Kembali ke konten utama
Rasakan Vitalitas Mereka Situasi dan Refleksi Seni Pertunjukan Asia Tenggara di Taiwan Saat Ini
2021-11-22

Ngo Jian-nam (dari kiri nomor 2) membentuk kelompok rebana Malaysia, Tampo, di mana ia percaya bahwa musik mampu lintas batas bahasa dan negara, berbagi keindahan budaya kampung halaman. (foto: Jimmy Lin)

Ngo Jian-nam (dari kiri nomor 2) membentuk kelompok rebana Malaysia, Tampo, di mana ia percaya bahwa musik mampu lintas batas bahasa dan negara, berbagi keindahan budaya kampung halaman. (foto: Jimmy Lin)
 

Seiring dengan pelaksanaan “Kebijakan Baru ke Arah Selatan”, kondisi perekonomian dan masalah pekerjaan para imigran asal Asia Tenggara yang datang ke Taiwan juga mengalami perbaikan. Akan tetapi, peningkatan kualitas kehidupan dan psikologis, belum terlihat meningkat secara signifikan, “Karena keterbatasan dan, lemahnya antusiasme untuk mengenal lebih dalam kebudayaan negara-negara Asia Tenggara”. Dosen Graduate Institute of Ethnomusicology, Tainan National University of The Arts, Ted Tsai, berpendapat Taiwan merupakan negara yang inklusif dengan budaya dunia, masyarakat Taiwan sangat antusias dan ramah, namun di balik toleransi tersebut, sebenarnya ada bagian yang perlu ditingkatkan dan patut untuk dipikirkan lebih mendalam.

 

Seni Adalah Kehidupan

“Status politik dan ekonomi Taiwan serupa dengan negara-negara di kawasan Asia Timur Laut, namun untuk hal musik, seni, dan budaya, sebenarnya lebih dekat dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.” Ted Tsai, yang telah mengabdikan hidupnya untuk mempelajari musik dari berbagai daerah di dunia, juga adalah anggota Southeast Asia Advisory Committee. Dalam “Program khusus pertukaran luar negeri Kebijakan Baru ke Arah Selatan”, yang diusung oleh Departemen Pertukaran Kebudayaan Kementerian Kebudayaan, ia memaparkan hasil pengamatan yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun, “Bagi masyarakat Asia Tenggara, musik dan pertunjukan seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Itu adalah bagian santapan spiritual mereka, fondasi kejiwaan.” Berkenaan dengan kondisi yang ada saat ini, Ted Tsai sangat menyayangkan dan mengatakan, “Imigran baru dan pekerja migran di Taiwan, sebagian besar telah kehilangan bagian ini, dikarenakan oleh kenyataan kehidupan dan perlakuan yang tidak setara.”

“Meskipun imigran baru dan pekerja migran, tidak pernah mendapatkan pelatihan profesional saat berada di negara asalnya, namun setelah tiba di Taiwan, hampir semua memilih menggunakan pertunjukan musik dan tarian tradisional negara asal untuk melepas rasa rindu akan kampung halaman, melestarikan budaya, dan mengingat kembali bahasa, terlebih lagi untuk membangun identitas diri serta mengekspresikan emosi. Jalan ini juga digunakan saat menjalin hubungan dan berkomunikasi di antara sesama.” Ted Tsai mengatakan, “Tanpa ini, bagi mereka akan menjadi sebuah penurunan kualitas kehidupan, dan bahkan merasa terputus hubungannya dengan negeri asal mereka.” Imigran baru dan pekerja migran yang kehilangan dukungan spiritual, cenderung lebih mudah kehilangan arah kehidupan, sehingga membuahkan ketidakpuasan diri. Hal ini membuat Ted Tsai menyadari akan permasalahan inti yang sebenarnya berada di balik setiap pertunjukan seni.

 

Ekonomi dan Budaya, Dua Pilihan Sulit

Ted Tsai meyakini jika masalah yang dihadapi oleh para menantu imigran baru, berfokus pada keluarga dan ketidakmandirian dalam finansial. Sementara mayoritas para mertua mengharapkan mereka agar secepat mungkin menyatu dengan kebudayaan Taiwan, bukan sebaliknya mengenal lebih lanjut kebudayaan negeri asal para menantu ini. “Saat pekerjaan atau kemandirian finansial tidak memungkinkan, menghabiskan banyak waktu untuk mengurus keluarga, meskipun ada kebijakan bagi imigran baru yang lebih baik, tetapi ‘Pertunjukan seni’ masih tetap menjadi sebuah hal yang berbentuk kemewahan.”

Situasi pekerja migran bahkan lebih parah. Terlepas dari apakah mereka datang ke Taiwan dengan visa kerja, jika dibandingkan dengan negara lain, orang Taiwan memiliki pemikiran dan kesan yang berbeda terhadap pekerja migran. Karena jenis pekerjaan mayoritas pekerja migran bukanlah hal yang profesional dengan berpengetahuan tinggi, tetapi lebih bersifat pekerjaan dengan tenaga fisik, para pekerja migran yang datang bekerja di Taiwan, mayoritas golongan muda dengan kondisi fisik yang terbaik. “Mereka memiliki ragam emosi dan antusiasme kehidupan yang tak terbatas, tetapi selain mereka tidak memiliki waktu dan juga uang, termasuk kegiatan religi, mereka juga harus menghadapi berbagai batasan dan prasangka.” Ted Tsai menjelaskan bahwa kebijakan yang ada saat ini tidak cukup untuk menjaga komunitas yang memiliki jumlah lebih dari 710.000 jiwa ini. Peniup seruling asal Vietnam, Vu Duy Tuan, telah tinggal di Taiwan sekitar 5 tahun, kemampuan berbahasa Mandarin masih terbilang kurang fasih, bekerja dalam bidang industri manufaktur tradisional, “Tetapi pada hari libur, kami dapat bertemu dengan teman.” Tunangannya Vu Duy Tuan, Do Thi Kim Vien, memiliki jenis pekerjaan yang berbeda. Sebuah ajang kegiatan perkumpulan orang Vietnam mempertemukan mereka dan akhirnya mengenal satu sama lain.

Tidak lama setelah Do Thi Kim Vien tiba di Taiwan, ia bekerja dalam bidang industri jasa pelayanan makanan, dengan sistem kerja dua shift sehari, sehingga kesempatan untuk bertemu dengan sesama orang Vietnam adalah hal yang sangat berharga baginya. “Semua orang bekerja di kota yang berbeda, mempertimbangkan transportasi dan uang, kebanyakan kami bertemu di tempat umum yang berada di dekat stasiun kereta. Namun takkala orang mendengar kami mengobrol, bernyanyi atau menari bersama, mereka akan datang dan mengusir kami.” Karena kerap mendapatkan perlakuan pengusiran, pertemuan pun menjadi semakin minim, dan tentu membuat Vu Duy Tuan menjadi lebih rindu akan kampung halamannya, ia pun mulai mendengarkan lagu-lagu Vietnam, dan berlanjut dengan mengenal seruling tradisional Vietnam sao meo. “Di Vietnam, saya tidak pernah belajar seruling, saya juga tidak bisa membaca tangga nada. Suatu hari, saya melihat seorang guru Vietnam mengajar seruling Vietnam di YouTube, yang membuat hati saya tersentuh.” Vu Duy Tuan kembali mengenal budaya negaranya, dan berlatih dengan giat. Saat ini telah ada sekitar 20-an anggota orkes seruling Vietnam. “Tetapi kini, untuk dapat mengumpulkan lima atau enam pemain adalah suatu hal yang tidak mudah dan sudah layak disyukuri.”

 

Hal-hal yang Dilupakan oleh Manusia

“Dua tahun lalu, saat pertunjukan seni Asia Tenggara sangat populer, banyak imigran baru dan pekerja migran yang antusias, diundang oleh pemerintah untuk dapat tampil,” kata Ted Tsai. “Mereka berlatih dengan giat kesenian tradisional negara asal mereka, dengan harapan dapat lebih dekat dengan Taiwan. Namun, tidak ada biaya manggung, tidak ada waktu latihan, tidak ada uang untuk menyewa tempat, terlebih-lebih tidak ada peraturan yang dapat melindungi hak-hak mereka.” Pertunjukan seni Asia Tenggara laksana ‘diperas’ oleh kenyataan kehidupan. Sembari mengeluh, Ted Tsai menjelaskan, “Sehingga dengan sangat cepat, banyak kelompok pertunjukan yang bubar, ada beberapa di antaranya yang berada dalam kondisi ‘setengah mati’. Mereka yang hendak berdiri pun tidak mampu terbentuk. Kebijakan yang tidak sempurna telah membuat banyak pertunjukan seni dan budaya tak berdaya, sehingga kesempatan bagi Taiwan untuk bekerja sama dengan mereka juga semakin berkurang.”

Sebagai penari internasional dari Bali, seluruh keluarga Koming Somawati telah berkecimpung dalam pertunjukan seni secara turun-temurun. Ia mulai belajar menari sedari kecil. Sebelum datang ke Taiwan, Koming Somawati berkeliling dunia bersama suaminya yang berkebangsaan Amerika, Made Mandtle Hood, yang mempelajari musik dunia. Suaminya mendapat undangan datang ke Taiwan untuk menjadi dosen sekaligus dekan Graduate Institute of Ethnomusicology, Taiwan National University of The Arts. Koming Somawati yang hanya mampu berbahasa Inggris dan bahasa ibunya pun mengikuti suami datang ke Taiwan. Koming Somawati memiliki keterampilan menari dan pengalaman akademis yang membanggakan. Ia mengajar di universitas, mendirikan sanggar, meluncurkan banyak drama tari Bali, dan aktif mengembangkan pertunjukan seni tari Bali. Perempuan cantik ini mengaku ia memiliki paras wajah yang ‘sangat Indonesia’, meskipun sangat fasih dalam berbahasa Inggris, tetapi terlihat berasal dari Asia Tenggara, sehingga kerap dikira perawat migran, yang mana pemikiran stereotip seperti ini selalu terjadi di mana saja.

Ngo Jian-nam, seorang imigran baru yang mendirikan kelompok rebana Malaysia pertama di Taiwan, saat ini adalah seorang penyiar di Radio Pendidikan Nasional. Sejak mendapatkan gelar Ph.D. bidang filsafat dari National Chengchi University hingga dunia pertunjukan seni, ia banyak mendapatkan manfaat dari Kebijakan Baru ke Arah Selatan, namun ia juga beranggapan bahwa masih ada bagian yang layak untuk dipikirkan lebih mendalam dalam dunia pertunjukan seni, “Gaya musik Asia Tenggara adalah berkelompok, akan tetapi karena adanya perbedaan dalam pekerjaan dan status, kelompok seperti demikian menjadi terpecah belah.”

 

Perkembangan Ragam Budaya di Taiwan

Untuk mempelajari musik, perlu pemahaman yang mendalam tentang bagian non-musik, “Taiwan belum siap menerima orang-orang yang berasal dari negara-negara di kawasan selatan. Apakah kita telah mempersiapkan ruang kehidupan bagi mereka? Apakah kita siap dengan hiburan mereka? Bahkan, agama mereka, apakah kita sudah cukup menghormatinya, sudahkah kita mencoba memahaminya?” Ted Tsai mengibaratkan pertunjukan seni adalah bagian dari Kebijakan Baru ke Arah Selatan yang tidak tersorot oleh sinar, namun ia justru memberikan dampak yang sangat mendalam, baik pengakuan identitas diri imigran baru itu sendiri, penerimaan budaya orang tua asal Asia Tenggara oleh generasi ke dua, atau pengungkapan ekspresi kehidupan para pekeja migran.

“Untuk mendobrak siklus ini, masih ada ruang untuk perbaikan dalam hal kebijakan, dan masih dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam. Dalam menghadapi komunitas besar seperti imigran baru dan pekerja migran, kita harus memulai pemikiran dari bidang perekonomian kehidupan.” Ted Tsai mengusulkan sebuah terobosan, “Hanya dengan membuat propaganda pendidikan dan perubahan citra, barulah dapat mengubah prasangka negatif, mencapai integrasi dan keharmonisan sosial, dan menjadi pulau Taiwan nan kaya untuk benar-benar mengakomodasi multikulturalisme.”