Kembali ke konten utama
Perubahan Pemandangan Perkeretaapian Taiwan Kebangkitan Estetika yang Sedang Berlangsung
2021-10-25

Stasiun Fuli yang mungil nan elegan disukai oleh penduduk lokal, dan merupakan objek wisata baru di Fuli.

Stasiun Fuli yang mungil nan elegan disukai oleh penduduk lokal, dan merupakan objek wisata baru di Fuli.
 

Entah dengan mengunakan seri “Kereta Api Wisata” yang diluncurkan pada akhir tahun 2019 atau menelusuri stasiun-stasiun hasil “Gerakan pembaruan stasiun Hualien, Taitung” yang renovasi dan pemulihan jalur keretanya telah selesai dari sejak awal, Anda pasti dapat melihat dan merasakan perubahan yang tengah terjadi dengan “Pemandangan Perkeretaapian Taiwan” saat orang-orang bepergian, meninggalkan kampung halaman mereka untuk berlibur, pergi bekerja, atau keperluan lainnya.

 

Transportasi kereta api pernah menjadi sarana tranportasi vital bagi penduduk di pulau Formosa ini. Stasiun di tempat-tempat terpencil pelosok desa kerap menghadirkan pemandangan yang memilukan, saat mereka meninggalkan kampung halaman. Meskipun saat ini kereta api telah terkalahkan dengan moda transportasi lainnya, tetapi perjalanan lambat adalah sebuah peluang yang mengajak Anda menikmati pemandangan selama di perjalanan secara perlahan, serta mendapatkan pengalaman baru dengan hal-hal dan benda-benda yang ada di sekeliling.

 

Stasiun Xincheng: Membangun Stasiun Bagaikan Museum Kesenian

Stasiun Xincheng pada jalur kereta Hualien – Taitung adalah hasil desain Chiang Le-ching, seorang arsitek kelahiran Taichung. Stasiun Xincheng merupakan pintu gerbang utama di bagian paling utara dari Hualien, dalam kompetisi desainnya, Chiang Le-ching menggunakan gambaran “Pintu”, Chiang Le-ching mengatakan, “Stasiun ini adalah pintu untuk keluar meninggalkan dan kembali pulang bagi warga yang tinggal di Xincheng, pintu masuk ke Hualien bagi wisatawan, juga pintu bagi Taman Nasional Taroko secara keseluruhan.”

Pemandangan pegunungan dan perairan di Hualien dan Taitung merupakan mahakarya alam, konsep Chiang Le-ching ingin membangun sebuah stasiun yang menyerupai museum kesenian, dengan desain dasar sungai berbentuk huruf “V” pahatan dari sungai Liwu dan ngarai Taroko. Sebagai pintu masuk stasiun, Chiang menggunakan struktur baja dengan lekukan menonjol dengan pemandangan indah Pegunungan Sentral di belakangnya, langit biru dapat langsung terlihat pada saat cuaca cerah. Stasiun Xincheng yang megah bagaikan karya-karya seni yang dikeluarkan dari tanah.

Dengan merujuk pada konsep gambaran stasiun di Eropa dan Amerika, Chiang Le-ching beranggapan bahwa stasiun adalah sebuah “Landmark, tempat suci, dan tempat penting”, untuk membangun sebuah stasiun yang menyerupai museum kesenian, Chiang Le-ching menyarankan perusahaan perkeretaapian Taiwan (TRA) untuk meningkatkan proporsi sentuhan seni, untuk itulah digunakan lukisan kuno hitam putih “The Beauty of Taroko Nasional Park” karya seniman Ma Bai-shui (1909 – 2003) yang dituangkan ke dalam kaca berwarna yang terpatri di aula belakang stasiun,  melalui pergantian cahaya siang malam dalam 4 musim sebagai nyanyian alam Taroko.

Pada langit-langit aula stasiun juga tergantung tenunan berlian Taroko yang merupakan hasil karya tenunan Lebay Eyong yang mengundang perempuan-perempuan dari Penduduk Suku Adat Taiwan untuk bersama-sama menyelesaikan rajutan inovatif yang dinamakan “Elug Tminun” (Jalan Tenun), dengan menggunakan benang-benang hasil bongkaran sweter bekas, lalu kemudian ditenun kembali menjadi sebuah karya inovatif. Jalur-jalur tenunan menunjukkan perasaan mereka akan kampung halaman, vitalitas dan kreativitas yang ditampilkan dari karya ini membuat orang-orang yang datang menghentikan langkah untuk mengaguminya.

 

Stasiun Fuli: Arsitektur Hijau Pandangan Kedua

Sepasang suami istri Chang Kuang-yi dan Chang Cheng-yu yang tinggal di Yilan adalah arsitek yang mendesain Stasiun Fuli. Bentuk bangunan yang sederhana, dengan dinding luar berwarna kuning muda, disertai bentuk seperti lumbung ini menjadi objek baru di Fuli.

“Sebenarnya yang paling menarik perhatian orang dari Hualien dan Taitung adalah alamnya, untuk itu kami merasa yang pertama kali terlihat oleh mata Anda adalah keindahan pemandangan alam, pandangan kedua baru memerhatikan bangunan-bangunan yang ada.” Juga karena itulah, Chang Cheng-yu sambil tertawa menyebutkan hasil desain mereka adalah “Arsitektur pandangan kedua”.

Sejak awal, pasangan arsitek ini sudah memutuskan untuk mengatur nada stasiun ini dengan “Warna”. “Dalam pemikiran kami, warna kuning muda ini akan memberikan kesan tanah”, ujar Chang Cheng-yu, warna yang juga mengingatkan kita pada musim bunga lili dan kuningnya padi, karena itu pula kami menggunakan bahan batu granit kuning untuk dinding luar bangunan, bahan batu alami dapat bernapas, dengan nuansa corak kilau yang berbeda seiring dengan cuaca, bagaikan bisikan dari alam.

“Kesederhanaan” adalah indikator kedua dari desain, karena pemahaman yang mendalam tentang kekurangan tenaga kerja di daerah pedesaan dan kondisi industri konstruksi setempat pada saat itu, untuk itu Chang Kuang-yi mempertimbangkan cara untuk mengurangi beban operasional dan manajemen pemeliharaan dari stasiun kecil ini. Pemilihan struktur beton bertulang (Reinforced Concrete atau disingkat RC) adalah untuk pertimbangan biaya, keamanan dan teknologi konstruksi, sementara lapisan luar bangungun dilapisi bahan batu kering dengan rongga antara RC dan lapisan bahan batu berfungsi sebagai insulasi termal yang sesuai dengan iklim, mengurangi pengunaan sumber energi, dan menggunakan metode membuka dan memutar serta lainnya untuk menciptakan bangunan yang kaya akan ekspresi, demikian tujuan dan kegunaan dari desain yang dijelaskan oleh Chang Kuang-yi.
 

Garis-garis dari lengkungan kayu di langit-langit Stasiun Chishang memberikan nuansa ritme tersendiri, fasad kaca menjadi kanvas bagi alam di kala pepohonan dan awan bermain di atasnya.

Garis-garis dari lengkungan kayu di langit-langit Stasiun Chishang memberikan nuansa ritme tersendiri, fasad kaca menjadi kanvas bagi alam di kala pepohonan dan awan bermain di atasnya.
 

Stasiun Chishang: Cahaya Stasiun Lumbung

Melangkah ke Taitung dan memasuki Chishang, Stasiun Chishang adalah stasiun terdekat bagi pendaki gunung yang ingin menuju ke Danau Jiaming. Festival Musim Gugur Chishang setiap tahunnya mengundang arus wisatawan yang datang melalui Stasiun Chishang. Selain sebagai pintu masuk wisatawan, Stasiun Chishang juga merupakan tempat yang memiliki kenangan akan kampung halaman bagi penduduk setempat. Arsitek yang bertanggung jawab atas pembangunan Stasiun Chishang, Peter Kan dari D.Z. Architects and Associates mengatakan, “Selain berfungsi sebagai alat pengangkutan penumpang, stasiun juga berfungsi sebagai ruang bagi anggota keluarga yang akan berpisah untuk mengucapkan selamat tinggal dan tempat mengekspresikan perasaan mereka.”

Setelah mendengarkan dan memahami suara hati penduduk lokal, Peter Kan menggunakan indikator yang sederhana dan melekat dalam kehidupan sehari-hari penduduk setempat, “Saya menggunakan ‘lumbung’ sebagai konsep bangunan stasiun.”

Pada awalnya, Stasiun Chishang memiliki ruang mesin yang tidak dapat dipindahkan, sehingga menyebabkan lahan yang tersedia sangat kecil, keterbatasan ini membuat TRA berencana memindahkan stasiun ke bagian utara. Namun Peter Kan memahami bahwa sesuatu yang menjadi poros dalam kehidupan di kota kecil ini tidak dapat dipindahkan begitu saja dengan gegabah. Agar tidak menimbulkan luka mendalam, ia melakukan komunikasi dengan pihak TRA dan penduduk lokal, dan mendapat solusi dengan tetap mempertahankan lokasi asal stasiun, menyelesaikan masalah letak posisi stasiun dengan desain. Demi menutup ruang mesin yang tidak dapat dipindahkan, perlu memperpanjang peron, Peter Kan mendesain tanjakan untuk mengatasi perbedaan ketinggian hampir 2 meter antara gedung stasiun dan peron.

“Struktur kayu juga dapat lebih mudah menyalurkan kehangatan dan memberikan atmosfer budaya.” Tetapi Peter Kan memilih menggunakan pendekatan yang berbeda, struktur balok terdiri dari bentangan lengkungan-lengkungan besar kayu yang direkatkan (Glulam), jalinan garis dari lengkungan pada langit-langit ruang menciptakan ritme tersendiri. Dengan kaca sebagai dinding, sehingga cahaya dan bayangan dalam stasiun bergerak menari seiring dengan gerakan posisi dari sinar mentari.

Sumber penerangan tidak langsung yang menyinari Stasiun Chishang pada malam hari, menghadirkan nuansa magis pada bentuk bangunan stasiun, di desa kecil lumbung padi ini tergores atmosfer negeri dongeng yang memesona baik siang maupun di malam hari.

 

Kereta Api Wisata: Ciptakan Citra Perjalanan Wisata Lambat

Stasiun adalah pemandangan yang statis, sedangkan kereta api menghadirkan pemandangan bergerak dalam gerbong kereta.

Johnny Chiu pendiri J.C. Architecture yang telah kembali ke Taiwan lebih dari 10 tahun lalu, telah mendapat banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri, mengenang impian semasa kecilnya adalah mendesain kereta api. Namun desain kereta api TRA yang sudah ketinggalan zaman menjadi kritikan dari berbagai lapisan masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini, sebagai seorang desainer, perubahan apa yang dapat dilakukan untuk mengubah desain TRA. Ia yang tidak mengenal orang penting dalam TRA, hanya bisa menulis surat kepada anggota komunitas desain Taiwan, meminta dukungan dari mereka. Kemudian Wu Han-chung yang mendapat predikat CEO Estetika dan sekarang menjabat sebagai anggota Tim Penasihat Estetika Perkeretaapian Taiwan, membalas suratnya, meminta Johnny Chiu untuk datang ke TRA dan memberikan proposal kereta api seri keliling pulau Taiwan dua minggu kemudian. Pada akhir tahun 2019, wajah baru kereta wisata TRA diluncurkan dengan skema bagian luar berwarna hitam dan oranye. Hitam menghadirkan kesan misterius, yang juga dapat membalikan tubuh, sedangkan warna oranye sudah menjadi  ingatan masyarakat sebagai warna kereta seri Chu-Kuang Express.

Johnny Chiu memperlihatkan selembar desain dari komputernya, “Saya mendapatkan ide ini dari ingatan ketika menikmati keindahan warna warni Taiwan dan menaiki kereta api gunung Alishan, angin musim gugur serasa masuk dan berhenti sejenak di dalam gerbong kereta, inilah yang disebut ‘Angin musim gugur’”. Dekorasi internal gerbong dengan pemandangan di luar jendela saling melengkapi, untuk gordennya mengadopsi karya Yuma Taru, seorang seniman tekstil dari penduduk asli suku Atayal, lipatan geometris menampilkan barisan pegunungan sentral. Warna bangku dipilih dengan perpaduan warna biru dan abu-abu yang menggemakan warna lautan dan bebatuan Taiwan. “Saya selalu mengatakan bahwa sebenarnya kami tidak melakukan apa-apa, saya hanya membawa masuk pemandangan dari 4 musim saja.”

Semua ini sebenarnya adalah apa yang dirasakan oleh panca indra kita secara rinci, dan menjadi pertimbangan baru dari perjalanan wisata. Johnny Chiu mengungkapkan, “Ini adalah contoh bingkai yang dipilih dari pendekatan desain, mempertimbangkan kembali perasaan yang ada dalam perjalanan wisata lambat.”

Melalui kekuatan desain, TRA sebagai perusahaan tua yang memiliki sejarah 133 tahun ini tengah melakukan reformasi, dan mencari peluang inovasi. Setiap seri kereta api, setiap stasiun menceritakan kisah Taiwan, agar setiap orang dapat merasakan keindahan sejati Taiwan.