriput, lubang-lubang kayu menjadi mulut dan telinga Ganesha, patungnya dinamai “Bukan - Gajah”.

 

Jatuh Cinta pada Benda Tua

Selain berkarya seni, Made yang mencintai benda-benda tua juga suka merenovasi mebel lama, suami istri ini mengumpulkan lemari kayu yang sudah reyot, cat lamanya dihilangkan, agar keluar bentuk asli keindahan alur kayunya, pintu lemari yang rusak diganti dengan pintu kaca, membuat lemari makanan yang sudah bersejarah 70 tahun itu, segera berubah menjadi lemari etalase bergaya country, Made mengatakan, “Saya sangat menyukai barang-barang tua, yang rusak saya perbaiki, membuat saya sangat puas, karena memberikan kehidupan baru bagi benda-benda tua itu, menjadi berguna lagi.”

Ketika baru pindah ke Tainan, segala sesuatu penuh ketidak-pastian, suami istri ini mencoba segala kesempatan, seperti membuka kursus kayu pahat, membuka pameran dan berjualan di bazar. Setelah mengalami pelbagai percobaan seperti itu, Chakra menemukan keunikan bakat Made, yaitu berkreasi secara langsung. Untuk itu ia memberikan dorongan kepada Made untuk bebas berkreasi, tanpa harus menuruti permintaan orang lain. Sejak saat itu, Made membuat aneka model patung Ganesha, juga patung gajah besar yang bercakra gambar bunga. Bahkan patung untuk mengikuti lomba patung Buddha pun, yaitu patung Dewa Ujian Guixing oleh Made ditambahi dengan kalung bunga Ganesha, tambahan inovasi Made ini membuat karya patungnya sangat menonjol dan penuh gairah hidup.

Chakra mengatakan, “Made sangat menyukai kayu, begitu melihat ada kayu, ia seperti anak kecil melihat mainan, dan akan menari-nari kegirangan.” Meski sudah berusia 5 dasawarsa lebih, setiap kali membicarakan pahat kayu, Made akan tertawa gembira seperti anak remaja yang penuh antusias, membuat Anda mau tak mau ikut terhanyut dalam alam imajinasinya. Manusia hidup harus ada impian, kejarlah impian dengan sepenuh hati, mengapa tidak!